Menjadi dewasa… : Sebuah renungan untuk diri sendiri


Once you’ve met someone, you never really forget them.
It just takes a while for your memorize to return
-Spirited Away-

“…. Dan sehebat apapun kamu, kamu bukan siapa-siapa tanpa bantuan siapapun”

Kemarin sore, sebuah amplop besar dari Tokyo Institute of Technology melayang ke rumah saya. Isinya mungkin hanya beberapa lembar kertas tapi lembaran kertas itu mungkin yang akan mengubah kehidupan saya untuk beberapa hal. Mungkin lembaran kertas itulah tangga-tangga kecil menuju impian saya. Singkat kata, secara resmi saya diterima di universitas tersebut. Saya sudah katakan sebelumnya bahwa untuk masalah pendidikan saya kali ini, saya merasa Allah memudahkan segalanya. Saya tidak akan bercerita mengenai hal itu lebih banyak, karena bukan itu yang ingin saya bicarakan kali ini… bukan, ada hal yang lebih dari ini semua.

Saya yang hari ini, bukanlah siapa-siapa tanpa bantuan banyak orang.
Ketika saya menyadari itu saya tahu bahwa terima kasih saja tidak pernah cukup.
Tidak pernah cukup….

——————————-
Saya teringat ketika saya masih kecil, saya pernah terpana dengan kata-kata dari guru mengaji saya,
“Jadi begini ya anak-anak… kita tidak boleh sombong atau merasa lebih hebat dibandingkan siapapun. Ketika kita berhasil, yang perlu kita lakukan cuman dua: Bersyukur karena Allah sudah begitu baik, dan berdoa agar Allah menjaga diri kita dari sifat-sifat buruk. Kalian tahu kenapa sombong itu tidak boleh?”

Seperti biasa… tipikal anak Indonesia, kalau ditanya pasti pada diem hahahhaa… tapi saya ingat ada juga yang nyeletuk “Karena dosa, Pak!”…. “Karena buruk, Pak”…. dan lain sebagainya.

“Iya semua jawabannya benar. Tapi yang terpenting adalah…. karena kita hidup di bumi ini tidak lepas dari bantuan orang lain”

Guru mengaji saya tersebut kemudian menjelaskan bagaimana orang tua yang susah payah membesarkan anaknya…. bagaimana petani yang betul-betul lelah menggarap sawahnya… bagaimana buruh tekstil harus bekerja overtime untuk memenuhi target produksi pakaian jadi di pasaran. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, seluruh kebutuhan kita terpenuhi karena “keringat” orang lain.

Begitu melekatnya cerita guru saya tersebut hingga tumben-tumbennya saya menceritakan ini kepada kakek saya karena tempat mengaji saya dulu sangat dekat dengan rumah kakek saya. Saya ingat jawaban kakek saya “Benar itu, manusia kadang terlalu sombong. Manusia terkadang lupa banyak hal, bahkan ketika manusia itu masuk liang lahat, manusia masih tetap membutuhkan bantuan orang lain… hargailah semua orang, karena kita tidak pernah tahu kepada siapa kelak kita memerlukan bantuan”

Saya tidak memahami hal itu untuk beberapa saat, mungkin baru memahaminya sekarang!
—————————-
Beberapa tahun kemudian, ayah saya meninggal dunia. Saya melihat begitu banyak orang yang menangis, kecuali adik saya yang belum paham apa-apa. Kecuali saya… yang juga belum memahami apa-apa. Saya hanya sedikit patah hati karena saya merasa kehilangan Beliau begitu cepat.

Untungnya saya adalah orang yang beruntung, Allah berbuat baik… luar biasa baik kepada saya.

