[Emonikova Investigasi] Mengulik Disertasi ‘Konsep Milk Al-Yamin’ dari sudut pandang metode ilmiah: Apakah cukup untuk meraih gelar doktoral?


Kali ini blog emonikova, lagi-lagi, melakukan investigasi khusus demi memperjuangkan kekepoan para netizen. Saya berupaya untuk membahas habis metode penulisan untuk disertasi Bapak AA yang beberapa pekan terakhir sempat viral serta mengguncang baik dunia nyata maupun dunia maya.

Saya dan beberapa teman saya menyepakati bahwa yang kurang dari disertasi Pak AA, setidaknya menurut kami loh ya, adalah minim serta lemahnya proses peer-review dan mungkin saja minim masukan dari para insan akademis lainnya baik yang satu keahlian dengan Beliau maupun diluar ekspertasi Beliau.

Oleh karena itu, saya Tante Emon, dibantu teman-teman yang lain, dengan sukarela, ikhlas, dan cuma-cuma, akan memberikan beberapa masukan yang mungkin bisa membantu Pak AA untuk merevisi disertasinya. Untuk diperhatikan: Pak AA berjanji bahwa Beliau akan merevisi disertasinya, sehingga yang saya review pada blog ini adalah disertasi Pak AA sebelum revisi serta dibandingkan dengan “Laporan Penelitian Individul Konsep Masadir al-Ahkam (studi komparasi antara pemikiran asy Syafii dan Muhammad Shahrur) yang bisa sempat saya temukan di web: http://eprints.iain-surakarta.ac.id/3609/1/Masadir%20al-Ahkam_LaporanLengkap_16-08-16.pdf untuk  mengecek konsistensi serta kecenderungan penulisan Pak AA. Sekali lagi, tulisan ini saya buat sebagai bentuk kritik sekaligus untuk pembelajar bersama mengenai metode penelitian yang baik dan benar.

Apakah saya orang terbaik dan terpintar dan terwadaw di muka bumi ini sehingga layik untuk mengomentari karya tulis orang lain? Tentu tidak, sama seperti yang lain… saya pun sudah melalui ratusan purnama untuk merevisi disertasi saya. Jurnal internasional lebih dahsyat lagi, saya sudah kenyang ditolak sana sini :’D saya…. seperti kalian, sama sama masih belajar. Namun sebagai insan akademis, saya punya tanggung jawab untuk berbagi pengalaman dan sudut pandang terkait penulisan akademis sehingga kualitas karya tulis kita semakin baik. Apalagi Pak AA adalah mahasiswa doktoral, dosen pula, alangkah bijaksana jika Beliau lebih Teliti lagi dalam membuat karya tulis sehingga sesuai metode ilmiah. Dan untuk UIN pun begitu, kan salah satu universitas yang cukup ternama di tanah air, mau dooooong karya ilmiah civitas academicanya lebih baik lagi. Pembaca blog emonikova juga pasti pernah tau, ketika skripsi saya dijiplak habis professor dari Algeria, itu pun karena minimnya proses peer review dan plagiarism check di sana, nah saya tidak mau ini terjadi di negara kita.

Lagi lagi dan lagi, saya tidak mau terseret UU ITE, karena tiket PP Jepang-Indonesia itu mahaaaaaal! Saya tegaskan bahwa opini ini tidak bermaksud memojokan siapapun. Dan saya, hanya akan menyinggung hal hal yang menyangkut teknis metode penelitian. Klo hal substantifnya sih waduuuuh, bukan bidang saya kawan! Makanya, saya hanya membahas disertasi ini dan kaitannya terhadap metode penulisan ilmiah

 1. Judul

Saya dengar sih judulnya memang akan diganti ya. Tapi mari kita lihat sebenarnya blunder apa yang terjadi pada “judul” disertasi ini?

KONSEP MILK AL-YAMĪN MUḤAMMAD SYAḤRŪR SEBAGAI KEABSAHAN HUBUNGAN SEKSUAL NON MARITAL

Saya nyaris meragukan kemampuan bahasa Indonesia saya karena saya benar-benar tidak tahu subjek, predikat, dan objek pada penelitian ini. Nyaris saya mengira yamin dan shahrour adalah dua orang yang berbeda!

Saya meratapi kebodohan saya ketika teman saya akhirnya buka bicara “Mon, itu yg yamin-yamin konsepnya. Bukan nama orang apalagi nama makanan.” Owalaaaaaah… andaikan yamin yg dimaksud adalah mie yamin yg  ditambah kriuk pangsit, rakyat Indonesia tentu tidak akan marah, namun gempar karena lapar.

Perkara SPOK ini rupanya bisa mengecoh kewarasan para pembaca. Saya yakin, saya tidak sendiri. Sehingga semua langsung meloncat pada “objek” penelitian ini yaitu ” keabsahan hubungan seksual non marital” ya wajar! Wong ndak ngerti subjek dan predikat sebelumnya apa. Jika saja kakek saya ditunjukan judul ini di pusaranya, saya khawatir Beliau minta izin pada Allah untuk bangkit sejenak karena begitu marah dengan ambiguitas pada judul tersebut.

Mungkin Pak AA juga fans berat Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama?” Hingga meyakini pula “Apalah arti sebuah judul?”

Eits! Berarti dong!

Karena tidak semua orang punya waktu untuk mengkaji karya tulis yg ratusan halaman. Maka impresi pertama adalah JUDUL! Judul adalah identitas, maka judul haruslah jelas. Apalagi menulis di Indonesia, dan orang Indonesia cenderung hanya membaca judul saja.

  1. Tujuan Penelitian

sejatinya tujuan penelitian haruslah jelas dan terarah. Nah, saya mencoba memahami tujuan penelitian Pak AA pada disertasi Beliau.

Pada abstrak tertulis MENEMUKAN TEORI BARU!
IMG_0097

siapa tak terkejut! Konteks menemukan teori baru sesungguhnya adalah hal yang sangat serius dan WOW dalam dunia akademis. Sungguh, jika suatu penelitian bisa menelurkan teori baru, maka penulisnya mungkin sudah layik untuk menerima undangan untuk ngopi ngopi dengan calon penerima nobel.

Bukan menganggap remeh, tapi saya bertanya-tanya “Masa sih?”

Lalu saya pun scrolling menuju rumusan permasalahan, tidak ada sama sekali kalimat yang mengutarakan akan membuat teori baru, namun hanya sekadar yaaaaah mereview dan menelaah pemikiran Pak Shahrour saja. Tidak lebih dan tidak kurang.
IMG_0098

Mungkin literasi saya yang minim atau apa, tapi saya cukup jengah melihat rumusan tujuan penelitian ini. Penulis rasa-rasanya hardcore fans dari Pak Mohammad Shahrour, yang kita semua di Indonesia banyak yang awam mengenai tokoh tsb (dan pas liat sosmednya, doski juga gak hits-hits banget gimanaaaaa gitu), mengapa kita…. makhluk di muka bumi ini perlu menelaah pemikiran Shahrour tanpa ada pembanding dengan tokoh-tokoh lain? Apa unsur kebaruannya? Jika memang ingin melegitimasi hukum baru misalnya, maka permasalahan perlu dilihat dari berbagai sudut pandang dan pemikiran para tokoh. Entah jika standar penelitian di universitas yang bersangkutan memang “cukup segitu saja” untuk meraih gelar doktor.

Saya paham, bahwa harus ada unsur “novelty” pada penelitian S3, namun…. ya… ya apa? Kebaruannya apa? mengapa hal itu kemudian krusial?

Sampai situ saya sudah cukup lelah, dan cukup kecewa. Karena jika judul dan rumusan permasalahan saja perlu dibenahi…. maka pasti perjalanan investigasi ini masih panjaaaaaaaaaaaaang.

  1. Terlalu banyak catatan kaki yang sepertinya, gak perlu perlu banget. 

Saya memang penasaran betul dan iseng untuk mengkaji…mengapa sebuah penelitian butuh begitu banyak footnotes. pasti kompleksitasnya melebihi batas logika kita semua.

saya turut prihatin karena rupanya, Pak AA sudah gamang bahkan sejak perkara menentukan transliterasi. Tentu saya pahami kegamangannya, saya maafkan kesalahannya, namun sayangnya… saya (dan mungkin banyak orang) tidak peduli perkara transliterasi yang harus dijelaskan panjang lebar.

