Brutal truth about being 30’s, single, (and no kids yet)…:  Menyanggah sang influencer


Di tengah kehebohan semesta terhadap pernyataan seorang influencer cerdas tentang faedah child-free dan kekerasan hatinya untuk menentang pendapat yang tidak seragam dengannya, sesungguhnya terjadi pula perdebatan lainnya di sebuah pojok planet bumi, antara saya dan alien dari planet uranus. Kita sebut saja moja-moja.

Me: I am right…!
Moja-Moja: Oh no way! Wake up, you are wrong, and you are too much!
Me : You are heartless! (mulai drama, pake tetes-tetes airmata dikit)
Moja-Moja: You! do not only use your heart, use that head too for something other than math! Open you EYEEEZZZ!

Setelah menangis, meraung, menghabiskan satu nampan pizza dan sepanci rendang (padahal harus diet ketat), kami sampai pada sebuah kesepakatan. Tidak ada yang salah dari kami, secara mengejutkan… kami semua benar! Ini hanya perkara sudut pandang. Lalu kami hanya terdiam… “Jadi kita tuh ngapain sih tadi ? hah? ”

saya jadi belajar suatu hal yang amat berharga:

“Semua perkara di muka bumi ini hanya perkara sudut pandang”

Sebuah hal yang mungkin luput dari perhatian Mbak Influencer pintar nan awet muda. Bahwa walau stand point Beliau ini sungguh masuk akal, namun bukan berarti itu adalah sebuah kebenaran absolut. Karena hidup manusia dan segala keputusannya, tidak bisa diformulasi secara matematis begitu saja.

Child free bikin lo yang udah 30’s terlihat lebih muda. Omong kosong apa itu? Anda terlihat lebih muda karena ada endorse skin care! hey ya influencer! Normal 30’s are prone to encok! You know? You know? Apalagi kalau jadi tulang punggung keluarga, atau harus kerja sambilan ini itu syalalalallala.
Mama saya juga kalau semisal dikasih endorse SKII dan perawatan kulit ala mbak Titi Dj juga pasti gak akan kalah bening sama Mbak Utada Hikaru. I mean, come on! Perdebatan itu sangat pepesan kosong banget loh. Masa’ kepalanya tuh gak bisa memikirkan parameter-parameter eksogen lainnya yang mempengaruhi tingkat kecantikan seorang wanita, or whatever lah mau nyebut apa.

Dan sebenernya, saya tuh ngerasa, Mbak Influencer ini sebenarnya bisa case-closed jika pas dipuji tinggal bilang: terima kasih, titik.
Kelar! Lah kenapa jadi bawa-bawa masalah kecantikan syalalalalalla de childfree? Mohon maaf apa urusannya?

Saya belum punya anak, single, keliatan muda sih… iya… jelas… namun renta, dan random. Kayaknya teman-teman saya yang sudah berumah tangga banyak yang life quality-nya lebih rapi dan teratur deh.

Mari…Mari… mari sobat semua! saya ajak Anda melihat kehidupan riil! Seorang Wanita single, 30-an, belum punya anak… dan hidup tidak teratur. Ayok… mari-mari-mari- kita room tour dikit.

Yak jemuran kering yang belum dilipat ya sodara-sodara…karena sampe rumah udah encok.

IMG_1165

Tumpukan piring yang “Aku bertekad akan mencucinya…” namun akhirnya males dan ketumpuk-tumpuk juga.

IMG_1166

Meja kerja yang astagfirullah berantakan tapi kok ya kerja gak beres-beres

IMG_1164

koleksi obat sakit kepala, balsem, kompresan, koyo… obat maag juga, klo lambung terpaksa kosong

IMG_1167

koleksi Indom*e, kalau males masak (walau lambung, liver, semua udah meletoy, tapi yang penting perut keganjel).

IMG_1168

Anda lihat sendiri kaaaan? Let me tell you ladies and gentlemen, madame et monsieur! Mama saya yang punya anak dua bahkan punya keteraturan hidup dan manajemen waktu yang lebih efektif dan efisien dari pada saya yang ngurus diri sendiri aja repot! Hal kayak gini, dikedipin sama Mama saya juga selesai satu hari, itu pun masih sempet ngurus adik saya. Jangan-jangan, menjadi orang tua itu memperkaya skill seseorang untuk melakukan manajemen waktu (dan lainnya). And that’s cool ! Kenapa? Kenapa itu menjadi masalah? Apa itu kurang keren? Kurang ajib? Apa sih poin yang perlu dicari-cari boroknya? Apa?

Seseorang mau nikah kek, gak nikah kek, masih muda, udah tua, itu tuh gak ada sangkut pautnya dengan kebahagiaan, kesehatan, kecantikan, keteraturan hidup, keindahan duniawi, apapun lah itu. Kita pasti punya masalah, dan masalah ini pasti ada APAPUN pilihan kita. Masalah itu seperti energi, dan energi itu kekal ! Dia tidak menghilang, dia hanya bertransformasi. Kita tidak bisa menskip masalah duhai manusia. Enak aje lo mau lolos gitu aja.

Dalam hukum pertama termodinamika, ada yang namanya prinsip kekekalan energi. Energi itu kekal, tidak berkurang, tidak bertambah, namun bertransformasi dalam berbagai bentuk.

Energy can neither be created nor destroyed, only altered in form.”

Masalah, itu tuh sebentuk energi… count it as energi potensial. Dia selalu ada, udah ditentukan porsinya sama Tuhan sesuai kemampuan kita, cuman transformasi si masalah ini nih, begitu pula outputnya, yang beda-beda bergantung pada moda yang kita pilih. Mungkin kalau digambarkan itu kayak….ketika air dengan massa yang sama ditempatin di dua bejana. Yang satu dipanaskan lalu menguap, yang satu lagi didinginkan lalu beku, output yang keliatan mata telanjang kan beda toh? ketika menguap oh airnya jadi seperti “hilang”, seperti tidak terjadi apa-apa. Air yang dibekukan, keliatan nih masih ada es-nya. Namun, total jumlah air yang mengalami proses fisis itu SAMAAAAAAA! Cuman proses transformasi wujudnya aja yang beda.
ASTAGA PLIS INI TEORI DASAR FISIKA DI SMP, PADA KEMANA MANUSIA DI MUKA BUMI INI YA TUHAN!

Jadi seorang child-free, atau tidak. Kita semua PASTI masih menggendong masalah kita masing-masing. Being child-free bukanlah sebuah metode untuk menghilangkan beban hidup. Hanya alternatif cara untuk handle permasalahan hidup dengan pendekatan yang berbeda, lebih hype, lebih unik dari kebanyakan orang pada umumnya. Dan ya udah gitu aja, tidak ada yang spesial, dan sesungguhnya tidak ada yang perlu diperdebatkan sekaligus dibanggakan. Gak usah melenceng ke patriarki lah, kecantikan lah, aduuuuh jauh itu… jauuuuh…. udah kemana-mana. WUSH WUSH kusut!

