Saat Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Menjadi Satu Kesatuan: Sebuah Gambaran Perguruan Tinggi Idaman


Bila pada suatu kesempatan Anda ditanya mengenai bagaimana gambaran Perguruan Tinggi  idaman, jawaban seperti apa  yang akan terlintas dalam pikiran Anda 🙂 ? Saya yakin, ada puluhan atau bahkan ratusan persepsi yang sekejap terlintas dalam benak Anda. Hal yang sama terjadi pada saya ketika melihat tema yang diusung untuk lomba blog UII yang diadakan oleh Universitas Islam Indonesia  mengenai: Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman. Percayalah! Tema menarik yang sederhana itu rupanya sulit  bagi saya untuk dipecahkan, karena pemahaman mengenai perguruan tinggi favorit dan terbaik tidak bisa dijabarkan secara sederhana (setidaknya menurut saya 😕 ).

Baiklah! Mari kita mulai dari persepsi paling awam sekalipun mengenai perguruan tinggi favorit  di Indonesia. Mungkinkah yang terlintas dalam  khayalan Anda (atau mungkin jutaan calon mahasiswa di luar sana)  adalah sebuah universitas mewah, dengan sarana dan prasarana yang mentereng, lalu tenaga pengajarnya begitu terkenal dan sangat sibuk sehingga untuk ditemui saja susahnya minta ampun, atau mungkin sebuah universitas yang mencetak lulusan-lulusan yang setiap harinya jadi topik pembicaraan di media massa. Tunggu dulu! Apakah itu yang dicari dari sebuah universitas? Sebagian kecil, mungkin ya! Tapi itu tidak sepenuhnya benar… bukankah universitas ada untuk mencetak akademisi? Lalu siapa dan untuk apa akademisi itu? Saya rasa itu bukanlah tujuan inti suatu perguruan tinggi terbaik dan favorit (setidaknya bila perguruan tinggi tersebut masih punya idealisme tinggi tentang arti sebuah pendidikan), ada tugas agung lain yang seharusnya disadari dan diemban dengan sangat serius oleh suatu perguruan tinggi.

Merujuk pada tulisan Bapak Alm. Andi Hakim Nasoetion dalam artikel Kembalikan Otonomi Pengelolaan di Perguruan Tinggi, Beliau menyinggung bahwa tugas universitas secara sederhana adalah melatih sumberdaya manusia menemukan pengetahuan baru yang benar serta menemukan cara pemanfaatan pengetahuan baru yang benar tersebut dengan lebih baik. Di sinilah kemudian sebuah misi mulia dari perguruan tinggi muncul yaitu TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI yang terdiri dari dari penyediaan jasa pendidikan, pengadaan penelitian, dan pengabdian kepada  masyarakat.

Saya berani bertaruh, universitas manapun di negeri ini tahu istilah Tridharma Perguruan Tinggi, dari yang sudah di-cap sebagai perguruan tinggi terbaik hingga yang kelas teri sekalipun tahu betul istilah itu. Lalu mungkin Anda akan bertanya, “Apakah relevan bila Tridharma itu kemudian menjadi pembeda antara perguruan tinggi terbaik dengan perguruan tinggi kelas teri itu?” Inilah jawaban saya: Bukan Tridharmanya, tapi implementasinya! Yang akan membedakan antara perguruan tinggi yang baik dan yang buruk sebenarnya sangatlah sederhana konsepnya…. Sudahkah perguruan tinggi tersebut mengimplementasikan Tridharma Perguruan Tinggi dengan baik?  Sudahkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat menjadi satu kesatuan jiwa dalam perguruan tinggi tersebut? Kalau belum, maka sudah seharusnya perguruan tinggi tersebut legawa untuk menyatakan bahwa mereka belum pantas disebut Perguruan Tinggi Terbaik. Mungkin Anda melihat saya sangat kejam dalam paragraf ini, tapi saya tidak menulis ini tanpa alasan yang kuat.

Apa pentingnya Tridharma Perguruan Tinggi?

Lagi-lagi mengacu pada tulisan bapak Alm. Andi Hakim Nasoetion (haruskah saya mengakui bahwa saya sangat mengagumi kecerdasan dan tulisan-tulisan Beliau?), bahwa Tridharma Perguruan Tinggi merupakan tiga serangkai yang tidak terpisahkan! Untuk memahaminya saya akan mengajak Anda untuk sedikit berkhayal.

Coba bayangkan sebuah perguruan tinggi tanpa kegiatan pendidikan? Tentu saja akan jadi perguruan tinggi yang sangat pincang karena tenaga akademik tidak bisa melakukan penelitian dengan baik, pencetakan sumber daya manusia yang terdidik pun tidak ada, jangan coba tanyakan mengenai pengabdian masyarakat! Sudah barang tentu tidak mungkin terjadi, apa yang mau diabdikan kalau sumber daya manusia yang terdidik untuk diterjunkan ke lapangan saja tidak ada, dan penelitian pun seadanya.

