Kata maaf yang tidak akan pernah cukup…


Saya ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika Ayah saya masih ada. Saya pernah lari tunggang langgang ke luar rumah ketika akan di tes mengaji. Sayangnya saya kurang beruntung, saya tertangkap basah pagi itu. Saya harus membaca Quran surat Ar-Rahman dengan tartil, namun apa daya saya selalu melakukan kesalahan…. saya haru mengulang membaca ayat 1-13 berkali-kali hingga saking lelahnya saya menangis histeris lalu berteriak “Ayah, saya capek… kenapa sih… biarin aja mau 6 harakat… 4 harakat… 2 harakat… yang penting kan saya tau itu panjang atau gak, ayah kejaaaaaaam” tak pernah saya duga bahwa beberapa bulan kemudian pria yang mengajari saya mengaji dengan cukup keras tersebut kini tidak akan pernah mengajari anak-anaknya mengaji lagi. Parahnya, saya belum sempat mengatakan maaf atas kesalahan saya tersebut.

Saya ingat, berkali-kali saya memarahi Mama saya, “Mama… kalau di ekonomi ya, inflasi itu udah tinggi, Mama hemat dong…ngapain sih beli macem-macem buat saya” bak ekonom paling hebat di muka bumi saya menceremahi Mama saya. Lalu saya menyadari, selama ini, seluruh uang yang saya berikan kepada mama saya, seluruh uang yang mama saya miliki, semuanya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Hingga kini Beliau yang sudah semakin tua dan sudah tidak sesehat dulu lagi, masih berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya dengan kualitas terbaik. Dan saya ingat, saya masih sering membantah perintahnya, bahkan pernah beberapa kali pura-pura tidur ketika Beliau minta tangannya diberi pijatan kecil.

Saya ingat, saya pernah memarahi adik saya habis-habisnya ketika ulangannya mendapat nilai yang kurang memuaskan “Kamu itu, belajar yang benar…. buku mahal-mahal dijadiin apa? bantal? gak ada di buku, ada kan internet. Mau jadi apa kamu kalau males begitu” tanpa saya sadari saya hanya bisa mengomel dan mengomel… saya bahkan tidak mengajarinya secara jelas dan komprehensif tentang stoikiometri dan trigonometri. Saya bahkan mungkin tidak bisa juga mengerjakan soal ujiannya yang semakin lama semakin sulit dan bahkan lebih sulit dibandingkan soal di jaman saya bersekolah dulu.

Saya ingat, pernah suatu hari,lama sekali… seorang  teman yang paling baik hati meng-sms saya “Mon, lu dimana, gw udah nunggu di perpus” lalu 2 jam kemudian saya membalas smsnya “Hah? di perpus? Ih gw di rumah… ini baru bangun tidur. Lu ngapain? masih di sana?” TING sms balasan datang “Iya, masih. Oh dikirain jadi ke perpus” beberapa tahun kemudian… kekejaman saya masih sama “Aduuh, lu itu harus gini loh…. harusnya gitu loh… betah stagnan gini-gini aja?” dan senyumnya masih sama seperti dulu. Tanpa saya ketahui, dia mungkin berusaha keras mewujudkan apa yang saya katakan padanya, berjuang untuk impian-impiannya, masa depannya, keluarganya, semuanya. Saya ingat, dia masih selalu ada untuk saya bahkan ketika saya ada untuk orang lain.

Saya ingat, keangkuhan saya membatasi saya dengan pergaulan yang lebih luas. “Ih… males ah gaul sama si A… si B… si C… yang diomongin cuman masalah fashion, high heels, pacarnya gimana, emangnya urusan gw tau segala macam tentang doi termasuk foto selfienya sama pacarnya dan kapan doi putus”, dan saya ingat beberapa dari mereka yang saya jauhi tersebut kemudian mendekat pada saya, lalu menceritakan segala masalah mereka “Mon, gw percaya… lu kan orangnya logis, gw percaya sudut pandang lu yang beda dengan orang lain”, saya tidak menyangka bahwa rupanya masalah mereka lebih besar daripada yang saya kira, tidak menyangka bahwa mereka butuh banyak masukan, dan tidak menyangka bahwa mereka menghargai keberadaan dan pendapat saya.