Punya anak, ya mungkin pusing itung-itung kebutuhan finansial, kaget juga rupanya anak kecil suka “ajaib”, harus belajar manage waktu dari awal lagi. Ih greget!
Tidak punya anak? Ya mungkin jadi debat sama suami klo suaminya mau punya anak, diomongin tetangga, mertua, netijen, terus jadi gampang emosian juga. Ih greget juga!
Ini cuman perkara preferensi bagaimana metode menikmati sakit kepala dan kerempongan hidup aja. That’s it!

Kesimpulannya, semua orang pasti ada kombinasi masalahnya masing-masing lah. Jadi ya sudah, mari mencicipi piring masalah yang sudah tersedia di piring masing-masing. Jadi mari para bapak dan ibu sekalian, SABAAAAAR!

Asam urat saya lumayan naik juga ketika seorang kawan saya membagikan video ngobrol sang influencer dengan suaminya. Gokil, Mas Suaminya sabar banget sih. Jujur saja, kalau mau julid, sepertinya saya juga gak akan ribet dan busuk-busuk amat sih kalau nikah (dengan pembandingnya mbak influencer ini ya), terus dapat pria penyabar yang akan saya jaga baik-baik dan klo perlu saya bungkus bubble wrap biar gak kegores, dan (it is a top secret) I love kids! I want to have kids! Bahkan lebih antusias ingin punya anak daripada punya suami. I don’t like most hooman, saya pusing dengan keramaian, tapi saya sweet looh kalau ke anak kecil. Kalau gak jadi peneliti, saya sudah hampir pasti jadi guru menggambar di SD atau TK. Atau illustrator buku cerita anak-anak. What’s wrong with kids? Apaaaa? Kalau kata adik saya, mereka itu culun culun lucu gemes gitu.

Namun memang…. saya memang tidak PD untuk menjadi orang tua. Jujur saja, saya sih gak cukup percaya diri jika kelak saya bisa sesukses Mama misalnya, punya anak yang bakalan sayang banget ke saya. Saya tidak cukup percaya diri jika saya bisa punya anak cowok yang bisa bilang ‘you are so beautiful’ padahal badan saya sudah hancur kena stroke hatrick 3x. That’s sweet! Sweetness overload!
Saya juga belum tentu bisa sejago Uwak saya yang sukses di karir tapi juga bisa membesarkan tiga orang anak gadisnya yang cantik-cantik dan keren. Kayaknya manajemen waktu dan emosi saya busuk sih.

Apakah kalian juga cukup percaya diri bahwa kalian dapat menjadi better version parent untuk anak-anak kalian? kalau kalian bakal lebih baik daripada orang tua kalian saat ini? Saya berani taruhan, membayangkan saja jiwa sudah gentar.
Saya yakin, jika tidak hati-hati, orang tua masa kini akan melihat anaknya main lato-lato atau tiktok ketika sedang diajari shalat. Mampos… pecah gak tu kepala kalean, huh?
Emosi Anda pasti akan goncang, otak Anda akan nge-bug… mau lempar sandal, eh… inget swallow juga lumayan mahal, inget anak sendiri.

Saya bahkan punya pengalaman traumatis tersendiri ketika ayah saya harus meninggal dunia saat saya masih di bangku sekolah menengah. Lalu, saya merasa… saya bisa melakukan banyak hal sendiri kok.
Dengan segala scenario “what if” serta ego saya yang masih tinggi, jika ingin pakai kepala saja, tidak ada alasan kuat bagi saya untuk having kids or even having family in the future.

Namun, melihat kehangatan sebuah keluarga, bagaimana seorang anak bisa mengasihi orang tua. Bagaimana orang tua dapat mewariskan nilai-nilai dan cerita unik pada anak mereka, bagi saya adalah sebuah kehangatan tersendiri di muka bumi ini.  Itu membuat saya luluh.
Jika Tuhan mengizinkan, waaah saya senang sekali untuk mencoba tantangan baru, menjadi istri bahkan menjadi ibu. Walau jika itu terjadi, wah bakalan bumi gonjang-ganjing langit kelap kelip sih.

Dan besar sekali doa-doa saya bahwa teman-teman saya yang baik dan menyenangkan bisa membangun keluarga yang baik dan kuat, lalu membentuk generasi-generasi yang lebih multicultural, lebih diverse, lebih toleran, punya IQ, EQ, dan SQ yang lebih terasah. Itu semua tidak akan terjadi jika manusia yang berkembang biak hanya orang-orang yang membawa bayinya naik jetski tanpa pelindung apapun.

Keputusan child-free adalah hak prerogative setiap insan. Siapalah seekor emon dan kita semua yang manusia biasa serta rakyat jelata ini ? Kita sungguh tidak berhak untuk ikut campur pada hal-hal yang sudah di “imani” oleh orang lain. Namun menjustifikasi bahwa “Hei look, keputusan gw cool banget, lo semua tolol aja gak ikut gw yang hype abis ini,” sungguh di luar batas logika dan akhlak.

Mungkin kalian juga akan tidak sependapat dengan saya. Mari kita menjawab dengan jujur, apakah menikah dan memiliki anak itu adalah sebuah pencapaian? Apakah semua itu memberikan kebahagiaan instant?
Secara matematis dan logis, saya berani bilang TIDAK. Ya…Kalau mau bebas, hemat, dan bahagia, being single is a formidable decision. Secara matematika akuntasi loh ya.
Namun, sebagai individu, mental dan kebijaksanaan kita juga harus terus berkembang, bertransformasi, diupdate. Proses transformasi itu yang bagi banyak individu perlu diraih melalui proses menikah… dan jika diberi kesempatan, ketika menjadi orang tua. Saya yakin pengalaman menjadi orang tua itu adalah pengalaman eksklusif dan gak bisa dibandingkan dengan apapun. Apa coba? Pengalaman hidup apa di muka bumi ini yang bisa menggantikan pengalaman menikah dan menjadi orang tua? Sebuah pengalaman spesifik untuk menerima orang “baru” dalam hidup kita untuk kemudian saling berkompromi serta mengeluarkan aneka jurus-jurus komunikasi yang baru nan kompleks ? Gak ada bre! Gak ada! Maka tidak ada yang berhak mengolok-olok keputusan seseorang yang dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaannya, mencoba menjadi manusia yang lebih dewasa dengan cara membangun keluarga dan memiliki keturunan.

Intermezzo lagi.
Suatu ketika saya bercerita pada Mama, “Ma, kalo kakak nikah, kayaknya saya emosian sih. Semua panci penyok… terus klo kesel, suami saya nanti saya kasih ngemil Mee-O aja, share sama Buntet. Oh iya, anak-anak saya, akan saya didik agar mereka punya hobi mencuci piring dan ngepel, biar gak bikin hidup saya encok.”

