Cerita dari sebuah masjid kecil di pojok Tokyo: Catatan tentang toleransi dan saling menghargai


Entah kenapa Allah memang suka memberikan saya kisah-kisah baru yang mungkin jarang orang lain alami. Padahal kalau dipikir-pikir, saya kan kurang suka dengan keramaian ya. Mungkin karena saya punya blog yang masih hidup, dan saya percaya Allah mempercayai saya untuk menuliskan pengalaman menarik yang saya alami.

Kali ini ada berton-ton kisah dari sebuah masjid kecil yang sering saya kunjungi di Tokyo. Namanya As-Salam mosque. Ada beberapa alasan mengapa saya lebih sering ke masjid ini.

1.) Line kereta, karena letaknya yang dekat stasiun shin-okachimachi dan alhamdulillah terlintas tsukuba ekspress, jadi ketika saya beres latihan musik (yes, I am a music player too 🙂 gini-gini saya pemain koto loh) saya lebih memilih ke tempat ini. Kenapa tidak ke Tsukuba mosque, karena jatuhnya sama saja! Bagi saya yang tidak punya kendaraan pribadi, posisi masjid Tsukuba keterlaluan makan waktu. Apalagi untuk shalat Ied, hampir pasti saya tidak akan sempat mengejar waktu kesana.

2) tempatnya cukup strategis. Ada tempat yakiniku halal tepat di belakang masjid, lalu di sekitarnya ada toko makanan halal yang cukup murah meriah, belum lagi klo bosen makanan halal ada resto vegan juga 😀 I love foods!

3) Lebih sepi, bagi saya masjid itu untuk ibadah. Wong orang lagi galau kok, kan mau pembicaraan dua arah ya sama Tuhan. Jadi memilih tempat yang rada sepi lah.

Selain itu, khusus untuk shalat Ied, saya lebih suka tempat ini karena saya ingin menghindar dari sebuah fenomena kericuhan mahadahsyat yang seringkali terjadi ketika banyak jamaah dari Indonesia “FENOMENA SAJADAH”. Yang belum tau skandal sajadah, maka izinkan saya jelaskan terlebih dahulu.

Fenomena Sajadah : Sebuah fenomena dimana jamaah akhwat akan menyuruh seluruh jamaah lain untuk maju dan merapatkan shaf di baris paling depan, namun yang menyuruh biasanya tidak inisiatif untuk maju juga, disebabkan sudah telanjur gelar sajadah atau kadang hanya perkara penempatan kipas angin yang tidak ramah untuk penderita masuk angin.

Gak maen deh mamen kayak gitu-gituan…. Kadang lagi asik-asik mau doa loh, langsung lupa karena disuruh maju atau mundur atau apapun lah itu.
Image and video hosting by TinyPic

Tapi lebih dari itu, ada hal lain yang membuat saya jatuh cinta pada tempat ini.

Bertemu Saudara-Saudara Muslim dari negeri yang berkonflik

Nah! terdengar seru kan. Kalau kata Sudjiwo Tedjo, Tuhan itu Mahabercanda… kayaknya ini saya rasakan. Entah kenapa saya yang malas ngobrol ini ketemu aja orang-orang yang suka mengajak saya ngobrol ngalor ngidul, lha… saya kan jadi keasikan juga ngobrol.

Pernah ketika saya disini, pas sedang membaca Quran karena ceritanya lagi galau, tiba-tiba ada mbak-mbak yang nyapa dan bertanya asal saya dari mana. Entah apa dasarnya banyak yang salah mengira saya berasal dari negara-negara Asia Tengah, lalu kemudian kaget ketika tahu kalau saya tulen orang Indonesia mix Aceh dan Madura.

“So, you come from Indonesia? Oh sister…. I am from Myanmar. You know Rohingya, I am Rohingya”

Waduh! Biasanya kan cuman denger di berita ya, ini ketemu langsung loh.
Dengan bahasa Inggris yang terbata, dia bercerita tentang kondisi keluarga dan juga etnisnya.