Saya ingat, saya tidur ketika kuliah… merasa bosan dengan materi yang dibawakan oleh dosen saya. bahkan di luar kelas saya masih sempat komentar bahwa slide Beliau bikin sakit mata dan bisa membuat minus mata bertambah. Saya juga ingat sekali saya sampai tidak membaca buku teks di rumah karena saya sudah putus asa dengan pengajaran dosen saya yang saya pikir membuat materi semakin sulit. Siapa sangka, materi-materi yang saya abaikan itu kemudian menjadi materi-materi krusial yang harus saya kuasai di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Saya ingat ketika bos saya mengirim sms di hari libur, saya membiarkannya berdering… lalu tidak mengangkatnya… lalu saya tinggal tidur. Saya tidak peduli pada saat yang sama Beliau sedang galau habis-habisan dengan data yang sudah saya olah… saya tidak peduli bahwa pada saat itu yang Beliau butuhkan hanya diingatkan bahwa e-mail sudah saya kirimkan.

Saya ingat bahwa saya senantiasa melakukan kesalahan…
Saya memang tidak bisa mengingat satu per satu kesalahan dan dosa saya, tapi saya ingat bahwa dalam perjalanan hidup saya ini saya senantiasa melakukan kesalahan. Hebatnya, begitu cintanya Allah pada saya, hingga semua orang masih bersedia membantu dan menyayangi saya bahkan ketika saya melakukan kesalahan pada mereka tiap hari, tiap menit, tiap detik.
Maaf saja tidak akan pernah cukup untuk menebus segala kesalahan saya.

Saya hanya memohon izinkan saya, menjadi wanita yang lebih dewasa….
Izinkan saya dalam perjalanan panjang yang akan saya jalani bisa membuat saya menjadi wanita yang bisa membuat kalian bangga karena telah mengenal saya. Saya mungkin tidak akan pernah mengurangi segala kesalahan saya, tapi saya pasti bisa menambah hal-hal baik yang bisa membuat kalian semua bahagia.

Terima kasih.

Marissa Malahayati

——————————————————————————–

Selamat hari raya Idul Fitri..
Image and video hosting by TinyPic

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434


Saya selaku pengurus blog paling ngawur dan aneh se-Indonesia….
Tuan rumah blog Emonikova….
Mengucapkan….

emonikova's lebaran card

maafkan atas segala kekhilafan…
maafkan atas segala opini yang mungkin kadang tidak cukup represetatif atau kurang bermutu…
maafkan atas segala keegoisan…
maafkan atas segala kesoktahuan…
maafkan untuk segala hal yang kurang berkenan.

Terima kasih atas segala hal luar biasa dan baik dari kalian semua, pembaca saya yang sangat berharga.

Hormat saya,

Marissa Malahayati

NB: Sorry… gambarnya rada berantakan ya? hahahaha maklum bikin sendiri dan udah lama gak menggambar 🙂

Mari belajar mengucapkan “Terima Kasih”


Beberapa hari yang lalu saya ke Jakarta,
Seperti biasa… angkutan yang mengantarkan saya menjelajahi jakarta pasti cuman kereta dan busway. Hahahahahaha…. kalau sendirian udah deh,pakai yang aman-aman dan jelas aja.

