Brutal truth about being 30’s, single, (and no kids yet)…:  Menyanggah sang influencer


Di tengah kehebohan semesta terhadap pernyataan seorang influencer cerdas tentang faedah child-free dan kekerasan hatinya untuk menentang pendapat yang tidak seragam dengannya, sesungguhnya terjadi pula perdebatan lainnya di sebuah pojok planet bumi, antara saya dan alien dari planet uranus. Kita sebut saja moja-moja.

Me: I am right…!
Moja-Moja: Oh no way! Wake up, you are wrong, and you are too much!
Me : You are heartless! (mulai drama, pake tetes-tetes airmata dikit)
Moja-Moja: You! do not only use your heart, use that head too for something other than math! Open you EYEEEZZZ!

Setelah menangis, meraung, menghabiskan satu nampan pizza dan sepanci rendang (padahal harus diet ketat), kami sampai pada sebuah kesepakatan. Tidak ada yang salah dari kami, secara mengejutkan… kami semua benar! Ini hanya perkara sudut pandang. Lalu kami hanya terdiam… “Jadi kita tuh ngapain sih tadi ? hah? ”

saya jadi belajar suatu hal yang amat berharga:

“Semua perkara di muka bumi ini hanya perkara sudut pandang”

Sebuah hal yang mungkin luput dari perhatian Mbak Influencer pintar nan awet muda. Bahwa walau stand point Beliau ini sungguh masuk akal, namun bukan berarti itu adalah sebuah kebenaran absolut. Karena hidup manusia dan segala keputusannya, tidak bisa diformulasi secara matematis begitu saja.

Child free bikin lo yang udah 30’s terlihat lebih muda. Omong kosong apa itu? Anda terlihat lebih muda karena ada endorse skin care! hey ya influencer! Normal 30’s are prone to encok! You know? You know? Apalagi kalau jadi tulang punggung keluarga, atau harus kerja sambilan ini itu syalalalallala.
Mama saya juga kalau semisal dikasih endorse SKII dan perawatan kulit ala mbak Titi Dj juga pasti gak akan kalah bening sama Mbak Utada Hikaru. I mean, come on! Perdebatan itu sangat pepesan kosong banget loh. Masa’ kepalanya tuh gak bisa memikirkan parameter-parameter eksogen lainnya yang mempengaruhi tingkat kecantikan seorang wanita, or whatever lah mau nyebut apa.

Dan sebenernya, saya tuh ngerasa, Mbak Influencer ini sebenarnya bisa case-closed jika pas dipuji tinggal bilang: terima kasih, titik.
Kelar! Lah kenapa jadi bawa-bawa masalah kecantikan syalalalalalla de childfree? Mohon maaf apa urusannya?

Saya belum punya anak, single, keliatan muda sih… iya… jelas… namun renta, dan random. Kayaknya teman-teman saya yang sudah berumah tangga banyak yang life quality-nya lebih rapi dan teratur deh.

Mari…Mari… mari sobat semua! saya ajak Anda melihat kehidupan riil! Seorang Wanita single, 30-an, belum punya anak… dan hidup tidak teratur. Ayok… mari-mari-mari- kita room tour dikit.

Yak jemuran kering yang belum dilipat ya sodara-sodara…karena sampe rumah udah encok.

IMG_1165

Tumpukan piring yang “Aku bertekad akan mencucinya…” namun akhirnya males dan ketumpuk-tumpuk juga.

IMG_1166

Meja kerja yang astagfirullah berantakan tapi kok ya kerja gak beres-beres

IMG_1164

koleksi obat sakit kepala, balsem, kompresan, koyo… obat maag juga, klo lambung terpaksa kosong

IMG_1167

koleksi Indom*e, kalau males masak (walau lambung, liver, semua udah meletoy, tapi yang penting perut keganjel).

IMG_1168

Anda lihat sendiri kaaaan? Let me tell you ladies and gentlemen, madame et monsieur! Mama saya yang punya anak dua bahkan punya keteraturan hidup dan manajemen waktu yang lebih efektif dan efisien dari pada saya yang ngurus diri sendiri aja repot! Hal kayak gini, dikedipin sama Mama saya juga selesai satu hari, itu pun masih sempet ngurus adik saya. Jangan-jangan, menjadi orang tua itu memperkaya skill seseorang untuk melakukan manajemen waktu (dan lainnya). And that’s cool ! Kenapa? Kenapa itu menjadi masalah? Apa itu kurang keren? Kurang ajib? Apa sih poin yang perlu dicari-cari boroknya? Apa?

Seseorang mau nikah kek, gak nikah kek, masih muda, udah tua, itu tuh gak ada sangkut pautnya dengan kebahagiaan, kesehatan, kecantikan, keteraturan hidup, keindahan duniawi, apapun lah itu. Kita pasti punya masalah, dan masalah ini pasti ada APAPUN pilihan kita. Masalah itu seperti energi, dan energi itu kekal ! Dia tidak menghilang, dia hanya bertransformasi. Kita tidak bisa menskip masalah duhai manusia. Enak aje lo mau lolos gitu aja.

Dalam hukum pertama termodinamika, ada yang namanya prinsip kekekalan energi. Energi itu kekal, tidak berkurang, tidak bertambah, namun bertransformasi dalam berbagai bentuk.

Energy can neither be created nor destroyed, only altered in form.”

Masalah, itu tuh sebentuk energi… count it as energi potensial. Dia selalu ada, udah ditentukan porsinya sama Tuhan sesuai kemampuan kita, cuman transformasi si masalah ini nih, begitu pula outputnya, yang beda-beda bergantung pada moda yang kita pilih. Mungkin kalau digambarkan itu kayak….ketika air dengan massa yang sama ditempatin di dua bejana. Yang satu dipanaskan lalu menguap, yang satu lagi didinginkan lalu beku, output yang keliatan mata telanjang kan beda toh? ketika menguap oh airnya jadi seperti “hilang”, seperti tidak terjadi apa-apa. Air yang dibekukan, keliatan nih masih ada es-nya. Namun, total jumlah air yang mengalami proses fisis itu SAMAAAAAAA! Cuman proses transformasi wujudnya aja yang beda.
ASTAGA PLIS INI TEORI DASAR FISIKA DI SMP, PADA KEMANA MANUSIA DI MUKA BUMI INI YA TUHAN!