“Masha Allah Sister, I really want to live in your country, I want to learn your language, I want to spend a whole life in your country. It such a beautiful place, and food…food are good very good. Allah bless your country very much.”

Terus baper, dan rasanya mau nangis kalau inget kondisi di tanah air sekarang ini. Mau nangis karena bagi saya sih, kita harus mulai mengakui bahwa kita tidak se-“heterogen” yang kita banggakan. Wong beda partai aja bisa saling ngafir-ngafirin. Wong di media sosial aja bisa perang cuman perkara mau ganti presiden atau gak. Sorry, saya pribadi sih malu dengan sikap childish beberapa orang yang seperti itu. Asal kalian tahu aja ya, keluarga Mama saya itu lebih “Muhammadiyyah” sedangkan ayah saya karena asli orang Jatim yaaaaaaa…. NU banget. Walau sama-sama Muslim ya ada beberapa hal yang berbeda ya, tapi apa kemudian perang? Gak tuh! Hingga ayah saya meninggal dunia tidak pernah ada piring terbang melayang dsb dalam keluarga kami.
Sekarang? Pret! Seakan semuanya percaya diri akan masuk surga, helooowwww… siapa tau bareng-bareng di BBQ di neraka.

Back to the topic,
Mbak ini kemudian bercerita bagaimana diskriminasi yang terjadi di Rohingya. “Sister, I can’t use hijab there, can’t… can’t…” Dia cerita bahwa ketika dia mengunjungi Ibunya, tetangganya terus nyinyir karena dia berani untuk pakai hijab. Dan bahkan ada yang ekstrim dan meludahi dia, aduuuuh kasian ya 🙁 terus mereka akan bilang “Go…go… not your home land”

Khawatir gak kalian semua denger kisah mbak ini? Serem kan!
Makanya saya tanya kok Ibunya tetep tinggal di sana? Bumi Allah kan luas ya, Cuy… kalau gak aman di satu titik, ya hijrah lah kemana.Rupanya ibunya udah rada sepuh gitu, dan yaaaah biasa lah, nostalgia kan susah di lawan ya. Suaminya meninggal di sana, dan itu rumah sudah didiami turun menurun. Rumah yang punya banyak cerita memang sulit untuk ditinggalkan. Sedangkan saudara-saudara yang lainnya sudah mengungsi ke Thailand. Eh tapi Thailand emang makanannya enak sih dan orangnya baik-baik (Mon, fokus…fokus…fokus….).

Nah! Kalian juga pasti nyinyir parah dong sama Oma aung san suu kyi? Mumpung ada orang dari sananya langsung kan mending sekalian ditanya kan. Nah, kalo kata mbak ini sih Oma Aung susah untuk melawan orang-orang yang diskriminatif di sana. Karena sejak awal, orang-orang yang diskriminatif ini nih yang mengusung dan mengangkat nama Beliau. Nah udah gitu, mereka suka-suka deh. Yaaaa…. kalo oma Aung niat sih, harusnya doi berani ya untuk kehilangan jabatannya. Tapi tahta kan rada susah ya dilepas. Walaupun begitu, mbak ini gak terlalu menyalahkan oma Aung loh. Dia bilang “But, then she decided to be more open to the world. Before, you… Asia… never know Myanmar, never sister… never”
Dari situ saya jadi tahu kalau konflik ini sebetulnya sudah lamaaaaaaaaaaaaaa banget terjadi, cuman dulu Myanmar lebih tertutup aja. Ini menohok sih, karena sebelum ke Jepang saya pernah kerja dan bergelut di bidang yang mengurusi ASEAN, dan memang Myanmar itu semacam….semacam…. semacam  dicuekin.

