[Emonikova Investigasi] Mengulik Disertasi ‘Konsep Milk Al-Yamin’ dari sudut pandang metode ilmiah: Apakah cukup untuk meraih gelar doktoral?


Kali ini blog emonikova, lagi-lagi, melakukan investigasi khusus demi memperjuangkan kekepoan para netizen. Saya berupaya untuk membahas habis metode penulisan untuk disertasi Bapak AA yang beberapa pekan terakhir sempat viral serta mengguncang baik dunia nyata maupun dunia maya.

Saya dan beberapa teman saya menyepakati bahwa yang kurang dari disertasi Pak AA, setidaknya menurut kami loh ya, adalah minim serta lemahnya proses peer-review dan mungkin saja minim masukan dari para insan akademis lainnya baik yang satu keahlian dengan Beliau maupun diluar ekspertasi Beliau.

Oleh karena itu, saya Tante Emon, dibantu teman-teman yang lain, dengan sukarela, ikhlas, dan cuma-cuma, akan memberikan beberapa masukan yang mungkin bisa membantu Pak AA untuk merevisi disertasinya. Untuk diperhatikan: Pak AA berjanji bahwa Beliau akan merevisi disertasinya, sehingga yang saya review pada blog ini adalah disertasi Pak AA sebelum revisi serta dibandingkan dengan “Laporan Penelitian Individul Konsep Masadir al-Ahkam (studi komparasi antara pemikiran asy Syafii dan Muhammad Shahrur) yang bisa sempat saya temukan di web: http://eprints.iain-surakarta.ac.id/3609/1/Masadir%20al-Ahkam_LaporanLengkap_16-08-16.pdf untuk  mengecek konsistensi serta kecenderungan penulisan Pak AA. Sekali lagi, tulisan ini saya buat sebagai bentuk kritik sekaligus untuk pembelajar bersama mengenai metode penelitian yang baik dan benar.

Apakah saya orang terbaik dan terpintar dan terwadaw di muka bumi ini sehingga layik untuk mengomentari karya tulis orang lain? Tentu tidak, sama seperti yang lain… saya pun sudah melalui ratusan purnama untuk merevisi disertasi saya. Jurnal internasional lebih dahsyat lagi, saya sudah kenyang ditolak sana sini :’D saya…. seperti kalian, sama sama masih belajar. Namun sebagai insan akademis, saya punya tanggung jawab untuk berbagi pengalaman dan sudut pandang terkait penulisan akademis sehingga kualitas karya tulis kita semakin baik. Apalagi Pak AA adalah mahasiswa doktoral, dosen pula, alangkah bijaksana jika Beliau lebih Teliti lagi dalam membuat karya tulis sehingga sesuai metode ilmiah. Dan untuk UIN pun begitu, kan salah satu universitas yang cukup ternama di tanah air, mau dooooong karya ilmiah civitas academicanya lebih baik lagi. Pembaca blog emonikova juga pasti pernah tau, ketika skripsi saya dijiplak habis professor dari Algeria, itu pun karena minimnya proses peer review dan plagiarism check di sana, nah saya tidak mau ini terjadi di negara kita.

Lagi lagi dan lagi, saya tidak mau terseret UU ITE, karena tiket PP Jepang-Indonesia itu mahaaaaaal! Saya tegaskan bahwa opini ini tidak bermaksud memojokan siapapun. Dan saya, hanya akan menyinggung hal hal yang menyangkut teknis metode penelitian. Klo hal substantifnya sih waduuuuh, bukan bidang saya kawan! Makanya, saya hanya membahas disertasi ini dan kaitannya terhadap metode penulisan ilmiah

 1. Judul

Saya dengar sih judulnya memang akan diganti ya. Tapi mari kita lihat sebenarnya blunder apa yang terjadi pada “judul” disertasi ini?

KONSEP MILK AL-YAMĪN MUḤAMMAD SYAḤRŪR SEBAGAI KEABSAHAN HUBUNGAN SEKSUAL NON MARITAL

Saya nyaris meragukan kemampuan bahasa Indonesia saya karena saya benar-benar tidak tahu subjek, predikat, dan objek pada penelitian ini. Nyaris saya mengira yamin dan shahrour adalah dua orang yang berbeda!

Saya meratapi kebodohan saya ketika teman saya akhirnya buka bicara “Mon, itu yg yamin-yamin konsepnya. Bukan nama orang apalagi nama makanan.” Owalaaaaaah… andaikan yamin yg dimaksud adalah mie yamin yg  ditambah kriuk pangsit, rakyat Indonesia tentu tidak akan marah, namun gempar karena lapar.

Perkara SPOK ini rupanya bisa mengecoh kewarasan para pembaca. Saya yakin, saya tidak sendiri. Sehingga semua langsung meloncat pada “objek” penelitian ini yaitu ” keabsahan hubungan seksual non marital” ya wajar! Wong ndak ngerti subjek dan predikat sebelumnya apa. Jika saja kakek saya ditunjukan judul ini di pusaranya, saya khawatir Beliau minta izin pada Allah untuk bangkit sejenak karena begitu marah dengan ambiguitas pada judul tersebut.

Mungkin Pak AA juga fans berat Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama?” Hingga meyakini pula “Apalah arti sebuah judul?”

Eits! Berarti dong!

Karena tidak semua orang punya waktu untuk mengkaji karya tulis yg ratusan halaman. Maka impresi pertama adalah JUDUL! Judul adalah identitas, maka judul haruslah jelas. Apalagi menulis di Indonesia, dan orang Indonesia cenderung hanya membaca judul saja.

  1. Tujuan Penelitian

sejatinya tujuan penelitian haruslah jelas dan terarah. Nah, saya mencoba memahami tujuan penelitian Pak AA pada disertasi Beliau.

Pada abstrak tertulis MENEMUKAN TEORI BARU!
IMG_0097

siapa tak terkejut! Konteks menemukan teori baru sesungguhnya adalah hal yang sangat serius dan WOW dalam dunia akademis. Sungguh, jika suatu penelitian bisa menelurkan teori baru, maka penulisnya mungkin sudah layik untuk menerima undangan untuk ngopi ngopi dengan calon penerima nobel.

Bukan menganggap remeh, tapi saya bertanya-tanya “Masa sih?”

Lalu saya pun scrolling menuju rumusan permasalahan, tidak ada sama sekali kalimat yang mengutarakan akan membuat teori baru, namun hanya sekadar yaaaaah mereview dan menelaah pemikiran Pak Shahrour saja. Tidak lebih dan tidak kurang.
IMG_0098

Mungkin literasi saya yang minim atau apa, tapi saya cukup jengah melihat rumusan tujuan penelitian ini. Penulis rasa-rasanya hardcore fans dari Pak Mohammad Shahrour, yang kita semua di Indonesia banyak yang awam mengenai tokoh tsb (dan pas liat sosmednya, doski juga gak hits-hits banget gimanaaaaa gitu), mengapa kita…. makhluk di muka bumi ini perlu menelaah pemikiran Shahrour tanpa ada pembanding dengan tokoh-tokoh lain? Apa unsur kebaruannya? Jika memang ingin melegitimasi hukum baru misalnya, maka permasalahan perlu dilihat dari berbagai sudut pandang dan pemikiran para tokoh. Entah jika standar penelitian di universitas yang bersangkutan memang “cukup segitu saja” untuk meraih gelar doktor.