IMG_0100

IMG_0099

Background saya adalah ekonomi, sebagaimana yang mungkin beberapa orang tahu… ekonomi itu “nanggung” karena merupakan irisan matematika, statistika, dan ilmu sosial. Siapa tahu kan diluar keilmuan saya, pada beberapa ilmu sosial, footnotes memang boleh-boleh saja bisa lebih panjang dari konteks penelitiannya sendiri. Siapa tahu? Saya merasa tidak kompeten dalam membahas ilmu sosial, sehingga saya mencoba menghubungi kawan yang murni orang sosial. Pertanyaan saya singkat “Apa perlu footnote sampai curhat segala.”

Jawabannya?
“Pas gue skripsi sih, Mon. Pembimbing gue bilang secukupnya aja.”
“Kalau panjang bukannya sekalian aja cantumkan sebagai sumber terus simpen aja di dapus ya?”
“Hah? footnote seinget gue sih secukupnya aja, Mon”

Jelas sudah, dimanapun itu, aturan footnote rasa2nya seragam.

Karena saya memang husnudzan, anak yang baik, dan rendah hati…
Saya kembali optimis, mungkin… mungkin…… penulisan di masa kini berbeda dengan di era saya yang sudah hampir kepala 3 ini. saya pun bertanya pada adik saya yang masih duduk di bangku S1, belum lulus! Tapi udah dapat lah matkul metode penelitian. Komentarnya:
IMG_0118

Yes! Saya dan adik saya pernah di SMA yang sama di SMAN 1 Bogor, dan kebetulan kami punya guru bahasa Indonesia yang super fenomenal yang super hebat karena mengecek tugas karya tulis dan PR kami satu persatu (yang kalian tau dong, level anak SMA kan masih sampah ya tugas-tugas kartulnya), dan tiap kami salah, walau hanya koma, kami akan dapat surat cinta “ulangi lagi ya sayang” dan kami WAJIB harus mengulang PR kami dari awal. Dan itu membuat kami ngelotok jasmani rohani perkara dasar penulisan ilmiah. Berbekal pengalaman sejak SMA saja kami sudah bisa meyakini bahwa ada yang ganjil dengan metode penulisan footnote Pak AA. Masa’ penguji Pak AA kalah teliti dengan Ibu Guru saya di SMA? Harusnya lebih mata elang dong, kan penguji calon Doktor 🙂

Di bidang saya,  footnote sebisa mungkin diminimalisir kecuali untuk info yang singkat… jelas… padat. Misal, untuk konversi mata uang. Pembaca perlu tahu kira-kira 1USD itu berapa ya pada tahun X? Naaaah footnote bisa membantu. Sudah segitu saja, jika ada yang perlu dijelaskan maka jelaskan pada badan manuskrip.

Selain itu banyak footnote yang sebaiknya ditulis saja pada daftar pustaka. Saya jadi merasa gundah dan gamang, jangan-jangan Pak AA belum mengenal sebuah software luar biasa yang sangat membantu para mahasiswa bernama MENDELEY.

Maka, teriring rasa hormat kami…. saya melampirkan link untuk mengunduh software mendeley. Bisa pakai end note dan zotero juga sih. Tapi ini yang paling gampang 🙂

https://www.mendeley.com/download-desktop/Windows/

monggo monggo dicoba. Tinggal klak klik klak klik, nanti daftar pustaka jadi dengan baik sesuai format yang kita inginkan.  Oh iya! Ada web importer juga loh! Sehingga tidak sulit untuk mengutip website di internet.
Tidak suka Mendeley? Tidak apa pak, ini loh saya ada softwara lain bernama zotero. Gratis kok… gratis! 🙂

https://www.zotero.org/

Iya, sama-sama 🙂 kan kita akademisi, boleh dong saling membantu.

  1. Referensi…..wikipedia? WordPress? Bahkan grup Milis?

Jadi kalau di Indonesia itu masih boleh cite wikipedia dan wordpress untuk kartul sekelas disertasi? Atau hanya UIN Sunan Kalijaga yang memang punya syarat penulisan ilmiah yang “dinamis” dan “kontemporer.” Waduuuuh! Kenapa saya tidak masuk UIN SuKa saja kalau begitu, setidaknya lebih “enteng” lah perkara format penulisan karya tulis.

IMG_0103

IMG_0105

Seingat saya, bahkan saat saya S1, pembimbing saya akan marah bueeeesssaaaaaaaaaarrrrr jika tahu saya melakukan hal tersebut. “Emon! Kamu cite wordpress? Carilah pembimbing lain.”

Skripsi saya memang tidak sempurna, namun saya ingat betul karena pembimbing saya mencoret hampir semua lembaran draft skripsi saya termasuk daftar pustaka. Saya kaget betul karena Beliau cek dapus satu per satu “Mon, ini gak ada kok ditulis? Mon… ini salah dong! Mon, ini tidak valid sumbernya.” Itu untuk karya tulis anak ingusan loh, level S1, kalau doktoral harus lebih mantap terasa dan lebih ilmiah bukan?

bukankah begitu?
bukankah begitu?
bukankah begitu?

Saya pun sengaja kopipaste beberapa paragraf pada disertasi ybs dan mari kita lihat hasilnya! Anda akan terkesima!

Kopi….
Picture1

Paste ke google….
Picture2

Menemukan kalimat yang sama persis…Klik blognya…
Picture3

Lihat sumbernya! Sama persis cara penulisannya.
Picture4

Cari sumber utama….
Picture5

Nah pada kasus sebuah buku ada editor, maka seharusnya sihhhhh…. seharusnyaaaaa kalau mau menuliskan pada daftar pustaka (bukan di footnote ya, karena itu kan udah kopi paste abis -.-)…. maka nama editor harus dicantumkan, plus ISBN karena kodenya ada. ISBN itu penting loh untuk membedakan satu karya dengan yang lain. Dan memudahkan penelitian susulan karena jelas referensi apa yang digunakan. Memang ribet, tapi maksudnya baik kok! Bener deh 🙂

Entah siapa yang kopi paste, namun sepengetahuan saya…. PUN….PUN….PUN…. mengutip karya orang lain dan dicantumkan sumbernya, maka perlu ada proses parafrase (eh EYD gimana sih, gini kan ya? pokoknya paraphrase. Atau memang tidak ada yang punya bukunya saja :’) )
Siapa yang kopi paste?
Duh siapa ya?

Keduanya sama-sama kopipaste dari bukunya, habis blas! Tapi siapa yang duluan menuliskannya? blog? atau disertasi? rute kopi pastenya seperti apa? buku-blog-disertasi? Atau buku-disertasi-blog?

Duh sungguh misterius! Saya menyerahkan semuanya kepada kalian 😉

Eh sampai sini saya terlalu keras dan kejam tidak? Masih kuat? Kalau iya lanjuuuuuuut!

5. Data dan Metodologi Penelitian? Apa? Bagaimana? Dimana? Arghhhhh~~~
Saya jadi tertarik mengkaji metode penelitian Beliau. Dan lagi-lagi saya takjub, karena metodenya lebih plot twist dibandingkan kisah De La Cruz pada film Coco!

Jadi ada sumber primer, sekunder, dan tersier. Okay…. yang primer buku yang ditulis sendiri oleh pak Shahrour. Yang sekunder dan tersier apa? yang ditulis orang lain?
IMG_0111

terus udah gitu aja? Saya butuh penjelasan, namun apa daya saya malah mendapat penjelasan mengenai apa definisi “tokoh” kayaknya itu gak krusial krusial amat untuk audience pembaca disertasi
IMG_0110

Memang ini cara dan metode yang benar ya dalam menulis kajian pemikiran seseorang? Saya gak tau loh, karena penelitian saya lebih bersifat kuantitatif. Tapi emang begitu? Ah kok rasanya tidak begitu ya.

