IPB: Institut Paling Baik! Baik sih, tapi…
A life learner....Books, movies, and glorious foods lover. Have a big dreams... but wanna \\\"bigger\\\" than her dreams. A life learner... Love books, glorious foods, and great movies. Proud to be a woman, daughter, sister, and best friend. A dreamer! I am the one who want to be bigger than my dreams. Future researcher and writer.
Masuk IPB itu pilihan terakhir kalau tidak diterima di PTN lain! Susah keterima kerja, kalau gak susah lanjut sekolah lagi apalagi keluar negeri.
Salah satu guru SMP saya berpendapat demikian (ish… awal aja kalau anaknya nanti masuk IPB mwahahaha *siap sendok garpu*). Bahkan teman sekamar asrama saya pernah ada yang sampai menangis karena khawatir tidak akan mendapat pekerjaan setelah lulus dari IPB. Ada juga yang bilang IPB mah bubarin aja toh udah gak jelas kontribusinya pada sektor pertanian termasuk salah satunya yang nulis ini
Mungkin secara kasat mata memang benar bahwa anak IPB itu setelah lulus lebih banyak yang memilih langsung kerja bahkan kadang hantam aja di sektor-sektor yang tidak terkait dengan pertanian, beberapa langsung menikah muda. Kayaknya kok IPB itu kurang heboh ya gaung-gaungnya dalam dunia Indonesia Raya ini. Hmmm kadang mikir “iya juga sih ya”… eitsss tapi apa benar? mari kita telaah lebih lanjut.
Gini loh ya…yang perlu dipahami mungkin adalah, IPB mayoritas diisi oleh anak daerah (setidaknya ketika saya masih kuliah di situ), makanya saya bilang IPB: Institut Paling Baik… karena memang menjaring anak-anak dari daerah. Kadang saya ketemu teman dari pulau jawa aja… pas dia sebut nama daerah tempat dia tinggal saya langsung cek google maps dan taraaaa tidak ada di google maps! Asiiiing pokoknya! Apalagi kalau udah di luar jawa, owalah… luas tenan yo Indonesia iki. Bahkan dari Papua pun ada, saya sampai takjub…. saya ingat mereka pernah bilang “Ikan di jawa ini tak enak… di bumi papua ikan melimpah dan segar-segar” wuaduh….
Eh btw…btw…
Menilik pengalaman hidup saya yang pernah tinggal di desa, bisakah nalar kita semua membayangkan bahwa jangan-jangan sebenarnya kehidupan anak-anak daerah di IPB lebih berat dibandingkan kehidupan saya (kisah lebih lanjut akan saya ceritakan kemudian).
Maksud lo apa, Mon?
Begini… begini….
Kalian tahu, dalam sebuah penelitian… harga rumah kos dan jajanan kampus di IPB merupakan salah satu yang termurah di Indonesia jika dibandingkan dengan kampus lainnya. Coba kerahkan sel abu-abu kalian untuk berpikir, mengapa demikian? Karena mayoritas dari mereka berasal dari keluarga yang pas-pasan.
Siapa bilang anak IPB tidak ada yang bekerja di bidang pertanian? Oh banyak sekali, beberapa dari mereka kembali ke kampung halaman… mengembangkan pertanian di desa masing-masing. Beberapa ada yang di instansi, dan beberapa ada yang di perusahaan swasta yang bergerak di bidang pertanian. Masalahnya satu, pemahaman banyak orang tentang pertanian itu hanya sebatas cangkul…cangkul…cangkul yang dalam… padahal kalau di keilmuannya sendiri ruang lingkup pertanian itu luas sekali dan mencakup hulu hingga hilir.
Kok gak keliatan? Lha wong dosen IPB yang menemukan metode bius udang saja ndak terkenal dan copyrightnya kemudian diambil begitu saja oleh suatu perusahaan. Mahasiswa agronomi ada yang hasil tani kentangnya dibeli sama Mc Donald karena kualitasnya bagus. Pada tahu gak? Gak kan? Atau tahu tapi samar-samar kan? Di sini jelas sebuah kritik untuk IPB, hampir seluruh civitas academica-nya terlalu humble, menjurus ke malas gambar-gembor. Berulang kali saya berpikir, kenapa ya kok gitu banget makhluk-makhluk di kampus ini.Narsis dikit aja kok ya susah tenan yo. Beberapa penjelasan yang masih bisa saya pikir logis adalah, karena mayoritas dari mereka adalah anak daerah yang sudah ter-set “tidak perlu muncul” untuk beberapa hal. Kurang PD gitu… Mungkin kedepannya perlu juga nih IPB lebih gahol dan ada pelatihan semacam public speaking, table manner, dsb… biar lebih gahaaaaaar di muka bumi. Ini juga bisa jadi alasan kenapa masih ada saja kasus mahasiswa yang gak bilang ke siapa-siapa kalau mereka gak sanggup bayar uang kuliah. Budaya dan lingkungan beberapa dari mereka terkontaminasi budaya malu-malu,minder, dan pasrah begitu saja… ini yang harus jadi PR besar untuk IPB.