Saya punya Mama yang selalu menyemangati saya. 23 tahun lebih saya hidup menuju 24 tahun, saya nyaris tidak pernah melihat Mama mengeluh, setidaknya di depan kami anak-anaknya. Mama selalu menyemangati saya untuk sekolah yang benar, belajar yang benar, dan melakukan yang terbaik yang saya bisa. Ketika saya gagal, Mama selalu menjadi orang pertama yang bilang “Gak apa, Kak… Allah pasti mau ngasih yang lebih baik” sejak saya pertama kali tahu sakitnya kegagalan, hingga hari ini… Mama tetap supporter barisan VVIP bagi saya, Mama selalu yang paling mempercayai saya lebih dari siapapun.

Saya bersekolah di daerah ketika SD, saya ingat pada hari kelulusan saya saat SD… guru saya mengatakan “Sebagai anak daerah, bukan berarti pemikiran dan cita-cita kamu harus terbatas. Pergi kemana yang kamu mau, tuntut ilmu setinggi-tingginya karena ilmu tidak hanya ada di satu tempat” saya pegang kata-kata Beliau hingga saat ini. Salah satu alasan untuk terus berjuang!

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk melanjutkan sekolah. Sebagai anak yatim dan Mama yang hanya guru les, maka biaya pendidikan saya sebenarnya sangat berat untuk Mama. Namun, saya punya uwak yang sangat baik… mereka yang membantu menyekolahkan saya hingga saya berhasil menyelesaikan kuliah S1 saya.

Saya sadar…. hingga kapanpun saya tidak akan pernah bisa membalas kebaikan Beliau. Tanpa Beliau mungkin saya belum memegang gelar akademik seperti saat ini, tanpa Beliau mungkin saya bukanlah Marissa yang bisa bermimpi lebih tinggi daripada langit. Karena saya tahu hal itu, maka saya berjuang belajar gila-gilaan. Kapasitas otak saya memang terbatas, saya bukan anak yang pintar… tapi setidaknya saya tidak pernah kesulitan memilih sekolah. Saya diterima di dua PTN bahkan sebelum saya melaksanakan Ujian Nasional, lalu memilih untuk berkuliah di univ.dekat rumah. Impian saya sih tidak muluk-muluk, mbok ya sudah dibantuin orang lain jangan bodoh-bodoh banget lah.

Sekali lagi, saya tidak pintar, tapi saya harus berjuang mati-matian untuk setidaknya “tidak mengecewakan.” Ketika saya memenangkan beberapa lomba, ketika saya menjadi mahasiswa berprestasi, maka itu bukanlah hanya sekadar suatu pencapaian… itu adalah terima kasih saya kepada Beliau dan juga kepada Mama yang sudah berjuang mati-matian kepada saya.  Terima kasih pula kepada dosen-dosen saya yang sangat baik, karena atas jasa mereka semua saya berhasil melalui level ini dengan cukup baik. Saya bahkan merasa memiliki guru sekaligus sahabat ketika saya bertemu dengan dosen pembimbing saya.

Orang lain mungkin melihat saya sebagai sosok yang ambisius, tapi mereka tidak tahu… saya harus ambisius untuk menyatakan terima kasih saya yang tidak bisa saya sampaikan dengan kata-kata.

Orang lain mungkin hanya melihat beberapa keberhasilan saya, tapi mereka mungkin tidak pernah tahu bahwa kegagalan saya lebih banyak dibandingkan keberhasilan saya. Saya hanya berhasil bangkit berkali-kali setelah berkali-kali jatuh.

Hingga saat itu, saya masih merasa enggan untuk berkunjung ke makam ayah saya terlalu sering. Bagi saya, saya belum memberikan apa-apa untuk ayah saya. Ayah meninggalkan saya terlalu cepat sebelum saya membuat Beliau bangga. Saya ingat satu impian ayah saya yang belum kesampaian, Melanjutkan Studi ke Jenjang yg Lebih Tinggi. Saya bersumpah… cepat atau lambat saya akan penuhi impian ayah saya. Saya harus bersekolah lagi.