Pembaca yang terhormat, izinkan tante emon menunjukan Anda bagaimana menulis “review paper” dengan lebih baik 🙂 memang gak sepenuhnya sama dengan cara menulis disertasi kualitatif, tapi metodologinya akan serupa karena terkait dengan “mereview” pemikiran/ penelitian pihak lain serta membandingkan beberapa pustaka.

  • Untuk beberapa jurnal yang memang benar-benar membahas literatur review, maka penulis WAJIB mencantumkan berapa jurnal/ literatur yang mereka teliti? Keyword yang digunakan? range tahun dari kapan hingga kapan? Bagaimana metode pemilahan literatur?

IMG_0112

  • karena tante emon juga pernah menulis review paper. Pun jika ingin mereview hasil penelitian orang lain atau diri sendiri (misal, pada suatu paper secara idealnya sih hasilnya a,b,c,d, tapi akan ada kendalanya nih di dunia nyata, sedangkan jurnal sebelumnya terlalu teknis. nah ini perlu di review),  kita perlu mencantumkan paper apa yang kita review beserta metode yang digunakan pada paper yang kita review. Ini contoh paper saya yang ‘elek sih. Tapi yaaaa kira-kira begini. Intinya kita harus paparkan kenapa kita mereview? menelaah? penelitian apa yang ditelaah? Sumbernya mana? ini penting untuk memastikan pembaca tidak hilang arah dan tujuan dan menyamakan persepsi serta memperkaya pengetahuan pembaca. Jadi pembaca punya informasi yang lengkap: lagi ngomongin apa? dan mengapa perlu diomongin? pada kasus disertasi Pak AA, kita tidak tahu karya Pak Shahrour yang Beliau kaji itu apa? dimana? Sumber jurnalnya ada tidak? Kalau rupanya pemikiran Pak Shahrour rupanya OPINI PRIBADI ybs dan tidak bersifat ilmiah, yaaaaaaaa buat apa dibahas! Buang-buang waktu dan kertas.

Picture6

Bikin review paper itu sulit loh, dan biasanya KALAU melalui proses peer review, maka reviewer akan mengatakan “berikan pembanding terkait teori ini.” atau meminta literatur yang baaaaaaaaanyyyyyyyaaaaaaaaaak sekali.  Sedangkan yang saya temukan, pada disertasi pak AA, literatur pada daftar pustaka pun minim sekali 🙁 jadi gimana dong? Mau dibilang review pemikiran saja sepertinya masih butuh lebih banyak literatur, daftar pustakanya bahkan lebih sedikit dibandingkan skripsi S1 saya :'(

Lebih jauh lagi.

Saya juga tidak bisa menjawab pertanyaan pada rumusah masalah ini, bahkan setelah baca habis disertasi ini, kenapa tiba-tiba milk al yamin itu jadi hubungan antara pria wanita. Hah?

Saya sudah 5 rit loh bulak balik membaca disertasi ini? Heran? Tidak lagi, karena metodenya pun tidak jelas. Jadi wajar saja. Kita semua, termasuk saya, sudah diajak tersesat sejak awal…. mungkin sekarang sudah sampai di desa penari.

6. Kritik pada shahrour? Ada… tapiii

Tapi hanya 17 halaman! Dari total disertasi 421 halaman! saya mencatat hanya ada dari halaman 280-297

Karena saya tahu kalian malas menghitung, saya berinisiatif menggunakan metode teknologi bernama KALKULATOR untuk menghitung 17/421 itu berapa persen.
IMG_0091

Hanya sekitar 4%!

Bukan kata saya, namun kata kalkulator. Jika Anda tidak dapat menerima fakta ini, silakan gunakan kalkulator Anda masing masing, bandingkan dengan sempoa, serta Ms. Excel.

Ya pantaaaaaasssss saaaaajaaaaaaaa masyaaaaaraaaakat hebooooooooh! Dari 400++ halaman, judul fenomenal, kritik yang harusnya jadi inti penelitian hanya 4%-nya saja. Setidaknya dari disertasi versi awal. Semoga setelah direvisi jadi lebih baik ya.

Saya sih ada saran, ini kalau mau didengar loh ya. Kan ceritanya mengkaji pemikiran. Maka alangkah baiknya membahas dari sisi psikologis, antropologis, sosiologis, kultural, hingga ekonomi. Dan itu bisa panjaaaaaaaang. Masalahnya, apakah pak AA punya kerendahan hati untuk berguru pada ahli ahli bidang bidang tsb? Akan makan waktu, yes! Tapi karya yang dihasilkan akan maknyus! Dan mengedukasi masyarakat. Lulus doang sih gak susah susah amat, Pak. Tapi integritas? Nah ini yang perlu ditingkatkan lagi. Bertanya dan berguru pada ahli ahli di bidang yang berbeda dengan kita kan bukan berarti kita bodoh atau hina, tapi itu karena ilmu Allah itu luaaaaaaaaaaaas. Dunia tidak selebar buku-buku pak shahrour. Iya gak?

7.  Istilah istilah yang wadidaw, serta penerjemahan yang aduhai

Karena saya punya jam terbang untuk kasus friendzone.
Saya jadi tergeltik juga untuk membaca lalu sedikit mengomentari penerjaman dan pemahaman istilah istilah yang wadaaaaw!

Misalnya, nikah friend….(baru tau kan kalian semua ada nikah friend? ada rupanya istilah ini)
Apa salahnya kalau berteman terus nikah? Duh apa sih?
Wajar saya bingung karena istilah yang lain terdapat istilah bahasa arabnya, selain yang satu ini.
Rupanya nikah friend ini ceritanya, friendzone terus mereka wik wik wik karena sama sama suka. Mari kawan-kawan pejuang friendzone, kita rapatkan shaf mengkaji penulisan yang ngawur ini.
IMG_0116

Karena cara penulisan yang astagfirullah, penulis jadi terkesan “Ini loh jalan dan solusi untuk kalian semua wahai budak friendzone yang dibuta cinta.”
IMG_0115

Saya kaget ketika semakin scroll ke bawah saya menemukan tulisan ini
IMG_0114

Jadi nikah friend juga biar gak inses?
Ini pemikiran pak shahrour? Pemikiran pak Sadawi? Atau pemikiran pak AA sendiri?
Apakah Pak AA juga pernah terjebak friendzone?
Apakah Pak AA pernah di ghosting gebetan?

Apa sih Pak? Induksi logika pemikiran Bapak itu bagaimana?

Entahlah,  namun pasti ada alasan hingga nikah friend ini secara ajaib muncul dan perlu dibahas, dan perlu dipandang sebagai solusi.

8. Jadi kesimpulannya….

Iya jadi kesimpulannya, pak sharour ini teorinya subjektif! Bias!
Tapi ide bagus loh buat dicoba. INI APA BANGET SIH? Pemikiran filosofis apa yang terlewat oleh saya?

Ini saya yang memang bodoh, tidak sampai ilmunya, atau bagaimana?

IMG_0117

 

Saya sudah terlalu lelah hingga tidak mampu berkata kata lagi.

9. Baiklah… tapi Bapak pasti sudah terbitkan jurnal dong? Mungkin kalau manuskripnya lebih pendek saya bisa lebih paham. Iya dong! Eh tapi….

Tapi kok tidak ketemu?
Saya membandingkan disertasi yag belum direvisi serta Laporan Penelitian Individual yang bisa saya dapatkan di internet, dan menemukan bahwa Beliau mengaku sudah publish banyak sekali paper. Kita mau baca dong ya 🙂

Maka saya lacak satu per satu.
IMG_0072
Picture7

Sayangnya saya tidak bisa menemukan tulisan Beliau.

Archive terawal jurnal yang diakui sebagai tempat menulis pak AA sekitar tahun 2016 dan 2008. Sedangkan Pak AA mengaku menulis di jurnal-jurnal itu sejak tahun 2000-an.
Apa saya salah jurnal? Atau jangan2 hanya submit saja tapi belum publish?
Picture9
Picture10
Picture11

Saya tidak tahu. Tapi ini adalah hasil penelusuran saya.