Iya sih gak perlu sombong, tapi gak perlu terlalu pendiam juga kali ya. Ih kadang gemes, IPB itu seperti penyanyi dengan suara emas, tapi masih malu-malu untuk naik panggung. Lha kalau gak manggung gimana orang liat kan?
Terus kenapa sih sekarang banyak anak IPB yang masuk perbankan atau publisistik, gak nyambung tau! Pertaniannya mana? IPB sekarang jadi Institut Perbankan Bogor dan Institut Publisistik Bogor, Bah!
Loh itu sih apa urusan kita? Rezeki orang bukan kita yang ngatur kan? Tapi jika menyambung analisis sebelumnya, maka bisa jadi ini ada kaitannya dengan kondisi sosial dan ekonomi dari beberapa anak daerah yang sekolah di IPB. Ingat! Budaya nyinyir di negeri ini kadang lebih tajam dari gergaji lebih ganas dari piranha. Beberapa dari mereka pasti banyak yang mendapat tekanan dari keluarga maupun masyarakat untuk segera mendapat pekerjaan dan segera mapan. Makanya sesekali jalan ke desa atau at least ke sub urban area :p kalo gak sempet baca deh sosiologi pedesaan. Di beberapa daerah dan bagi beberapa kelompok masyarakat, menjadi sarjana itu udah yang paling TOP, kece, dan aduhai… maka ketika mereka sudah lulus, tuntutannya cuman 1: cepat mendapat pekerjaan. Selesai! bukan kisah aneh kan? Ada pemikiran di beberapa bagian masyarakat, “Sekolah udah mahal-mahal kok ndak kerja-kerja? Ndak usah kuliah kalau begitu”
Kondisi ini akan “didukung” dengan background kondisi ekonomi dari keluarga orang yang bersangkutan. Nah, kalau doi dari keluarga yang pas-pasan… dia harus gimana setelah lulus? Kerja kan? Keluarganya kan bukan kuda lumping yang makan beling! Bukan juga pemain debus yang bisa telan bara api.
Sebagai pemerhati ulung, pekerjaan yang paling banyak menyerap fresh graduate dan mengambil almost all majors adalah bidang perbankan dan publisitik. Ya mereka masuk situ lah…. Salah? Loh kenapa salah…? Ini kan bukan urusan saya, bukan juga urusan Anda, ini urusan rezeki dari Allah…. ini juga masalah kehidupan dan penghidupan. Lagipula kalau kompetensi Anda baik, kenapa harus pusing dengan mahasiswa IPB yang masuk ke bidang2 tersebut. Susah amat ya damai damai aja gitu -.-
Kenapa gak bisnis di bidang pertanian aja?
Allahuakbar… kan udah dibilang secara ekonomi beberapa dari mereka mungkin mereka dari keluarga pas-pasan. Mau tani? Keluarga mereka juga jangan-jangan petani gurem, apa yang bisa diharapkan dari penghasilan petani gurem? gap harga level petani sampai pasar aja bedanya jauuuuuuh banget. Pinjam dari bank? Bisnis yang disetujui dapat kredit kan yang sudah mapan, belum lagi syarat macem-macemnya. Helow… memangnya bisnis itu cuman modal bismillah jadi. errrr… Bisnis itu butuh skill loh…
Hal di atas juga bisa menjadi sedikit jawaban kenapa kok secara kasat mata anak IPB yang lanjut ke luar negeri gak sebanyak dari univ lain ya? (secara kasat mata loh, saya tidak punya angka pasti untuk membuktikan pernyataan ini) ada 2 kemungkinan. 1. Anak IPB malas gembar-gembor (dan jujur saja ikatan alumni IPB juga makin kesini makin kurang erat, jadi publikasi prestasi alumninya juga gak [akan] terlalu heboh] , 2. Karena tuntutan kehidupan (motif sosial dan ekonomi).
Hah capek nulisnya….
Oke deh. lalu kenapa IPB kok sekarang kesannya politis banget ya dan kayak Univ,nya salah satu parpol tertentu.
Hiiih, itu sih cuman beberapa…saya gak tuh.
Saya sendiri ingin menjitak beberapa orang yang terlalu adore dengan partai-partai tertentu. Saya mah sok-sok aja, hak asasi lagi… tapi jangan di kampus. Saya mencintai dunia akademis, saya tidak rela jika dunia ini dinodai oleh kampanye terselubung parpol-parpol. Nah ini loh, saya netral kan? masih banyaaaaaak lainnya yang netral.
Nah sekarang masalah, IPB lebih layak jadi pesantren karena over religius.