Jadi seorang child-free, atau tidak. Kita semua PASTI masih menggendong masalah kita masing-masing. Being child-free bukanlah sebuah metode untuk menghilangkan beban hidup. Hanya alternatif cara untuk handle permasalahan hidup dengan pendekatan yang berbeda, lebih hype, lebih unik dari kebanyakan orang pada umumnya. Dan ya udah gitu aja, tidak ada yang spesial, dan sesungguhnya tidak ada yang perlu diperdebatkan sekaligus dibanggakan. Gak usah melenceng ke patriarki lah, kecantikan lah, aduuuuh jauh itu… jauuuuh…. udah kemana-mana. WUSH WUSH kusut!

Punya anak, ya mungkin pusing itung-itung kebutuhan finansial, kaget juga rupanya anak kecil suka “ajaib”, harus belajar manage waktu dari awal lagi. Ih greget!
Tidak punya anak? Ya mungkin jadi debat sama suami klo suaminya mau punya anak, diomongin tetangga, mertua, netijen, terus jadi gampang emosian juga. Ih greget juga!
Ini cuman perkara preferensi bagaimana metode menikmati sakit kepala dan kerempongan hidup aja. That’s it!

Kesimpulannya, semua orang pasti ada kombinasi masalahnya masing-masing lah. Jadi ya sudah, mari mencicipi piring masalah yang sudah tersedia di piring masing-masing. Jadi mari para bapak dan ibu sekalian, SABAAAAAR!

Asam urat saya lumayan naik juga ketika seorang kawan saya membagikan video ngobrol sang influencer dengan suaminya. Gokil, Mas Suaminya sabar banget sih. Jujur saja, kalau mau julid, sepertinya saya juga gak akan ribet dan busuk-busuk amat sih kalau nikah (dengan pembandingnya mbak influencer ini ya), terus dapat pria penyabar yang akan saya jaga baik-baik dan klo perlu saya bungkus bubble wrap biar gak kegores, dan (it is a top secret) I love kids! I want to have kids! Bahkan lebih antusias ingin punya anak daripada punya suami. I don’t like most hooman, saya pusing dengan keramaian, tapi saya sweet looh kalau ke anak kecil. Kalau gak jadi peneliti, saya sudah hampir pasti jadi guru menggambar di SD atau TK. Atau illustrator buku cerita anak-anak. What’s wrong with kids? Apaaaa? Kalau kata adik saya, mereka itu culun culun lucu gemes gitu.

Namun memang…. saya memang tidak PD untuk menjadi orang tua. Jujur saja, saya sih gak cukup percaya diri jika kelak saya bisa sesukses Mama misalnya, punya anak yang bakalan sayang banget ke saya. Saya tidak cukup percaya diri jika saya bisa punya anak cowok yang bisa bilang ‘you are so beautiful’ padahal badan saya sudah hancur kena stroke hatrick 3x. That’s sweet! Sweetness overload!
Saya juga belum tentu bisa sejago Uwak saya yang sukses di karir tapi juga bisa membesarkan tiga orang anak gadisnya yang cantik-cantik dan keren. Kayaknya manajemen waktu dan emosi saya busuk sih.

Apakah kalian juga cukup percaya diri bahwa kalian dapat menjadi better version parent untuk anak-anak kalian? kalau kalian bakal lebih baik daripada orang tua kalian saat ini? Saya berani taruhan, membayangkan saja jiwa sudah gentar.
Saya yakin, jika tidak hati-hati, orang tua masa kini akan melihat anaknya main lato-lato atau tiktok ketika sedang diajari shalat. Mampos… pecah gak tu kepala kalean, huh?
Emosi Anda pasti akan goncang, otak Anda akan nge-bug… mau lempar sandal, eh… inget swallow juga lumayan mahal, inget anak sendiri.

Saya bahkan punya pengalaman traumatis tersendiri ketika ayah saya harus meninggal dunia saat saya masih di bangku sekolah menengah. Lalu, saya merasa… saya bisa melakukan banyak hal sendiri kok.
Dengan segala scenario “what if” serta ego saya yang masih tinggi, jika ingin pakai kepala saja, tidak ada alasan kuat bagi saya untuk having kids or even having family in the future.

Namun, melihat kehangatan sebuah keluarga, bagaimana seorang anak bisa mengasihi orang tua. Bagaimana orang tua dapat mewariskan nilai-nilai dan cerita unik pada anak mereka, bagi saya adalah sebuah kehangatan tersendiri di muka bumi ini.  Itu membuat saya luluh.
Jika Tuhan mengizinkan, waaah saya senang sekali untuk mencoba tantangan baru, menjadi istri bahkan menjadi ibu. Walau jika itu terjadi, wah bakalan bumi gonjang-ganjing langit kelap kelip sih.

Dan besar sekali doa-doa saya bahwa teman-teman saya yang baik dan menyenangkan bisa membangun keluarga yang baik dan kuat, lalu membentuk generasi-generasi yang lebih multicultural, lebih diverse, lebih toleran, punya IQ, EQ, dan SQ yang lebih terasah. Itu semua tidak akan terjadi jika manusia yang berkembang biak hanya orang-orang yang membawa bayinya naik jetski tanpa pelindung apapun.

Keputusan child-free adalah hak prerogative setiap insan. Siapalah seekor emon dan kita semua yang manusia biasa serta rakyat jelata ini ? Kita sungguh tidak berhak untuk ikut campur pada hal-hal yang sudah di “imani” oleh orang lain. Namun menjustifikasi bahwa “Hei look, keputusan gw cool banget, lo semua tolol aja gak ikut gw yang hype abis ini,” sungguh di luar batas logika dan akhlak.