Saya harap saya yang salah, saya yang terlewat dan kurang menggali google, dsb sehingga tidak menemukan tulisan Pak AA sama sekali.
Namun jika memang tidak ada….
Bukan Pak AA yang perlu meminta maaf, namun seluruh pihak terkait, termasuk promotor hingga pihak universitas sendiri.
Sangat tidak fair meloloskan disertasi yang bahkan belum teruji melalui tahap peer review.
Tahap peer review adalah tahap paling melelahkan, stress, menguras tenaga, namun itulah saat penulis belajar dan memahami apa sih kekurangan dari studi tersebut.

Lagi-lagi ini masalah kredibilitas.
Lulus S3 saja sih, gak susah susah banget…. tapi menjaga kredibilitas dan tanggung jawab dari gelar yang kelak didapat, itu amanah dari Tuhan. Katanya ber-Tuhan. Orang yang ber-Tuhan harusnya tidak mengelabui manusia lain, dengan cara apapun…termasuk mengaku sudah menulis jurnal ilmiah namun tidak terbukti.

Andai saja, andai…. setidaknya ada prosiding yang dibuat oleh Pak AA terkait dengan disertasinya. Mungkin saya masih bisa menerima. Namun, itu pun tidak saya temukan.

Saya kemudian mencoba mencari berdasarkan judul. Ada yang sedikit mirip, tapi sayangnya bukan karya Beliau 🙁
Picture12

10. Dan apakah kita perlu mencantumkan Karya Tulis yang BELUM/ TIDAK dipublikasikan

ini pun mengagetkan. Untuk apa mencantumkan karya ilmiah yang tidak dipublikasikan. Memang, pada CV… biasanya kita boleh mencantumkan beberapa karya yang masih dalam rencana/ masih dalam proses. Namun biasanya hanya 1-3 saja. Dan biasanya berkaitan erat dengan publikasi yang sudah diterbitkan. Itu pun bukan sebagai poin untuk lulus S3, namun hanya untuk menunjukan seseorang sedang dalam proyek penelitian dan dalam waktu dekat akan segera submit. Biasanya kalau dipresentasikan  bisa ditulis “to be submitted.”

Namun yang ada di list Pak AA, adalah karya sejak tahun 1995! Untuk apa? Untuk menunjukan list soft skill? Atau hanya butuh pengakuan saja.
IMG_0071

 

Saya mulai geram. Ada persamaan antara Pak AA dan Pak Shahrour idolanya: Sama-sama narsis. Lihat saja twitter Pak Mohammad Shahrour, harus repot mencantumkan DOKTOR pada akun twitternya. Padahal kalau karya Anda okesip sih, Pak, Anda mau cantumin gelar atau gak… orang akan paham dan tau.
Saya kecewa!
Patah hati!
Saya tonton betul klarifikasi dari seluruh pihak yang bersangkutan. Mengatakan bahwa seluruh metode ilmiah sudah dilalui. Namun mana buktinya? Mana? Mana wahai UIN Sunan Kalijaga??? Woi mana woi??? UIN itu Universitas Islam Negeri. Dalam Islam, kita harus bisa mempertanggungjawabkan perkataan dan perbuatan kita. Nah mana?

Saya sedih, meratapi kemampuan penyusunan karya ilmiah di dalam negeri.

Jika banyak dari kita yang tidak tahu konsep Milk al-Yamin atau tidak tahu siapa Mohammad Shahrour, mungkin wajar karena topik terkait hal ini sangat spesifik (lagian mendingan gak tau sih). Tapi, kalau sampai tidak ada yang mengkritisi metode ilmiah serta cara penulisan…? Ini baru menyedihkan karena hal ini sangat basic, dan sudah seharusnya dipelajari oleh mahasiswa setidaknya sejak S1. Jika tidak ada yang menyadari hal ini, maka… apakah kualitas penelitian ilmiah kita masih begitu rendahnya?

Saya tentu tidak bermasuksud memojokan siapapun. Saya pun tahu bahwa Pak AA berjanji akan merevisi disertasinya, namun saya harap revisi juga mencakup perbaikan metode penelitian serta pertanggungjawaban secara ilmiah terkait publikasi yang sudah ditelurkan. Publik berhak untuk mengetahui setiap komponen dari penelitian tersebut.

Semoga kita semua juga bisa belajar dari hal ini.

Namun, jika nanti Pak AA tidak mampu memperbaiki serta mempertanggungjawabkan seluruh komponen yang ia tulis pada disertasinya. Maka… tidak ada pertanyaan lain untuk Beliau, selain satu: Apakah Bapak memang sudah pantas meraih gelar doktoral?

Hingga tulisan ini saya akhiri, saya berharap Pak AA bisa melakukan revisi secara bijaksana dan cerdas.

Aamiin~~~~~

 

 

Cekrek!!! Memotret slide ketika kuliah, etis kah?


“Jadi kalau kalian foto itu semua slide, kalian beneran baca?” #tanyaserius

Image and video hosting by TinyPic

Mungkin jika saya kelak jadi dosen, hal pertama yang akan saya lakukan adalah: TURN OFF PROJECTOR! karena lama-lama kasus potret memotret slide itu semakin menyebalkan. Apalagi dengan hp jepang! Ya HP jepang, yang pasti bunyi ketika shutter ditekan =.=
CEKRIK!
CEKlek!
CEKROK!
JEPREEEET!
Wooooi! berisik!

Sebenarnya saya tidak bermasalah-masalah banget sih dengan orang-orang yang mengeluarkan hp mereka dan memotret seluruh slide. Mungkin ingin menyalurkan hobi fotografi atau memang sangat antusias dan ingin segera pulang ke rumah mencetak si foto dengan ukuran A0 dan memajang foto itu di kamar agar ngelotok di otak 😀 Semua kemungkinan bisa terjadi kan? Nah, masa iya menyalurkan minat dan bakat dilarang :’D Jangan iri dengki kamu, Mon!

Tapi kok saya lama-lama risih ya? Ini murni personal opinion loh ya… jadi tidak bermaksud mendiskriditkan siapapun.
Kata sensei saya, kalau mau mengkritisi sesuatu harus menjabarkan alasannya terlebih dahulu. Yo wis! Manut ae kalau ke Cencei mah.

1. Is that the way “today’s students” appreciate their teacher?
Saya pernah jadi mahasiswa nakal! Pernah sampai dikeluarkan dari kelas. Dibandingkan kalian, mungkin saya pernah jadi mahasiswa yang lebih buandel. Namun kemudian saya belajar, seiring dengan bertambahnya usia dan uban ya hahahhaha, bahwa bukan begitu cara menghargai orang lain. Setidaknya menurut saya.

Atau mungkin, ini sih saya saja yang “baper” karena sudut pandang saya sudut pandang introvert.

Image and video hosting by TinyPic

Saya sih jujur saja, jika saya mengajar di depan kelas… kemudian terdengar bunyi CEKLAK! CEKLEK! CAKRUK! aduuh saya kan jadi gak enak, jadi kalian merasa saya ini Kim Kadarshian?
karena saya jadi mikir kalian teh merhatiin gak? Ngerti gak? Bukan slide yang perlu kalian pahami, tapi pemaparan dan penjelasan yang disampaikan oleh orang yang sudah berbusa ngomong di depan kalian semua.

Yah mungkin hak kalian sih “Ih dosen sama guru tuh ngomong di gaji tau!”
Iya, betul… saya pikir kalau dosen mau kejam sih pamer muka aja…pajang slidenya terus bilang “Yak bocaaaah! foto nih, puas-puasin. Besok kuis!” selesai! Semua pun senang! Hahahahaha.
Saya ingat pernah suatu kali salah satu dosen saya bilang “Saya itu gak butuh kalian, kalian yang membutuhkan saya” sedikit mmmm… well agak manasin kuping sih, tapi yaaa emang iya sih hahhaa. We attend a lecture to absorb something that more than we can absorb just from read books or handouts, itulah fungsinya ada tenaga pengajar di depan hidung kita.

Kemudian saya berpikir dari sudut pandang guru. Sakit gak sih kalau udah berkoar-koar di depan kelas eh point of focus murid-muridnya adalah “menyalurkan hobi fotografi”. Nah… nah… pernah belajar TEORI KEBUTUHAN MASLOW? dua puncak tertinggi kebutuhan manusia itu adalah: Aktualisasi diri dan Penghargaan. Saya pikir menjadi pengajar itu bentuk aktualisasi diri yang bisa ditempuh seseorang, namun untuk sampai si puncak ini, seseorang harus mendapatkan “Penghargaan” terlebih dahulu… saya pikir penghargaan dari seorang pengajar salah satunya adalah penghargaan dan pengakuan dari murid-murid mereka.