Seperti perkataan Anton Ego dalam film Ratatouille “Terkadang dunia terlalu sinis pada gagasan-gagasan baru…” saya nyaris putus asa karena mayoritas orang di lingkungan saya meragukan keinginan saya untuk bersekolah lagi. “Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Nanti jodohnya susah”, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, yang penting kerja dulu… kumpulin uang yang banyak” dsb dsb dsb….Saya menangis beberapa kali… tapi lagi-lagi Mama saya tetap mendukung saya ketika orang lain meragukan saya. Padahal Beliau yang paling berhak mengatakan “Kamu gak usah mimpi deh, Nak”…. kalau Beliau tidak ridha saya sekolah lagi, saya pasti akan menurutinya. Saya bukan tipe anak yang tega melawan orang yang sudah berjuang dan berkorban banyak untuk saya. Tapi rupanya Beliau tidak pernah lelah mendukung saya dan mendoakan saya.

Ketika saya tidak percaya dengan diri saya sendiri, adik saya yang selalu bercanda kemudian berkata “Kakak… ini tentang hidup kakak, kakak harus pilih yang paling bikin kakak senang”

Ketika saya mulai ragu untuk melangkah lagi, saya mempunyai seorang sahabat yang luar biasa… yang akhirnya bisa mengatakan “Lakukan apa saja yang kamu mau, selama itu bisa membuat kamu bahagia”

Saya tidaklah sekuat yang semua orang lihat, tapi banyak orang yang bisa menguatkan saya. Seketika saya merasa seperti seekor kucing yang sudah kehilangan satu nyawanya, tapi masih memiliki delapan nyawa cadangan. Dengan terengah-engah saya mencoba memanfaatkan nyawa-nyawa yang tersisa.

Saya teringat, ketika kemudian saya ditanya oleh pewawancara saya saat wawancara beasiswa,
“Apa yang kamu harapkan dari diri kamu?” saya tidak menjawab hal lain selain “Saya ingin menjadi orang yang bisa berterima kasih”
“Terima kasih, kenapa?” tanya si bapak pewawancara dengan dahi berkerut.
“Karena saya yang saat ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa tanpa bantuan orang lain”
“Baik saya mengerti. Lalu apa yang kamu harapkan dari diri kamu dihadapan adik kamu kelak?”
“Saya ingin melakukan yang saya bisa sebaik mungkin, saya ingin begitu kelihatan amazing di depan adik saya. Hingga suatu hari kelak, jika dia menceritakan tentang saya di hadapan orang lain nanti dia bisa bilang ‘Saya bangga pada kakak saya’ sama seperti ketika saya mengatakan kepada semua orang ‘Saya bangga pada ayah saya, pada mama saya’ “

Lalu kemudian pada hari ini, saya kemudian mengatakan hal yang hampir serupa kepada salah satu sahabat saya, “Kalau kelak kamu jadi ayah, jadi ayah yang amazing di depan anak kamu, apapun yang terjadi. Biar dia bangga dengan apa yang kamu lakukan, biar dia terpacu untuk bisa berbuat lebih baik dari kamu” pada saat yang sama sebenarnya saya sedang menasehati diri saya sendiri, setidaknya mengingat kata-kata saya pada diri saya sendiri.

Bagi saya hidup tidaklah mudah…apalagi sekolah!
Untuk ikut tes iBT TOEFL saja saya harus menabung cukup lama, saya bahkan tidak punya cukup uang untuk ikut berbagai les. Tapi melihat begitu banyak orang yang sudah mendukung saya, saya tidak mau terlalu kejam dan menjadi orang yang menyerah sebelum berjuang.

Kalian mungkin tidak tahu, tapi saya seperti Simba yang memandang bintang-bintang di langit setiap malam untuk mengingat ayahnya,Mufasa. Saya rindu ayah saya, tapi saya merasa belum begitu pantas untuk datang ke hadapan makamnya dan bilang “Yuph! here I am, Yah… membanggakan kan seperti ayah membanggakan saya” tapi saya percaya pasti ada waktu ketika saya benar-benar bisa menjadi anak perempuan yang senantiasa Beliau banggakan.