Dan Mama saya hanya tertawa “Ya gak lah kaaaaak, sekeras-kerasnya kamu, nanti kalau sudah punya keluarga sendiri, pasti kamu gak tega sih kejem-kejem gitu. Kamu dari anak tunggal terus jadi kakak aja berubah, apalagi kalau dari single jadi double, triple, quartet. Jangan ngaco lah, kayak tega aja. Liat kucing picek aja nangis. Haaaaaah… gak percaya, maaph

Tidak Ma! Berkeluarga itu ribet! Belum lagi kalo ada yang sakit lah, meninggal lah, update toxic family di medsos lah. Gak deh, Ma! konfliknya terlalu banyak

Iya ! Emang ! Ribet, bikin stress juga. Ini loh Mama sampai stroke hahahhahaa. Step awal tuh menerima segala keburukan pasangan kita. Pas belum nikah sih, kalo berantem ya bisa break dulu. Nah klo nikah nih, kalo berantem kita head to head tiap hari! Nanti apalagi pas ada anak, waaaah… semakin emosi, sodara-sodara !!! Api berkobaaaar ! Tapi nanti kita mulai bisa belajar segala kompleksitas emosional manusia, dari partner kita… anak kita…kita juga belajar untuk mengatur waktu dan emosi agar lebih efisien. Itu tahap kita bisa beneran nurunin ego. Kayaknya kalau Mama dulu gak nikah sama ayah, mama juga masih emosian banget sih. Udah bakat darting dari dulu.  Ini bukan masalah menjadi lebih bahagia atau gak, ini masalah langkah yang kita pilih buat jadi lebih bijak aja sih. Menurut Mama loh ya. Kayaknya itu deh mengapa menikah jadi bagian ibadah. Mungkin bahagianya karena berkah dari kebijaksanaan yang didapet.

Seperti apa yang Mama bilang, lagi-lagi ini sebenarnya…..

perkara langkah yang kita pilih untuk bertransformasi menjadi lebih bijaksana.

Beberapa harus melalui metode konvensional : menikah dan punya anak.
beberapa percaya diri dengan metode yang lebih baru, hype : child free… dsb

Toh perdebatan akan selalu ada. Kayak “Aduh anak yatim banyak, aku mau adopsi aja.” Ya silakan-silakan aja, subhanallah loh itu. Tidak ada yang salah, selama semua bisa saling menghargai point-of-view masing-masing. Kan sudah dewasa toh?

Maka, mengapa kita biarkan saja semua dengan pilihannya masing-masing. Siapa tahu, itu semua memang pilihan terbaik yang bisa mereka pilih, cerna, dan terapkan saat ini. Dan ingat juga bahwa level prioritas hidup setiap orang berbeda-beda, beberapa orang memang belum selesai dengan target-target lainnya.


Saya contohnya… setidaknya saat ini ya… saya masih butuh validasi terhadap pekerjaan saya, I haven’t write any article in Nature as first author. Tembus nature, okelah… mari mencari jodoh, setidaknya udah ada pajangan di ruang tamu. Jiwa riya ini sungguh meraung-raung~~~(iya memang, saya riya’ mau apa kalian?)
Saya juga tidak cukup percaya jika sang influencer kemudian memiliki anak, mungkin dia juga belum siap serta belum memiliki kompetensi yang mumpuni untuk membesarkan anak yang baik secara akhlak, mental, dan fisik. Saya saja sudah ragu kalau Beliau ini bisa take care ikan mas koki, sulit loh bertanggung jawab sama ikan mas koki. Atau dimulai dari memelihara suplir! Nah cakep tuh, merawat suplir dengan penuh tanggung jawab sehingga si suplir tidak mengering. Rasakan sensasinya !


Mengapa kita jadi harus buang energi untuk begitu emosi? Jangan-jangan, memang itu pilihan terbaik untuk diri Beliau, dan tentu saja… belum tentu itu akan menjadi pilihan yang baik untuk saya, kamu, kita.

Kita sering kali terlalu sibuk membanding-bandingkan pilihan diri dengan pilihan-pilihan orang lain. Padahal, pilihan mereka belum tentu benar, atau setidaknya belum tentu cocok diterapkan pada timeline kehidupan kita.

Jadi ya sudah lah yaaaa… mari kita saling bertegur sapa  dengan ramah dari jalan yang masing-masing sudah kita pilih. Ini aja mikirin jalan sendiri masih bisa nyasar, apalagi mikirin jalan orang. Ya toh?

PS: Untuk mbak influencer, yang pasti gak baca blog saya, lambemu itu loh mbaaaak! Mau child free, childish, sweet child o’ mine, itu wis sekarepmu, Mbak…. Tapi ya udah, tidak perlu caper. Dewasalah untuk menerima bahwa apa yang keren menurut Anda sendiri, belum tentu applicable bagi orang lain.  Masa’ pola pikir seperti itu gak sampe Jerman sih ? Saya yang dulu dari Leuwiliang aja nyampe loh ke pemahaman tersebut. Oh ya, dan mungkin ada empati dikit sih, pasti ada teman atau kerabat atau followers yang sedang berjuang untuk punya momongan, terus perkataan Anda yang memiliki anak itu sebuah keputusan yang salah dan merepotkan, itu beneran gak membantu siapapun secara psikologis sih. Mending mbaknya gak usah jadi influencer 😀 toh rupanya tidak open minded-open minded amat. Udah mbak sini… jadi tante-tante blogger biasa aja. kayak saya…

Ini sekalian foto suplir saya yang mengering :’D sad man! sad!

IMG_1161

Tentang Mama…


Ngomongin tentang Mama…. namanya anak, saya dan adik saya itu tetep aja doyan bikin Beliau kesal. Namanya anak juga, kami sering sekali ngomel karena Beliau itu susah sekali diminta untuk diet. Tapi dibalik itu semua, we love her so much… and we admit she is a great mom ever. Ditengah pro-kontra ibu karir vs ibu rumah tangga, izinkan saya untuk menceritakan bahwa hal terhebat dari seorang Ibu mungkin lebih besar daripada yang bisa kita lihat. Bahwa perjuangan seorang Ibu, lebih luar biasa dari yang kita sadari. So, there always a reason why we should give our best love for her.

Banyak yang tidak tau kan kalau saya ini punya banyak masalah hahahha. Kalian mungkin mengenal saya sebagai emon yang doyan ketawa, jarang keliatan serius, biasa-biasa aja, galak malah.So many things. Tapi jauh dari itu semua, saya waaaah…. saya punya banyak kekurangan.

Sahabat-sahabat saya dan adik saya tahu bahwa ide terburuk di muka bumi ini salah satunya adalah: Tanya arah dan waktu kepada saya. Kawan…. saya ini sulit sekali membedakan kanan dan kiri. Saya juga kadang tertukar antara angka 6 atau 9, angka 4 dan huruf A, dan sebagainya. Dulu saya pikir itu hal yang lucu-lucu aja, tapi setelah saya sampai di Jepang dan sempat bertemu dokter, saya disah-kan menderita dyslexia walau gak parah-parah banget, jadi masih parsial. Itu juga alasan kenapa saya selalu pakai jam tangan. Jam tangan bagi saya bukan cuman penanda waktu, tapi juga penanda arah :’D sedih lah pokoknya.