Mungkin kalian juga akan tidak sependapat dengan saya. Mari kita menjawab dengan jujur, apakah menikah dan memiliki anak itu adalah sebuah pencapaian? Apakah semua itu memberikan kebahagiaan instant?
Secara matematis dan logis, saya berani bilang TIDAK. Ya…Kalau mau bebas, hemat, dan bahagia, being single is a formidable decision. Secara matematika akuntasi loh ya.
Namun, sebagai individu, mental dan kebijaksanaan kita juga harus terus berkembang, bertransformasi, diupdate. Proses transformasi itu yang bagi banyak individu perlu diraih melalui proses menikah… dan jika diberi kesempatan, ketika menjadi orang tua. Saya yakin pengalaman menjadi orang tua itu adalah pengalaman eksklusif dan gak bisa dibandingkan dengan apapun. Apa coba? Pengalaman hidup apa di muka bumi ini yang bisa menggantikan pengalaman menikah dan menjadi orang tua? Sebuah pengalaman spesifik untuk menerima orang “baru” dalam hidup kita untuk kemudian saling berkompromi serta mengeluarkan aneka jurus-jurus komunikasi yang baru nan kompleks ? Gak ada bre! Gak ada! Maka tidak ada yang berhak mengolok-olok keputusan seseorang yang dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaannya, mencoba menjadi manusia yang lebih dewasa dengan cara membangun keluarga dan memiliki keturunan.

Intermezzo lagi.
Suatu ketika saya bercerita pada Mama, “Ma, kalo kakak nikah, kayaknya saya emosian sih. Semua panci penyok… terus klo kesel, suami saya nanti saya kasih ngemil Mee-O aja, share sama Buntet. Oh iya, anak-anak saya, akan saya didik agar mereka punya hobi mencuci piring dan ngepel, biar gak bikin hidup saya encok.”

Dan Mama saya hanya tertawa “Ya gak lah kaaaaak, sekeras-kerasnya kamu, nanti kalau sudah punya keluarga sendiri, pasti kamu gak tega sih kejem-kejem gitu. Kamu dari anak tunggal terus jadi kakak aja berubah, apalagi kalau dari single jadi double, triple, quartet. Jangan ngaco lah, kayak tega aja. Liat kucing picek aja nangis. Haaaaaah… gak percaya, maaph

Tidak Ma! Berkeluarga itu ribet! Belum lagi kalo ada yang sakit lah, meninggal lah, update toxic family di medsos lah. Gak deh, Ma! konfliknya terlalu banyak

Iya ! Emang ! Ribet, bikin stress juga. Ini loh Mama sampai stroke hahahhahaa. Step awal tuh menerima segala keburukan pasangan kita. Pas belum nikah sih, kalo berantem ya bisa break dulu. Nah klo nikah nih, kalo berantem kita head to head tiap hari! Nanti apalagi pas ada anak, waaaah… semakin emosi, sodara-sodara !!! Api berkobaaaar ! Tapi nanti kita mulai bisa belajar segala kompleksitas emosional manusia, dari partner kita… anak kita…kita juga belajar untuk mengatur waktu dan emosi agar lebih efisien. Itu tahap kita bisa beneran nurunin ego. Kayaknya kalau Mama dulu gak nikah sama ayah, mama juga masih emosian banget sih. Udah bakat darting dari dulu.  Ini bukan masalah menjadi lebih bahagia atau gak, ini masalah langkah yang kita pilih buat jadi lebih bijak aja sih. Menurut Mama loh ya. Kayaknya itu deh mengapa menikah jadi bagian ibadah. Mungkin bahagianya karena berkah dari kebijaksanaan yang didapet.

Seperti apa yang Mama bilang, lagi-lagi ini sebenarnya…..

perkara langkah yang kita pilih untuk bertransformasi menjadi lebih bijaksana.

Beberapa harus melalui metode konvensional : menikah dan punya anak.
beberapa percaya diri dengan metode yang lebih baru, hype : child free… dsb

Toh perdebatan akan selalu ada. Kayak “Aduh anak yatim banyak, aku mau adopsi aja.” Ya silakan-silakan aja, subhanallah loh itu. Tidak ada yang salah, selama semua bisa saling menghargai point-of-view masing-masing. Kan sudah dewasa toh?

Maka, mengapa kita biarkan saja semua dengan pilihannya masing-masing. Siapa tahu, itu semua memang pilihan terbaik yang bisa mereka pilih, cerna, dan terapkan saat ini. Dan ingat juga bahwa level prioritas hidup setiap orang berbeda-beda, beberapa orang memang belum selesai dengan target-target lainnya.


Saya contohnya… setidaknya saat ini ya… saya masih butuh validasi terhadap pekerjaan saya, I haven’t write any article in Nature as first author. Tembus nature, okelah… mari mencari jodoh, setidaknya udah ada pajangan di ruang tamu. Jiwa riya ini sungguh meraung-raung~~~(iya memang, saya riya’ mau apa kalian?)
Saya juga tidak cukup percaya jika sang influencer kemudian memiliki anak, mungkin dia juga belum siap serta belum memiliki kompetensi yang mumpuni untuk membesarkan anak yang baik secara akhlak, mental, dan fisik. Saya saja sudah ragu kalau Beliau ini bisa take care ikan mas koki, sulit loh bertanggung jawab sama ikan mas koki. Atau dimulai dari memelihara suplir! Nah cakep tuh, merawat suplir dengan penuh tanggung jawab sehingga si suplir tidak mengering. Rasakan sensasinya !


Mengapa kita jadi harus buang energi untuk begitu emosi? Jangan-jangan, memang itu pilihan terbaik untuk diri Beliau, dan tentu saja… belum tentu itu akan menjadi pilihan yang baik untuk saya, kamu, kita.

Kita sering kali terlalu sibuk membanding-bandingkan pilihan diri dengan pilihan-pilihan orang lain. Padahal, pilihan mereka belum tentu benar, atau setidaknya belum tentu cocok diterapkan pada timeline kehidupan kita.

Jadi ya sudah lah yaaaa… mari kita saling bertegur sapa  dengan ramah dari jalan yang masing-masing sudah kita pilih. Ini aja mikirin jalan sendiri masih bisa nyasar, apalagi mikirin jalan orang. Ya toh?

PS: Untuk mbak influencer, yang pasti gak baca blog saya, lambemu itu loh mbaaaak! Mau child free, childish, sweet child o’ mine, itu wis sekarepmu, Mbak…. Tapi ya udah, tidak perlu caper. Dewasalah untuk menerima bahwa apa yang keren menurut Anda sendiri, belum tentu applicable bagi orang lain.  Masa’ pola pikir seperti itu gak sampe Jerman sih ? Saya yang dulu dari Leuwiliang aja nyampe loh ke pemahaman tersebut. Oh ya, dan mungkin ada empati dikit sih, pasti ada teman atau kerabat atau followers yang sedang berjuang untuk punya momongan, terus perkataan Anda yang memiliki anak itu sebuah keputusan yang salah dan merepotkan, itu beneran gak membantu siapapun secara psikologis sih. Mending mbaknya gak usah jadi influencer 😀 toh rupanya tidak open minded-open minded amat. Udah mbak sini… jadi tante-tante blogger biasa aja. kayak saya…

Ini sekalian foto suplir saya yang mengering :’D sad man! sad!