Naaaaah! hal yang udah lumrah banget kalau di kendaraan publik seperti itu kita rebut-rebutan duduk karena capek juga kan kalau jauh-jauh berdiriiiiiiii dan berdesak-desakan. Nah, rahasia umum juga bahwa banyak yang berdiri agak jengkel dengan yang duduk apalagi kalau yang duduk, misalnya, masih muda belia dan diasumsikan jasmani dan rohani.
Image and video hosting by TinyPic

Well, saya setuju sekali…. sangat setuju, ketika kita… muda-mudi bangsa ini memprioritaskan orang tua, ibu hamil, ibu yang bawa anak kecil, yang memiliki kekurangan tertentu untuk duduk. Yaph, itu SIKAP! nggak ada sanggahan untuk itu. Agak terlalu juga emang kalau pura-pura tidur padahal di depan mata kita ada orang-orang yang masuk kategori “Diprioritaskan untuk mendapatkan tempat duduk”

TAPI…
Saya ingin menegaskan, tolong deh yang diberi tempat duduk juga ucapkan “TERIMA KASIH” kepada yang dengan legawa memberikan tempat duduknya.

Loh, kenapa ngomong kayak gitu, Mon?
Karena saya merasa sakit hati beberapa kali! Beberapa kali saya memberikan tempat duduk saya di kereta pada orang lain, dan “terima kasih” karena saya malah memperoleh muka masam dari orang yang saya berikan tempat duduk dan tanpa ada kata terima kasih sama sekali dari orang yang bersangkutan.

Cerita yang terbaru begini….
Kenapa saya sering memperoleh tempat duduk di kereta? Sederhana saja… saya senang menunggu kereta di stasiun Jakarta Kota yang notabenenya stasiun pemberangkatan kereta. Nggak apa deh jauh-jauh juga… lagipula saya suka foto-foto di jakarta kota jadi kadang sekalian refreshing.

Pada hari itu, saya sedikit kurang beruntung karena ada satu jadwal kereta yang dibatalkan, yang lebih menyebalkan lagi saya yang udah capek karena berangkat dari bogor subuh-subuh dan pas mau pulang aja kok susah banget, pegel, kepanasan, lapar, haus, kucel, masih harus menunggu kereta selanjutnya selama 90 menit! Aduuuuh kebayang dong BT dan capeknya gimana? Belum lagi saya menyadari di stasiun2 lainnya penumpang pasti akan menumpuk. Arghhh…..

Setelah 90 menit menunggu, akhirnya si kereta datang… huwaaaaa udah nggak mikir lagi deh. Langsung masuk dan duduk. Kalau di Jakarta Kota kemungkinan dapat tempat duduk lebih besar 🙂 . Karena badan saya memang didesain untuk kerja indoor bukan outdoor, jadi udah tepar banget deh… dan taraaaaaaa saya tertidur dengan nyenyak.

Merasa leher sakit sekali, saya lalu terbangun dan kaget banget karena kereta sudah sangat penuh. Sementara kereta baru sampai stasiun pasar minggu. Di depan saya, ada seorang nenek tua yang duduk di bungkusan besar barang dagangan *saya nggak tau isinya apa, pokoknya kantong plastik gueeeedeeee bgt* karena kereta mulai padat tentu si nenek itu agak mengganggu beberapa penumpang lain yang juga berdiri, di samping si nenek itu ada cucunya… diem aja.

Jiwa heroik saya bangkit… masa iya saya tega liat si nenek itu duduk di bawah karena nggak kuat berdiri? Belum lagi saya juga nggak tega deh kalau dia kesenggol-senggol orang lain. Saya juga punya keluarga kali, kalau Mama atau nenek saya begitu juga saya nggak akan rela. Please!Gw juga punya hati dan otak!

“Nek, silakan duduk di sini aja” kata saya mempersilahkan si nenek.
Neneknya agak gengsi “Ah, nggak usah udah tanggung” Waaah, karena capek saya agak kesel juga… udah dipersilahkan masih gengsi. Tapi karena udah sepuh neneknya, jadi saya maklum…
“Iya… nenek turun di stasiun apa?” Kata saya mencoba sabar.
“Depok” sambil masih dengan muka acuh butuh
“Itu masih jauh, Nek. Udah duduk aja di sini”
Si cucu kemudian nyerocos, “Udah, Nek… duduk aja… lumayan.”