Tapi, jauh sebelum itu… Mama dan Ayah saya mungkin sudah menyadari hal ini. Saya terlambat membaca sewaktu saya di TK, saya selalu kabur dari kelas membaca! Ayah saya juga geram karena saya selalu tertukar antara huruf “ja” dan “kha” ketika membaca Quran. Ketika mengerjakan matematika pun saya sering tertukar antara angka-angka yang mirip. Parahnya lagi, kalau pergi kemana-mana, Mama dan ayah saya tidak bisa bilang “belok kiri terus ke kanan ya”, dijamin saya nyasar! tapi lebih jadi “Tau rumah Pak X kan? Nah dari situ jalan lurus, liat rumah cat warna hijau… nah itu tempatnya!”. In short, for a kid, I was stupid! Tidak heran nilai saya saat TK itu “K” loh! Level yang lebih nista daripada “F”! Adik saya paling happy ketika melihat nilai saya di bangku TK dan selalu bilang “What you have done! It is terrible, kak.” Prestasi saya sewaktu kecil jauhlah dari standar cerdas, makanya gak pernah ikut lomba bayi berbakat atau sebagainya :’D

Jaman baheula sih kayaknya dyslexia gak ngetop ya, apalagi di Indonesia. Tapi Mama dan Ayah saya sepakat there was something wrong with me, dan harus ada “pendidikan spesial” untuk saya walau mungkin gak terlalu ngeh bahwa itu adalah gejala dyslexia. Saya pun baru tahu secara resmi di sini kok.   Oiya, kalau kalian belum pernah denger tentang dyslexia, bisa diliat di sini ya (https://www.dyslexia.com/about-dyslexia/signs-of-dyslexia/test-for-dyslexia-37-signs/). Siapa tahu kalian nemu orang-orang di sekitar kalian yang punya ciri seperti itu. Jangan di bully loh ya, mereka cuman butuh extra kesabaran.

Dahulu saya sempat bertanya-tanya mengapa Mama harus berhenti dari tempat kerjanya dan memutuskan jadi IRT. Dulu jawabannya sih diplomatis “Iya, abis kamu harus ditemenin sih hahahhaha”. Lalu saya sadar… saya mungkin tidak akan bisa membaca dengan baik jika Mama saat itu tidak berhenti bekerja. Menyadari saya yang tidak happy belajar di sekolah, Mama yang kemudian mengajari saya perlahan di rumah. Dan mungkin karena lebih paham keterbatasan dan masalah saya, Beliau lebih oke punya dalam mengajari saya dibandingkan sekolah. Mengejar ketertinggalan saya di TK (yang pada akhirnya totally useless krn saya cuman jadi ahli mabal dan gigit orang), saya akhirnya berhasil lancar membaca saat SD dan mengatasi beberapa hal yang selama ini jadi masalah saya. I did good during elementary school, walau selalu ditinggal kalau lomba upacara karena masih salah tentang kanan dan kiri, tapi lainnya? I did very well.

Saat SMP, ayah saya meninggal dunia. Saya tahu masa itu merupakan masa terberat untuk Mama. Apalagi Mama kan tidak punya pekerjaan tetap saat itu. Saya tau sih, pasti diam-diam ada juga yang nyinyir “Tuh gitu tuh kalau istri 100% jadi Ibu rumah tangga.” Banyak lah, macem-macem. Apalagi saat itu Mama harus menanggung dua orang anak.

Life is tough, tapi Mama nyaris gak pernah complain di depan kami. Sok kuat sih kayaknya, padahal mungkin behind the scene cengeng.

Berkali-kali juga saya pernah dibilang bodoh, untalented, gak bisa masuk universitas negeri kalau bukan pakai jalur khusus, sampai pernah teman saya di depan mata saya sendiri bertanya “Eh, gimana sih rasanya punya temen yang lebih pinter daripada lo?”. Walau emang gak pinter-pinter banget, tapi… ya sedih juga sih kalau digituin.

Lain saya, lain pula adik saya. Adik saya ini doyan adu otot. Terkenal sebagai preman komplek karena kalau dia sebel sama orang, dia sih gak perlu adu mulut… adu otot aja sekalian.

Sudahlah bokek, punya dua anak yang macemnya model kayak gini kan =.= kok sedih ya kisah Mama saya itu hahahaha.

Tapi setiap saya pulang dengan muka cemberut dan hati berduka *halah*, Mama selalu bilang “Oh come on! Mama tuh yang tau kalia dari sejak kalian ada di dunia sampai hari ini. Kenapa harus denger orang-orang yang cuman mengenal kalian hitungan hari? Come on! Kalian bisa kok meraih yang kalian mau”

Saya pun move on, menjalani hari, dan mulai bisa menerima “Jadi bodoh gak apa kok, yang penting mau belajar… dan hey! Mom trust me! Everything will be alright”

Adik saya kemudian menjadi atlet Taekwondo atas ide Mama “Udah lah ya daripada mukulin orang, mending mukulin apa kek gitu… batako kek, biar puas”
Oiya! Kalau saya punya dyslexia! Adik saya beda lagi. Dia punya kecenderungan malas sekali basa-basi.
Adik saya lebih aneh lagi, misal ada pertanyaan “Dapatkah kamu menceritakan ulang paragraf di atas, jika ya tuliskan kembali?” dia akan jawab “Tidak”
Saya pikir masalah itu cuman ketidaksengajaan, rupanya cara berpikir dia memang kelewat taktis.
Rupanya masih terjadi juga sampai kuliah. Kalau gak salah pernah juga dia sampai pada menjawab “Tuliskan kalimat syahadat” dan dia bener-bener nulis SYA-HA-DAT dalam bahasa arab. Bukan dua kalimat syahadat yang dimaksud soal.
Adik saya memang parah kalau harus melihat soal-soal yang terlalu panjang, dan itu yang membuat dia jauh lebih baik membaca buku teks dalam bahasa Inggris dibandingkan Bahasa Indonesia. Saya sih sebenarnya curiga jangan-jangan di punya gejala kelainan lain :p dan mungkin baru ketahuan yaaa seperti saya ini ketika ketemu dokternya di luar negeri. Semoga sih gak =.= jadi orang yang rada “aneh” itu capek juga sih jelasinnya.

Aneh-aneh kan?
Tapi lagi-lagi, walau kadang geram juga dan selalu bilang “Kalian tau gak, mama tuh punya dua anak, dan dua-duanya unik gitu. Beda pula karakternya”,tapi at last Mama selalu percaya pada kami, dan itu saja cukup.

—————————————-

Rupanya perjalanan saya dan adik saya gak jelek-jelek banget untuk perkara akademik. Adik saya, yang sudah di ujung tanduk dan mulai bersiap saya kirim ke pesantren di curahlele karena gagal dalam PMDK, terlalu kere untuk jalur khusus, gagal ujian akhir salah satu sekolah dinas, dan tinggal bersandar pada SBMPTN. Itupun sudah gak PD, dan saya cuman asal bilang “udah deh kalo buntu, lingkarin C aja lah ahahhahahaha” Dan saya ingat adik saya sempat kesal dengan jawaban saya. Tapi alhamdulillah kini dia happy karena berhasil kuliah di salah PTN. Kalau niat sih dia sebenernya oke :”D mungkin khawatir juga diasingkan ke curahlele.