Nah, kita kan murid-murid nih… iya gak sih? Katakan pada saya standar penghargaan kita terhadap guru itu yang benar seperti apa sih? Saya tidak tahu, mungkin standar saya terlalu old school.

Huuuuuu…. kuno lo, Mon!

Then, ok! let’s move on to another reason

2. BERISIK!!!!!!!! dan sorry to say MENGGANGGU!
Ya udah deh, saya ngalah… memfoto slide kuliah itu memang mahapenting. Namun saya tidak tahan dengan bunyi berisik gadgetnya. Apalagi handphone Jepang…. aduuuh itu bunyinya bisa satu kelurahan dengar. Mungkin beberapa orang tidak tidak masalah ya, tapi sayangnya saya ini manusia yang mudah terdistraksi, jadi yaaaa annoyed lah. Kadang saya sampai hitung loh berapa kali bunyi CEKREK handphone yang saya dengar pada saat kuliah.

Yah gitu doang… cupu sekali Anda Marissa.

Oh, bukan itu saja, Anda tentu paham jika Anda ingin mengambil foto slide, Anda harus mengangkat tangan Anda. Dan saya, si pendek ini, yang sukanya duduk di pojokan kelas, yang lebih suka mencatat, harus sabar menunggu lambaian tangan para fotografer. CEKREK CEKREK CEKRET. Yak! Selesai sudah kalian memotret, tangan turun…. dan yak! Slide pun berpindah halaman :’)

No prob…. sudah biasa~hiks.

Begini…
Ketika kita pergi ke Masjid saja, kita diminta mematikan atau at least silent mode si telepon. Kenapa? Kan handphone juga handphone kita… suka-suka kita dong!
Perlu saja jelaskan kenapa? Karena DIKHAWATIRKAN MENGGANGGU KONSENTRASI JAMAAH!
Siapa tau juga kan, Imamnya sudah sepuh… lagi mimpin shalat baca Ar-Rahmaan, eh tiba-tiba ada handphone bunyi, waaah…. bisa aja imamnya jadi buyar terus lupa “Waduuuh, ini Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban yang ayat keberapa nih?”
Bisa aja kan?

Maka saya pribadi berkesimpulan, kode etik itu sesungguhnya jadi latihan untuk kita semua dalam menghadapi the real life.
Bukankah hal seperti itu seharusnya membuat kita berpikir “Eh iya ya, kita itu harus meminimalisir kelakuan kita yang mengganggu orang lain” iya gak sih?
Karena tidak semua orang memiliki kondisi sebaik kita. Mungkin kita memang jenius, awesome, luar biasa, punya konsentrasi tinggi. Tapi di samping kita? di depan kita? belum tentu lagi.

Aduh saya jadi ingat kakek saya pernah bilang “In your life, jika kamu tidak bisa membantu orang lain, setidaknya jangan mengganggu atau merepotkan orang lain”

3. Are you really READ your photos?
Saya ini pencatat yang buruk. Catatan saya hanya saya yang paham. Di S1, tidak ada yang mau meminjam catatan saya karena 1.) tulisan saya jelek, 2.) catatan saya itu lebih berbentuk gambar dari pada tulisan. Alhamdulillah sih jadi gak ada yang minjem AHAHAHAHAHAHAA. Masih ingat kah kalian nasib para manusia dengan tulisan bak mesin tik? Catatan mereka selalu berakhir di tukang fotokopi :’P

Image and video hosting by TinyPic

Namun apapun ceritanya, mencatat itu lebih baik untuk mengingat apa yang sudah kita pelajari. Saya misalnya, walaupun seringkali FAIL, tapi saya pasti ingat “Eh iya itu loooh…. aduuuh yang pake stabilo ijo! Aduh yang minggu lalu, gw nulis kok kalau gak salah ini deh *lalu nulis random dan mengarang bebas* ”

Tapi foto? Mau kalian apain? di pajang di Path?
Pernah suatu hari, ketika saya masih menjadi asisten dosen, murid saya curhat “Kak, catatan saya hilang”
“Hah, kenapa? kok bisa? Kehujanan?”
“Bukan, Kak…. hp saya di reset ulang gitu”
Zzzzzzzz….. =.=

Saya sih yakin beberapa di antara kalian memang by default pintar dan rajin, jadi si foto itu kalian pelajari. Tapi, ingat jika kalian ingin ngiket itu ilmu, pengen gak mau ilang, maka CATAT. Foto mah, sekali reset ilaaaaang!
Ingat deh Ikatlah Pengetahuan dengan menuliskannya”  begitu kata Sayyidina Ali bin Abi Talib.
jadi if it is possible, at least catet apa aja lah hahahhaaha :’D

demikian alasan saya.
Namun saya menyadari ini juga bukan sepenuhnya kesalahan para murid sih. Beberapa memang terpaksa karena gurunya kadang pelit berbagi literatur atau handout yang perlu dipelajari lebih lanjut. Jadi mmmm… punten loh ini Pak…. Bu….
jika boleh, izinkan kami memperoleh seluruh bahan material kuliah sebelum masuk kelas.

“Lha, emangnya kamu baca, Mon?”

hehe… gak juga sih :p kan saya kadang bandel. Tapi setidaknya itu mengurangi alasan pembenaran diri bagi kami para murid yang kadang suka keterlaluan males dan bandelnya ini :’)
Sungkem saya untuk semua guru-guru yang saya hormati  😀

 

Sedikit Mengintip Kehidupan di Lab.: Karena hidup kami tidak seindah foto-foto selfie kami


Kadang gemes juga ya kalau ada yang bilang “Aduuuuh….enak banget sih sekolah di luar, selfie terus… fotonya bagus-bagus. Kayaknya happy-happy semua ya?” ahahahhahaa iya sih, namun tak jarang di balik layar kami semua hampa dan galau. Yang ngomong gitu tuh belum tau rasanya ketika stuck, sensei bilang lo harus ulang semuanya dari awal, pusing, laper, lembur di lab, nyampe rumah yang menyapa cuman seonggok kulkas kosong! That’s hurt, Bray! huhuhuhuhu… jauh dari rumah, apalagi untuk family person seperti saya ini sesungguhnya berat bgt. Saya kan tuan putri manja, kalau ada apa-apa di Indonesia pasti nguwel-nguwel adik saya dan curhat macem-macem ke Mama. Di sini? Gak ada, bahkan kucing pun gak ada. Ada kucing tetangga, tapi gak bisa ngomong bahasa Indonesia. Hiks.

Walau gak seburuk itu sih, saya happy dan bersyukur juga karena banyak hal 🙂 Tapi kalau dibilang “Wah sepele banget ya rupanya sekolah di luar” wowowowowow…. hold on a second! Baiklah, karena saya sering nginep di lab. pada kesempatan kali ini saya akan perkenalkan isi lab saya 😀 semoga bisa menjawab rasa penasaran kehidupan ngelab di Jepang ini seperti apa. Mumpung lagi gak ada siapa-siapa.

Waktu menunjukan jam 4 subuh
Image and video hosting by TinyPic

Entah kebetulan atau bagaimana, namun memang di lab saya ini seperti ada zona Ikhwan-Akhwat ahahahaha…. ada zona terpisah antara mahasiswa cowok dan cewek. Gak sengaja sih. Cuman ini juga karena pertimbangan anak-anak lab kan suka pada tidur atau bahkan nginep di lab, nah kan gak kece kalau kita yang cewek ngiler keliatan yang cowok-cowok begitu pula sebaliknya fufufufufufu.