Setelah diyakinkan begitu, si nenek pun duduk. Saya berdiri, I feel so much better karena udah cukuplah setengah jalan duduk. Lagipula selama masih bisa liat jendela dan masih bisa nafas saya happy-happy aja tuh karena bisa liat pemandangan dan asma saya juga nggak akan kambuh selama masih ada space yang cukup luas buat kepala saya *dulu pernah ambruk juga karena kegencet parah dan nggak ada pemandangan sama sekali selain punggung manusia*

dan si nenek itu pun akhirnya tertidur di tempat duduk yang saya ikhlaskan itu.

Tapi kemudian betapa sakit hatinya saya ketika si cucu kemudian ngobrol dengan orang lain yang sepertinya temannya atau apalah… dan itu menyindir saya setengah mati

“Iyaaaaa… biasalah anak muda, pura-pura tidur. Tega banget tuh baru ngasih pas si nenek udah mulai capek” bla….bla….bla… makin lama makin mengarah ke saya dan soory to say makin kurang ajar!

Saya harus akui, saya kecewa. Kalau saya saya nggak punya iman dan nggak ngehormatin orang lain! Udah saya tonjok! Saya lempar ke luar kereta! Abis seenaknya aja nge-judge orang.
Sekadar informasi saja ya, sewaktu saya masih duduk, di kiri dan kanan saya ada dua anak yang lebih muda dan sehat daripada saya! Tapi dari jakarta kota sampai bogor mereka tidur dan maenin BeBeh mereka. Saya bisa…. bisa seperti mereka! Tapi kan pada kenyataannya saya nggak begitu.
Setelah sampai di depok si nenek dan si cucunya itu turun kan. Tidak ada kata terima kasih! Yang ada muka masam dari si cucu. Grrrrrrrrrrrh~~~~~~ saya kesal sekali!

Itu hanya satu cerita!
Saya berkali-kali mengalami hal yang hampir serupa, apa saya orangnya terlalu perasa ya?
Pernah saya kaget karena ketika saya terbangun di kereta, ada ibu hamil yang berdiri di depan saya. Lagi-lagi saya kaget karena di depan saya kok bisa-bisanya ada ibu hamil yang tidak dipersilakan duduk oleh siapapun? Seperti biasa saya persilahkan duduk, waaaah takut kualat lah.
Si Ibu hamilnya baik sekali dan bilang, “terima kasih banyak ya,mbak. Maaf ya mengganggu” dengan senyum mengembang… waaaah cantik sekali.
“Hahahaha, gak apa, Bu… harusnya daritadi. Saya ketiduran sih”

Tapi apa kata orang-orang di sekitar saya,
“Harusnya dari tadi tuh… tadi gw nyari-nyari satpam supaya dia nyadar. eh bagus deh nyadar sendiri” saya inget banget yang ngomong gitu dua orang anak cewek remaja seumuran saya lah. Hampir saya jambak dan injek kakinya! Siapa lo?!! kenapa harus dia yang ribut? untungnya lagi saya nggak mau… ya saya nggak mau punya otak yang dangkal seperti mereka!
Ada lagi, saya ngasih tempat duduk ke ibu hamil. Eh dia malah cemberut dan nggak bilang terima kasih atau senyum sekilas ke saya. Padahal saya juga belum nyampe 1 menit tuh nikmatik tempat duduknya.

Waaaaah…. pokoknya banyak yang kayak begitu deh.

Saya kira saya saja yang dongkol masalah ini…..
Suatu hari di kereta ada seorang nenek yang lebih ekstrim daripada saya. Dia memberikan tempat duduk kepada seorang ibu yang bawa anak kecil buanyaaaak banget. Nah tapi, setelah sampai tujuan si ibu banyak anak ini melengos pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih ke si nenek. Kalian tau apa yang terjadi?