Sudahlah jiwa saya berkobar setelah mendengar kisah Mbak dari Rohingya ini, kemudian saya pernah bertemu dengan mbak lain di tempat yang sama, namun kini dengan mbak-mbak cantik dari Palestina. Ya ampun, kalau nanti saya dapat suami keturunan Timur Tengah, kayaknya hal pertama yang perlu saya tanyakan ke dia sih kesehatan mata, orang daerah sana kok ya kebangetan ya cantik-cantik gitu.

Aduh ini pun penuh air mata sih.
Jadi perkara kirim paket ke Palestina ini juga gak gampang, kawan! Setiap paket secara semena-mena harus melewati Israel terlebih dahulu dan mereka “berhak” ngebongkar isi paket itu. Jadi kata dia, kadang sedih karena pengen ngirim baju baru buat adik-adiknya aja pas nyampe bisa jadi udah kucel karena butuh waktu lama dan udah diubek-ubek sama penjaga di Israel. Ingin kuberkata kasar…..
Dia bilang, dia pun ada trauma kalau denger suara yang kenceng sedikit aja dia bisa teriak-teriak.

“Sister, we know Indonesia. I keep pray Allah bless your country”

Oke, mari kita langsung pada kesimpulan. Kalian-kalian yang kebanyakan nyari ribut karena perbedaan dikit-dikit aja kayaknya emang kurang ngopi. Itupun kalau masih sempet karena sebelum ngopi rasanya saya mau nimpuk mereka dengan bakiak 17 agustusan. Karena orang yang kayak gitu sih Juanc*k tenan!

Mendengar orang lain dari negara lain berdoa untuk Indonesia itu “nyesssss” banget di hati. Rasanya hangat….
Rasanya ingin berterima kasih.

Pulang ke rumah biasanya kalau udah baper, saya nelpon Mama “Ma, makasih ya”
“Loh kenapa kak? Kakak sakit?”
“Makasih, Ma… karena Mama ngajarin kita gak macem-macem. Ngajarin untuk jadi baik aja udah lumayan. Gak usah sok baik, sok bijak, sok wow, gak usah beda-bedain SARA”
“Ih apa sih?”
“Mama sehat-sehat aja ya di sana”
“Ih sereeeemmm…. kamu lapar kali? Makan deh sana.”

Dan biasanya begitu terus :p tanpa Mama tahu apa yang anaknya alami di hari itu.

Ketemu Muslim yang beraneka ragam

Sebagai blogger pengamat Ibu-Ibu di mushala, saya sering kena tegur emak-emak di Mushala karena banyak hal. Bukan hanya perkara sajadah…. tapi juga perkara apakah rukuk saya 90 derajat, atau jempol kaki dilipet atau tidak saat tahiyat. Walau kadang Mama saya suka komentar juga “Loh, kalau Ibunya sempat komentarin, mata doi kemana pas shalat? Ahahahahaha…. ini kocak sih, Kak.”

Kalian pernah ketemu yang nyinyir-nyinyir gitu gak?

Yang pasti kenyinyiran kayak gitu gak akan kepake kalau kalian shalat di masjid yang isinya bukan cuman orang Indonesia dan sekitarnya :’D

Shalat Ied tahun ini karena saya telat kejar kereta, saya terpaksa ikut gelombang 2. Tentu gelombang dua itu lebih ramai daripada gelombang 1 ya. Inilah saat saya gagal fokus lihat “Kostum” para jamaah. Walau jamaahnya memang jaauuuuuuuh lebih sedikit dari masjid-masjid besar, saya kemudian menyadari bahwa “standar” aurat itu bisa jadi beda-beda bagi semua bangsa.

