Brutal truth about being 30’s, single, (and no kids yet)…:  Menyanggah sang influencer


Di tengah kehebohan semesta terhadap pernyataan seorang influencer cerdas tentang faedah child-free dan kekerasan hatinya untuk menentang pendapat yang tidak seragam dengannya, sesungguhnya terjadi pula perdebatan lainnya di sebuah pojok planet bumi, antara saya dan alien dari planet uranus. Kita sebut saja moja-moja.

Me: I am right…!
Moja-Moja: Oh no way! Wake up, you are wrong, and you are too much!
Me : You are heartless! (mulai drama, pake tetes-tetes airmata dikit)
Moja-Moja: You! do not only use your heart, use that head too for something other than math! Open you EYEEEZZZ!

Setelah menangis, meraung, menghabiskan satu nampan pizza dan sepanci rendang (padahal harus diet ketat), kami sampai pada sebuah kesepakatan. Tidak ada yang salah dari kami, secara mengejutkan… kami semua benar! Ini hanya perkara sudut pandang. Lalu kami hanya terdiam… “Jadi kita tuh ngapain sih tadi ? hah? ”

saya jadi belajar suatu hal yang amat berharga:

“Semua perkara di muka bumi ini hanya perkara sudut pandang”

Sebuah hal yang mungkin luput dari perhatian Mbak Influencer pintar nan awet muda. Bahwa walau stand point Beliau ini sungguh masuk akal, namun bukan berarti itu adalah sebuah kebenaran absolut. Karena hidup manusia dan segala keputusannya, tidak bisa diformulasi secara matematis begitu saja.

Child free bikin lo yang udah 30’s terlihat lebih muda. Omong kosong apa itu? Anda terlihat lebih muda karena ada endorse skin care! hey ya influencer! Normal 30’s are prone to encok! You know? You know? Apalagi kalau jadi tulang punggung keluarga, atau harus kerja sambilan ini itu syalalalallala.
Mama saya juga kalau semisal dikasih endorse SKII dan perawatan kulit ala mbak Titi Dj juga pasti gak akan kalah bening sama Mbak Utada Hikaru. I mean, come on! Perdebatan itu sangat pepesan kosong banget loh. Masa’ kepalanya tuh gak bisa memikirkan parameter-parameter eksogen lainnya yang mempengaruhi tingkat kecantikan seorang wanita, or whatever lah mau nyebut apa.

Dan sebenernya, saya tuh ngerasa, Mbak Influencer ini sebenarnya bisa case-closed jika pas dipuji tinggal bilang: terima kasih, titik.
Kelar! Lah kenapa jadi bawa-bawa masalah kecantikan syalalalalalla de childfree? Mohon maaf apa urusannya?

Saya belum punya anak, single, keliatan muda sih… iya… jelas… namun renta, dan random. Kayaknya teman-teman saya yang sudah berumah tangga banyak yang life quality-nya lebih rapi dan teratur deh.

Mari…Mari… mari sobat semua! saya ajak Anda melihat kehidupan riil! Seorang Wanita single, 30-an, belum punya anak… dan hidup tidak teratur. Ayok… mari-mari-mari- kita room tour dikit.

Yak jemuran kering yang belum dilipat ya sodara-sodara…karena sampe rumah udah encok.

IMG_1165

Tumpukan piring yang “Aku bertekad akan mencucinya…” namun akhirnya males dan ketumpuk-tumpuk juga.

IMG_1166

Meja kerja yang astagfirullah berantakan tapi kok ya kerja gak beres-beres

IMG_1164

koleksi obat sakit kepala, balsem, kompresan, koyo… obat maag juga, klo lambung terpaksa kosong

IMG_1167

koleksi Indom*e, kalau males masak (walau lambung, liver, semua udah meletoy, tapi yang penting perut keganjel).