Saya paham, bahwa harus ada unsur “novelty” pada penelitian S3, namun…. ya… ya apa? Kebaruannya apa? mengapa hal itu kemudian krusial?

Sampai situ saya sudah cukup lelah, dan cukup kecewa. Karena jika judul dan rumusan permasalahan saja perlu dibenahi…. maka pasti perjalanan investigasi ini masih panjaaaaaaaaaaaaang.

  1. Terlalu banyak catatan kaki yang sepertinya, gak perlu perlu banget. 

Saya memang penasaran betul dan iseng untuk mengkaji…mengapa sebuah penelitian butuh begitu banyak footnotes. pasti kompleksitasnya melebihi batas logika kita semua.

saya turut prihatin karena rupanya, Pak AA sudah gamang bahkan sejak perkara menentukan transliterasi. Tentu saya pahami kegamangannya, saya maafkan kesalahannya, namun sayangnya… saya (dan mungkin banyak orang) tidak peduli perkara transliterasi yang harus dijelaskan panjang lebar.

IMG_0100

IMG_0099

Background saya adalah ekonomi, sebagaimana yang mungkin beberapa orang tahu… ekonomi itu “nanggung” karena merupakan irisan matematika, statistika, dan ilmu sosial. Siapa tahu kan diluar keilmuan saya, pada beberapa ilmu sosial, footnotes memang boleh-boleh saja bisa lebih panjang dari konteks penelitiannya sendiri. Siapa tahu? Saya merasa tidak kompeten dalam membahas ilmu sosial, sehingga saya mencoba menghubungi kawan yang murni orang sosial. Pertanyaan saya singkat “Apa perlu footnote sampai curhat segala.”

Jawabannya?
“Pas gue skripsi sih, Mon. Pembimbing gue bilang secukupnya aja.”
“Kalau panjang bukannya sekalian aja cantumkan sebagai sumber terus simpen aja di dapus ya?”
“Hah? footnote seinget gue sih secukupnya aja, Mon”

Jelas sudah, dimanapun itu, aturan footnote rasa2nya seragam.

Karena saya memang husnudzan, anak yang baik, dan rendah hati…
Saya kembali optimis, mungkin… mungkin…… penulisan di masa kini berbeda dengan di era saya yang sudah hampir kepala 3 ini. saya pun bertanya pada adik saya yang masih duduk di bangku S1, belum lulus! Tapi udah dapat lah matkul metode penelitian. Komentarnya:
IMG_0118

Yes! Saya dan adik saya pernah di SMA yang sama di SMAN 1 Bogor, dan kebetulan kami punya guru bahasa Indonesia yang super fenomenal yang super hebat karena mengecek tugas karya tulis dan PR kami satu persatu (yang kalian tau dong, level anak SMA kan masih sampah ya tugas-tugas kartulnya), dan tiap kami salah, walau hanya koma, kami akan dapat surat cinta “ulangi lagi ya sayang” dan kami WAJIB harus mengulang PR kami dari awal. Dan itu membuat kami ngelotok jasmani rohani perkara dasar penulisan ilmiah. Berbekal pengalaman sejak SMA saja kami sudah bisa meyakini bahwa ada yang ganjil dengan metode penulisan footnote Pak AA. Masa’ penguji Pak AA kalah teliti dengan Ibu Guru saya di SMA? Harusnya lebih mata elang dong, kan penguji calon Doktor 🙂

Di bidang saya,  footnote sebisa mungkin diminimalisir kecuali untuk info yang singkat… jelas… padat. Misal, untuk konversi mata uang. Pembaca perlu tahu kira-kira 1USD itu berapa ya pada tahun X? Naaaah footnote bisa membantu. Sudah segitu saja, jika ada yang perlu dijelaskan maka jelaskan pada badan manuskrip.

Selain itu banyak footnote yang sebaiknya ditulis saja pada daftar pustaka. Saya jadi merasa gundah dan gamang, jangan-jangan Pak AA belum mengenal sebuah software luar biasa yang sangat membantu para mahasiswa bernama MENDELEY.

Maka, teriring rasa hormat kami…. saya melampirkan link untuk mengunduh software mendeley. Bisa pakai end note dan zotero juga sih. Tapi ini yang paling gampang 🙂

https://www.mendeley.com/download-desktop/Windows/

monggo monggo dicoba. Tinggal klak klik klak klik, nanti daftar pustaka jadi dengan baik sesuai format yang kita inginkan.  Oh iya! Ada web importer juga loh! Sehingga tidak sulit untuk mengutip website di internet.
Tidak suka Mendeley? Tidak apa pak, ini loh saya ada softwara lain bernama zotero. Gratis kok… gratis! 🙂

https://www.zotero.org/

Iya, sama-sama 🙂 kan kita akademisi, boleh dong saling membantu.

  1. Referensi…..wikipedia? WordPress? Bahkan grup Milis?

Jadi kalau di Indonesia itu masih boleh cite wikipedia dan wordpress untuk kartul sekelas disertasi? Atau hanya UIN Sunan Kalijaga yang memang punya syarat penulisan ilmiah yang “dinamis” dan “kontemporer.” Waduuuuh! Kenapa saya tidak masuk UIN SuKa saja kalau begitu, setidaknya lebih “enteng” lah perkara format penulisan karya tulis.

IMG_0103

IMG_0105

Seingat saya, bahkan saat saya S1, pembimbing saya akan marah bueeeesssaaaaaaaaaarrrrr jika tahu saya melakukan hal tersebut. “Emon! Kamu cite wordpress? Carilah pembimbing lain.”

Skripsi saya memang tidak sempurna, namun saya ingat betul karena pembimbing saya mencoret hampir semua lembaran draft skripsi saya termasuk daftar pustaka. Saya kaget betul karena Beliau cek dapus satu per satu “Mon, ini gak ada kok ditulis? Mon… ini salah dong! Mon, ini tidak valid sumbernya.” Itu untuk karya tulis anak ingusan loh, level S1, kalau doktoral harus lebih mantap terasa dan lebih ilmiah bukan?

bukankah begitu?
bukankah begitu?
bukankah begitu?

Saya pun sengaja kopipaste beberapa paragraf pada disertasi ybs dan mari kita lihat hasilnya! Anda akan terkesima!

Kopi….
Picture1

Paste ke google….
Picture2

Menemukan kalimat yang sama persis…Klik blognya…
Picture3

Lihat sumbernya! Sama persis cara penulisannya.
Picture4

Cari sumber utama….
Picture5

Nah pada kasus sebuah buku ada editor, maka seharusnya sihhhhh…. seharusnyaaaaa kalau mau menuliskan pada daftar pustaka (bukan di footnote ya, karena itu kan udah kopi paste abis -.-)…. maka nama editor harus dicantumkan, plus ISBN karena kodenya ada. ISBN itu penting loh untuk membedakan satu karya dengan yang lain. Dan memudahkan penelitian susulan karena jelas referensi apa yang digunakan. Memang ribet, tapi maksudnya baik kok! Bener deh 🙂

Entah siapa yang kopi paste, namun sepengetahuan saya…. PUN….PUN….PUN…. mengutip karya orang lain dan dicantumkan sumbernya, maka perlu ada proses parafrase (eh EYD gimana sih, gini kan ya? pokoknya paraphrase. Atau memang tidak ada yang punya bukunya saja :’) )
Siapa yang kopi paste?
Duh siapa ya?