Ada yang tidak memakai kaus kaki.
Ada yang semua tertutup tapi hanya memakai turban, jadi leher masih kelihatan.
Ada juga membiarkan poni masih terlihat
Ada yang baru masuk islam, dan mungkin belum terlalu paham dengan aurat ya, jadi bajunya masih transparan di bagian lengan.
Pokoknya macam-macam.
Fashion juga beda-beda ya gengs, ada yang polos dan suka warna-warna pastel sampai ada yang bajunya loreng-loren macan! Itupun pakai warna orange stabilo.
Allah ya Rabb :’D

Memang jadi macam-macam yang kedengaran di kuping.
Dan jadi lihat macam-macam di mata.

Namun, kalian tahu gak? Selalu ada cara untuk mendeteksi keberadaan emak-emak Indonesia di tengah keramaian apapun!

Carilah yang heboh foto-foto, bahkan bawa tongsis! Naaaaaahhhhhh! Itu hampir pasti deh bisa diajak ngobrol bahasa Indonesia 😀 silakan coba tips ampuh ini.

Eh, tapi terlepas dari apapun, selalu ada yang menarik dari setiap shalat Ied.
Ada mbak Jepang yang bilang baru masuk Islam beberapa bulan lalu, beres doa setelah Eid, dia nangis sesenggukan dong!!! Emak-emak Indonesia asik fofotoan, emak-emak India ngerumpi, emak-emak timur tengah biasanya ngomelin anaknya “la….la….la!” (cuman itu kosakata yang saya tahu 🙂 ), lha ini mbak Jepang satu nangis kan kita panik ya. Saya samperin dan sok-sok-an salaman, terus dia bilang “Saya malu, saya malu pada Allah karena saya dulu banyak salah”
Waduh, Mbak…. saya kan juga berlumuran dosa (dan lemak) ya, tapi gak segitunya sih.
Lagi-lagi saya tengsin sih kalau nemu yang gini-gini. Udah ya, Mbak…. puk-puk-puk.

Bertemu orang-orang yang tertarik dengan Islam

Ini juga sebenarnya rada-rada, aduuuuh…. kalau boleh request ke Allah, saya rasanya gak mau ketemu yang kayak gini, kawan. Tanggung jawabnya berat. Secara saya kan aduuuuuuhhhh…. shalat subuh aja kadang di waktu shalat dhuha loh, itupun masih ngelaba dan bilang “Ya Allah… maaf ya bangun kesiangan.”

Kalau sudah seperti ini biasanya saya suka “random” memilih orang yang saya pikir lebih baik daripada saya.

Walau ya, gak selalu orang-orang itu pada menjadi Muslim loh ya. Tapi yaaa mereka senang aja gitu diajak ngobrol-ngobrol. Dulu pernah ada teman di lab, mbak ini suka cari waktu ketika gak ada orang lain di lab… terus tiba-tiba ngajak ngobrol gitu. Pertanyaannya suka filosofis-filosofis gitu “Marissa-san, why you always smiling?” sampai “What Islam is?”
Waduh, kan gak nyali ya jawab-jawabin kayak gitu. Udah lah pusing, saya bawa aja dia ke masjid.
Dan itu saat pertama dia bilang “I love your praying place, it is very quiet and peaceful. It is like I can stay there for hour and close my eyes and feel comfortable with that”

Ada juga kisah kocak, saya pernah didatangin mbak-mbak misionaris dan saya gak paham juga kan… Dia kemudian memberi saya Bible, saya sih senang tapi kan tengsin kalau gak ngasih balik ya? Ya saya kasih juga dia Quran dan dia happy banget gitu. Masih sering komunikasi sih, tapi suami mbak ini pindah kerja gitu, dan dia bilang di tempat yang baru dia juga sering ke masjid dan dia bilang dia suka mendengar “Song for God”, aduh itu apa pulaaaaaaa? Setelah di cermati lagi, rupanya adzan dong, pemirsa! Hahahahhaha….
Buat saya sih, saya happy ketika orang bisa menikmati agama saya bahkan jika orang tersebut bukan Muslim sekalipun.
Saya juga happy ketika ke Paris dan masuk ke katedral-katedral yang cantik banget, lalu rasanya gak tega bikin berisik. Karena ketika manusia mencoba dekat dengan pencipta-Nya kan itu sakral banget ya. Bikin merinding gitu.