IMG_1168

Anda lihat sendiri kaaaan? Let me tell you ladies and gentlemen, madame et monsieur! Mama saya yang punya anak dua bahkan punya keteraturan hidup dan manajemen waktu yang lebih efektif dan efisien dari pada saya yang ngurus diri sendiri aja repot! Hal kayak gini, dikedipin sama Mama saya juga selesai satu hari, itu pun masih sempet ngurus adik saya. Jangan-jangan, menjadi orang tua itu memperkaya skill seseorang untuk melakukan manajemen waktu (dan lainnya). And that’s cool ! Kenapa? Kenapa itu menjadi masalah? Apa itu kurang keren? Kurang ajib? Apa sih poin yang perlu dicari-cari boroknya? Apa?

Seseorang mau nikah kek, gak nikah kek, masih muda, udah tua, itu tuh gak ada sangkut pautnya dengan kebahagiaan, kesehatan, kecantikan, keteraturan hidup, keindahan duniawi, apapun lah itu. Kita pasti punya masalah, dan masalah ini pasti ada APAPUN pilihan kita. Masalah itu seperti energi, dan energi itu kekal ! Dia tidak menghilang, dia hanya bertransformasi. Kita tidak bisa menskip masalah duhai manusia. Enak aje lo mau lolos gitu aja.

Dalam hukum pertama termodinamika, ada yang namanya prinsip kekekalan energi. Energi itu kekal, tidak berkurang, tidak bertambah, namun bertransformasi dalam berbagai bentuk.

Energy can neither be created nor destroyed, only altered in form.”

Masalah, itu tuh sebentuk energi… count it as energi potensial. Dia selalu ada, udah ditentukan porsinya sama Tuhan sesuai kemampuan kita, cuman transformasi si masalah ini nih, begitu pula outputnya, yang beda-beda bergantung pada moda yang kita pilih. Mungkin kalau digambarkan itu kayak….ketika air dengan massa yang sama ditempatin di dua bejana. Yang satu dipanaskan lalu menguap, yang satu lagi didinginkan lalu beku, output yang keliatan mata telanjang kan beda toh? ketika menguap oh airnya jadi seperti “hilang”, seperti tidak terjadi apa-apa. Air yang dibekukan, keliatan nih masih ada es-nya. Namun, total jumlah air yang mengalami proses fisis itu SAMAAAAAAA! Cuman proses transformasi wujudnya aja yang beda.
ASTAGA PLIS INI TEORI DASAR FISIKA DI SMP, PADA KEMANA MANUSIA DI MUKA BUMI INI YA TUHAN!

Jadi seorang child-free, atau tidak. Kita semua PASTI masih menggendong masalah kita masing-masing. Being child-free bukanlah sebuah metode untuk menghilangkan beban hidup. Hanya alternatif cara untuk handle permasalahan hidup dengan pendekatan yang berbeda, lebih hype, lebih unik dari kebanyakan orang pada umumnya. Dan ya udah gitu aja, tidak ada yang spesial, dan sesungguhnya tidak ada yang perlu diperdebatkan sekaligus dibanggakan. Gak usah melenceng ke patriarki lah, kecantikan lah, aduuuuh jauh itu… jauuuuh…. udah kemana-mana. WUSH WUSH kusut!

Punya anak, ya mungkin pusing itung-itung kebutuhan finansial, kaget juga rupanya anak kecil suka “ajaib”, harus belajar manage waktu dari awal lagi. Ih greget!
Tidak punya anak? Ya mungkin jadi debat sama suami klo suaminya mau punya anak, diomongin tetangga, mertua, netijen, terus jadi gampang emosian juga. Ih greget juga!
Ini cuman perkara preferensi bagaimana metode menikmati sakit kepala dan kerempongan hidup aja. That’s it!

Kesimpulannya, semua orang pasti ada kombinasi masalahnya masing-masing lah. Jadi ya sudah, mari mencicipi piring masalah yang sudah tersedia di piring masing-masing. Jadi mari para bapak dan ibu sekalian, SABAAAAAR!