Keduanya sama-sama kopipaste dari bukunya, habis blas! Tapi siapa yang duluan menuliskannya? blog? atau disertasi? rute kopi pastenya seperti apa? buku-blog-disertasi? Atau buku-disertasi-blog?

Duh sungguh misterius! Saya menyerahkan semuanya kepada kalian 😉

Eh sampai sini saya terlalu keras dan kejam tidak? Masih kuat? Kalau iya lanjuuuuuuut!

5. Data dan Metodologi Penelitian? Apa? Bagaimana? Dimana? Arghhhhh~~~
Saya jadi tertarik mengkaji metode penelitian Beliau. Dan lagi-lagi saya takjub, karena metodenya lebih plot twist dibandingkan kisah De La Cruz pada film Coco!

Jadi ada sumber primer, sekunder, dan tersier. Okay…. yang primer buku yang ditulis sendiri oleh pak Shahrour. Yang sekunder dan tersier apa? yang ditulis orang lain?
IMG_0111

terus udah gitu aja? Saya butuh penjelasan, namun apa daya saya malah mendapat penjelasan mengenai apa definisi “tokoh” kayaknya itu gak krusial krusial amat untuk audience pembaca disertasi
IMG_0110

Memang ini cara dan metode yang benar ya dalam menulis kajian pemikiran seseorang? Saya gak tau loh, karena penelitian saya lebih bersifat kuantitatif. Tapi emang begitu? Ah kok rasanya tidak begitu ya.

Pembaca yang terhormat, izinkan tante emon menunjukan Anda bagaimana menulis “review paper” dengan lebih baik 🙂 memang gak sepenuhnya sama dengan cara menulis disertasi kualitatif, tapi metodologinya akan serupa karena terkait dengan “mereview” pemikiran/ penelitian pihak lain serta membandingkan beberapa pustaka.

  • Untuk beberapa jurnal yang memang benar-benar membahas literatur review, maka penulis WAJIB mencantumkan berapa jurnal/ literatur yang mereka teliti? Keyword yang digunakan? range tahun dari kapan hingga kapan? Bagaimana metode pemilahan literatur?

IMG_0112

  • karena tante emon juga pernah menulis review paper. Pun jika ingin mereview hasil penelitian orang lain atau diri sendiri (misal, pada suatu paper secara idealnya sih hasilnya a,b,c,d, tapi akan ada kendalanya nih di dunia nyata, sedangkan jurnal sebelumnya terlalu teknis. nah ini perlu di review),  kita perlu mencantumkan paper apa yang kita review beserta metode yang digunakan pada paper yang kita review. Ini contoh paper saya yang ‘elek sih. Tapi yaaaa kira-kira begini. Intinya kita harus paparkan kenapa kita mereview? menelaah? penelitian apa yang ditelaah? Sumbernya mana? ini penting untuk memastikan pembaca tidak hilang arah dan tujuan dan menyamakan persepsi serta memperkaya pengetahuan pembaca. Jadi pembaca punya informasi yang lengkap: lagi ngomongin apa? dan mengapa perlu diomongin? pada kasus disertasi Pak AA, kita tidak tahu karya Pak Shahrour yang Beliau kaji itu apa? dimana? Sumber jurnalnya ada tidak? Kalau rupanya pemikiran Pak Shahrour rupanya OPINI PRIBADI ybs dan tidak bersifat ilmiah, yaaaaaaaa buat apa dibahas! Buang-buang waktu dan kertas.

Picture6

Bikin review paper itu sulit loh, dan biasanya KALAU melalui proses peer review, maka reviewer akan mengatakan “berikan pembanding terkait teori ini.” atau meminta literatur yang baaaaaaaaanyyyyyyyaaaaaaaaaak sekali.  Sedangkan yang saya temukan, pada disertasi pak AA, literatur pada daftar pustaka pun minim sekali 🙁 jadi gimana dong? Mau dibilang review pemikiran saja sepertinya masih butuh lebih banyak literatur, daftar pustakanya bahkan lebih sedikit dibandingkan skripsi S1 saya :'(

Lebih jauh lagi.

Saya juga tidak bisa menjawab pertanyaan pada rumusah masalah ini, bahkan setelah baca habis disertasi ini, kenapa tiba-tiba milk al yamin itu jadi hubungan antara pria wanita. Hah?

Saya sudah 5 rit loh bulak balik membaca disertasi ini? Heran? Tidak lagi, karena metodenya pun tidak jelas. Jadi wajar saja. Kita semua, termasuk saya, sudah diajak tersesat sejak awal…. mungkin sekarang sudah sampai di desa penari.

6. Kritik pada shahrour? Ada… tapiii

Tapi hanya 17 halaman! Dari total disertasi 421 halaman! saya mencatat hanya ada dari halaman 280-297

Karena saya tahu kalian malas menghitung, saya berinisiatif menggunakan metode teknologi bernama KALKULATOR untuk menghitung 17/421 itu berapa persen.
IMG_0091

Hanya sekitar 4%!

Bukan kata saya, namun kata kalkulator. Jika Anda tidak dapat menerima fakta ini, silakan gunakan kalkulator Anda masing masing, bandingkan dengan sempoa, serta Ms. Excel.

Ya pantaaaaaasssss saaaaajaaaaaaaa masyaaaaaraaaakat hebooooooooh! Dari 400++ halaman, judul fenomenal, kritik yang harusnya jadi inti penelitian hanya 4%-nya saja. Setidaknya dari disertasi versi awal. Semoga setelah direvisi jadi lebih baik ya.

Saya sih ada saran, ini kalau mau didengar loh ya. Kan ceritanya mengkaji pemikiran. Maka alangkah baiknya membahas dari sisi psikologis, antropologis, sosiologis, kultural, hingga ekonomi. Dan itu bisa panjaaaaaaaang. Masalahnya, apakah pak AA punya kerendahan hati untuk berguru pada ahli ahli bidang bidang tsb? Akan makan waktu, yes! Tapi karya yang dihasilkan akan maknyus! Dan mengedukasi masyarakat. Lulus doang sih gak susah susah amat, Pak. Tapi integritas? Nah ini yang perlu ditingkatkan lagi. Bertanya dan berguru pada ahli ahli di bidang yang berbeda dengan kita kan bukan berarti kita bodoh atau hina, tapi itu karena ilmu Allah itu luaaaaaaaaaaaas. Dunia tidak selebar buku-buku pak shahrour. Iya gak?

7.  Istilah istilah yang wadidaw, serta penerjemahan yang aduhai

Karena saya punya jam terbang untuk kasus friendzone.
Saya jadi tergeltik juga untuk membaca lalu sedikit mengomentari penerjaman dan pemahaman istilah istilah yang wadaaaaw!