Dan jangan lupa, saya ini berhijab karena diingetin sama teman saya yang Nasrani loh “Mon, kalau lo bangga sama Tuhan lo, tunjukan itu! Kalau lo marah sama orang-orang yang menurut lo stupid, itu salah mereka dan bukan salah Tuhan lo! Ini childish kalau lo gak melaksanakan perintah Tuhan lo karena kesalahan manusia. Itu bukan teman gw yang kayak gitu! Dan itu bukan lo yang mikir sedangkal itu” PLAK! Akhirnya saya berhijab loh pas Natal 2012. Sampai kapanpun, saya sih gak akan lepas hijab ini… karena selain ini masalah komitmen saya, ini juga mengingatkan saya pada teman saya tsb dan bagaimana menjadi toleran. Merinding gak lo!

Namun tetap saja, kalau ada yang bertanya masalah Islam pada saya, saya hanya akan bawa orang-orang ini melihat “kulit-kulit”nya saja. Kalau lainnya, aduuuh gak nyali, Cin. Kan tau sendiri saya rebel. Aduh udah deh, sama teman yang jauh lebih jago aja masalah ginian.

Mungkin Allah merasa saya “tidak lulus” masalah ini.
Di masjid yang sama, beberapa waktu yang lalu, ada mbak yang tiba-tiba menarik tangan saya “Mau ke masjid itu ya?”
“Loh iya”
“Kalau bukan Muslim boleh masuk?”
“Ya boleh lah”
Karena saya mah bodo amat kan ya, jadi saya ajakin aja. Lagian apa salahnya kan?

Sudah itu sih saya cuekin…. (maaf loh, Mbak)
Terus mbaknya entah kenapa iseng banget, dan nanya lagi “Sering ke sini?”
“Mmm… gak sih, cuman kalau lagi beres latihan koto aja. “
“Ya ampun, koto?!!!! itu kan susah banget. Saya juga main musik. Kamu tinggal dimana?”
“Di Tsukuba”
“Pacar saya juga dulu tinggal di Tsukuba loh!”
“Oh”
“Saya boleh ketemu kamu lagi?”
WUUUUUT! Aduh ini siapa sih?
dan dasar orang Indonesia “Boleh, kenapa?’
“Saya mau belajar Islam lebih banyak, saya boleh kan berteman sama kamu?”
WUUUT? Wah, off-side sih nih Mbak. Masa iya orang ngajak temenan gak boleh. Ini pertanyaan paling menjebak di belahan dunia manapun.
“Boleh sih, Mbak why not?”
“Ini pertama kali ada orang yang ngajak saya masuk masjid. Terima kasih ya, saya senang sekali”
“Iya sama-sama.”

Saya pikir ini Mbak basa-basi busuk. Rupanya dia beneran loh kadang ke Tsukuba dan ngajak ngobrol. Terus dia bilang, dia tuh udah nyobain segala macem keyakinan. Tapi pas mau tahu Islam, suka ngerasa ragu karena gak ada temen untuk diajak ngobrol. Owalaaaaaaaah, Mbak…..

Pertanyaan Mbak ini saya pikir  bakal super filosofis, rupanya kadang cuman nanya “Makanan halal itu yang kayak gimana? Jadi kamu boleh makan daging?” Ya keles, hati boleh lah yaaaa gak tegaan sama binatang, namun apa daya…. tabula rasa masih sadis untuk melumat daging yang memang enak itu :’)

Entah random people mana lagi yang harus saya hubungi untuk Mbak yang satu ini. Lalu kemudian saya kontak Mamas Smiley yang random nun jauh di sana “Mas, ini gimana nih? Ada Mbak-mbak lagi coba yang kasusnya gini loh”
Kali ini jawaban dia sederhana “Marissa, this time she wants you to be her friend, she wants to talk with you not with the other people. I think this time you just need to tell her what you know.”
Luluh karena perkataan Mamas, mungkin sementara ini saya biarkan Mbak ini curhat sama saya. Saya lupa kalau Mamas ini terlalu positif dan dia tidak tau bahwa saya pernah “jahiliyah” juga di masa lampau. Arghhhhh terjepit!!!!!!