Sekarang bayangkan sebuah perguruan tinggi dengan pendidikan yang baik dan intensif serta melakukan pengabdian masyarakat, sayangnya tidak tertarik melakukan penelitian. Kelihatannya tidak ada masalah bukan? Baiklah, mungkin khayalan Anda belum terlalu jauh, tapi bukankah mahasiwa di dalam perguruan tinggi itu hanya akan mempelajari teori-teori yang sudah ada dalam buka text book tanpa melakukan pengembangan yang lebih lanjut terhadap teori tersebut. Ambil saja contoh sederhana bila ada seorang mahasiswa ekonomi yang terus menelan bulat-bulat teori ekonomi klasik dan mengasumsikan bahwa segala hal yang terjadi dalam perekonomian adalah cateris paribus (mengasumsikan kondisi di luar pengamatan konstan). Maka, kalau ada lonjakan harga di pasar secara tiba-tiba, atau bila resesi ekonomi global terjadi, maka mahasiswa sarjana-sarjana text book itu hanya akan diam, melakukan kebijakan yang sekenanya (dan sama persis dengan kebijakan tahun-tahun sebelumnya TANPA PERUBAHAN SAMA SEKALI), dan dengan santai berkata “Okay! Cateris Paribus sajalah~” Mengerikan bukan? Ya! Saya tegaskan sekali lagi, apa gunanya sebuah perguruan tinggi bila tidak mendorong civitas academica-nya untuk melakukan penelitian terhadap kejadian di lapangan? Apa gunanya bila perguruan tinggi hanya membuat civitas academica-nya menelan mentah-mentah buku text book yang  cepat atau lambat akan menguning?

Sekarang imajinasikan hal yang lebih mudah lagi, sebuah perguruan tinggi, dengan sistem pendidikan yang aduhai dan kegiatan penelitian yang wah, tapi… si perguruan tinggi itu pelit untuk mengimplementasikan pendidikan dan penelitiannya ke lapangan. Satu komentar singkat: Alangkah pelitnya perguruan tinggi tersebut! Dosen ekonometrika saya pernah bilang kepada kami mahasiswanya bahwa kami kuliah dengan menggunakan uang masyarakat, lahan masyarakat, dan berdiri di atas jutaan harapan masyarakat yang ingin negeri ini lebih baik di tangan para akademisi muda, jadi mau tidak mau, kami harus mengabdikan diri ini untuk masyarakat. Apakah gunanya ilmu yang telah dipelajari dan penelitian yang telah menghabiskan berlembar-lembar rupiah bila kemudian tidak diamalkan? Rasa-rasanya, Tuhan pun kesal bila hal ini terjadi!

Lalu bagaimana?

Kata “bagaimana” selalu menjadi pertanyaan inti dari suatu permasalahan. Tentu saja jawaban singkat dari permasalahan ini adalah memahami dan mengimplementasikan Tridharma Perguruan Tinggi tersebut secara menyeluruh.

Pertama-tama, bagi saya sebuah perguruan tinggi terbaik adalah yang kemudian merekrut calon-calon mahasiswa terbaik dari seluruh wilayah Indonesia, hingga ke pelosok daerah, tanpa terkecuali! Bukankah pendidikan sudah didaulat sebagai hak untuk rakyat di negara ini? Maka saya ingin menagih jamji tersebut lewat perguruan tinggi yang ada di Indonesia, beranikah mereka merangkul mutiara-mutiara dalam lumpur yang mungkin ada di pelosok nusantara ini? Atau mereka hanya peduli dengan komersialisasi pendidikan sehingga pendidikan untuk generasi muda bangsa yang cemerlang seringkali tersisihkan? Ini yang mau disebut Perguruan Tinggi Favorit? Sadarkah Anda, bila Anda ingin memperbaiki bangsa ini, maka yang perlu dilakukan adalah pembuatan kebijakan yang tepat untuk segala sektor, pembuatan kebijakan yang tepat tidak akan terwujud tanpa SDM yang baik dan berkualitas, dan SDM yang baik serta berkualitas itu tidak akan ada tanpa pendidikan yang baik dan seimbang!

Bila target secara nasional secara nasional telah tercapai, maka akan tiba waktunya membidik mahasiswa dari luar negeri. Tapi tidak perlu khawatir! Selama perguruan tinggi tersebut melakukan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang baik, maka dengan sendirinya mahasiswa asing akan menuntut ilmu di perguruan tinggi tersebut. Yang terpenting adalah mereka akan dating karena kualitas! Bukan menjadi perguruan tinggi penampungan bagi mahasiswa-mahasiswa yang tidak diterima di universitas elit di negara mereka masing-masing.