Misalnya, nikah friend….(baru tau kan kalian semua ada nikah friend? ada rupanya istilah ini)
Apa salahnya kalau berteman terus nikah? Duh apa sih?
Wajar saya bingung karena istilah yang lain terdapat istilah bahasa arabnya, selain yang satu ini.
Rupanya nikah friend ini ceritanya, friendzone terus mereka wik wik wik karena sama sama suka. Mari kawan-kawan pejuang friendzone, kita rapatkan shaf mengkaji penulisan yang ngawur ini.
IMG_0116

Karena cara penulisan yang astagfirullah, penulis jadi terkesan “Ini loh jalan dan solusi untuk kalian semua wahai budak friendzone yang dibuta cinta.”
IMG_0115

Saya kaget ketika semakin scroll ke bawah saya menemukan tulisan ini
IMG_0114

Jadi nikah friend juga biar gak inses?
Ini pemikiran pak shahrour? Pemikiran pak Sadawi? Atau pemikiran pak AA sendiri?
Apakah Pak AA juga pernah terjebak friendzone?
Apakah Pak AA pernah di ghosting gebetan?

Apa sih Pak? Induksi logika pemikiran Bapak itu bagaimana?

Entahlah,  namun pasti ada alasan hingga nikah friend ini secara ajaib muncul dan perlu dibahas, dan perlu dipandang sebagai solusi.

8. Jadi kesimpulannya….

Iya jadi kesimpulannya, pak sharour ini teorinya subjektif! Bias!
Tapi ide bagus loh buat dicoba. INI APA BANGET SIH? Pemikiran filosofis apa yang terlewat oleh saya?

Ini saya yang memang bodoh, tidak sampai ilmunya, atau bagaimana?

IMG_0117

 

Saya sudah terlalu lelah hingga tidak mampu berkata kata lagi.

9. Baiklah… tapi Bapak pasti sudah terbitkan jurnal dong? Mungkin kalau manuskripnya lebih pendek saya bisa lebih paham. Iya dong! Eh tapi….

Tapi kok tidak ketemu?
Saya membandingkan disertasi yag belum direvisi serta Laporan Penelitian Individual yang bisa saya dapatkan di internet, dan menemukan bahwa Beliau mengaku sudah publish banyak sekali paper. Kita mau baca dong ya 🙂

Maka saya lacak satu per satu.
IMG_0072
Picture7

Sayangnya saya tidak bisa menemukan tulisan Beliau.

Archive terawal jurnal yang diakui sebagai tempat menulis pak AA sekitar tahun 2016 dan 2008. Sedangkan Pak AA mengaku menulis di jurnal-jurnal itu sejak tahun 2000-an.
Apa saya salah jurnal? Atau jangan2 hanya submit saja tapi belum publish?
Picture9
Picture10
Picture11

Saya tidak tahu. Tapi ini adalah hasil penelusuran saya.

Saya harap saya yang salah, saya yang terlewat dan kurang menggali google, dsb sehingga tidak menemukan tulisan Pak AA sama sekali.
Namun jika memang tidak ada….
Bukan Pak AA yang perlu meminta maaf, namun seluruh pihak terkait, termasuk promotor hingga pihak universitas sendiri.
Sangat tidak fair meloloskan disertasi yang bahkan belum teruji melalui tahap peer review.
Tahap peer review adalah tahap paling melelahkan, stress, menguras tenaga, namun itulah saat penulis belajar dan memahami apa sih kekurangan dari studi tersebut.

Lagi-lagi ini masalah kredibilitas.
Lulus S3 saja sih, gak susah susah banget…. tapi menjaga kredibilitas dan tanggung jawab dari gelar yang kelak didapat, itu amanah dari Tuhan. Katanya ber-Tuhan. Orang yang ber-Tuhan harusnya tidak mengelabui manusia lain, dengan cara apapun…termasuk mengaku sudah menulis jurnal ilmiah namun tidak terbukti.

Andai saja, andai…. setidaknya ada prosiding yang dibuat oleh Pak AA terkait dengan disertasinya. Mungkin saya masih bisa menerima. Namun, itu pun tidak saya temukan.

Saya kemudian mencoba mencari berdasarkan judul. Ada yang sedikit mirip, tapi sayangnya bukan karya Beliau 🙁
Picture12

10. Dan apakah kita perlu mencantumkan Karya Tulis yang BELUM/ TIDAK dipublikasikan

ini pun mengagetkan. Untuk apa mencantumkan karya ilmiah yang tidak dipublikasikan. Memang, pada CV… biasanya kita boleh mencantumkan beberapa karya yang masih dalam rencana/ masih dalam proses. Namun biasanya hanya 1-3 saja. Dan biasanya berkaitan erat dengan publikasi yang sudah diterbitkan. Itu pun bukan sebagai poin untuk lulus S3, namun hanya untuk menunjukan seseorang sedang dalam proyek penelitian dan dalam waktu dekat akan segera submit. Biasanya kalau dipresentasikan  bisa ditulis “to be submitted.”

Namun yang ada di list Pak AA, adalah karya sejak tahun 1995! Untuk apa? Untuk menunjukan list soft skill? Atau hanya butuh pengakuan saja.
IMG_0071

 

Saya mulai geram. Ada persamaan antara Pak AA dan Pak Shahrour idolanya: Sama-sama narsis. Lihat saja twitter Pak Mohammad Shahrour, harus repot mencantumkan DOKTOR pada akun twitternya. Padahal kalau karya Anda okesip sih, Pak, Anda mau cantumin gelar atau gak… orang akan paham dan tau.
Saya kecewa!
Patah hati!
Saya tonton betul klarifikasi dari seluruh pihak yang bersangkutan. Mengatakan bahwa seluruh metode ilmiah sudah dilalui. Namun mana buktinya? Mana? Mana wahai UIN Sunan Kalijaga??? Woi mana woi??? UIN itu Universitas Islam Negeri. Dalam Islam, kita harus bisa mempertanggungjawabkan perkataan dan perbuatan kita. Nah mana?

Saya sedih, meratapi kemampuan penyusunan karya ilmiah di dalam negeri.

Jika banyak dari kita yang tidak tahu konsep Milk al-Yamin atau tidak tahu siapa Mohammad Shahrour, mungkin wajar karena topik terkait hal ini sangat spesifik (lagian mendingan gak tau sih). Tapi, kalau sampai tidak ada yang mengkritisi metode ilmiah serta cara penulisan…? Ini baru menyedihkan karena hal ini sangat basic, dan sudah seharusnya dipelajari oleh mahasiswa setidaknya sejak S1. Jika tidak ada yang menyadari hal ini, maka… apakah kualitas penelitian ilmiah kita masih begitu rendahnya?

Saya tentu tidak bermasuksud memojokan siapapun. Saya pun tahu bahwa Pak AA berjanji akan merevisi disertasinya, namun saya harap revisi juga mencakup perbaikan metode penelitian serta pertanggungjawaban secara ilmiah terkait publikasi yang sudah ditelurkan. Publik berhak untuk mengetahui setiap komponen dari penelitian tersebut.

Semoga kita semua juga bisa belajar dari hal ini.

Namun, jika nanti Pak AA tidak mampu memperbaiki serta mempertanggungjawabkan seluruh komponen yang ia tulis pada disertasinya. Maka… tidak ada pertanyaan lain untuk Beliau, selain satu: Apakah Bapak memang sudah pantas meraih gelar doktoral?