Bagi saya sekolah itu tidaklah mudah, maka jika boleh bersekolah di dalam negeri saja itu sudah anugerah yang luar biasa…
Ketika mendapat beasiswa, saya tidak terlalu ambil pusing mau bersekolah dimana, mau dikasih uang berapa… Who’s care??! Jika saya harus mati karena meraih impian saya, it’ll be okay. Lagipula saya punya Tuhan yang pasti akan memberikan jalan keluar untuk segala hal. Saya sudah terlalu lelah, bahkan untuk sekadar mengeluh.

Lalu kemudian dosen saya membantu saya, memperkenalkan saya dengan guru-guru yang hebat. Dosen saya yang kini menjadi bos saya pernah bilang “Hidup ini pilihan, maka kamu harus perjuangkan pilihan yang menurut kamu paling baik. Ini pilihan kamu, bukan urusan orang lain”

Lalu saya memperoleh Sensei yang luar biasa baik hati, yang membantu saya untuk banyak hal… yang mau mendengarkan saya dengan baik bahkan ketika saya belum resmi bersekolah di universitas tempat Beliau mengajar.

Lalu saya memperoleh sahabat-sahabat baru yang satu perjuangan. Yang berbagi banyak hal… yang menyemangati saya setiap saat, yang berbagi impian-impiannya yang luar biasa dengan saya. Yang tanpa sungkan mengajak saya untuk berjuang bersama tanpa mempedulikan suara-suara sumbang yang ada. Sahabat-sahabat yang satu visi dengan saya.

Jelas sudah, terima kasih saja tidak akan cukup. TIDAK AKAN PERNAH CUKUP!
—————————-
Jutaan tahun ibadah mungkin tidak cukup untuk menyampaikan terima kasih saya pada Tuhan, mungkin jika Allah memiliki sebuah superkomputer yang bisa menghitung setiap remah mikron pahala saya, maka selama apapun proses komputer itu berjalan maka monitornya tetap akan menunukan “Pahala tidak cukup, coba lagi nanti” Hffffft…
Saya bahkan tidak akan pernah bisa membalas jasa-jasa Mama
Saya juga belum bisa sebijaksana ayah,
belum bisa sebaik uwak saya…
belum bisa seceria adik saya…
saya juga belum bisa mengalahkan pengetahuan dosen-dosen, guru-guru, serta banyak orang yang sudah menunjukan betapa dunia ini dipenuhi pengetahuan, misteri, atau hal-hal unik.
Saya bahkan tidak akan sanggup mengembalikan kuota internet, pulsa telepon, dan waktu sahabat terbaik saya yang sempat terbuang percuma hanya untuk mendengarkan saya.
Saya butuh waktu seumur hidup untuk mendengarkan semangat dan cita-cita sahabat-sahabat baru saya yang sangat visioner.

Ketika saya semakin dewasa, saya makin menyadari bahwa terima kasih saja tidak akan pernah cukup.

Saya tidak memiliki apa-apa, saya masih kalah hebat dengan banyak orang.
Maka oleh karena itu, maka izinkan saya membuktikan bahwa saya bisa menjadi anak yang baik, adik yang baik, saudara yang baik, teman yang baik, murid yang baik, lalu kelak bisa menjadi istri yang baik, ibu yang baik, guru yang baik, bahkan jika ada waktu menjadi nenek yang baik.

Saya bukan siapa-siapa dan bukan manusia yang terlahir jenius, karena itulah saya berjuang lebih keras dari siapapun…hingga kelak tidak ada yang menyesal pernah mengenal saya. Saya berjuang dengan keras, karena hanya itu yang bisa saya lakukan untuk saat ini.

Terima kasih saja tidak pernah cukup,
tapi izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada kalian semua.

Percayalah, saya… kamu… kita semua bisa berkali-kali bangkit setelah jatuh.

Mari belajar mengucapkan “Terima Kasih”


Beberapa hari yang lalu saya ke Jakarta,
Seperti biasa… angkutan yang mengantarkan saya menjelajahi jakarta pasti cuman kereta dan busway. Hahahahahaha…. kalau sendirian udah deh,pakai yang aman-aman dan jelas aja.