Saya juga, yaaaa… gak jelek-jelek bgt lah 🙂 Dari seorang yang susah banget baca jadi seorang penggemar buku dan sampai pada point sekolah sejauh ini kan alhamdulillah banget.

Tapi, semakin hari saya semakin sadar…. Kalau saja, KALAU… Mama saya menyerah pada saya ketika menyadari bahwa saya punya banyak masalah saat masih kecil. Sudah sering sakit, lambat pula belajarnya, waaah kan nyebelin! Jika saja pada saat itu Mama mikirnya “Ya nasib, anak perempuan ini kok ya biasa-biasa aja”. I’ll never be in this point. NEVER.

Kalau saja saya tidak punya Mama yang bisa berpikir “Gini loh kak, Mama sama Ayah dulu sudah pernah sekolah sampai sini loh…. masa’ kamu gak bisa lebih? Kamu harus lebih dari Mama. Caranya bagaimana ya harus cari sendiri tapi kamu harus lebih dari Mama”
Mungkin saya juga tidak akan sampai sejauh ini….

Saya yang bandel ini sadar, saya bukan siapa-siapa kalau saja Mama tidak ada.

—————————————-

Saya sering sekali marah-marah ke mama saya karena sekarang Beliau terkena diabetes dan juga pernah terkena stroke. Mama itu susah banget disuruh diet, susah banget diajak jalan-jalan keluar, susah banget diajak foto karena gak PD. Parahnya lagi sejak sakit, Beliau jadi super moody. Kadang kalau kita omelin dikit, nangisnya kayak bocah kena bully satu kampung =.=

Dipikir-pikir adik saya mungkin lebih penyabar dibanding saya (padahal! Inget loh waktu kecil adik saya kan ahli baku hantam! Kini ia hanya menjadi mahasiswa bermuka garang tapi nangis pas nonton Lion King  dan terisak di pemakaman kucingnya ).

Tapi dalam hati, we really love her. Really grateful about her.
Saya ingat adik saya pernah bilang “Ya kadang pengen ngomel juga sih ke Mama, but I really love her. Kiki mau Mama terus ada sampai lihat kita berdua sukses”

Dua anak bandel mama yang nyebelin ini rupanya punya satu kesepakatan “Kali ini, kami yang tidak akan pernah menyerah untuk Mama, apapun alasannya”

=====================================
Image and video hosting by TinyPic
Selamat ulang tahun, Ma… terima kasih untuk terus bertahan menghadapi kami. Jangan bandel-bandel lagi ya, jaga kesehatan, you have no reason to get sick anymore soalnya kayaknya anak mama lumayan baik-baik deh :’p

We love you.

 

Death ends a life, Not a relationship: ketika keluarga kami kembali kehilangan


“As long as we can love each other and remember the feeling of love we had, we can die without ever really going away. All the love you created is still there. All the memories are still there. You live on in the hearts of everyone you have touched and nurtured while you were here. Death ends a life…. Not a relationship —-(Tuesdays with MorrieMitch Albom)

Jumat, 25 Maret 2016 sebuah berita duka kembali menerpa keluarga saya. Uwak saya meninggal dunia. Semuanya serba mendadak… saya hampir menyangka saya berhalusinasi karena sejak semalaman saya tidak bisa tidur dan sibuk mengolah data penelitian saya.Sambil membuka handphone saya berkali-kali pagi itu, saya nyaris mengetik “Ma, ini Mas Adi yang mana? tetangga kita yang lain?. Ih mama salah ketik deh”
Beberapa jam sebelum saya menyerahkan revisi data saya kepada sensei saya, saya harus menerima kenyataan bahwa benar Uwak saya tersebut sudah kembali ke sisi Sangpencipta.

Siapa yang tidak terkejut? yang saya ketahui Beliau orang yang menjaga kesehatannya dengan baik, orang yang selalu bersemangat menghadapi hari. Saya masih ingat bagaimana Beliau mengendarai mobil, memencet klakson ketika kami keluarganya yang memang mayoritas wanita ini “lelet” dan tidak kunjung beres dengan urusan kami sendiri, saya juga masih ingat karena setiap Beliau berkunjung ke rumah… Beliau pasti menjadi garda terdepan yang heboh menanyai kondisi saya dan adik saya… yang paling semangat melakukan video call ketika saya melanjutkan studi saya di Jepang (and also I still remember betapa paniknya saya ketika Beliau menelpon dan saya si mahasiswa malas ini belum mandi dan totally in a mess ketika Beliau menelpon :’P).

Saya ingat… dan tidak akan pernah lupa bahwa bagi saya dan adik saya, Beliau mungkin adalah “Ayah kedua” bagi kami setelah ayah kami meninggal dunia.

Maka sungguh ini merupakan sebuah kehilangan yang besar bagi keluarga kami…. bagi saya… bagi adik saya…. mama saya, dan tentu kehilangan maha besar bagi keluarga inti uwak saya.

Sebagai orang yang diam-diam begitu saya segani dan hormati (dan lagi-lagi saya anggap sebagai ayah kedua bagi saya dan adik saya), sometimes of course we have different opinion, but more than that saya beruntung karena dalam hidup saya saya pernah bertemu Beliau, he was one of the best man in this blue planet. Dari Beliau saya belajar untuk membantu orang lain tanpa pamrih.

Tentu saya sedih, lagi-lagi dalam hidup saya saya kehilangan seorang pria yang akan saya kabari pertama kali ketika nanti saya wisuda…
Lagi-lagi dalam hidup saya, saya kehilangan seorang pria yang saya harap akan hadir menggantikan ayah saya dalam akad nikah saya kelak.
Saya kehilangan seorang pria yang jika Beliau masih ada mungkin beberapa bulan/ tahun kedepan, Beliau akan super repot melakukan “investigasi”, “wawancara”, serta “fit and proper test” untuk calon-calon menantunya (dan mungkin melakukan hal yang sama kepada calon suami saya kelak). Oh hey you guys, if you fall in love to  my cousins… they had a great dad, you must be a high-quality man to get them 🙂 seriously.
Kami… saya dan sepupu saya kehilangan pria yang seharusnya kelak menjadi saksi pernikahan kami.
Adik saya… mungkin dia lebih “kehilangan”dibandingkan saya… he never meet his father since very young, dan Uwak Adi menjadi sosok “ayah” yang dia kenal. Mereka kadang hilang entah kemana berdua… having their great “bro time.” Mungkin dia juga merasa sepi karena kini tinggal dia pria yang tersisa dari garis keturunan Mama saya. Hey, Bro… ahahahhaa you have queens and princess to take care off 🙂 be a nice man then.