Eh, tapi kalau sama saya sih… saya gak akan gile nyuruh seseorang masuk Islam sih. Bagi saya, keyakinan itu hal privat semua orang. Saya fine apapun keyakinan yang kelak Mbak ini pilih. Ngarep sih, siapa yang gak seneng sih nambah saudara se-iman yang baru, iya gak sih? Tapi ini hidup Mbaknya, saya ingin dia memilih sesuatu yang benar-benar nyaman di hati dia. Sampai dia belajar semua agama kan berarti ada sesuatu yang benar-benar serius dia cari. Saya pikir, saya tidak berhak untuk mengetahui apa itu…. tugas saya hanya sebatas menjadi Muslim yang (semoga) baik.

Oleh karena itu, untuk Mamas Smiley dan seluruh umat manusia yang ada di muka bumi, jangan salahkan karena pada akhirnya obrolan kami hanya berkisar tentang…… TADAAAAAA
Image and video hosting by TinyPic

Mbaknya ketawa-ketawa aja, mungkin dari sekian banyak orang yang dia tanya-tanya masalah filosofis, cuman saya yang malah ngajakin liat kucing tetangga. Ini bukan cuman ngegodain kucing tetangga loh, ini pelajaran mensyukuri karunia Allah bernama kucing yang gendut dan lucu. Subhanallah…..

(kalau Mama baca ini pasti Beliau akan langsung WA, “Mungkin benar… anak Mama terlambat dewasa :’) ” Mama… masih ngakuin kakak sebagain anak kan? )

 

 

Catatan si kuper: Alasan saya memilih kuper (namun bahagia)


Tadinya mau nulis tentang sexual harrashment di sekitar kita. Tapi sebelum itu biarkan saya curcol tengah malam.
Mama saya kadang curhat “Ya ampun Kakak, ini anak Mama cuman dua. Bagi Mama sih anak Mama baik-baik. Anak lingkungan, pecinta alam, pecinta binatang, suka anak-anak. Kan baik ya. Tapi kok ya selalu ada aja konflik sama orang lain. Kalian itu harus kepala dan hati dingin, orang kan beda-beda.”

Saya dan adik saya mungkin mirip ya. Teman dekat kami bisa dihitung dengan jari tangan. Yaaaaa paling itu-itu lagi. Sampai Mama bisa hapal sampai tanggal ulang tahun beberapa teman kami. Hapal loh! Hapal!!! “Kak, Mamas ini kan ultah ya? Udah dikasih selamat ulang tahun belum? Ih ultahnya mirip kayak kucing kita yang dulu ya”

Saya tidak tahu dengan adik saya, tapi yang pasti saya memiliki alasan dan “keterbatasan” versi saya sendiri. Pada dasarnya saya tidak suka “muncul di permukaan”, saya mungkin seperti kucing garong gendut yang hobi tidur. Tidak akan mencakar jika tidak ada yang usil mengganggu saya. Saya tidak suka keramaian, I HATE CROWD! Saya memang kurang suka kumpul-kumpul, saya lebih suka lingkaran-lingkaran yang lebih kecil namun lebih akrab dan dekat. Saya tidak suka membicarakan tentang orang lain, dan saya pun tidak terlalu happy orang lain membicarakan saya.