IMG_1161

Ramadan dan Ibadah-Ibadah Setengah Hati : Sebuah Refleksi


Aku menghaturkan jutaan permintaan kepada-Mu.
Mempertanyakan mengapa enggan Kau segera menjawab pertanyaanku.
Tiba saat Kau memintaku untuk mengingat-Mu di tiga puluh hari,
Ah… rupanya lidahku saja kelu menyebut nama lengkap-Mu,
Rupanya aku lupa membaca ratusan lembar surat cinta-Mu padaku

Di balik setiap doaku, tersimpan banyak ego yang semoga bisa termaafkan.

– Ramadan dan Ibadah-Ibadah Setengah Hati (2022)

Halo sobat santanku yang super, yang pastinya berhasil menurunkan 2 kg selama puasa dan bertambah 3-5 kg selama lebaran. Sungguh makanan bersantan itu gokil sih. Tapi tidak apa-apa lah, wong lebaran kan cuman 2 kali setahun: Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Idul Adha. Paham juga sih, kerena setelah si covid yang bikin banyak jiwa sepi dan terjebak gak bisa ketemu keluarga, akhirnya bisa mudik… merasakan ketupat dan sidangan santan buatan Mama. Apalagi kalau kalian seperti saya, Mama saya punya tangan ajaib yang bisa membuat makanan jadi enaaaaaak banget. Kadang kalau pulang, cuman makan sop sama sambal goreng aja udah hangat banget, berasa hangat sampai ke hati. Ini terbukti secara sah dan meyakinkan karena adik saya yang selalu tinggal sama Mama sekarang badannya gede banget karena sudah beralih fungsi menjadi sous-chef dan tim icip masakan. Apalagi lebaran, masakan bersantan itu memang gurih dan kalau jago masaknya, bisa bikin kita semua ketagihan. Jadi well… mari kita pasrahkan saja berat badan kita gara-gara aneka santan yang aduhai itu. Tidak apa—- tidak apaaaaa apaaaaaa…. (sambil nangis di atas timbangan).

Tapi ada hal yang membuat saya, yang sudah semakin tua ini, sedih dan miris. Puasa tahun ini berasa cepet banget, iya gak sih? Apa cuman saya aja….
Tahun ini, kalau beberapa orang di medsos bisa bangga menunjukkan achievement ibadah mereka, maka buat saya sih… duuuuh tengsin men! Tengsin!

Bagaimana tidak? Mari kita telisik satu per satu, yang jelek-jeleknya aja ya. Mulai dari baca Quran yang, tentu saja, tidak intense. Dan shalat tarawih pun, semua di rumah sendiri. Yaaa seperti hari biasa aja, sibuk dengan rutinitas duniawi.

Nah jangan kalian pikir manusia-manusia duniawi seperti saya ini gak sadar kalau intensitas iman kami tuh ‘meh’ banget. Saya yakin kok, dalam hati kecil tuh ada rasa “Gak boleh, harus ada yang gw perbaiki nih.” Dan percayalah podcast dan acara-acara religi yang tipis-tipis bahas atau diskusi terkait agama itu membantu banget buat manusia modelan begini. Hingga kemudian saya sampai ke sebuah konten di youtube, yang sebenarnya untuk kemasanan komedi, tapi cukup menarik. Judulnya “Pindah Arah”, sebuah acara yang disiarkan oleh Comedy Sunday dan menceritakan perjalanan spiritual orang-orang yang mengubah kepercayaannya. Nah! Yang menarik, ada yang pindah dari agama minoritas ke mayoritas, dan ada juga yang sebaliknya. Dan acara ini, secara mengejutkan, sangat menarik dan memotivasi. Loh?

Iya… karena rupanya hati itu begitu mudah aja dibolak-balik. Rupanya gak ada yang terlalu kecil atau terlalu besar ketika itu perkara keyakinan. Ada loh yang berpindah keyakinan, hanya karena pas parkir di depan gereja, eh loh kok gereja ini bikin tenang ya. Ada yang kemudian liat orang-orang tarawih, eh kok seneng ya ada masa ketika terus komunikasi sama Tuhan. Ada yang merasa shalat, rupanya adalah metode meditasi yang paling efektif, simple, dan menenangkan.

Sungguh, saya sebagai Muslim veteran tidak henti-hentinya mempertanyakan “Ah masa sih?!”

Lalu tibalah satu episode yang benar-benar inspiring! Mari kita lihat.

Masnya punya permasalahan bahwa, “Kok pas shalat belum merasakan secara penuh kehadiran Allah ya?”
Mas, jangan khawatir… SAYA JUGA BEGITU. Jangankan pendatan baru, ini Muslim veteran loh, masih merasakan hal yang sama. ASTAGFIRULLAH.

Saya kemudian memutuskan mencoba apa yang Mas-nya coba: Shalat secara lebih perlahan.
Sesuatu yang kalau di kamus kami para Muslim disebut tuma’ninah. Tapi tekad saya adalah, lebih dalam dalam proses shalat ini. Ya plis aja, gengsi dong kalah sama pendatangan baru, yakan. Iman boleh naik turun, tapi gengsi terus on.

TEBAK APA YANG SAYA TEMUKAN?

Saya bahkan sadar bahwa bacaan shalat saya selama ini banyak yang tidak becus. Coba deh kalian yang Muslim, nanti suatu waktu, shalat…. konsentrasi dan dengarkan baik-baik bacaan kalian sendiri. Untuk saya? Saya menyadari begitu banyak bagian yang tabrak lari, tidak peduli makhraj, dan saya kok khawatir jangan-jangan ada baris-baris yang terlewat selama ini? Belum lagi perkara surat-surat pendek yang pas di-review ulang “Loh kok loh kok, kok makin sedikit ya hafalannya” Itupun saya ragu dengan kebenaran bacaannya.