Hingga tulisan ini saya akhiri, saya berharap Pak AA bisa melakukan revisi secara bijaksana dan cerdas.

Aamiin~~~~~

 

 

Sekilas kritik untuk Negeri “Cuitan”


Saya teringat salah satu tuitan Sudjiwo Tedjo (I should tell I really like his point of view)

13398994_1186105991433852_1525162985_n

“Lama-lama orang malas romantis, karena takut disebut galau. Malas peduli, takut disebut kepo. Malas mendetail, takut dibilang rempong.
Malas berpendapat, takut dibilang curhat. Malas mengubah point-of-view saat debat, takut dibilang labil”

Mungkin jika tuitan itu ditulis di masa-masa ini mungkin akan ada tambahan “Lama-lama malas mengkaji agama, karena takut dianggap menistakan agama. Lama-lama malas berpolitik karena takut masuk penjara” terus begitu hingga ladang gandum dipenuhi coklat.

Guys! Wake up… kok kita mulai memperumit segala aspek dalam kehidupan kita sih, segala aspek yang yaaaa kita-kita sendiri ini yang bikin. Bikin masalah sendiri, mengkritik sendiri, marah sendiri, loh… maunya apa?

Ratusan kilometer dari tanah air, saya merasa mengapa Indonesia kok “mumet”. Saya ingat sahabat saya sampai bilang “Ini sih, Mon…mungkin manusianya yang harus diganti.”
Maaf saja tapi menurut saya seluruh kasus yang sedang hangat di tanah air itu sebenarnya “Meh!”

Oke start from kasus penistaan agama dari pak Ahok. Sebagai muslim, well… saya harus bilang Ahok salah. Sungguh kasus keselimpet lidah Beliau sangat fatal. Apalagi di Indonesia. Loh Indonesia loh, beda “mahzab” atau “partai” antar dua keluaga saja dua sejoli bisa batal nikah kok. lha, ini bawa Al-Quran. yooo blas! Beliau salah, namun saya pribadi merasa yang terjadi kepada Beliau selanjutnya juga jadi tidak fair. Sudah diproses secara hukum kok, masih di demo, masih di caci, lah… kalau kita sibuk menyudutkan dan mengulang-ulang kesalahan Beliau, apakah itu membuat kita menjadi lebih baik dibandingkan Beliau?

Dan, mbok ya kalau tahu lawan itu cerdas maka berperanglah dengan taktik yang cerdas. Lhaaa… ini kesaksiannya cuman nonton youtube, buat laporan pun kompakan, piye? Salah pun kompakan. Lha… perang itu bukan hanya modal bismillah dan Allahuakbar, harus ada taktik, harus ada pemikiran, harus pengkajian… semua harus dilihat secara kaffah dan menyeluruh. Masih pakai demo segala. Ini logikanya dimana? Ya percayalah kepada para penegak hukum. Coba-coba-coba latihan….latihan HUSNUDZAN alias berbaik sangka.

Okay… mari kita biarkan penegak hukum bekerja secara optimal.
Eh tunggu! Memangnya bisa?

Ada yang bicara sedikit menyinggung agama, langsung dilaporkan ke polisi.. pasalnya tidak tanggung-tanggung “penistaan agama”
Ada yang update status kritik sedikit, itu juga dilaporkan ke polisi
Ada mantan pejabat iseng sedikit ngetwit, juga heboh dikomentari
Bahkan uang rupiah yang sudah didesain seindah mungkin oleh tim, dilaporkan ke polisi juga. Itu cetaknya aja udah susah. Masih baik hati BI mau mengomentari hal ini, kalau saya jadi gubernur BI sih “Yo wis lah… biarin aja mereka misuh-misuh ndak jelas.” mending ngurus harga cabe yang jelas-jelas lebih krusial dan terang inti masalahnya.

Besok-besok nasi basi pun jangan-jangan sampai ke polisi “Ini kasus penindasan rakyat oleh perusahaan rice cooker”
Besok-besok, saya yang sering salah melafakan ش, ص, ز,ذ juga akan dilaporkan ke Polres Bogor karena kasus penistaan agama “Ini loh, mbak Marissa, baca Quran-nya salah… bahasa Arab itu salah makhraj salah arti, penistaan agamaaaaaaaaa, digoreng di nerakaaaaaaa” Arggghhhhhhhh~~~
Lha, ini polisinya pun jadi capek fisik dan psikologis.
Orang-orang yang cerdas, pintar, tapi malas ribet juga akhirnya jadi mulai searching “How to change your nationality”, mulai searching biaya visa, join global online dating, dan tentunya tiket pesawat.

Mungkin saya terlalu “cuek”, terlalu liberal, terlalu cetek, apapun lah yang ingin kalian bilang. Tapi di tengah konstelasi global, ketika orang-orang bersaing untuk bekerja lintas batas. Kita? Kita masih sibuk di masalah spekulasi cuitan dan saling salah menyalahkan dibandingkan fokus menyelesaikan masalah itu sendiri. Kalian tahu gak itu seperti apa? Seperti dalam perlombaan lari, peluit sudah ditiup, yang lain sudah lari… kita? Kita masih sibuk menyalahkan sepatu “Ini gara-gara sepatunya nih, terlalu murah! Terus stripnya terlalu terang jadi bikin silau, yang jahit sepatunya pasti ingin saya celaka. Siapa? Siapa? Siapa penjahit sepatunya?
Ya Allah…

Saya selalu bilang orang Indonesia itu luar biasa baik hatinya. Dimana lagi di sudut dunia orang bisa selalu melempar senyum dan tawa even to the stranger. Cuma di Indonesia! Tapi ya kita sering kali mudah tersulut…mudah percaya… mudah terprovokasi…
Sering banget sih.

Fenomena ini kan sudah terjadi sejak lama sebenarnya. Beberapa dari kita seringkali malas membaca detil berita, tidak mencari tahu lebih dalam dari informasi yang kita dapat dari grup Whatsapp, LINE, dsb… lalu Voila! Share ke seluruh social media yang ada. Awalnya sih range kecil-kecilan, lalu lama-lama ketagihan, dan jadi ketagihan nasional… dan Bom! Sekarang masalahnya jadi besar kan? Munculah Pak Buniyani yang diikuti kasus-kasus lainnya yang sebenarnya ya gitu-gitu aja.

Saya pun heran mengapa media juga terkadang mengambi “cuitan” di sosial media sebagai literature review. Jurnal aja, jurnal akademik… kalau tidak terakreditasi masih harus diuji lagi kebenarannya, lha iki kutipan dari social media, yo ngawur ndak karuan wis. Itu sangat tidak ilmiah.

Aduh jadi capek marah-marahnya. Tapi serius, kenapa sih… kenapa kita begitu usil mengkritisi tanpa memberi solusi, mencaci dan menyalahkan tanpa saling mengingatkan. Kerajaan di Nusantara itu mayoritas bubar karena perang saudara, lha mbok ya sesekali belajar dari sejarah. Kalau tidak setuju dengan orang lain kan bisa “Witsss…. sebentar cuy! Kita agak berbeda perspektif nih bla bla bla”paparkan, jelaskan, diskusikan… ra usah misuh-misuh dikit-dikit twit, dikit-dikit curhat di socmed, dikit-dikit lapor polisi. Kan lebih sejuk.