“Emon itu sombong gak suka gaul, sok banget ya”
“Emang prestasi Emon apa? Gak pernah kedengeran”
“Eh, dia kan gak ada hal yang wah ya, kok bisa keterima di XYZ sih?”
“Dia suka main musik gitu, gak stress kan dia”
dst
dst
dst

Ok! Mari kita berkumpul…. berkumpul yang KONON lebih berfaedah daripada tidur gak jelas di kasur yang hangat, daripada baca koleksi buku yang harusnya beli e-book aja, dan lebih berfaedah dari belajar musik yang (banyak yang bilang) haram itu.

Mari kita berkumpul!
dan beberapa orang asik memamerkan ke-riya’-an mereka masing-masing. Dan lingkaran mereka saling timpal menimpali dengan ke-riyaan juga.
Tak lupa agar riya itu semakin halal, bawalah nama Tuhan seperti “Alhamdulillah hari ini aneh dapat LALALALLALALA loh”,
“Oh iya? Ih si X juga dapet loh LALALLALALA”
Begitu terus…
Ya memang subhanallah keren sih, dan mungkin saya mual karena iri dan dengki tidak seperti mereka.
Tapi, ada sebuah titik dimana saya merasa bahwa setiap orang memiliki medan perang yang berbeda. Ambil contoh dalam bidang akademik, beberapa orang  yang biasanya dari natural science dan kerja lab akan memamerkan publikasi mereka yang setahun yaaaa ada belasan lah. Wow keren!
Ya keren! Tapi tidak semua bidang tidak bisa menelurkan jurnal sebanyak itu dalam satu tahun.
Pertanian misalnya, mau penelitian jagung saja harus at least nunggu 3 bulan! Itu pun kalau tidak ada hama… tidak ada yang maling… cuaca mendukung….
Belum lagi kalau softwarenya yang loadingnya lama. Tanyakan pada, misalnya, para pejuang ArcGIS…. vektor petanya sudah muncul saja sudah sujud syukur. Eh ada pixel yang gak muncul-muncul, reload lagi deh!
Ilmu sosial juga tidak kalah heboh, apalagi yang membutuhkan data primer. Kliring data saja kalau bisa satu bulan sudah mahasakti, dan sudah dipastikan yang melakukan itu sudah over dosis Pr*mag.
Ingat juga, untuk beberapa keilmuan, mereka adalah single fighter… mereka yang desain penelitian, yang ngumpulin data, yang bikin simulasi, yang ngetik data. Setidaknya itu yang saya ketahui  di bidang ekonomi dan sosial. Tidak ada kisah 10 orang dalam tim, lalu bikin paper bareng 10 yang cuman ganti-ganti urutan penulis -.- no way!

Ya jadi keren sih harus ya…. tapi kan menjadi toleran pun penting bukan?

“Eh, tau gak… si X kan kayaknya depresi loh. Ih gak pernah ngumpul sih jadi kita gak tau kenapa dia depresi ya”
“Ih iya, di tempat gw sampe ada yang bunuh diri segala. Karena gak ada publikasi, eh kita aja udah 500 publikasi ya tahun ini aaahhaah, masih ada 50.000 lagi belum publish”
“Eh kita harus deketin si A, dia kan posisinya bagus”

Errrrrrrr……………………………………………………………………………….

dan lalu ada pertanyaan “Kok makin banyak orang yang depresi ya?”
“Kok makin banyak orang yang gak toleran ya?”
“Kok makin banyak yang gak sopan ya?”

Satu yang kita semua gak pernah tanya “Kok kita gak pernah ngaca ya?”

Loh, ngaca? Kan udah merasa yang paling hebat dan terbaik! Jadi buat apa dong ngaca.

===================================================================================

Baiklah, mari kita berkunjung ke tempat saya saat ini. TSUKUBA!
Di sini saya merasakan puncak kebahagiaan saya selama di Jepang.
Ingin tahu alasannya?