Naaaaah! hal yang udah lumrah banget kalau di kendaraan publik seperti itu kita rebut-rebutan duduk karena capek juga kan kalau jauh-jauh berdiriiiiiiii dan berdesak-desakan. Nah, rahasia umum juga bahwa banyak yang berdiri agak jengkel dengan yang duduk apalagi kalau yang duduk, misalnya, masih muda belia dan diasumsikan jasmani dan rohani.
Image and video hosting by TinyPic

Well, saya setuju sekali…. sangat setuju, ketika kita… muda-mudi bangsa ini memprioritaskan orang tua, ibu hamil, ibu yang bawa anak kecil, yang memiliki kekurangan tertentu untuk duduk. Yaph, itu SIKAP! nggak ada sanggahan untuk itu. Agak terlalu juga emang kalau pura-pura tidur padahal di depan mata kita ada orang-orang yang masuk kategori “Diprioritaskan untuk mendapatkan tempat duduk”

TAPI…
Saya ingin menegaskan, tolong deh yang diberi tempat duduk juga ucapkan “TERIMA KASIH” kepada yang dengan legawa memberikan tempat duduknya.

Loh, kenapa ngomong kayak gitu, Mon?
Karena saya merasa sakit hati beberapa kali! Beberapa kali saya memberikan tempat duduk saya di kereta pada orang lain, dan “terima kasih” karena saya malah memperoleh muka masam dari orang yang saya berikan tempat duduk dan tanpa ada kata terima kasih sama sekali dari orang yang bersangkutan.

Cerita yang terbaru begini….
Kenapa saya sering memperoleh tempat duduk di kereta? Sederhana saja… saya senang menunggu kereta di stasiun Jakarta Kota yang notabenenya stasiun pemberangkatan kereta. Nggak apa deh jauh-jauh juga… lagipula saya suka foto-foto di jakarta kota jadi kadang sekalian refreshing.

Pada hari itu, saya sedikit kurang beruntung karena ada satu jadwal kereta yang dibatalkan, yang lebih menyebalkan lagi saya yang udah capek karena berangkat dari bogor subuh-subuh dan pas mau pulang aja kok susah banget, pegel, kepanasan, lapar, haus, kucel, masih harus menunggu kereta selanjutnya selama 90 menit! Aduuuuh kebayang dong BT dan capeknya gimana? Belum lagi saya menyadari di stasiun2 lainnya penumpang pasti akan menumpuk. Arghhh…..

Setelah 90 menit menunggu, akhirnya si kereta datang… huwaaaaa udah nggak mikir lagi deh. Langsung masuk dan duduk. Kalau di Jakarta Kota kemungkinan dapat tempat duduk lebih besar 🙂 . Karena badan saya memang didesain untuk kerja indoor bukan outdoor, jadi udah tepar banget deh… dan taraaaaaaa saya tertidur dengan nyenyak.

Merasa leher sakit sekali, saya lalu terbangun dan kaget banget karena kereta sudah sangat penuh. Sementara kereta baru sampai stasiun pasar minggu. Di depan saya, ada seorang nenek tua yang duduk di bungkusan besar barang dagangan *saya nggak tau isinya apa, pokoknya kantong plastik gueeeedeeee bgt* karena kereta mulai padat tentu si nenek itu agak mengganggu beberapa penumpang lain yang juga berdiri, di samping si nenek itu ada cucunya… diem aja.

Jiwa heroik saya bangkit… masa iya saya tega liat si nenek itu duduk di bawah karena nggak kuat berdiri? Belum lagi saya juga nggak tega deh kalau dia kesenggol-senggol orang lain. Saya juga punya keluarga kali, kalau Mama atau nenek saya begitu juga saya nggak akan rela. Please!Gw juga punya hati dan otak!