Asam urat saya lumayan naik juga ketika seorang kawan saya membagikan video ngobrol sang influencer dengan suaminya. Gokil, Mas Suaminya sabar banget sih. Jujur saja, kalau mau julid, sepertinya saya juga gak akan ribet dan busuk-busuk amat sih kalau nikah (dengan pembandingnya mbak influencer ini ya), terus dapat pria penyabar yang akan saya jaga baik-baik dan klo perlu saya bungkus bubble wrap biar gak kegores, dan (it is a top secret) I love kids! I want to have kids! Bahkan lebih antusias ingin punya anak daripada punya suami. I don’t like most hooman, saya pusing dengan keramaian, tapi saya sweet looh kalau ke anak kecil. Kalau gak jadi peneliti, saya sudah hampir pasti jadi guru menggambar di SD atau TK. Atau illustrator buku cerita anak-anak. What’s wrong with kids? Apaaaa? Kalau kata adik saya, mereka itu culun culun lucu gemes gitu.

Namun memang…. saya memang tidak PD untuk menjadi orang tua. Jujur saja, saya sih gak cukup percaya diri jika kelak saya bisa sesukses Mama misalnya, punya anak yang bakalan sayang banget ke saya. Saya tidak cukup percaya diri jika saya bisa punya anak cowok yang bisa bilang ‘you are so beautiful’ padahal badan saya sudah hancur kena stroke hatrick 3x. That’s sweet! Sweetness overload!
Saya juga belum tentu bisa sejago Uwak saya yang sukses di karir tapi juga bisa membesarkan tiga orang anak gadisnya yang cantik-cantik dan keren. Kayaknya manajemen waktu dan emosi saya busuk sih.

Apakah kalian juga cukup percaya diri bahwa kalian dapat menjadi better version parent untuk anak-anak kalian? kalau kalian bakal lebih baik daripada orang tua kalian saat ini? Saya berani taruhan, membayangkan saja jiwa sudah gentar.
Saya yakin, jika tidak hati-hati, orang tua masa kini akan melihat anaknya main lato-lato atau tiktok ketika sedang diajari shalat. Mampos… pecah gak tu kepala kalean, huh?
Emosi Anda pasti akan goncang, otak Anda akan nge-bug… mau lempar sandal, eh… inget swallow juga lumayan mahal, inget anak sendiri.

Saya bahkan punya pengalaman traumatis tersendiri ketika ayah saya harus meninggal dunia saat saya masih di bangku sekolah menengah. Lalu, saya merasa… saya bisa melakukan banyak hal sendiri kok.
Dengan segala scenario “what if” serta ego saya yang masih tinggi, jika ingin pakai kepala saja, tidak ada alasan kuat bagi saya untuk having kids or even having family in the future.

Namun, melihat kehangatan sebuah keluarga, bagaimana seorang anak bisa mengasihi orang tua. Bagaimana orang tua dapat mewariskan nilai-nilai dan cerita unik pada anak mereka, bagi saya adalah sebuah kehangatan tersendiri di muka bumi ini.  Itu membuat saya luluh.
Jika Tuhan mengizinkan, waaah saya senang sekali untuk mencoba tantangan baru, menjadi istri bahkan menjadi ibu. Walau jika itu terjadi, wah bakalan bumi gonjang-ganjing langit kelap kelip sih.

Dan besar sekali doa-doa saya bahwa teman-teman saya yang baik dan menyenangkan bisa membangun keluarga yang baik dan kuat, lalu membentuk generasi-generasi yang lebih multicultural, lebih diverse, lebih toleran, punya IQ, EQ, dan SQ yang lebih terasah. Itu semua tidak akan terjadi jika manusia yang berkembang biak hanya orang-orang yang membawa bayinya naik jetski tanpa pelindung apapun.