Ah sudahlah….Saya tidak akan banyak menulis hal yang menguras air mata… saya percaya siapapun tidak ingin menguras air mata orang-orang yang dicintainya ketika mereka pergi. Life must goes on, so do a nice smile….
Beliau mungkin sudah bertemu dengan ayah saya dan kakek saya disana… bersama mereka bercengkrama dan mungkin sambil menikmati masakan nenek saya yang saking enaknya mungkin Beliau juga sudah buka catering di alam sana. Ah siapa tahu kan? yang pasti orang yang baik tentu akan berada di tempat yang baik juga bukan.

Di sebuah pojok planet ini, saya berjanji kepada semua orang yang telah berjasa kepada saya, baik yang masih ada di dunia ini maupun yang sudah meninggalkan saya…
I”ll do my best… for everything.

dan satu lagi yang mungkin harus kita ingat selalu “Death ends a life…. Not a relationship
Oh yes, never 🙂

sekadar curhat tengah malam…


Jadi ceritanya tahun sudah mau berganti… lembar agenda, kalender, dan usia juga.
Malam ini entah  kenapa rasanya belum bisa tidur dan tiba-tiba berpikir “Tahun depan mau ngapain ya?”
Jadi, Mon tahun depan mau ngapain?
Nyelesein riset, lanjut S3, mungkin lanjut jadi peneliti selama-lamanya. Seorang cowok nyebelin bersikeras bilang suatu hari seorang marissa harus dapat nobel. 2015 Malala, siapa tahu kan 2025 Malahayati. Ah that crazy man, I will kill him for making me miss him so much. Seseorang yang telah membawa Marissa menjadi lebih baik di tahun 2015… hey, thank you 🙂 *oh come on he even will never read this one*

tapi jauh dari itu semua masih banyak yang belum kesampaian….
Tahun depan saya mau mmmm… melihat adik kecil kesayangan saya masuk kuliah. I am waiting this moment for years. Saya selalu bersama Kiki sejak dia bayi sampai sebentar lagi kuliah. Kami punya hobi yang sama, film kesukaan yang sama, tapi tetep paling sering berantem. Rasanya saya ingin membuat robot Baymax, yang super ndut dan super baik buat jagain si bocah ini kemana-mana. He will be okay, but just to make sure everything will be 100% okay, it is better a baymax take care of him.

This is how I want to hug my brother….

Seperti di kartun-kartun, kami sayang satu sama lain, kadang kalau jalan gandengan sampai dikira pacaran padahal umur beda 8 tahun. Saya sih gak macem-macem, saya cuman mau bilang “Ki, you know what… for many reasons I am so proud of you”
banget…
Makasih ya untuk berusaha jadi cowok yang keren walau kamu bahkan gak punya foto bareng ayah karena ayah ninggalin kamu sejak kecil. Makasih juga sudah berjuang untuk jadi cowok baik, yang gak rewel walau mama gak selincah dulu lagi karena stroke. Kalian tahu seberapa hebat adik saya? He decided to study near our house…. padahal dengan kemampuan otaknya yang diatas rata-rata, tes IQnya yang selalu di bawah tipis dari Jenius (walau malesnya juga di atas rata-rata; Nak please sesekali optimumkan karunia Allah itu :’D aduuuuh gak sanggup deh bayangin kemalesan doi) saya yakin dia bisa kemana aja. Kemanaaaa aja yang dia mau. “Gak ah, Kiki mau deket Mama aja”
Suatu hari juga sempet loh dia bilang dia mau masuk jurusan gizi atau teknologi pangan,
“Loh kenapa?’
“Kenapa? Yaaah biar kiki bisa ngatur pola makan Mama jadi Mama gak sakit lagi” Untuk yang belum tahu, Mama saya terserang diabetes dan stroke, dan itu karena pola makan (plus keturunan). Singkat kata keluarga kami memang banyak yang lebih dulu berpulang karena masalah pola makan.
“Mama aja?”
“Ya udah Mama kita, Mama yang lain juga lah… biar gak ada Mama yang sakit lagi di Indonesia. Then everybody will be happy, world will be ended in very happy ending”
But trust me he is bad on that field, he hates chemistry very much and biology, he will never make it :p
Akhirnya dia memutuskan mau masuk Statistik atau Matematika, alasannya karena dia suka math daripada pelajaran lainnya.
“Udah kakak sekolah di Jepang aja yang bener, Mama buat Kiki dulu ya. Tunggu aja nanti suatu hari Kiki nyusul kakak”

Mungkin biasa aja, tapi perlahan saya merasa… “Is he do these for me? Supaya kakaknya happy?” and if this is true, then after my mom… I will got diabetes, because that’s too sweet for me.  Really….

In the same time I am also feel happy…. suatu hari dengan kepala tegak saya bisa bilang ke ayah saya “He just better than we expected… more than anybody else expected” Adik saya yang super cuek itu, diam-diam jadi salah satu pria paling romantis yang pernah saya kenal.

Kiki..kiki… kiki…. awas aja kalau kamu mengecewakan kakak kamu ini loh… awas aja. Udah sampe ditulis di blog loh.

Mama dan Kiki itu dua orang yang mungkin paling mengkhawatirkan saya. I am okay, since I know they are okay there, Bahkan khawatir juga karena belum terlihat khilal saya bakal menemukan jodoh saya yang sebenarnya saya juga males memikirkan itu,

But let me make this clear…. saya mau menikah, mau…. dan siapa yang gak?
Salah satu impian terbesar saya adalah jadi Mama yang bukain pintu untuk setiap anggota rumah. Sama seperti adik saya, saya juga ingin masak…. masak yang super sehat, supaya tidak ada lagi yang sakit. Supaya bisa mempertinggi rekor life expectacy rate di dinasti keluarga saya (ahahahhha dinasti….). Gak perlu jadi seluarga yang super wah, mewah, bergelimang harta, tapi cukup keluarga yang setiap hari saling ketawa. Boleh saling marah tapi selesaikan dalam waktu max 1×24 jam. Saya ingin menghabiskan hidup saya dengan seorang cowok yang meruntuhkan segala kesombongan saya, yang bisa saya hargai dan hormati, yang bisa saya banjiri handphonenya dengan semua foto-foto jepretan saya. Saya dan adik saya juga butuh bocah yang bisa dibentuk sedemikian rupa agar suka nonton kartun, suka baca, suka liat bintang, nerd, suka kucing, dan gampang ketawa.

But you can’t hurry love isn’t it? at least I can’t.

“But Marissa, you can’t do so many calculation on it!”
I know… but…. how can you are not “calculate”it, I mean… it is about a man who will always I see beside me every time I open my eyes, and hopefully he will be available for me until I closed my eyes. which means, it will be a forever contract. Dan itu hal yang sulit… kalau saya ini angkot (aduuuh imajinasi guweh….) mungkin si jodoh udah ada, cuman yaaaa kelewat aja jadi harus retreat mundur lagi, atau memang masih jauh. Bagaimanapun hingga seorang Marissa sampai mendarat di Tokyo pasti bukan main-main, ada alasan yang pasti dan insha Allah terbaik dari semua ini. So, Mom… Kiki… semuanya, I just want to say… I am okay and I am happy.