Itulah malam dimana saya memutuskan, saya akan kembali ke Quran. Itulah malam ketika, saya bilang ke diri sendiri, “Oke, lo banyak salah, tapi setidaknya lo harus shalat yang bener.”
Dan di malam itu juga, saya memutuskan untuk kembali mencoba sekuat tenaga untuk menghafal Quran, tekad saya sederhana, Juz 30 + Ar-Rahman. Saya sadar diri kok kemampuan otak dan persistensi saya tidak bisa disamakan dengan ayah saya yang dulunya anak pesantren. Tapi kayaknya keterlaluan banget kalau shalat gak cantik dan all out, karena itu aja ibadah yang bisa diperjuangkan untuk terus dilakukan dengan sebaik mungkin di tengah hiruk pikuk dunia dan kesibukan berburu harta benda. Karena saya suka sekali menulis, saya sampai bikin jurnal untuk mencatat progress hapalan saya. Tidak usah kagum saudara-saudara, jika kalian sudah kepala 3, kapasitas otak kalian mulai berkurang aja karena sibuk memikirkan aneka keruwetan di planet bumi. I am so damn serious, Man! I am so damn serious!

IMG_9904

Entah apa indikator keberhasilan dari hal ini ya, tapi setelah itu, hati lebih tenang… tanpa perlu keluar uang untuk sesi yoga dan meditasi. Oh ya, untuk saya pribadi, I stopped scrolling around my social medias. Lebih memilih untuk kerja, baca buku, gambar, atau masak. Jangan-jangan, ini jangan-jangan loh, kita ini terus terpaku pada media sosial karena kita punya banyak keresahan dan gak ada media untuk menuntaskan, atau setidaknya mengurangi, rasa resah itu. Jangan-jangan kita itu kurang produktif karena, kualitas ibadah kita, terlepas dari apapun kepercayaan kita, memang busuk aja. Kita gak ngerasa aja….

Kali ini saya tulis ini semua di blog, supaya saya ingat atas kelalaian saya ini, dan supaya saya punya tanggung jawab untuk terus mempertahankan tekad untuk jadi sedikit lebih baik dalam beribadah.
Saya itu masih punya banyak ambisi dan keinginan, tentunya akan ada banyak doa-doa yang akan saya utarakan. Nah ya kok masa’ yang meminta kemudian tidak berusaha untuk mengenal dan mendekati Sang Maha Pemberi, kan gak etis 🙂 iya toh?

Terima kasih Mas-Mas pendatang baru dan Comedy Sunday, perjalanan spiritual setiap orang memang beda-beda, saya… rupanya harus lewat jalur youtube dulu.

Selamat hari raya Idul Fitri, dan moga kita cerita lagi di Ramadan selanjutnya.

Untuk versi podcast dapat didengarkan di sini 🙂

Toxic Masculinity: Sudahkah kita memperlakukan pria dengan baik?


Maaf-maaf-maaf, terjadi banyak kekacauan dan kesibukan di dunia nyata yang membuat tante harus undur diri sejenak dari dunia maya 😀

Baiklah, mari kita bahas hal-hal yang menarik dan agak-agak nampol di kepala. Jadi beberapa waktu yang lalu saya baru selesai membaca, eh denger deh, sebuah buku yang judulnya “For the Love of Men” tulisan seorang wartawan bernama Liz Plank. Cukup menarik sih, karena membantu kita untuk melihat dari berbagai perspektif.

Nah jika kalian para wanita suka merasa “Duh kok ini cowok-cowok kok sulit banget dipahami.” Mungkin emang benar, dan itu semua karena lingkungan membuat stigma bahwa share the feeling, berbagi perasaan, curhat, adalah hal yang lebih feminim dibandingkan maskulin. Padahal, kebutuhan akan validasi perasaan dan pemikiran itu adalah kebutuhan manusia, tidak peduli gendernya apa.

Nah, stigma-stigma yang seperti inilah yang kemudian disebut: Toxic Masculinty.

Nah, sebelum kita tersesat lebih jauh, apa sih toxic masculinity? Dilansir dari healtline.com, …“toxic masculinity is an adherence to the limiting and potentially dangerous societal standards set for men and masculine-identifying people.” Intinya, standar-standar sosial yang mendefinisikan maskulinitas. Gak boleh nangis, gak boleh terlalu warm, gak boleh terlalu ramah, gak boleh curhat, gak boleh suka warna pink, gak usah masak ato belajar masak, dan sebagainya. Pokoknya, pria, diharuskan untuk selalu kuat secara mental dan fisik. Kalau kemudian capek dan nangis langsung dijudge “waaah lemah lo!” padahal kan sedih, dan aneka pergolakan emosi lainnya, bisa dirasakan oleh siapa aja.

Hal itulah yang membuat WHO sampai turun tangan dan bilang bahwa angka harapan hidup pria lebih rendah dibandingkan wanita. Saya kemudian membaca blog tulisan Dr. Robert H. Shmerling, MD, Senior Faculty Editor, Harvard Health Publishing, dan Beliau udah bilang ke istrinya kalau dia kayaknya bakal mangkat lebih duluan dari istrinya:

“I knew that, on average, women live longer than men. In fact, 57% of all those ages 65 and older are female. By age 85, 67% are women. The average lifespan is about 5 years longer for women than men in the U.S., and about 7 years longer worldwide.”

Pertanyaannya kenapa? Karena pria lebih mudah terserang stress, lalu akhirnya ada yang sakit, ada yang cari pelarian dari hal-hal ekstrim, dan ada juga yang bunuh diri. Sound stupid, apalagi bagi saya, karena saya sih tau banget hidup ini sulit dan gila ya. Tapi when life gives you lemon…. yaaaa udah nangis dulu sehari-dua hari, curhat ke random friends, atau main sama kucing, lalu kemudian maju jalan lagi! Apakah curhat dan nangis-nangis sampe ingusan itu menyelesaikan masalah? tidak! Tapi itu rupanya membuat mental kita lebih siap aja menghadapi realita. Dan ketika kita lebih siap, kita menjadi lebih kuat. That’s how strong women could be.

Nah ini yang seringkali tidak dinikmati oleh para pria yang boro-boro curhat, untuk nangis aja kadang gengsi. Nah seketikanya harus curhat, sukur-sukur ada yang mendengarkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Kebanyakan malah “Ah elo…. gitu doang aja. Cupu ah.”