Keputusan child-free adalah hak prerogative setiap insan. Siapalah seekor emon dan kita semua yang manusia biasa serta rakyat jelata ini ? Kita sungguh tidak berhak untuk ikut campur pada hal-hal yang sudah di “imani” oleh orang lain. Namun menjustifikasi bahwa “Hei look, keputusan gw cool banget, lo semua tolol aja gak ikut gw yang hype abis ini,” sungguh di luar batas logika dan akhlak.

Mungkin kalian juga akan tidak sependapat dengan saya. Mari kita menjawab dengan jujur, apakah menikah dan memiliki anak itu adalah sebuah pencapaian? Apakah semua itu memberikan kebahagiaan instant?
Secara matematis dan logis, saya berani bilang TIDAK. Ya…Kalau mau bebas, hemat, dan bahagia, being single is a formidable decision. Secara matematika akuntasi loh ya.
Namun, sebagai individu, mental dan kebijaksanaan kita juga harus terus berkembang, bertransformasi, diupdate. Proses transformasi itu yang bagi banyak individu perlu diraih melalui proses menikah… dan jika diberi kesempatan, ketika menjadi orang tua. Saya yakin pengalaman menjadi orang tua itu adalah pengalaman eksklusif dan gak bisa dibandingkan dengan apapun. Apa coba? Pengalaman hidup apa di muka bumi ini yang bisa menggantikan pengalaman menikah dan menjadi orang tua? Sebuah pengalaman spesifik untuk menerima orang “baru” dalam hidup kita untuk kemudian saling berkompromi serta mengeluarkan aneka jurus-jurus komunikasi yang baru nan kompleks ? Gak ada bre! Gak ada! Maka tidak ada yang berhak mengolok-olok keputusan seseorang yang dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaannya, mencoba menjadi manusia yang lebih dewasa dengan cara membangun keluarga dan memiliki keturunan.

Intermezzo lagi.
Suatu ketika saya bercerita pada Mama, “Ma, kalo kakak nikah, kayaknya saya emosian sih. Semua panci penyok… terus klo kesel, suami saya nanti saya kasih ngemil Mee-O aja, share sama Buntet. Oh iya, anak-anak saya, akan saya didik agar mereka punya hobi mencuci piring dan ngepel, biar gak bikin hidup saya encok.”

Dan Mama saya hanya tertawa “Ya gak lah kaaaaak, sekeras-kerasnya kamu, nanti kalau sudah punya keluarga sendiri, pasti kamu gak tega sih kejem-kejem gitu. Kamu dari anak tunggal terus jadi kakak aja berubah, apalagi kalau dari single jadi double, triple, quartet. Jangan ngaco lah, kayak tega aja. Liat kucing picek aja nangis. Haaaaaah… gak percaya, maaph

Tidak Ma! Berkeluarga itu ribet! Belum lagi kalo ada yang sakit lah, meninggal lah, update toxic family di medsos lah. Gak deh, Ma! konfliknya terlalu banyak

Iya ! Emang ! Ribet, bikin stress juga. Ini loh Mama sampai stroke hahahhahaa. Step awal tuh menerima segala keburukan pasangan kita. Pas belum nikah sih, kalo berantem ya bisa break dulu. Nah klo nikah nih, kalo berantem kita head to head tiap hari! Nanti apalagi pas ada anak, waaaah… semakin emosi, sodara-sodara !!! Api berkobaaaar ! Tapi nanti kita mulai bisa belajar segala kompleksitas emosional manusia, dari partner kita… anak kita…kita juga belajar untuk mengatur waktu dan emosi agar lebih efisien. Itu tahap kita bisa beneran nurunin ego. Kayaknya kalau Mama dulu gak nikah sama ayah, mama juga masih emosian banget sih. Udah bakat darting dari dulu.  Ini bukan masalah menjadi lebih bahagia atau gak, ini masalah langkah yang kita pilih buat jadi lebih bijak aja sih. Menurut Mama loh ya. Kayaknya itu deh mengapa menikah jadi bagian ibadah. Mungkin bahagianya karena berkah dari kebijaksanaan yang didapet.