Untuk yang belum tahu, saya ini mengidap dyslexia ringan… Saya tidak bisa membedakan dengan cepat antara kanan dan kiri, plus saya susah banget menghapal nama orang. Untuk memudahkan saya, dibuatlah denah tempat duduk ini. Karena saya iseng, jadi sekalian saya tambah doodle buatan saya ahahahhaaa…. sengaja biar saya ingat sifat dan hobi masing-masing teman saya di lab ini 🙂

Image and video hosting by TinyPic

Zona cowok memang lebih chaos hahahaha… tentu karena mereka lebih sering menginap di lab daripada kami para wanita-wanita lugu ini.
Di bagian tengah sih rapi…apalagi zona ini didominasi oleh pria-pria rapi.
Image and video hosting by TinyPic
tapi di bagian pojok…. pffffft :p kasur lipat, sleeping bag, dan selimut merajalela
Image and video hosting by TinyPic

Dan asal tahu saja, tiap laci penuh! Penuh dengan cemilan. Bukan untuk gempa atau bencana alam, tapi lebih untuk bertahan ketika begadang.

Untuk zona akhwat…uhuk…. ambil sudut pandang agak jauh lah biar gak malu. Lihat kursi paling berantakan dan penuh bantal itu? Naaaah itu meja saya! hahahahaha berantakaaaan. Kalau para pria punya kasur dan sleeping bag, saya punya bantal. Salah satu bantal bisa dibuka dan jadi selimut… kadang bisa jadi sajadah juga. terus si kucing item bisa jadi bantal. Jadi peralatan perang saya sesungguhnya tidak kalah lengkap.
Image and video hosting by TinyPic

dan karena kadang pengen ngopi (atau dapat voucher starbuck gratis), maka koleksi tumblr saya pun siap sedia di lab. Siapa tau khaaaaan…. rezeki nomplok.
Image and video hosting by TinyPic

Nah… di sebuah lab, selalu ada Asisten Professor yang menurut saya lebih intens berkomunikasi dengan mahasiswa dibandingkan dengan professornya sendiri. Saya punya asprof yang baiiiiiik banget (over malah), dan setiap kali kami stuck dan buntu… doski akan siap membantu. Kalau kemudian Beliau juga stuck… oh ne vous inquiétez pas 😀 Dia akan langsung mengecek literatur yang ada… widiiiih, cek dulu dong rak buku Beliau, cadazzzz!
Image and video hosting by TinyPic

Sedangkan kami, pemuda-pemudi negeri….
Ketika kami stuck, lemah, tak berdaya, dan gak ngerti harus apa… kami juga baca buku. Buku komik :p ya habis bagaimana, daripada semakin menggila kan 😀 tapi buku non fiction juga banyak kok di meja masing-masing.
Image and video hosting by TinyPic

Asprof saya juga beberapa kali bilang, minat baca pemuda Jepang menurun. Pffttt… belum ke Indonesia aja doi ahahhaahaha… lebih parah lagi :p

Lab itu semacam rumah kedua bagi mahasiswa di sini, apalagi untuk anak-anak yang menggunakan eksperimen untuk penelitiannya… wah handuk, sikat gigi, sabun, juga mungkin udah pindah semua ke lab. Saya juga ke lab sampai semalam ini karena saya agak malas bertemu manusia di siang hari hahhahaa. Some people love to work alone. Rasanya lebih baik bekerja saat malam hari di banding siang entah kenapa. Tapi jangan terlalu ditiru sih, kelak di dunia kerja bakal repot.

Kadang menginap di lab itu karena faktor kepraktisan juga sih… sudah menyimpan semua data dan sudah merun program semuanya di komputer lab, jadi kagok kalau harus menyambungnya dengan laptop di rumah 🙂 tapi saya juga pernah punya teman yang tidak bisa lepas dari laptopnya, dan sekalinya dia lupa bawa kabel, dia pun langsung pulang “My life is not complete without my laptop” dan orang macam ini asal memeluk laptopnya dia sudah happy dan bisa kerja.

Semua orang punya style masing-masing dalam mengerjakan penelitiannya. Saya pribadi sih paling males ya mengomentari “Ih si A kok jarang ke lab….”, “Eh si B kok gini ya…” bla bla bla…
Kita tidak pernah tahu seberapa keras seseorang berjuang di balik layar.
Biasanya saya pula setelah shalat subuh dan setelah mengecek jadwal kereta 🙂
Hal paling keren yang bikin saya betah kerja malam sampai pagi adalah: lihat matahari pagi.
Semua orang mungkin melihat matahari tenggelam dari jendela lab mereka hampir setiap hari, tapi tidak semua melihat matahari yang terbit dan perlahan menyorot Honkan 🙂
Image and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic

selain itu karena saya cinta banget star gazing, kalau mulai mengantuk dan bosan saya bisa keluar dan lihat bintang, and no one disturb me, no one said I am weird… I am alone, me and nature. Terakhir kali saya melihat bintang sebebas ini adalah ketika ayah masih ada, jadi ketika kesempatan seperti ini datang lagi, I can’t miss it.

Di balik dinding universitas….
Di balik dinding lab…
Tersimpan impian dan harapan mahasiswa-mahasiswa yang sedang berjuang menempuh pendidikan mereka.
Di balik dinding ini semua, saya mengalunkan doa-doa terbaik yang saya miliki, meyakinkan Tuhan bahwa Dia tidak salah mengamanahi saya untuk berada di sini.

Dan percayalah, semuanya sedang berjuang sebaik yang kami bisa dengan cara kami masing-masing 🙂

Why Indonesia [probably] will fail in Implementing “Paid Plastic Bag” Policy? : A Casual Economics Review


Caution: It will be a long article, so I draw some illustration. However, still boring but mmm maybe not in a deathly level 🙂

Happy Earth Day, Planet Earth!
Earth Day special, I want to look like a real “Green-Economist” and based on some requests I will write about Paid-Plastic Bag Policy in Indonesia. I don’t want to stress you with crazy creepy economics terms, so I tried my best to make it as casual as possible.Ah! And sorry, in English… while I want to do “more” with the Indonesian version.

Well, here the news! Based on a paper written by Jambeck, et al (2015) [1], Indonesia became the second biggest plastic waste contributors in the ocean, just below China which was in the first place. Is it serious problem? Definitely, yes! Indonesia already experienced a huge drop in fish harvesting because of unsustainable fish-catching (e.g. using bomb, poison, etc), climate change, and now: waste, to be precise plastic waste. The details summarized in the graph below:

Every book, including history books, noted that environmental problem usually happened in lower-middle income countries which try to transform their economic structure. But who want to be trapped in the same trap? Indonesia also learns from the past.  We love popularity but not as plastic waste contributor in this blue planet! Then, started from February 2016, Indonesia tries to implement “paid plastic bag” policy in 22 cities. Such an out-of-dated policy for some countries, but it is very new in my lovely country. How the policy works? In brief, you should pay 200 IDR (around 2 JPY or 0,02 USD) / plastic bag every time you do shopping in any modern retail stores. 

Then what happened all around Indonesia? Lots of people reject this policy. Of course if I am a policy maker, I will realize that my policy will gain some critiques and that’s not my business to please everyone. My jobs are increase people wealth and create environment sustainability. Haters always gonna be haters, but haters sometimes give their most objective critics, so let’s analyze their critics points.

After 2 months, there is no significant reduction of plastic waste in Indonesia. Probably, it is even more plastic waste than anybody can predict!

I remember, once in television, my favorite writer Arswendo Atmowiloto said “Indonesia people made their own economics theories.” As economist I will give standing applause for this quote. Leave your economics textbook, because it is beyond our imagination.

To counter this point I just can say: This is too early to judge that this policy totally failed. Still 2 months! What you can do in 2 months? Like a baby, they just already started to see his parent clearly. In business terms it still “test the water” part.

But, can that point come true? unfortunately, I should say  “Yes”.

I have several reasons:

First, we haven’s accustomed yet. No further explanation needed.

Second, There are no efforts from the shops to reduce the use of plastic bag. If today you go to any random retail store or supermarket in Indonesia and buy something there. Maybe you will find the cashier simply totaling your groceries plus your plastic bag even if you only buy a can of cola. “Oh, but I don’t want to use plastic bag” upss… sorry, but it’s already counted.

Third, Indonesian never really interested in collecting small change. Huh? Is it related to the topic? I will give you long explanation for this one.