Hmmmmm…. memang sih banyak yang ikhwannya ikhwan bangeeeet, begitu pula yang akhwat akhwaaaat bangeeet. Tapi jangan salah yang nyeleneh juga ada. Nih saya ini. Yang kejawen aja ada kok…. tapi yaaaa buat apa pusing-pusing mikirin masalah SARA.
Saya hanya mau bilang, sekolah di IPB itu muaaaampuuussss susahnya! Mana kalau ngulang mata kuliah transkripnya dikasih tanda bintang pula jadi ketahuan kalo nilai kita hasil ngulang. Dapet nilai juga susah….Asem lah pokoknya….Kalau gak religius di sini mah atuh bisa bunuh diri atau gila kali. Sudah ada kasus orang yang loncat dari tower, gantung diri, atau jadi gila… oooh banyak…
siapa yang bisa nenangin hati dan pikiran kalau bukan Tuhan? Siapaaaaa???? terus kasus yang terlalu ikhwan dan terlalu akhwat itu gimana. gak apa-apa… mereka ganggu Anda? gak ganggu saya juga tuh… jadi ya udah jangan saling ganggu. Masalah ruang kelas ada yang sampai dipisah ikhwan-akhwat, ya biarin aja hahahaha….bagus juga kadang, jadi yang pacaran bisa rada lebih fokus pas dipisahin. Lagian gak semua kok. Saya malah kalau bisa ikhwan-akhwat dipisah ruang sekalian, bukan apa-apa… ruang kelas di IPB banyak yang panas hahahhaha 😀
Saya tidak peduli! Pokoknya IPB lebih baik BUBAAAAAAARRRRRR!!!!!
hah? Hah? Waduuuh… kenapa? Kenapa?
Hmmm gimana ya kalo dibubarin, bakal seru kali yaaa…. saya kemudian iseng menanyakan ke adik saya yang masih kelas 1 SMA,
“Jadi ki, gimana kalau IPB bubar aja? Katanya udah gak ada kontribusi buat pertanian, bro”
“Loh fakultas pertanian kan gak cuman di IPB aja, Kak….kenapa yang harus bubar IPB. Kasian banget”
“Yeee, kan namanya aja Institut Pertanian Bogor, tolok ukur kemajuan pertanian yang dari si IPB ini lah”
“Lah.. kalau IPB tolok ukur pertanian dibubarin, gimana nasib fakultas pertanian di univ lain kan? Dan gimana nasib pertanian secara menyeluruh. Mungkin sekarang gak bagus-bagus banget, tapi kalau bubar yaaaaa makin hancur lah”
Bravooooo……! Waaah standing applause ah… Itu jawaban adik saya loh! Kelas berapa? Kelas 1 SMA! Masa iya kematangan pola pikir kita dan mempertimbangkan sesuatu kalah sama adik saya? Apalagi kalau udah menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi dari 1 SMA, gengsi aaaah 😀
Jujur saja saya tidak membela IPB sepenuhnya.
bagi saya sendiri IPB masih perlu buaaaaaanyaaaaak berbenah di bidang birokrasi…. memperbaiki mental dan kepercayaan diri beberapa mahasiswanya…. memperkuat hubungan alumni…. meningkatkan prestasi dan semakin aktif mempublikasikannya…. lebih aktif dan agak lebih agresif lagi mendorong kemajuan sektor pertanian. Wiiiiiiiihhhhhh buanyaaaaaak…. heran deh ada yang mau jadi rektor IPB, kalau saya gak mau ah, pusing hahahha.
Namun IPB tidak salah sepenuhnya. IPB berjuang untuk menjaring anak-anak daerah bahkan dari daerah yang kadang kita gak kenal judulnya apa. Berjuang juga menyediakan pendidikan berkualitas yang gak mahal-mahal banget. Kalau gak ada IPB, orang seperti ayah saya dulu dan beberapa teman saya, mungkin tidak akan melanjutkan sekolah. IPB juga sudah banyak mencetak ilmuwan-ilmuwan serta praktisi-praktisi ahli di bidang pertanian dan bidang lainnya, walau mungkin ada banyaaaaaak yang belum terlalu dikenal.
Saya hanya berharap IPB bisa memberi perhatian yang lebih baik lagi untuk mahasiswanya juga untuk negeri ini. Mahasiswa juga kalau ada kesulitan mbok yang komunikasikan baik-baik. Yaaaa semuanya, bagaimana kalau menjalankan perannya masing-masing dengan baik-baik dan sebaik-baiknya.
Jelas kan… tidak ada yang salah dalam hal ini, masalahnya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kan kita sadar tidak sempurna, makanya terus ada perbaikan. Saya sedang memperbaiki diri, saya rasa IPB juga. Hfffttt…. long journey ya? Yup! Long journey dan akan terus berlanjut!
Salam damai untuk semuanya!