Overall….
Semakin lama saya hidup di muka bumi ini, saya semakin bisa bilang betapa bangga dan bersyukurnya saya dengan kesempatan hidup sekarang ini.
Punya adik yang nyebelin tapi sebenarnya romantis
Mama yang keterlaluan baiknya sampai maling pun dikasih teh manis
kucing-kucing yang se-Taman Pagelaran tahu kalau mereka kucing yang paling baik dan paling nurut sekomplek
Almarhum Ayah yang bijaksana tapi sayang terlalu cepat pergi.
Almarhumah Nenek yang jago masak dan super talented
Alhamhum Kakek yang kayak ensiklopedia berjalan
semuanya….
Semuanya…
Mohon doanya ya semoga saya bisa membuat kalian senyum terus…. selamanya….
I don’t have any idea how, but I will…

and promise is promise.

CHANGE! Are you ready for it?


キミは今何してる? Kimi wa ima nani shiteru?
月がボクたちを見ている Tsuki ga bokutachi wo mite iru
[What are you doing now?
The moon is watching us
]

“Do you know what? Wherever we are… no matter how far we separated… we see the same moon”
Kira-kira begitulah yang pernah disampaikan seseorang pada saya. Kira-kira begitulah yang selalu saya baca di buku-buku dengan genre roman. Tapi hei! Ini bukan masalah perbintangan, astronomi, atau apapun lah itu. Ini masalah: PERUBAHAN. perubahan ruang, waktu, sikap, pemikiran. Saya akan mulai dari perubahan yang paling ketara dulu: USIA. Siapa sangka perubahan usia rupanya bisa “lebih” daripada sekadar pertambahan tanggal di kalender. “Lebih” dari sekadar cerita avatar ketika negara api menyerang.

===============================
Untuk intermezzo, saya selipkan dulu cerita ini.

“Kak, kakak lebih senang di mana? Di Bogor atau di Tokyo?” Tanya wanita paling baik hati sedunia, Mama saya.
“Mmmm… kalau gak ada Mama dan kiki, saya lebih senang di Tokyo, Ma”
“Kok gitu”
“Soalnya teman saya di sini yaaaa cuman Mama, kiki, kucing-kucing di rumah. Teman saya di Jepang lebih banyak ma. Di sini semua sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Terus, saya kayaknya udah gak nyambung gitu,Ma kalau ngomong sama beberapa orang. Mama tau kan,saya ini musuh-able banget sama beberapa orang. Yaaaah kalo Mama bisa dibawa ke Tokyo, ya jelas Tokyo lah,Ma. Pokoknya semua kerasa deh, Ma… semua berubah”
“Mmm… Mama ngerti sih.”
“Makanya mama yang bener-bener sehat gitu loh, biar bisa lari, saya bawa naik pesawat, kita jalan-jalan bareng. You no need to speak japanese,Mom.trust me”
“Mama belum tau sih negara lain seperti apa, tapi di sini banyak yang masih membutuhkan Mama. Iya gak?”
“Iya sih… Ma. Terus saya bagaimana?”
“Kalau sekarang yang membutuhkan kakak lebih banyak di Tokyo, kalau kakak di sana bisa merasa lebih bahagia, lebih berkembang, yaaaa udah di Tokyo dulu aja. Doa Mama selalu untuk kakak”

Dan sungguh, tiada kata paling bijak selain kata-kata Mama.
Tapi kan dunia ini dipenuhi oleh berbagai karakter manusia. Gak semuanya gitu kan. Gak semuanya memahami kita seperti orang tua kita sendiri, seperti diri kita sendiri.

===============================

Ehmmm….

Di usia saya yang sudah semakin menua ini, saya masih punya beberapa ambisi. Yang paling utama “KELILING DUNIA SEBAGAI AKADEMISI”
Apa sih salah saya? Apa salah saya ketika saya punya ambisi kalau:
Wanita itu harus cerdassss banget, jadi it’s awesome kalau wanita bisa berjuang untuk meraih jenjang pendidikan tertinggi.
Saya ingat seseorang bilang “Wanita itu harus pintar, Marissa. Karena mereka yang akan mendidik generasi-generasi selanjutnya. Anak-anak mereka.” celakanya saya jadi naksir kan sama yang mengeluarkan gagasan ini.

Apa sih salah saya, ketika saya begitu mencintai buku dan ilmu pengetahuan. Mungkin secinta saya pada kucing-kucing saya, buku-buku saya, pada sahabat-sahabat saya.
Jika matematika, ekonometrika, atau fisika itu seorang pria, maka saya akan langsung lepas masa lajang buat mereka. Mereka itu misterius, gak mudah ditebak, butuh analisis mendalam. Ihhh ngegemesin gak sih.
Saya begitu belajar, mempelajari hal baru itu eksotis. Seperti memberi vitamin pada otak.

Apa salah saya jika saya suka sekolah, suka belajar, umur sudah seperempat abad, lalu kemudian saya jomblo, dan tentu beberapa orang baik dalam beberapa hal dan buruk dalam beberapa hal yang lain, saya? Saya sangat buruk dalam menjalin komunikasi dengan “orang baru” dan I am not easily impressed with someone. Can you guys understand what I mean? Can you get it?

No? Oh okay… let’s make it clear and clearer.

Ketika saya pulang ke Bogor sebelum conference di Bali, saya sengaja menonaktifkan telepon selular saya, alasannya satu: Saya tidak mau dikontak terlalu banyak orang! Hanya keluarga dan beberapa orang yang bisa menghubungi saya.

Kenapa?

Why? Simple…. Saya ingin benar-benar fokus dekat Mama dan adik saya, dan saya merasa I am not getting along lagi dengan beberapa orang.
“Ih sombong banget lo, Mon”

Iya kali ya…
tapi daripada kalian bilang saya sombong, kalian lebih berpikir betapa sedihnya saya.
Saya merasa, saya sudah tidak bisa berbaur dengan teman-teman seangkatan saya yang concernnya sekarang ke keluarga mereka, anak mereka, pacar mereka, mungkin juga karir. Lha saya?
bayangkan saya berada di forum dimana semua orang sudah secara homogen sudah punya visi misi mengenai karir dan pasangan hidup mereka. Saya? Saya sedang gemes-gemesnya lagi dengan Computer General Equilibrium dan pembuktian berbagai Lemma pada mikroekonomi.
“Eh… ada yang mau ikut pelatihan GAMS for environmental economics gak? Ada loh gratis di kampus gw?”
Hahahahahaha… mungkin yang terdengar suara jangkrik yang bernyanyi nyanyi. Krik…krik…krik…

Ketika yang lain upload foto bayinya, foto usg, foto kencannya, saya? Bagaimana kalau saya upload “Call for Paper”? Kan meh gitu ya. Anti mainstream sih, tapi… apa? Apa? Apa?

Dan lagi-lagi seseorang bilang pada saya “If it is disturbing you, unactivied all of your social media! It is no use!” ya gak seekstrim itu juga, social media kan connecting me to the world. Udah saya gak gaul, non aktifin semua network itu malah membuat saya makin “terkucil” walau kadang saya mikir “Ih, brilian! Bener banget loh, socmed it useless” but forget it, mungkin itu karena saya terbawa naksir sama yang ngomong (hadeuh).