“Nek, silakan duduk di sini aja” kata saya mempersilahkan si nenek.
Neneknya agak gengsi “Ah, nggak usah udah tanggung” Waaah, karena capek saya agak kesel juga… udah dipersilahkan masih gengsi. Tapi karena udah sepuh neneknya, jadi saya maklum…
“Iya… nenek turun di stasiun apa?” Kata saya mencoba sabar.
“Depok” sambil masih dengan muka acuh butuh
“Itu masih jauh, Nek. Udah duduk aja di sini”
Si cucu kemudian nyerocos, “Udah, Nek… duduk aja… lumayan.”

Setelah diyakinkan begitu, si nenek pun duduk. Saya berdiri, I feel so much better karena udah cukuplah setengah jalan duduk. Lagipula selama masih bisa liat jendela dan masih bisa nafas saya happy-happy aja tuh karena bisa liat pemandangan dan asma saya juga nggak akan kambuh selama masih ada space yang cukup luas buat kepala saya *dulu pernah ambruk juga karena kegencet parah dan nggak ada pemandangan sama sekali selain punggung manusia*

dan si nenek itu pun akhirnya tertidur di tempat duduk yang saya ikhlaskan itu.

Tapi kemudian betapa sakit hatinya saya ketika si cucu kemudian ngobrol dengan orang lain yang sepertinya temannya atau apalah… dan itu menyindir saya setengah mati

“Iyaaaaa… biasalah anak muda, pura-pura tidur. Tega banget tuh baru ngasih pas si nenek udah mulai capek” bla….bla….bla… makin lama makin mengarah ke saya dan soory to say makin kurang ajar!

Saya harus akui, saya kecewa. Kalau saya saya nggak punya iman dan nggak ngehormatin orang lain! Udah saya tonjok! Saya lempar ke luar kereta! Abis seenaknya aja nge-judge orang.
Sekadar informasi saja ya, sewaktu saya masih duduk, di kiri dan kanan saya ada dua anak yang lebih muda dan sehat daripada saya! Tapi dari jakarta kota sampai bogor mereka tidur dan maenin BeBeh mereka. Saya bisa…. bisa seperti mereka! Tapi kan pada kenyataannya saya nggak begitu.
Setelah sampai di depok si nenek dan si cucunya itu turun kan. Tidak ada kata terima kasih! Yang ada muka masam dari si cucu. Grrrrrrrrrrrh~~~~~~ saya kesal sekali!

Itu hanya satu cerita!
Saya berkali-kali mengalami hal yang hampir serupa, apa saya orangnya terlalu perasa ya?
Pernah saya kaget karena ketika saya terbangun di kereta, ada ibu hamil yang berdiri di depan saya. Lagi-lagi saya kaget karena di depan saya kok bisa-bisanya ada ibu hamil yang tidak dipersilakan duduk oleh siapapun? Seperti biasa saya persilahkan duduk, waaaah takut kualat lah.
Si Ibu hamilnya baik sekali dan bilang, “terima kasih banyak ya,mbak. Maaf ya mengganggu” dengan senyum mengembang… waaaah cantik sekali.
“Hahahaha, gak apa, Bu… harusnya daritadi. Saya ketiduran sih”

Tapi apa kata orang-orang di sekitar saya,
“Harusnya dari tadi tuh… tadi gw nyari-nyari satpam supaya dia nyadar. eh bagus deh nyadar sendiri” saya inget banget yang ngomong gitu dua orang anak cewek remaja seumuran saya lah. Hampir saya jambak dan injek kakinya! Siapa lo?!! kenapa harus dia yang ribut? untungnya lagi saya nggak mau… ya saya nggak mau punya otak yang dangkal seperti mereka!
Ada lagi, saya ngasih tempat duduk ke ibu hamil. Eh dia malah cemberut dan nggak bilang terima kasih atau senyum sekilas ke saya. Padahal saya juga belum nyampe 1 menit tuh nikmatik tempat duduknya.

Waaaaah…. pokoknya banyak yang kayak begitu deh.

Saya kira saya saja yang dongkol masalah ini…..
Suatu hari di kereta ada seorang nenek yang lebih ekstrim daripada saya. Dia memberikan tempat duduk kepada seorang ibu yang bawa anak kecil buanyaaaak banget. Nah tapi, setelah sampai tujuan si ibu banyak anak ini melengos pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih ke si nenek. Kalian tau apa yang terjadi?