Hal itu rupanya semakin merembet ke hal-hal yang lebih besar. Dalam buku “For the Love of Men”, si penulis bilang bahwa selama proses dia menulis buku, dia mewawancara beberap orang pria dan para pria ini banyak sekali yang menyembunyikan fakta ketika mereka merasa dilecehkan secara seksual. Mengapa? Karena ketika mereka kemudian curhat tentang ketidaknyamanan yang mereka rasakan, termasuk pelecehan seksual yang mereka alami, mayoritas respon yang mereka dapatkan adalah “Ah gitu aja, kamu kan cowok, lawan lah.”, “Masa’ gak bisa lawan?”

Padahal sih harusnya speak up, biar yang melakukan tuh sadar yang mereka lakukan itu busuk. Jadi inget kasus “rahim anget”, yang mohon maaf, menurut saya kok jijik ya. Kita sebagai wanita kan lebih bangga ketika dilihat secara pemikiran, secara kecerdasan emosional dan intelektual. Saya sih males banget kalau saya achieve sesuatu, terus penghargaan yang saya dapatkan menjurus ke hal-hal seksual. Naaaah…. dulu pernah nih ada pebulu tangkis yang kece sih emang, dan staminanya emang kuda. Namun alih-alih penghargaan pada kekuatan fisik dan kecerdasan strateginya, yang banyak muncul malah kaum-kaum “rahim anget.” Dan pada gak terima kalau kemudian ditegur.

Oh ya, kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah instansi baru-baru ini juga, sama….
Ketika melapor malah kembali dipertanyakan “Loh kenapa gak bilang dari dulu-dulu?” dan malah kemudian diancam untuk dirumahkan.

Hal ini kemudian semakin rumit, karena, kalau kata buku ini, pria cenderung punya ekspektasi dan pengharapan yang tinggi pada dirinya. Nah, ketika kemudian dia gagal, maka orang yang pertama kali menyalahkan mereka adalah…. siapa lagi kalau bukan… diri mereka sendiri. Jika kemudian orang lain ikutan menyudutkan dan menyalahkan si Mas-Mas malang ini, maka itu akan jadi semacam validasi “Tuh kan gw salah.”

Hmmmm…. pendek kata, selain keras kepala… kayaknya para pria ini juga keras hati :’)

Hal ini yang mungkin menjelaskan kenapa sosok “ayah” di dalam keluarga selalu menjadi salah satu yang bikin kita suka naik darah. Berulang kali saya selalu dapat curhatan
“Bapak gue udah sakit-sakitan, Mon… udah gue suruh berhenti kerja aja. Diem deh diem di rumah. Apa susahnya sih?”
“Ya ampun Mon, ya masuk rumah sakit lah, wong maksain diri. Pake acara gak bilang-bilang kalo ada penyakit pula.”

Dan berulang kali juga saya bilang “Udah…. sabar, biarin aja Beliau mau nyobain apa. Tapi lebih dijagain aja.”
Dan berulang kali juga itu menjadi boomerang, dan mereka pasti akan bilang “Mon, gak gitu… lo gak ngerti…..”

Mungkin iya, tapi jangan lupa juga kalau pride seorang ayah adalah menjaga keluarganya sebaik mungkin.
Dan percayalah, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika dulu ayah saya sakit.

Saya sedih, laki-laki yang paling saya sayangi di muka bumi ini terkesan memaksakan diri. Padahal saat itu, di kepala saya “udah…udah…. hidup aja, selama mungkin.” Saya kesal juga karena saya merasa ayah saya tidak memahami rasa khawatir dan sedih saya. Yang saya belum pahami saat itu, mungkin orang yang paling sedih adalah Beliau, karena merasa tidak berdaya dan malah membuat orang-orang disekitarnya sedih dan khawatir.

Semua orang bersedih, dan tidak ada gunanya untuk saling keras kepala memperdebatkan siapa yang paling terluka.

Nah, jadi, untuk kalian yang masih punya ayah, biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Support them. Ingatkan untuk hati-hati dan jaga diri. Puji mereka ketika mereka bikin sesuatu, seremeh temeh apapun itu.

Dan buat kalian yang mau jadi atau udah jadi ayah, jangan biarkan keras hati dan kepala kalian menyakiti orang-orang yang sayang kalian. Di muka bumi yang kejam ini, ada manusia yang kemudian memilih kalian jadi kepala keluarga. Maka mereka, sudah pasti, orang-orang yang siap mendengar dan berjuang bersama ketika ada suatu permasalahan. Jangan dipendam sendiri.

Kembali lagi ke topik kita. Saya sungguh mendukung kesetaraan gender, namun kesetaraan gender itu apa? Feminisme itu apa? Mengagung-agungkan wanita namun kemudian mengesampingkan keadilan dan perasaan para pria? Kan lucu dan blunder jika mencap diri sebagai feminis, namun malah lupa tentang hak asasi manusia. Dulu pernah, di sebuah grup yang saya ikuti, ada perdebatan panjang maha tidak berguna tentang sebuah lowongan pekerjaan yang hanya meminta satu orang pria untuk posisi tersebut. Pengirim lowongan sudah menjelaskan, bahwa di divisinya, hampir semua anggotanya wanita, sedangkan ada beberapa pekerjaan yang mungkin lebih efisien jika dibantu pria. Yang namanya emak-emak kan sore mungkin harus pulang cepet untuk masak, jemput anak, dsb. Sesuatu yang saya rasa bisa dipahami.
Dan kemudian perkara itu diperdebatkan sampai mati antara feminis vs non-feminis.
Pertarungan silat lidah dan argumentasi itu hanya berputar-putar di perkara “Kok gak boleh perempuan.” yang bagi kami yang malas “Lah, kan sudah dijelaskan.”
Dibalas dengan jawaban jitu “Memangnya wanita tidak layik bekerja.”
Kalau mau adu bodoh-bodohan, maka bisa saja kita balik pertanyaan tersebut “Memangnya pria tidak layik bekerja?”

Bukankah beban sosiologis dan antropologis pria, setidaknya pada masyarakat kita, lebih berat karena dituntut untuk membiayai keluarga, punya pekerjaan tetap, dsb dsb dsb dsb dsb. Dan jika mau sedikit berbaik sangka, bagaimana jika pria yang diterima untuk posisi tersebut adalah anak baik, yang uang gajinya diberikan untuk ibunya di rumah…. atau untuk keluarga kecil barunya?