Lalu harus bagaimana?
Mungkin sesekali kita harus matikan handphone dan TV gak usah lama-lama, setiap weekend aja, take your backpack and umbrella… dan lakukan semua hobi kalian selain liat handphone.
Coba cafe baru bareng sahabat kalian,
cuci baju,
tanam cabe di pekarangan rumah atau kacang ijo di kapas dan seperti layaknya bocah lugu yang antusias menunggu mereka tumbuh, atas ketawa konyol sendiri karena mereka secara misterius gagal tumbuh.
Baca buku yang benar-benar kalian mau baca
Bantu mama nyapu rumah
Shopping… atau berburu barang vintage
Journaling
Gangguin keponakan atau anak orang yang masih cilik dan lucu-lucunya tanpa perlu sibuk ambil foto dan upload ke social media
Ke ATM, transfer some money ke yayasan
Surprise visit ke rumah kalau kalian jauh dari rumah, plus bawa oleh-oleh yang mereka suka.
There will be lots of things you can do dalam waktu 24 jam tanpa melihat TV dan handphone sementara. Bukan berarti TV dan handphone itu jelek ya, tapi terkadang kita hanya butuh sedikit detox sih dalam hidup. Go outside and see everything from another perspective.

Jalan dan ngobrol bareng lah sama orang yang wawasannya luas dan menyenangkan, berdebat secara sehat… lalu ketawa bareng. Belajar untuk saling menghargai pendapat bahwa beda pendapat itu oke loh, menambah alternatif sudut pandang, dan itu membijaksanakan kita karena kita jadi “ngeh” oh iya yaaa pandangan gw belum tentu sama dengan orang lain.

Dan yang lebih penting lagi… sebelum klak klik submit atau share berita/komen/opini/foto/dsb. Baca dan liat lagi, kenceng-kenceng kalau perlu… pikir dan renungkan dengan otak dan nurani yang udah Tuhan kasih kepada kita apakah hal tersebut baik untuk disampaikan atau tidak. Kalau rupanya jelek, yaaaaa udah… delete lagi. Seberapa penting sih memang “eksis” di dunia maya? Menurut saya sih itu sesuatu yang semu dan gak penting.
Lagipula ada hadist yang berbunyi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

[رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Mengutip kata Alm. Gus Dur “Gitu aja kok repot” 🙂 iya sih pilihannya kan cuman dua diam atau say something good.

 

Dear media and netizen, kindly stop HOAX! : Mengenai kasus bocah yang diduga mengalami gangguan jiwa karena terlalu diforsir


Singkat saja sebelum saya kembali ke lab.
Jadi hari ini saya melihat berita ini di berbagai social media yang mendadak saya buka kembali -.- sebuah keputusan tidak bijak karena seperti yang saya duga rasanya saya mau ngomel2 setiap melihat social media berlebihan. Berita hari ini yang saya lihat adalah, ini:

ya tentang anak kecil yang diduga mengalami gangguan kejiwaan karena terlalu diforsir les aneka rupa.
Image and video hosting by TinyPic
Aduuh silakan deh di search sendiri di google.

Saya sih udah jengah ya dengan berita di media, saya bahkan tidak percaya dengan hasil penelitian saya ahahahhaha apalagi berita di media yang menurut saya butuh further confirmation.

Penasaran dengan kebenaran berita ini, saya mengecek ke google DAN RUPANYA, berita yang serupa sudah ada sejak tahun 2014.
Gak percaya? ini diaaaa!
Image and video hosting by TinyPic

dan kemudian dikonfirmasi pada tahun yang sama di republika kalau ini HOAX!
Image and video hosting by TinyPic

Saya tidak cut yaaaa link dan tanggalnya, jadi bisa kalian cek sendiri.

Baiklah, kita jadi belajar ya jangan memforsir anak-anak kita. Jangan terlalu ambisius lah intinya.

namun lebih dari itu, saya merasa berita kali ini sangat kejam! SANGAT KEJAM! Dan saya sangat kecewa kepada media yang tidak cek and ricek dalam menulis berita ini.

1. Foto anak kecil dalam berita ini; ini kejahatan paling luar biasa! first, kalian bisa lihat bahwa latar foto ini bukan di rumah sakit jiwa. Ini di sebuah supermarket saya rasa. Second, sangat disayangkan foto anak ini tidak diburamkan. Eh! Anak ini punya privacy! Terbayang tidak jika orang melihat anak ini kemudian langsung menjudge “Ih ini anak yang gangguan jiwa itu kan?”
Dan jika saya orang tuanya, saya akan sangat sakit hati dan tersinggung. Saya berani menggunakan jalur hukum untuk menggugat kalau saya bisa membuktikan bahwa ini semua hoax!

Ini kejem banget loh. Coba kalian, misalnya kalian udah jadi mommy nih… punya anak imut, kalian hobi share foto doski. Nah suatu hari kamu share foto kalian lagi meneteskan air mata karena pada saat itu adalah saat pertama anak kamu mengucapkan kata “Mama” misalnya.
Eh, tiba2 ada orang yang tidak bertanggung jawab menggunakan foto yang sesungguhnya bahagia itu, untuk berita “Seorang Ibu tak berhenti menangis karena anaknya terkena gangguan jiwa”
Ih kalau saya… saya sih bakal sakit hati banget!!!!! Itulah kenapa saya bilang, kalau saya jadi ibu di foto itu… saya tuntut media melalui jalur hukum.

2. Diksi! Jika dan hanya jika berita ini misalnya benar… saya menyesalkan penggunaan diksi beberapa media dan netizen yang bilang anak ini “Gila”. Saya pikir kita terlalu kejam ya dengan orang yang mengidap gangguan kejiwaan. Jika penyakit ini benar terjadi, saya pikir yang terjadi adalah semacam schizophrenia. Tapi orang dengan gangguan seperti itu bukan untuk digosipin loh, tapi harus diobati.Kalian tahu John Nash? Dia terkena schizophrenia… tapi dia bisa menemukan teori Nash Equilibrium. Beruntunglah Nash, karena dia bukan berada di Indonesia saat itu, kalau di Indonesia jangan-jangan daripada menemukan Nash Equlibrium, Beliau malau dilempar sandal dan di bilang orang gila. Jadi saya pikir, aduh pakai hati sedikit deh dalam memilih kata…

3. Minimnya kaji fakta oleh beberapa media dan netizen. Saya masih bisa memaklumi netizen yang khilaf dalam menshare berita yang rupanya hoax. Tapi media? Saya pikir bekerja di media adalah sebuah pekerjaan terhormat, berbagi informasi relevan pada khalayak. Ini? Kok bisa-bisanya beberapa media asal tulis sesuatu yang trend di social media? Loh… kajian Anda di mana? Anda sudah bertemu sumbernya langsung? Bagaimana Anda tahu itu benar atau tidak?