Saya punya seorang Sensei yang sangat baik. Yang rasanya kalau boleh minta ke Allah untuk boyong manusia ke surga, mungkin Beliau akan masuk list.
Beliau yang sudah melompat dari satu negara ke negara lain yang membutuhkan ilmunya, Beliau yang tidak ambil gajinya dari kampus dan membiarkan uang itu untuk lab kecil kami dan membuat kami tidak perlu bayar jika ada lab party.
Beliau yang memayungi saya yang kroco ini ketika hujan dan inget kalau saya gampang flu.
Beliau yang sibuk menanyakan kabar Mama saya yang sakit.
Beliau yang kerapkali mengajarkan saya dari basic sampai coding yang saya betul-betul tidak paham.
Beliau yang publikasinya mungkin lebih banyak daripada ucapan dzikir saya ke Allah selama ini tapi tidak pernah banyak koar-koar.
Beliau yang hanya senyum dan bilang “So, what? There is always a first time for everything” ketika saya bilang “I never do this! I don’t think I can make it”
Beliau yang cerita kalau Beliau pun pernah nangis di depan Sensei Beliau sebelumnya karena merasa gak bisa.

Saya bertemu banyak peneliti lain, yang bahkan baru akhir-akhir ini saya ketahui kalau mereka semua masuk ke kementerian lingkungan hidup Jepang, semua orang langsung tunduk sama mereka.
Mereka! Mereka yang sibuk nyodorin tissue ketika saya terisak ketika melihat seekor kucing tertabrak mobil di sana. “Udah dong, Marissa-san, kok jadi sedih sih liat kamu nangis gitu. Udah ya, kita makan sushi nanti”

Mereka yang mengajarkan saya untuk belajar benar-benar dari nol, untuk berhenti membandingkan diri saya dengan orang lain, untuk menjadi orang yang lebih berani bertanya, meminta bantuan, menerima diri sendiri, dan yang terpenting rela membantu orang lain.

Saya berkembang, dengan ritme saya sendiri.
Jiwa saya berbunga, seperti layiknya dia seharusnya berbunga.
Saya kembali menjadi ilmuwan yang tentu masih newbie, yang terus bertanya, yang penuh rasa ingin tahu, yang perlahan mendapatkan jawaban dari setiap permasalahan yang muncul. Saya bangga pada penelitian saya, karena saya tahu seluruhnya dari embrio hingga dia perlahan tumbuh. Saya paham kegagalan-kegagalan saya, dan menjalin untuk keberhasilan-keberhasilan baru.
Saya pun kembali pada seni…
kembali bermusik…
kembali melukis…
kembali memasak…

Saya sadar, saya rupanya lebih bahagia saat ini.
Saya bahagia, melihat kebaikan-kebaikan yang tulus.
Dan kebaikan yang tulus bisa datang dari mana saja.

==============================================
Eh tapi tulisan ini bukan menyuruh kalian untuk kuper ya. Saya mungkin salah satu contoh “big failure” dalam membina network dan memperluas jaring pertemanan. Kalau mau jadi pejabat sih, kurang oke ya meniru “idealisme” saya. Saya mungkin terlalu baper dalam memilih-milih orang yang masuk dalam lingkarang pergaulan saya.

Hanya saja, bagi saya….saya yang muak dengan hal-hal “fake” yang fana dan jujur ngabisin waktu, saya lebih senang berkumpul dengan orang-orang yang jelas lebih menghargai saya dan lebih membuat saya nyaman. Saya menemukan mereka….
Saya punya keluarga yang luar biasa,
sahabat yang yaaaaah mini-size tapi lebih dari cukup,
dan kini guru dan teman-teman baru yang saya rasa menyayangi saya.

Dan saya menyayangi mereka.
Saya tahu Allah akan menyayangi mereka pula. Jaga mereka baik-baik ya Allah, buat semuanya berumur panjang, lebih dari para dinosaurus. Karena planet ini akan terbakar lebih cepat daripada karena efek rumah kaca tanpa kehadiran mereka.

In the middle of the road, Allah yang memberikan saya jalan terbaik untuk dilalui.