Mengapa, sungguh sulit, bagi manusia untuk berbaik hati dan berbaik sangka?

Tidak ada yang tahu akhir pertarungan tersebut, karena pada akhirnya mayoritas keluar grup atau ganti e-mail. Jadi mohon maaf, memang ceritanya berakhir di situ saja.

Akhirul kalam, Mama saya selalu bilang “Orang itu bisa jahat mungkin karena pernah diperlakukan tidak adil atau tidak menyenangkan. Hati mereka luka, terus mereka jadi tidak percaya pada orang lain dan tidak peduli ketika menyakiti orang lain. Jadi, ketika kita ketemu orang yang baru, senyum aja…. berbuat baik aja…. karena siapa tau itu bisa melembutkan hati mereka.”

Maka bukankah pria, sama halnya seperti wanita, adalah manusia? Maka bukankah kita perlu memperlakukan pria sebagaimana kita wanita ingin diperlakukan. Dilihat serta diperlakukan dengan penuh rasa hormat.

Saya Tante Emon, ketemu lagi di cerita lainnya.
terima kasih.

Melawan Radikalisme Sekte Covidiotism


Halo saya tante emon, dan saya ingin mengajak kalian semua untuk berghibah tentang para covidiots di Indonesia

Sebelum membedah perkara covidiots ini, saya mau cerita sedikit dulu deh. Jadi buat yang kalian belum tahu, saya saat ini menjadi peneliti di sebuah research center di Jepang. Nah presiden di reseach center ini adalah mantan epidemiologist. Jadi Beliau tau banget lah dunia persilatan ini. Ketika Tokyo dan sekitarnya punya 500 kasus dan langsung status darurat, Beliau langsung kirim pesan di milist dan isinya kira-kira

“….Kita tahu bahwa dengan teknologi saat ini, kita bisa dengan cepat membuat obat atau vaksin apapun. Sayangnya yang paling sulit bukanlah mengalahkan virus apapun, namun mengalahkan ego manusia. Saya paham betapa berat situasi ini. Namun ingat pula bahwa kebijaksanaan manusia diukur dari seberapa kita bisa kita menahan keegoisan kita, seberapa bisa kita berpikir jernih Ketika terdapat suata masalah.
Tidak ada diantara kita ingin sakit, terpisah atau bahkan kehilangan keluarga atau teman, maka mari kita percaya dan mematuhi segala anjuran yang diberikan oleh para petugas Kesehatan dan pemerintah. Mari kita bekerjasama. Semoga setelah ini,  kita menjadi manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.

Gilaaaa! Rasanya kayak dibasuh pakai air Zamzam gak lo!
Mungkin kata-katanya lebih dalam dari itu ya, soalnya saya kan level Bahasa Jepangnya kore-kore, dan ini semua hasil olah kata google translate. Tapi itu menggambarkan segalanya sih. Seluruh chaos ini, bukan serta merta karena virusnya sendiri, tapi karena keegoisan manusia.

Oh ada yang kurang, ke-sotoy-an manusia.

Saya rasa masyarakat Jepang layak lah “naik level” secara kualitas. Kalian harus tau ya, tingkat vaksinasi di Jepang itu busuk banget, bahkan kalau dibandingkan sama Indonesia. Tapi tingkat penularan mereka terjaga banget. Kenapa? Karena taat prokes! Karena semua orang bersih, pakai masker, cuci tangan, makan makanan sehat dan bergizi.

Sementara negara berflower, mohon maaf, beberapa boro-boro naik harkatnya sebagai manusia, naik kelas ke SMA aja saya ragu loh AHAHHAHAHAHAHA… ini loh, ini lah mengapa kalian wahai manusia Indonesia yang hebat, Ketika kalian di bangku sekolah menengah, jangan cuman kejar nilai tapi serap semua ilmu yang ada.

Saya mohon izin ya untuk teman-teman yang nakes, kalian kan baik, jadi kalian gak usah bikin konten-konten nge-gas. Biar saya yang wakilkan.


Gini ya, kalau kalian buka buku teks biologi kelas X, kalo Angkatan lama SMA kelas 1.  Tidak ada obat untuk  bunuh virus. Seinget tante, antiviral drugs itu tidak membunuh virus, tapi mengurangi daya replikasi si virus. Itu pun kalau virusnya udah ketahuan.

Makanya, kalau lawannya virus, cara paling ideal yang tubuh kita bisa lakukan adalah memperkuat antibody tubuh kita. Jadi defense kita nih yang harus sip. Nah, supaya antibody kita bisa menang melawan si virus, maka antibody kita harus sudah punya kisi-kisi lawan mereka siapa? Jadi mereka tahu, alat tempurnya apa saja.
Masalahnyaaaa~~~ covid ini virus baru, jadi antibody umat manusia di muka bumi ini masih kaget “Waduh ini apaan nih?”.Antibodi ini jadi bingung cara lawannya gimana.
 Sebagai ikhtiar agar antibody kita bisa mengenal virus baru ini, maka diberikanlah vaksin. Vaksin ini virus yang sudah dilemahkan. Harapannya, tubuh kita jadi lebih siap untuk menghadapi si virus ini. Jadi kebal? Ya gak! Gak gitu cara berpikirnya.

Kalau kalian lemah di kalkulus, terus kalian dikasih bimbel khusus kalkulus, apakah Ketika tes kalkulus selanjutkan kalian langsung dapet nilai 100? Ya gak~~~~tapi setidaknya gak dapet nol-nol banget.

Sama, sama, vaksin pun begitu. Apalagi, vaksin covid ini dibuat awal banget ya karena status darurat. Idealnya tidak begitu, karena virus itu akan terus bermutasi. Proses pembuatan vaksin biasanya cukup lama karena menunggu mutasi si virusnya stabil. Jadi bagian farmasi jelas nih, dia berubahnya sampe delta kah? Sampe gamma kah? Atau gimana? Nah, vaksin yang ada sekarang belum sepenuhnya diujikan untuk varian-varian yang mutasi. Jadi pun kalian sudah vaksin, tapi kemudian pongah tidak taat prokes lagi, lalu apes kena virus varian baru, terus kalian lagi gak fit. Ya kena juga.