Langkah selanjutnya adalah mewujudkan situasi akademik yang mendukung terlaksananya tridharma perguruan tinggi. Disinilah peran dan interaksi dosen-mahasiswa sangat diperlukan. Perguruan tinggi favorit juga sudah sepantasnya memiliki tenaga pengajar favorit, bukan hanya favorit bagi wartawan, tapi juga bagi mahasiswanya dan calon-calon mahasiswanya. Ya! Saya yakin kita semua sepakat, sebuah perguruan tinggi yang baik membutuhkan tenaga pengajar yang kawakan, cerdas, memiliki pengetahuan yang luas, dan mudah bersosialisasi dan diajak berdiskusi dengan mahasiswanya. Poin terakhir itu sangat penting. Saya senang mengutip perkataan dosen kimia saya, sewaktu saya masih duduk di Tingkat Persiapan Bersama, yang menyatakan bahwa antara dosen dan mahasiswa itu memang ada pagar pemisah tapi pagar itu tidak boleh begitu tinggi agar mahasiswa bisa berdiskusi dengan si dosen dan si dosen bisa menambah masukan dari si mahasiswa sehingga bisa menjadi teladan yang lebih baik lagi.

Pernah dengar istilah yang muda belum boleh bicara? Seharusnya ini dijauhkan sejauh mungkin dari dunia pendidikan. Dosen tidak boleh semena-mena menganggap bahwa diri mereka lah yang paling baik! Lalu arogan dan menganggap bahwa mahasiswa terlalu cetek untuk berpendapat. Di lain pihak, mahasiswa pun tidak boleh jadi pribadi yang kurang ajar! Bagaimanapun dosen adalah orang yang perlu dihargai, apapun alasannya. Sederhana bukan? Persis seperti pelajaran PPkn yang kita pelajari mati-matian saat duduk di bangku SD dulu. Bila itu terjadi, maka suasana diskusi ilmiah bisa terwujud. Bayangkan bila antara mahasiswa dan dosen tidak memiliki interaksi yang baik… apakah si mahasiswa bisa melakukan kegiatan penelitian sendiri? Atau bahkan apakah jiwa akademisi mereka akan muncul? Lalu apakah seorang dosen hanya ingin jadi makhluk paling pintar sendiri seumur hidupnya? Tentu tidak, bukan? Oleh karena itulah, saya percaya interaksi yang baik antara dosen dan mahasiswa yang baik sudah cukup mengembangkan jiwa akademisi yang haus akan ilmu pengetahuan dan siap mengabdi untuk masyarakat.

Jadi disini juga mahasiswa punya hak yaitu freedom to learn yaitu kebebasan untuk mempelajari sesuatu secara luas, tidak terhalang oleh dinding kampus dengan bimbingan dan arahan dari tenaga pengajar yang kompeten, serta freedom to communication dimana Kebebasan berkomunikasi yang baik adalah adanya peluang mahasiswa untuk berpendapat, bertanya, berhak untuk melontarkan gagasan ilmiah secara obyektif serta kebebasan untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan publikasi hasil-hasil penelitian kepada seluruh komponen Perguruan Tinggi dan terhadap lingkungan masyarakatnya. Lagi-lagi, ini semua tidak akan tercipta tanpa ada kerjasama yang baik antar komponen perguruan tinggi.

Mungkin saya sudah membuat mata Anda terlalu letih membaca tulisan saya, baiklah…bila untuk terakhir kalinya Anda kembali menanyakan pada saya mengenai bagaimana perguruan tinggi favorit di Indonesia menurut saya, maka itulah jawaban saya. Saya membutuhkan sebuah perguruan tinggi yang penuh dedikasi, bukan sekadar untuk bertahan di tengah resesi ekonomi dan krisis kepercayaan pemerintah lalu mendewakan komersialisasi. Saya ingin duduk dalam perguruan tinggi dengan idealisme untuk mengabdi kepada bangsa dan bahkan pada dunia ini, saya ingin menginjakkan kaki saya di sebuah perguruan tinggi yang tengah berjuang mempertanggungjawabkan idealismenya itu demi kebenaran dan ilmu pengetahuan di depan Sang Maha Mengetahui. Kini… saya dan mungkin Anda, tengah menjadi tonggak yang menentukan apakah perguruan tinggi tempat Anda berada sekarang sudah pantas Anda sebut sebagai perguruan tinggi terbaik, marilah kita memulainya dengan menilai diri kita sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Nasoetion, Andi Hakim. 2002. Pola Induksi Seorang Eksperimentalis. Bogor: IPB Press

NN. Peran Mahasiswa dalam Mengemban Tridharma Perguruan Tinggi. dakwah.uin-suka.ac.id/file_ilmiah/afif-peranmahasiswa.rtf. [terhubung berkala]. Diakses tanggal 25 Januari 2010.

NN. Mutu Dalam Tridharma Perguruan Tinggi.  http://eng.unri.ac.id/download/teaching- improvement/BK1_QualityAwareness_1/Mutu_dalam%20-%205.pdf [Terhubung Berkala]. Diakses tanggal 25 Januari 2010.