Seperti apa yang Mama bilang, lagi-lagi ini sebenarnya…..

perkara langkah yang kita pilih untuk bertransformasi menjadi lebih bijaksana.

Beberapa harus melalui metode konvensional : menikah dan punya anak.
beberapa percaya diri dengan metode yang lebih baru, hype : child free… dsb

Toh perdebatan akan selalu ada. Kayak “Aduh anak yatim banyak, aku mau adopsi aja.” Ya silakan-silakan aja, subhanallah loh itu. Tidak ada yang salah, selama semua bisa saling menghargai point-of-view masing-masing. Kan sudah dewasa toh?

Maka, mengapa kita biarkan saja semua dengan pilihannya masing-masing. Siapa tahu, itu semua memang pilihan terbaik yang bisa mereka pilih, cerna, dan terapkan saat ini. Dan ingat juga bahwa level prioritas hidup setiap orang berbeda-beda, beberapa orang memang belum selesai dengan target-target lainnya.


Saya contohnya… setidaknya saat ini ya… saya masih butuh validasi terhadap pekerjaan saya, I haven’t write any article in Nature as first author. Tembus nature, okelah… mari mencari jodoh, setidaknya udah ada pajangan di ruang tamu. Jiwa riya ini sungguh meraung-raung~~~(iya memang, saya riya’ mau apa kalian?)
Saya juga tidak cukup percaya jika sang influencer kemudian memiliki anak, mungkin dia juga belum siap serta belum memiliki kompetensi yang mumpuni untuk membesarkan anak yang baik secara akhlak, mental, dan fisik. Saya saja sudah ragu kalau Beliau ini bisa take care ikan mas koki, sulit loh bertanggung jawab sama ikan mas koki. Atau dimulai dari memelihara suplir! Nah cakep tuh, merawat suplir dengan penuh tanggung jawab sehingga si suplir tidak mengering. Rasakan sensasinya !


Mengapa kita jadi harus buang energi untuk begitu emosi? Jangan-jangan, memang itu pilihan terbaik untuk diri Beliau, dan tentu saja… belum tentu itu akan menjadi pilihan yang baik untuk saya, kamu, kita.

Kita sering kali terlalu sibuk membanding-bandingkan pilihan diri dengan pilihan-pilihan orang lain. Padahal, pilihan mereka belum tentu benar, atau setidaknya belum tentu cocok diterapkan pada timeline kehidupan kita.

Jadi ya sudah lah yaaaa… mari kita saling bertegur sapa  dengan ramah dari jalan yang masing-masing sudah kita pilih. Ini aja mikirin jalan sendiri masih bisa nyasar, apalagi mikirin jalan orang. Ya toh?

PS: Untuk mbak influencer, yang pasti gak baca blog saya, lambemu itu loh mbaaaak! Mau child free, childish, sweet child o’ mine, itu wis sekarepmu, Mbak…. Tapi ya udah, tidak perlu caper. Dewasalah untuk menerima bahwa apa yang keren menurut Anda sendiri, belum tentu applicable bagi orang lain.  Masa’ pola pikir seperti itu gak sampe Jerman sih ? Saya yang dulu dari Leuwiliang aja nyampe loh ke pemahaman tersebut. Oh ya, dan mungkin ada empati dikit sih, pasti ada teman atau kerabat atau followers yang sedang berjuang untuk punya momongan, terus perkataan Anda yang memiliki anak itu sebuah keputusan yang salah dan merepotkan, itu beneran gak membantu siapapun secara psikologis sih. Mending mbaknya gak usah jadi influencer 😀 toh rupanya tidak open minded-open minded amat. Udah mbak sini… jadi tante-tante blogger biasa aja. kayak saya…

Ini sekalian foto suplir saya yang mengering :’D sad man! sad!

IMG_1161