Alhamdulillah kalau setelah itu kalian cuman mengetuk pintu rumah sakit, kalau kalian mengetuk pintu akhirat?Hayo? gimana?  Apakah amal perbuatan kalian cukup untuk menyelamatkan diri  dari azab menjadi BBQ di neraka Jahannam? Belum tentu.

Jadi kalian masih harus tuh pake masker dan cuci tangan pake sabun atau at least pake hand sanitizer. Apa sih susahnya pake masker? Kalian mati gitu setelah pake masker? Apa sih? Sesak? Kalau kalian jalan 3 langkah pakai masker lalu sesak nafas, itu bukan salah maskernya, itu mungkin kalian ada masalah jantung atau paru-paru. Mohon maaf, kalian harus ke spesialis penyakit dalam.

Yang lebih “blokgoblokgoblok” adalah yang bilang vaksin dipasang chip.

Itu bagaimanaaaaaaa ya Allah~~~~~~ ini benda cair ya, mau ditempelin chip gimana? Yang kayak gitu tuh tau bedanya zat cair, padat, dan gas gak sih?

Apalagi? Ah virus doang, masa’ gak percaya sama Allah. Permisi, ini kalau di kisah di agama saya, khalifah Umar bin Khattab, khalifah paling sangar sepanjang sejarah Islam, pas ada wabah Tha’un sekitar tahun 18 Hijriah, doi juga cabut bro! Ini khalifar Umar yang sehat, kuat, dan tidak terpapar fast food dan micin.
Maka Andaaaaaaa~~~ ya ahli kubuuuuuuur~ yang sudah dihajar tahu bulat, cimol, cireng, boba, dan aneka fastfood, dan bahkan untuk beli makanan aja pake order ojek. masa’ Anda PD banget sih. Gaya hidup kita itu sesungguhnya telah membuat kita lebih lemah dan lembek dari. Jadi ya sadar diri aja. Jangan gila deh.  Udah Lemot Lemah otot kan harus dijaga jangan sampai Lemot Lemah otak juga ya AHAHAHHAHAHAHAHAHAHA.

Atau kalian bersikukuh, virus ini gak ada, ya udah telan dan nikmati itu semua sendiri. Gak usah ngajak orang.

———

Duh kalau inget jadi emosi banget. Emosi gak sih kalian?
Saya sih emosi tingkat dewa dewi ya. Karena rasanya kita udah begitu patuh, patuh hingga banyak hal yang dikorbankan. Eh terus, stuck aja gitu karena banyak orang blokgolblokgoblok dan membuat situasi kayak reset seperti awal lagi. Gak ada proses belajar sama sekali. Gak ada! Sedih gak?

Oh kalian pikir saya tidak merasa kesal karena saya di Jepang. Wah kalian salah banget, saya korban psikologis dari covid di Indonesia. Satu, saya gak bisa pulang-pulang nih karena kalau saya pulang, Jepang enggan mempersilakan saya masuk lagi karena Indonesia dianggap berbahaya. Bukan hanya saya ya, banyak loh pelajar, peneliti, dan pekerja magang yang stuck di tanah air
 Dua, Mama saya yang diabetes sempat harus terhenti untuk check up karena RS penuh sama pasien covid dan covidiots yang gak ngaku klo mereka covid. Jadi ke RS bilang meriang biasa, eh padahal covid. Ya nular kemana-mana.
Tiga, ini personal sih, saya mau memperkenalkan seseorang ke Mama dan adik saya. Dan itu semua ambyaaaaaaar karena covid. OMG OMG I am getting old, I cannot make any kind of plan delayed anymore.

Jadi kalau saya mau kasar, hey covidiots, Anda BIADAAAAB!

Tapi sudahlah ya

Semua cerita dan complain ini saya ceritakan kepada seorang teman saya, dan dia malah ketawa “You know what, Marissa. You cannot fight ignorance. We can’t. Don’t waste your energy.”

Dan iya juga sih. Mungkin saya sudah harus mulai memaafkan para biadab-biadab ini.
Susah sih.
Tapi

Mengapa kita harus menuntut orang-orang yang sudah terlanjut covidiots ini untuk berubah?
Saya kemudian sampai pada suatu pemikiran bahwa, jangan-jangan para covidiot ini sudah mengimani loh. Mereka sudah bersyahadat, sudah membaptiskan diri, dengan seluruh kerangka pemikiran covidiotism dan secara sadar sudah membentuk sekte covidiotism. Kita kan gak bisa memaksa untuk mengubah “iman” seseorang. Mau gimana coba? Mereka pasti tidak rela untuk serta merta, dalam tanda kutip, murtad dari keimanan mereka sekarang. Di mata mereka,  kita nih yang mengimani keberadaan covid ini yang menjadikan prokes adalah bagian dari rukun iman kita, adalah orang-orang kafir.

Mereka kemudian mau mengajak kita semua untuk untuk menganut covidiotism. Mayoritas tidak mampu untuk bertarung secara logika dan pemikiran ilmiah, maka mereka menggencarkan terror! Ya! Mereka adalah teroris modern, yang secara sadar melakukan bom bunuh diri dengan cara menyebarkan virus, hoax, dan teori konspirasi terkait covid ini kepada kita semua. Mereka sebuah organisasi baru! ICIS: Ingin Covid Infeksi Semua.

Apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang seperti itu, apa? Kalian tunjukin video apa yang terjadi di India, di RS-RS yang penuh, apakah mempan? Tidaaaaak? karena penderitaan karena covid itu sepertinya mmmmm…. Tidak masuk ya ke aqidah mereka. Covidiotism adalah bentuk radikalisme baru, sehingga apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang yang radikal ini. Sekarang, perkara kita, apakah iman kita cukup kuat untuk menjaga diri dari sekte covidiotism ini?
Semoga kita kuat ya, semoga yang masih punya keluarga yang terjebak di sekte covidiotism, bisa diberi kesabaran dan kekuatan untuk membawa mereka hijrah. Kalau tidak, setidaknya semoga kita yang kuat dan bertahan. Dan inget, Ketika kondisi darurat, pasangkan masker oksigen ke diri sendiri dulu sebelum ke orang lain. Sehat-sehat ya semuanya.  Saling mendoakan.