Oh Marissa… inhale~~ exhale~~~

Kembali saya teringat pada perkataan teman saya, “Kalau misalnya sudah sampai at least bikin skripsi aja… kan pola pikir kita harusnya sudah one step ahead berpikir ‘oh kalau bikin sesuatu itu harus base on data dan fakta ya’ kayak gitu loh”

Saya juga teringat seorang teman saya bilang “Ih, Mon… kelak kalau gw jadi Ibu nih, kayaknya gw ogah banget nyebar foto anak gw too much di social media. We never know apa yang orang lain pikir di luar sana. Kita gak tau apa yang orang bisa lakukan dengan foto itu”

Jadi bagaimana ya…
Okay begini, yuk… kita bijaksana dalam memilah berita. Cek and ricek apakah ini benar, gunakan 5W 1H. Apa sumber berita itu jelas? Apa berita ini relevan? Apa masuk akal?

Dan *oh I know you will say bagaimana bisa jomblo akut ini bisa bilang seperti ini*
Jangan terlalu banyak share foto anak kalian di social media.
Bahaya, kawan….
Saya paham kok betapa bahagianya kalian punya baby kan, saya juga kalau saya punya nanti kayaknya memory card camera abis deh. Tapi mulai pilah mana yang harus jadi koleksi pribadi dan di share ke social media apalagi jika social media kalian juga dipenuhi akun orang yang kalian gak kenal atau gak terlalu kenal. Bukan suudzon, tapi mungkin kita harus lebih waspada. Tidak semua orang baik hati bukan? Iya… jangan-jangan saya juga tidak sebaik yang kalian kira :p so, it is better to be careful.

Waspadalah…
Waspadalah…

Udah ah saya balik lagi ke lab ya~ Dadagh!!!!!

Love,
Marissa

Yang annoying di social media… Grrrrrr!


Haiiiiisssssh…. ini kok saya nulis minggu ini kok penuh complain ya hahahahaha. Maaf ya pembaca yang baik hati. Habis kalau bukan saya yang complain, siapa lagi? Biarlah citra saya yang selama ini emang rada ketus untuk beberapa hal disekaligusin aja lah, tanguuuuung bro! Hahahahahaha….

Baik apa pembahasan kita kali ini? Kita akan bahas hal-hal annoying di social media! Hiyaaaaaa…. saya sendiri kadang kalau BT banget dan udah bikin emosi, langsung saya sindir atau saya unfollow sekalian hahahaha. Jahat banget ya? Memutus tali silaturahim gak sih? Tapi saya gak nggak butuh juga mengetahui segala kehidupan personal orang tersebut.

Hah? kehidupan personal? maksud lo, Mon? Haiiiiisssh….. baik deh kalo gitu, baca dulu sampai abis ya.

Ini dia hal-hal annoying di social media yang telah saya rangkum seenaknya:

1. Public Display of Affection (PDA)  di Social Media
Apa itu Public Display of Affection? Secara sederhana itu adalah pamer kemesraan di depan umum, supaya dunia tahu bahwa lu sama pasangan lu adalah pasangan terbaik di muka bumi! Kalau udah nikah sih masih mending lah ya boleh lah sesekali, tapi kalau masih pada level pacaran dan masih ada peluang putus mah yaaaah jangan aneh-aneh deh, yang ada kalau bikin jengkel kan orang-orang jadi doa ya “Ya Allah… semoga putus aja deh, abis mereka kampungan sih” ahahahha atau saya aja ya yang mikir gitu hahahhaa…

PDA di dunia nyata sendiri sudah sangat nyebelin, bahkan sampai ada yang bikin videonya loh! Gila kan… puja puji kepada yang bikin video ini, bener-bener saya dukung dengan sepenuh hati.

Tragis kan? kebanyakan dari kita *mungkin yang baca blog ini aja sih* biasanya jadi orang ketiga dalam video ini huhuhuhu. Saya sih jelas selaluuuuu jadi orang ketiga dengan tragisnya. Tapi jangan sampai deh saya jadi orang pertama dan kedua hahahaha… norak.

Nah, kalau di socmed tentu gak kalah annoying! tanda-tandanya biasanya diawali dengan MENGGANTIKAN FUNGSI HP DENGAN SOCIAL MEDIA! aduuuuh demi apa deh, ini bener-bener malesin banget.

Derpina: @Derp Sayang kamu udah makan belum?

Derp:     Belum sayang, aku agak pusing, kayakny aku masuk angin deh RT @Derp Sayang kamu udah makan belum?

Derpina:  Ya ampun,semangat sayang. Kamu harus minum obat RT @Derp Belum sayang, aku agak pusing, kayakny aku masuk angin deh

Derp:     Iya sayang,prhatian kamu udah obat buat aku RT @Derpina Ya ampun,semangat sayang. Kamu harus minum obat

Derpina: Tp kamu harus sehat. Klo kmu sakit aku sedih 🙁 RT @Derp Iya sayang,prhatian kamu udah obat buat aku

Dst….
Ya Allah… kampungan banget gak sih? Jujur aja, apa urusan saya sebagai pengguna social media untuk tahu ayangnya si Derpina masuk angin? untuk apa juga saya tahu kalau mereka saling sayang dan si Derpina hancur berkeping-keping ketika Derp masuk angin. Jujur aja saya GAK NANYA dan GAK MAU TAHU. Koreksi saya jika saya salah atau saya begitu bodoh, hal seperti itu bisa mereka lakukan dengan pakai sms, whatsapp, line, atau hal-hal lainnya yang bersifat lebih privat kan? Iya gak? Yang merasa gak sreg dengan kritik saya ayo caci saya, maki saya, tapi setidaknya saya masih cukup pintar membedakan fungsi alat komunikasi dan social media. Kadang saking geramnya saya sampai mau ngirim pulsa sms ke muda-mudi tipe norak seperti ini… untung Allah membuat kantong saya gak tebal *tebal sih sama kertas gak jelas* jadi hal ini nggak terlaksana.

Yang bikin geram lagi kalau dua sejoli ini pamer kemesraan di social media, kayak:a. Upload foto mereka berdua setiap hari, atau lusinan foto dalam satu hari penuh! –> Kalau satu-dua sih saya gak terganggu ya. Tapi kalau sampai buanyaaaaaak banget…. diupload tiap beberapa menit sekali… atau upload foto mereka tiap hari, jujur aja bagi saya itu konyol. Buat apa saya liat foto mereka setiap saat? Apakah bernilai seharga cek miliaran rupiah? Nggak juga? Gak guna kan? oh bye… mereka bilang kalau saya complain saya gak usah liat. I do it! Beberapa sudah saya unfollow -.- setelah di unfollow saya kena cerca juga katanya gak ngerti cinta sejati… sirik karena saya masih jomblo… I proud to be jomblo selama saya gak terlihat bodoh.

b. Salah pakai istilah –> “Happy anniversary yang ke 10 sayang….” *tentu ditambah upload foto mesra mereka berdua dong*. Widiiiih, keren banget anniversary yang ke 10, saya kan takjub ya… sambil mikir, wah masa sih? pas di cek lagi “Happy anniversary yang ke 10 sayang…. senang sudah menjalani ini semua bersama kamu 10 bulan terakhir ini” Owalaaaaaaah…. mungkin ya kalau mau mesra juga harus agak ilmiah sedikit. Namanya juga anniversary, anniversary itu buat tahunan bukan buat bulanan! Gak percaya?