Si nenek kemudian teriak, “Kelak anak kamu nggak akan pernah berterima kasih ke kamu, karena kamu tidak tahu bagaimana berterima kasih kepada orang lain” Sedaaaaaap! Kalian mau tau? Saat itu rasanya saya langsung mau sungkem ke si nenek perkasa itu. Siapa??? Siapa yang bisa seberani si nenek untuk mengatakan hal itu? Ya mungkin memang harus ada orang seperti Beliau untuk menyadarkan komunitas masyarakat yang mulai cuek dengan kepedulian dan pengorbanan orang lain.Saat itu, saya bangga jadi penumpang yang berdiri karena bisa mendapat pelajaran luar biasa secara live dari si nenek itu dengan jelas.

Si nenek itu mungkin menangkan mata berbinar saya yang memancarkan kekaguman tiada tara ke si nenek, lalu Beliau tiba-tiba ngobrol dengan saya lalu menasehati saya:
“Cu, terima kasih dan maaf itu mungkin keliatannya sepele. Tapi dua kata itu menunjukkan kita menghargai setiap perbuatan orang lain, sekecil apapun. Kalau kita tidak bisa melakukan hal sepele dengan baik, maka kita juga tidak akan bisa melakukan hal besar dengan baik

Saya mencatat nasehat itu baik-baik.

Mungkin semua hal butuh waktu ya?
Saya juga dulu suka rada iri kok sama orang yang tidur di kereta, apalagi cowok, sedangkan kita berdiri. Saya bahkan pernah ketawa terbahak-bahak, saat ada seorang mas-mas yang terlihat jelas pura-pura tidur ketatuhan plastik berisi ikan mas! Hwahahahahahaha…

tapi semakin saya dewasa *ceilah bahasanye*, saya liat teman-teman saya kerja, dan bahkan saya mengamati berbagai kisah “Pillowman” yang tiap hari bulak-balik menghadapi ganasnya ibukota *errrrr…. sorry, nggak menemukan padanan kata yang nggak lebay* saya menjadi sadar betul, banyak orang di muka bumi ini sangat kelelahan… bahkan lebih daripada saya.
Saat di kereta… saya lalu menyadari, orang yang duduk belum tentu lebih tidak lelah dibandingkan yang berdiri, begitu pula sebaliknya. Semua orang sama-sama capek, sama-sama lelah, sama-sama bosan, yah sama-sama lah. Maka pada saat itulah rasa saling menghargai dan menghormati itu diperlukan. Bukankah semuanya juga berhak dihargai karena sudah bekerja keras seharian? atau mungkin menempuh perjalanan yang sangat jauh?

Ketika di kendaraan umum,
Apa begitu sulit, orang-orang yang lebih muda…membuka mata dan hati lalu mempersilahkan orang-orang yang lebih layak untuk duduk untuk duduk?
Apa begitu sulit juga, bagi orang yang dibantu demikian untuk sekadar tersenyum atau mengucapkan terima kasih?
Apa begitu sulit pula, bagi orang-orang yang tidak memberikan atau diberikan tempat duduk untuk sekadar diam saja tidak perlu banyak komentar?

Bahkan ketika dalam kehidupan sehari-hari,
Apa kita sudah bisa mengucapkan terima kasih atas setiap hal yang dilakukan orang lain untuk kita?
Apa kita sudah menjadi orang yang cukup helpful bagi orang-orang di sekitar kita?
Apa kita sudah cukup dewasa dan bijaksana dalam bertindak?

Bukan karena saya gila terima kasih…. tapi karena saya merasa saya senang ketika pengorbanan saya dihargai oleh orang lain, dan rasanya sebuah hal yang manusiawi jika orang lain juga merasakan hal yang serupa.

Yaaaa…. begitu saja sih.
Pikirkan sendiri saja ya 🙂