In Japan, I really hate 1 yen and 5 yen in my pocket. But the good news is at least here I can make ATM machine busy enough to count and save my coins. Also all groceries are in prices which need 1 yen and 5 yen nominal.
Image and video hosting by TinyPic

In Indonesia? Nope! We even face difficulties to save our coins to the bank. Indonesia’s smallest nominal is 100 IDR. When I was kid I still can buy a candy with 100 IDR or using payphone, but today there are almost none with that nominal. So, if you have lots of 100 IDR coins, maybe you can keep it in your piggy bank, but it is also bring another problem. Once, my friend tried to bring her coins saving to the bank, she already counted that and she had around 500.000 IDR (around 50 USD or 5000 JPY) and this value is consisted by 5000 shinny 100 IDR coins!!! yes! around 5000 coins, maybe more.
Image and video hosting by TinyPic
Money is money, she confident that Bank will be kind enough to accept her coins. She came to the Bank and TADAAAAA…Bank rejected it. With a sad face she just asked me “What should I do with this? Make it for weight-lifting?” Trust me, that’s a true story. If you don’t trust me you can read another story here [Indonesian only]

This physiological tendency  then used by some supermarket and convenient store to ask “Do you want to make donation with your small changes? “ and with a lazy tone, almost all of us just simply said “Ok” without even ask where that exchange will go (another reason why recently there are high report about “small corruption” by the cashier).

Thanks to “paid-plastic bag” policy, trend will be slightly changed then!
Image and video hosting by TinyPic
If, for example, the exchange is 400 IDR, then an Indonesian see there are many things she already bought, of course it is rational decision for her to pay for 2 plastic bags than should donate it somewhere she never know. Even if she just needs one plastic bag, she still chooses to buy 2 plastic bags, one for her stuff, another one? Well… she will need it (although in fact no one ever re-use it, who need lots of plastic bag?). Even! If she don’t need plastic bag at all but then she heard the exchange will be, for example, 200 IDR! She probably say “Mmm…Oh okay, with one plastic bag please!” and she will feel she made a genius deal! How stingy Indonesian! Oh, no… that’s the most rational economic decision everyone probably take. In behavioral economics there is a statement that we, human, prefer something that gives exact utility for ourselves in the near future. We looking a way to fulfill our needs first before other people’s needs, even that’s a silly thing called plastic bag.

If this thing always happened then plastic industry will be so happy, yes! Why? 1. While there is no clear explanation where the money goes, let’s assuming it goes back to plastic bag producer, probably it can cover their production cost.  2. While demand of plastic bag are not changing (or even accidentally increased!) and there are no specific requirement from the government about plastic bag price, then voila! It is a great business for plastic company (sst… don’t say it to plastic company, please). I want to look cool here, let me draw you a curve to explain it.
Image and video hosting by TinyPic

Using the curve above, assuming accidentally plastic bag demand increases (say because the price is very affordable and the increase of income of Indonesian) .Economy start in EQUILIBRIUM state and  give us price of plastic bag in in Peq and quantity sold in Qeq. If the demand INCREASE (D shifted to the right become D’) then Qeq become Q’. If government kept the price of plastic bag still in Peq,  capturing the opportunities in the market, plastic company will INCREASE supply  of plastic bag (S shifted to the right become S’).

In the other words, plastic company will produce more plastic bag to fulfill market’s need. It is also means an increase in plastic waste. It is undeniable. Of course maybe it is “too extreme” case. However, I want to show that as long as the price is below or same with equilibrium price, plastic bag still promising product for the plastic company.

So, what should we do if we want to decrease the quantity of plastic sold by the market?
Again, economist should draw a lot of curves!
Image and video hosting by TinyPic

Assume we want to decrease Quantity sold until Q”, in economics one variable that can be modified is Price! Let’s make government firm enough to regulate the Price on P” which is above Peq. Supply curve always sticky enough to be changed (I mean we can’t force the company to reduce their benefit? Remember, in classical theory, company never care anything except maximizing their profit). But we, consumer… we sensitive with price :D. Consumer will think twice to buy that plastic bag, why should we waste money for such low quality plastic? Ewww…Go away plastic, our wallet really hate you! Right after that  comes into consumer mind, demand will decrease until D”. Plastic bag also will not profitable enough for the company and for sure they will decrease their production. What a news! we save the planet then!

Enough with curve,  still some points to explain.

Forth, “Monthly shopping” culture. If you go to Indonesia… you probably will see that people will buy huge amount of groceries! In our culture (based on my experience as 100% Indonesian!) we buy something for monthly needs. Here in Tokyo, I found that people buy groceries for weekly or daily so one small or medium size shopping bag will be enough.  I can show you how small Japan’s shopping bag is:

This is my shopping bag, I compare the size with B5 size book. Very compact (and fashionable). People can buy the bigger one than this, however the size is not really different with this one.

in Indonesia? Using shopping bag? Haha…No way!
Image and video hosting by TinyPic

Once a high-middle income families go to supermarket they will buy everything! One sack of rice, 5 boxes of noodles, soap, cooking oil, sandals, clothes, pencil, hairdryer, Venus, Mars, Jupiter, Saturn, everything! How many shopping bags do we need then? Even me, researcher on climate change field and also an economist, I will pay for plastic bag for this. While the plastic bags also cheap! Only 200 IDR… and based in the news I conclude that this price is below equilibrium price. Then we face excess demand of plastic!

“Hei! But who can beat custom and even culture?.” This one is a difficult part.
But I remember, I am such a bookworm, and can’t help with it. Every time I go to the bookstore, I can empty my wallet and buy a mountain of books, some of them are very thick. Then I realize one thing… here in Japan, no matter how heavy my books are, they will provide me with paper bags. At first I am really worry about it, and the only English sentence written there was “This bag made by recycled paper”. I thought it will be broken just 3 steps after I left the book store. However, I went around Tokyo bringing that paper bag with full books inside and it kept my books safe until home. I don’t know exactly about total production cost of “strong” recycled paper bag is, but if it is cheap enough I hope Indonesia can try to that’s one.

Fifth, No garbage separation policy in Indonesia. In Indonesia, you can throw any garbage anytime (and anywhere). Some places already try to separate garbage into organic and non-organic, however that’s “useless” because there are no separated garbage truck between organic and non-organic garbage. So, why Indonesian should separate it if then it will mix again on the truck? Why? Tell me…WHY!?

Hey! But why is it related to the number of plastic waste? Before answer that, let me tell you my story.

I am living in a town where there is no policy about paid-plastic bag. So, every time I buy my groceries (while I am Indonesian, I love to buy something for at least for two weeks ahead :p),  I get lots of plastic bag. But only in a week, there are no plastic bag left in my home.

Why? Because here, I am struggling to separate waste!  On “Recyclable garbage” day I should separated them into 8 type of garbage: Newspaper, leaflet/books/magazine, cans, pet bottles, card boxes, milk/ beverages boxes, food tray, and glasses jar. Assume there is a day I have all of these Recycled garbage types, then I need 8 plastic bags to separate them!

This is example from Meguro-ku (I took it from internet), in my place (Oota-ku) Recyclable waste should be separated into 8 types 🙂 different town, different policy but overall you should do lots of efforts for this. (photo credit: https://travelfoodguru.wordpress.com)

In another day, there will also “burnable garbage day” and “Non-burnable garbage” day… of course I need another plastic bag to separate them carefully. Bye plastic bag…
I can assure you that my home is free from any form of plastic waste.
I also can’t randomly throw my garbage without following the rule; the truck will never take your garbage if the garbage is not fit with the schedule. Such a hassle, but we happy because no garbage everywhere and ministry of environment  also happy while it is easier for them to process all garbage.
I think plastic consumption in Tokyo is higher than any other place in Japan, but the waste management is very good also so it is not such a big burden for Japan.

Back to Indonesia… as I told you before, we love buying something in huge amount for monthly stock, then we get lots of plastic bags and have no idea what we can do with them after that. Some people keep it and assume they will need it later; some people just throw it away. But in another month we do the same thing again… again… and again…

The story will different if Indonesia has a good waste management system. I think it is too early (and too crazy) to follow Japan waste separation system (they start to apply this system from Meiji period actually). Maybe try to separate organic and non-organic waste will be a good start. In that time, at least Indonesia can recycle the garbage better! Not only pile everything on the landfills!