Itulah mengapa saya bilang saya lebih punya banyak teman baik di Jepang, sahabat saya lebih banyak di Jepang dibandingkan di Indonesia. Trust me! Mungkin karena masih ada yang “nyambung” ya ketika diajak beradu argumen dan bertukar pikiran.
Jujur saya tuh udah gak peduli gitu
Tentang piala kawinan bergilir, aduh udah lah mau dapet mau gak… that’s not my business, dan kalau bisa nikahan saya juga gak usah repot-repot banget lah. Mama saya kan gak terlalu fit, saya mau acara yang compact, khidmat, dan gak lama.
Tentang siapa mau nikah sama siapa, mau pacaran sama siapa, mau tugas dimana, mau sekolah dimana, oh come on! Itu kan pilihan hidup masing-masing orang, biar…. biar semua orang meraih apa yang membuat mereka sepenuhnya bahagia.
Tentang si A tajir, si B tempat kerjanya enak, si C resign, si D udah beli rumah, ya udah lah ya… jodoh, rezeki, maut itu tuh udah Allah tulis dari jaman kapan tau, then so what? Rezeki kita gak akan ketuker
Saya jadi super cuek ya sepertinya.

“Mon, lalu bagaimana jika kemudian orang berpikir hal serupa ‘Emon? Ah bodo amat dia ada dimana dsb dsb dsb’?”
Then so what? Saya sudah sering merasakan hal yang serupa. Saya pikir saya hanya perlu membagi kehidupan saya dengan orang-orang yang manis-manis aja ke saya, yang gak neko-neko, yang punya pemikiran terbuka. Sahabat juga gak butuh banyak-banyak banget kalau kata saya, butuh beberapa tapi yang high quality.

Saya berubah!
Saya semakin tua, semakin dingin untuk beberapa hal, semakin mencintai ilmu pengetahuan dan merasa “This is my way! This is my life!”
Seiring dengan itu semua orang disekitar saya juga berubah.
kalian tahu, kapan perubahan itu terasa begitu “kejam”?
ketika kalian berubah ke arah yang tidak sejalan dengan orang-orang di sekitar kalian.

Flashback ke belakang, beberapa orang bilang kalau saya tidak akan menikah, tidak akan ada cowok yang suka, dan tragisnya gak akan jadi orang kaya karena bidang yang mau saya tekuni adalah bidang penelitian.
Saya sih gak apa, beneran deh.
Ya udah… jadi tua, kesepian, dan gak kaya-kaya banget juga gak semenderita itu. Mungkin behind the scene banyak melakukan kegiatan sosial, banyak belajar, banyak melakukan hal-hal baik lain yang orang gak perlu tau dan gak perlu juga dipublish kemana-mana. What? Bukan saya mau jadi kayak begitu ya, ya gak lah. Tapi please, jangan mengotak-ngotakan “kebahagian” dengan kebahagian ideal versi kita masing-masing. Semua orang punya standar bahagia masing-masing.

Dan mohon diingat, saya itu punya Mama yang sensitif banget. Jadi kalau denger kata-kata yang kayak gitu buat tuan putrinya ini, Mama suka nangis gitu kan. Oh come on! Kalau dunia ini mau tega ke saya, mungkin saya kuat-kuat aja, tapi please jangan buat seorang sebaik mama saya nangis, can you see her? Mama saya… maling aja dikasih biskuit dan teh manis loh! Kasian kan, Mama saya itu stroke loh, emosinya harus stabil kalau gak ya kambuh. Mbok ya kalau mau ngomong macem-macem ke saya aja gitu loh. Masa ada yang bilang saya gendut, kayak ibu-ibu, gak ada manis-manisnya, di depan mama saya hanya untuk PROMOSI PRODUK (Ini nyebelin banget gak sih?).

Gimana saya gak lebih happy di Tokyo?
Ketika pemikiran dan karya saya lebih dihargai?
Ketika saya bisa belajar dengan nikmat dan tenang?
Ketika saya punya teman-teman yang baik dan sepaham?
dsb
dsb
dsb

Lalu sekarang, banyak yang nyinyir “Tuh kan, orang Indonesia itu tuh, kalau udah jadi mahasiswa asing, atau kerja di luar, jadi berlagak! Gak mau pulang”

That’s insane! Gak mau pulang? Siapa yang gak mau pulang? Tidak ada makanan seenak makanan Indonesia! Keluarga juga gak bisa dinilai dengan apapun. Alam Indonesia juga widiiih sedap banget.
Tapi bayangkan… bayangkan… jika rupanya ada loh ada orang-orang yang jadi “kesepian di tengah keramaian” ketika mereka kembali ke negara mereka. Ada loh orang-orang yang rupanya, RUPANYA, begitu mencintai negeri Indonesia Raya ini… tapi merasa sendirian. Ada orang yang secara moril dan psikologis begitu mencintai negerinya, lebih dari apapun, tapi secara sosial dan intelektualitas dia merasa terasing di negerinya dan merasa “Ah… mending di negara tempat gw sekolah deh” dsb dsb dsb.

Jadi manusia itu tidak siap dengan perubahan?
Siap! Di pelajaran Biologi kita belajar kan manusia itu makhluk yang paling baik dalam beradaptasi.
Tapi perubahan macam apa?
Itulah mengapa kemudian muncul TEORI KEBUTUHAN MASLOW yang bisa kita temui dalam ilmu psikologi atau sosiologi atau ilmu sosial apapun. Apa itu TEORI KEBUTUHAN MASLOW (dikasih huruf gede terus biar pada inget)? teori yang menjelaskan apa siiiiihhh yang sesungguhnya dibutuhkan manusia?
TADAAAAAA!!!!!

Nih ini teori Kebutuhan Maslow

Manusia manapun kemudian akan mikir untuk memenuhi kebutuhan mereka step by step.
bayangkan seseorang yang pindah ke tempat lain sebutlah neverland untuk beberapa lama, kemudian dia balik lagi ke tempat semula dan dia merasa asing karena dia tidak dikenal siapapun dan orang merasa dia orang aneh karena ide dan pemikiran dia berbeda, buangeeeet. Walau gak salah cuman gak lazim aja. Naaaaaahh….. Dia kan jadi gak dapet tuh love, self esteem, dan self actualization. Lalu bagaimana? Ya jelas lah dia balik lagi ke Neverland dimana dia merasa piramida kebutuhannya bisa lebih lengkap.

It is scientifically proven! Bukan seorang emon ya yang ngomong, tapi science!

Jangan-jangan…
Ini jangan-jangan,
ketika kita ngerasa “Ih dunia kok berubah jadi makin gak karuan begini ya”
Rupanya… kita yang sebenarnya “GAK KARUAN”

Loh siapa tau kan?
*Sambil baca berita tentang suara sangkakala misterius. Hayooo…. gimana kalau rupanya malaikat mulai gregetan pengen tiup terompetnya”