Si nenek kemudian teriak, “Kelak anak kamu nggak akan pernah berterima kasih ke kamu, karena kamu tidak tahu bagaimana berterima kasih kepada orang lain” Sedaaaaaap! Kalian mau tau? Saat itu rasanya saya langsung mau sungkem ke si nenek perkasa itu. Siapa??? Siapa yang bisa seberani si nenek untuk mengatakan hal itu? Ya mungkin memang harus ada orang seperti Beliau untuk menyadarkan komunitas masyarakat yang mulai cuek dengan kepedulian dan pengorbanan orang lain.Saat itu, saya bangga jadi penumpang yang berdiri karena bisa mendapat pelajaran luar biasa secara live dari si nenek itu dengan jelas.

Si nenek itu mungkin menangkan mata berbinar saya yang memancarkan kekaguman tiada tara ke si nenek, lalu Beliau tiba-tiba ngobrol dengan saya lalu menasehati saya:
“Cu, terima kasih dan maaf itu mungkin keliatannya sepele. Tapi dua kata itu menunjukkan kita menghargai setiap perbuatan orang lain, sekecil apapun. Kalau kita tidak bisa melakukan hal sepele dengan baik, maka kita juga tidak akan bisa melakukan hal besar dengan baik

Saya mencatat nasehat itu baik-baik.

Mungkin semua hal butuh waktu ya?
Saya juga dulu suka rada iri kok sama orang yang tidur di kereta, apalagi cowok, sedangkan kita berdiri. Saya bahkan pernah ketawa terbahak-bahak, saat ada seorang mas-mas yang terlihat jelas pura-pura tidur ketatuhan plastik berisi ikan mas! Hwahahahahahaha…

tapi semakin saya dewasa *ceilah bahasanye*, saya liat teman-teman saya kerja, dan bahkan saya mengamati berbagai kisah “Pillowman” yang tiap hari bulak-balik menghadapi ganasnya ibukota *errrrr…. sorry, nggak menemukan padanan kata yang nggak lebay* saya menjadi sadar betul, banyak orang di muka bumi ini sangat kelelahan… bahkan lebih daripada saya.
Saat di kereta… saya lalu menyadari, orang yang duduk belum tentu lebih tidak lelah dibandingkan yang berdiri, begitu pula sebaliknya. Semua orang sama-sama capek, sama-sama lelah, sama-sama bosan, yah sama-sama lah. Maka pada saat itulah rasa saling menghargai dan menghormati itu diperlukan. Bukankah semuanya juga berhak dihargai karena sudah bekerja keras seharian? atau mungkin menempuh perjalanan yang sangat jauh?

Ketika di kendaraan umum,
Apa begitu sulit, orang-orang yang lebih muda…membuka mata dan hati lalu mempersilahkan orang-orang yang lebih layak untuk duduk untuk duduk?
Apa begitu sulit juga, bagi orang yang dibantu demikian untuk sekadar tersenyum atau mengucapkan terima kasih?
Apa begitu sulit pula, bagi orang-orang yang tidak memberikan atau diberikan tempat duduk untuk sekadar diam saja tidak perlu banyak komentar?

Bahkan ketika dalam kehidupan sehari-hari,
Apa kita sudah bisa mengucapkan terima kasih atas setiap hal yang dilakukan orang lain untuk kita?
Apa kita sudah menjadi orang yang cukup helpful bagi orang-orang di sekitar kita?
Apa kita sudah cukup dewasa dan bijaksana dalam bertindak?

Bukan karena saya gila terima kasih…. tapi karena saya merasa saya senang ketika pengorbanan saya dihargai oleh orang lain, dan rasanya sebuah hal yang manusiawi jika orang lain juga merasakan hal yang serupa.

Yaaaa…. begitu saja sih.
Pikirkan sendiri saja ya 🙂