To be honest! I think the main reason why there are lots of plastic waste in Indonesia is not only because we use so many plastics in our daily life, but also because government still have no idea what should they do with all of the waste!

Personally (really… this is personal thought), without any disrespect to Indonesian government efforts in reducing plastic waste, applying paid plastic bag policy before applying good waste management system is like learn how to make an airplane before learn basic physics. Or if you are an economist, it is like learn applied econometric before learn math. I mean, it is possible to work but will take time… so much time! It is possible, but somehow not efficient.

Well, that’s it…
I hope I give a friendly explanation about everything and give you some idea how to criticize this topic smartly 🙂

Good luck, Indonesia.
Good luck, all Indonesian.
let’s make Jambeck et al  revise their research result soon 🙂

=====================================

[1] Jenna R. Jambeck, Roland Geyer, Chris Wilcox, Theodore R. Siegler, Miriam Perryman, Anthony Andrady, Ramani Narayan,  Kara Lavender Law, Science  13 Feb 2015: Vol. 347, Issue 6223, pp. 768-771.

OVERLY DUMP WAY TO WRITE TO YOUR PROFESSOR [or Potential Professor] with some examples


“…And God…. tell us the reason, youth is wasted on their young!”(Lost Stars-Adam Levine)

Ok! This posting is quite important, let me write it in English. While if I write in Indonesian, I can’t control my emotion on it.

Sometimes my Sensei ask me to help him checking for  International Students application. Sometimes also some of my juniors in university ask me my opinion about their application. Some of them are really good.. but some of them, errrrrr 🙁 I almost got hypertension because of it. I have a nice friend who always become a “positive”person and said “Calm down, Marissa… they just need more information on it” but now… now…now… he is away. MWAHAHAHAHAHAHA…. I am unstoppable now, so I made a resume of “Dumb ways to contact your professor”and because I love all of you (although I look like a godzilla sometimes), I will provide you an example about how to contact your Professor or Professor-be.

Yes… sit down there, I will explain everything to you. It is okay to do some mistakes, but never make too-dumb mistakes.

WHY YOU CONTACT A PROFESSOR?
There are millions reason why you should contact a professor. If you are student now, you may need to ask some questions regarding to your research. If you are “student-wanna-be” you may find professor who willing to accept you in his/her lab.

WHAT YOU SHOULD NOTICE?
1. You are in the position need the Professor! Not the other way.
2. They are not in your age! They are older than you (oh come on, I can’t believe I should write this one)
3. While they are older than you, and perhaps not as “hi-tech”as you are, kindly make everything as compact and as simple as possible. NEVER! give any difficult link, with crazy password and the password should be written in Cyrillic, Arabic, and Chinese character. Trust me, even me… I will not open it.

password-requirements
4. Please be polite… keep your manner on it.

Well, can you give us any examples?

I will… I will… what’s no in this blog… Welcome to our main menu Today
OVERLY DUMP WAY TO WRITE TO YOUR PROFESSOR (Or maybe your Professor-Be).

1. Don’t Overvalue your Skill…. I mean, would you mind please to be: HONEST

Trust me I found this cases several times. I understand that you really want to show that you are “outstanding”… that you are “Distinct” from any other candidates who may contacts your potential professor. But, it doesn’t means you should write everything “too-much” and “too-far”

For example:
Image and video hosting by TinyPic
And please don’t be surprised if then the professor will try to “test” you like this (this example is only an illustration, sorry for any mistakes on Kanji, etc :p)
Image and video hosting by TinyPic
What will be happens to you:

I am also surprised, because it is not one or two times then some student ask me the meaning of their e-mail. Gyaaaa… I am not better than them. It is fine if we just ended mourning about our stupidity on that field, but if you want to believe me… I also sometimes find someone who blame me “Are you sure you can’t translate it? What are you studying there then?”
Huh?

Okay…
Let me tell you, you can say “I am able to do XYZ” if you already passed some official test and gain any certificate on it. As my knowledge, Japanese for example thought that if you say “I can speak Japanese” at least you are in N3 or N2 level. If you still in “kore-kore” and “sore-sore” level, you still in my level… come here, join newbie club :’D

If it is still not clear for you…
Well… listen to me.
Not because you read Quran everyday, still with sooooo many error in tajweed  and so on and so on, doesn’t mean you can speak Arabic.
Not because you can say “Ich liebe dich” to your crush, you can say you able to speak Germany.
Not because you can use microwave, you are an engineer!

Okay, it is no use to explain about it too much.
Let me show you how to solve this problem… here a little example that may help:
Image and video hosting by TinyPic

Remember, you contact for very important and busy person… please appreciate them. One wise way to appreciate them is also to ask for their solution and suggestion for your problems.
2. Don’t act like you are the busiest person in Planet Earth.

This is very common mistakes… and unbelievable also.

For example, something like this:

Image and video hosting by TinyPic

Take your time honey… don’t even need to wait for the reply because you will not get any :p
What do you think?
Your professor is very busy, so much more than you!
He has so many conferences, journals, research deadlines, and maybe also so many missed calls from his family who keep asking why he doesn’t have time.
Oh come on….seriously!

Except you are in special condition, and you afraid you are not available soon when your professor try to reach you. Maybe you can write something like this

Image and video hosting by TinyPic

Remember! You are in position “needy” not “needed”

3. Don’t be LAZY! and please be SERIOUS on it.
Image and video hosting by TinyPic
The most important point you should show to you professor is: Your interest to study and how serious you are. That’s why you need to write them your research plan so they can check whether your field is “click” with him or not, furthermore it is also to check how serious you are to study, your mission is to make you “targeted professor” can think “Oh wow, this student is good… he even already prepare about what he want to do”

And just to let you know that: Your professor is not working in University Admission office! So, please don’t ask him to send you all university requirements and forms. Because what: 1.) Every university has a website, 2.) Your prof. probably also lost about admission system. He knows, but maybe not in details.
I am really sleepy… I will stop soon.
But there are several additional  questions, I usually got.. let me answer it in short:

1. I want to study abroad, but I don’t have TOEFL/IELTS. Why the university not accept me just because that small certificate?
“…. because, you will not speak in your mother language here. Seriously. ”

2. I see so many happy faces in facebook, study abroad must be easier.
“…. our life is not as beautiful as our selfies. Please don’t judge a person by his/her selfie”

3. Why my Professor not answer my e-mail?
“… just wait for abour 3-4 weeks, if no response just contact another professor. He may very busy”

4. Where I can get scholarship?
“…. There are lots of source of it, you can google it 🙂 ”

5. Why there are so many requirements to get the scholarship?
“…. excuse me, are you complaining? Come on… there is an institution which want to fund you to continue your study by FREE. Of course they will make very high qualification.”

6. I am poor, I am stupid, I can’t do anything…. can I continue my study?
“… I am also not come from rich family, I am also not smart, I have nothing except my dreams and people who really loves me. Once in my life I want to make them proud of me with reaching my dreams. And here I am now. Is it enough to answer you question? Listen to me… life is tough, we should strong enough to face everything!

7. What will I learn in graduate degree?
*Throwing the syllabus*

To close this posting, I humbly want to say you something…
Maybe it is important for you to look distinct, outstanding,  awesome… and what can I say? it is your right. But do you know what is more important? To be well mannered!
You smart, you rich, awesome, almost perfect… but you can’t show that you have lovely personality, then everything just become a waste.
Education, in fact, exist not for making you become The Almighty… or become an ego-centrism human. It trains your way of thinking… make you more humble when you realize how many people give their time to teach you, when you see so many people who are better than you. In the same time, it trains you to accept your self… to say “It’s okay myself you already did your best” while you will realize that you may very good in something but really moron in something else… that’s a process to make you realize that “Ah I need anybody else in this planet.”
Education maturing and nurturing your heart and thought.

And while you are still a “green apple” would you mind to show to your teachers, your seniors, your friends that you ready to learn from them and in one point of time you can become a sweet “red apple” and from you there will be a high quality of apple trees 🙂

 

Now… it’s back on you 🙂

Have a nice day 🙂