Cek kata om Wiki:
An anniversary is a day that commemorates or celebrates a past event that occurred on the same date of the year as the initial event. For example, the first event is the initial occurrence or, if planned, the inaugural of the event. One year later would be the first anniversary of that event. The word was first used for Catholic feasts to commemorate saints.

c. Nulis/ Kuote kata-kata galau atau romantis terus di cc ke-pasangannya –> lagi-lagi, satu atau dua masih bisa ditolerir, tapi kalau full tiap detik hal yang dilakukan itu. Oh my… saya udah gak sanggup lagi. Ampun…. ampun… ampun… please jangan siksa saya lagi. Beneran deh, socmed kan bukan punya kalian aja.

2.Pamer kekayaan *Iyaaaa deh yang tajir*
” Alhamdulillah… rekening sekarang udah dua digit 🙂 “
” Untunglah… gaji saya lumayan dulu, 4 kali di atas UMR jakarta” <– jujur aja langsung saya itung loh hahahaha
“Sekarang saatnya beli tanah dan properti, Alhamdulillah” <– siapa? Siapa yang nanya? hahahahaha.
“Sudah pakai aypong 5 nih… horeeeee”
Dsb
Dsb

Paman Gobeeeerrrrr :D

Paman Gobeeeerrrrr 😀

Ini apa saya yang kelamaan nongkrong di socmed ya? Kok sampe saya baca juga status-status gak mutu kayak gitu. Jika menurut Anda nggak masalah, saya pun begitu. Tapi bukankan ketika kita bertindak harus ada kode etiknya? Saya turut bahagia ketika kalian sudah punya pendapatan yang Alhamdulillah… atau sudah mampu beli ini itu sendiri. Tapi pernah gak… sediiiiikiiit aja kepikiran bahwa tidak semua orang di sekitar kita itu seberuntung kita. Ada dua kemungkinan, Anda memang ada di lingkungan yang mapan *sehingga hal kayak gitu adalah hal yang biasa, yaaah maklum lah tajir gitu loh* atau kalian tidak tahu sepenuhnya kondisi rekan-rekan kalian. Apa kalian ngeh ada teman kalian yang mungkin sedang pusing dengan masalah finansial mereka? Apa kalian peduli?

Yaaaa kalau kalian kaya sih, hak Anda ya… toh uang juga uang Anda. Tapi entahlah… kalian masih punya hati atau gak. Hahahahahhaha…..
Harta itu titipan lagi, itu punya Allah… kalau ada orang yang murka dan sebel ke kalian, complain ke Allah… lalu Allah acc complain orang tersebut, bisa-bisa harta kalian ditarik! Mau? Saya sih ogah… hahahhaha. Eh bukan nakut-nakutin loh, sok mangga kalau mau nyoba sih :p

Saya penggemar Paman Gober sejak saya kecil, sebel sih karena dia pelit. Tapi coba deh baca… walau kaya dia masih berusaha tampil sederhana dan kalau mau pamer paling juga ke Donal Duck yang notabenenya keluarga sendiri. Gak ke orang lain kan? Yaaah mungkin Paman Gober jauh lebih baik daripada yang suka tukang pamer di socmed hahaha.

3. Pamer Penderitaan
Kenapa kita harus bangga ketika kita menderita ya? Putus cinta… disakitin orang… bos yang nyebelin… kehidupan yang sulit… kerjaan yang belum beres-beres… dsb!
Saya pernah loh pamer penderitaan kayak gini, sering malah kayaknya hahahahaha… tuh kan saya ngaku! Saya mah kalo emang pernah norak ngaku kok. Tapi setelah saya pikir-pikir, lha kok gw bangga ya sama penderitaan gw? Owalah…..!

Saya lalu mulai berdiam diri, lalu menatap timeline, memandang orang-orang yang melakukan kesalahan yang serupa. Rupanya nyebelin banget ya. Ya kalau mood kita lagi baik sih mungkin biasa aja, tapi kalau lagi mood lagi jelek…. liat orang ngeluh di socmed, aduuuuuh rasanya DHUAAAAAR… rasanya pengen datengin langsung orangnya terus bilang “Heh! Bukan lu manusia yang paling menderita di muka bumi ini! Masih banyak yang kehidupannya lebih berat dari lu”

Buat yang udah terlanjur melakukan hal ini… sudahlah, pintu taubat masih terbuka hahahaha. Cara pertama, ibadah! Curhat ke Tuhan. Kalau saya biasanya ke masjid dan berdiam diri sejenak. Oiya, jangan baca socmed dulu selama berdiam diri ya. Kedua, curhat ke orang terdekat. Kalau saya punya “korban” yang selalu kenaaaa aja kalau saya uring-uringan *huhuhu, maaf ya 🙁 * kasihan sekali. Tapi biasanya itu membuat lebih baik. Ketiga, make your self happy! Kalau saya… obat kegalauan saya ada makan dan baca buku. Jadi selama ada es krim, makanan enak, dan buku yang seru…. insya Allah otak rada cling lagi. Keempat, solve your problem! Masalah bukan buat dicaci maki, tapi buat diselesaikan. But never make decisions when you’re mad… tunggu tenang… tunggu udah rada happy… baru deh solve your problem.

4. Reklame kampanye
Menjelang 2014… beberapa simpatisan partai politik mulai heboh berkampanye ria. Dan jujur, saya pikir spanduk kampanye hanya menjengkelkan karena merusak pemandangan alam, rupanya juga merusak pemandangan timeline social media kita.

“Ya ampuuuun, Pak XX, penuh prestasi selama menjabat… layak jadi presiden Indonesia”
“Subhanallah… partai XX memang yang terbaik dan istiqomah membela kebenaran”
“Pak XX, mantap nih kalau jadi presiden gak akan malu-maluin”
“Kalau Indonesia dipimpin sama pimpinan partai XX, pasti deh bakalan maju”

Ya ampuuuun… tim sukses jangan nyebelin dong. Jujur aja tuh saya gak peduli dengan pandangan politik kalian! NGGAK PEDULI SAMA SEKALI… apalagi kalau udah menjurus ke narsistik dan mulai ngejelekin pihak lain, aduh… minta diketok

“Memang banyak yang memfitnah partai kita, tapi mereka tidak melihat Indonesia maju karena jasa kita selama ini. Biarlah Allah memberi hidayah kepada mereka semua yang tidak memahami eksitensi kita bla bla bla”

Eh… permisi, emang Allah peduli dengan Partai Anda. Masuk surga juga gak akan ditanya kita partai apa hahahahaha… cabe deh.

Jika Anda baik, percayalah dunia yang akan menilai Anda. Selesai!

5. Terlalu banyak upload foto selfie
OTW ke Bandung —> upload foto selfie
Mau ke Kantor –> upload foto selfie
Di Malang, brrrrr dingin —> upload foto selfie
Indahnya Indonesia Raya –> upload foto selfie lagi

Huwaaaaduuh!
Saya ada penggemar fotografi. Saya juga gak bermasalah dengan foto selfie… saya bahkan sering juga melakukannya tapi gak semuanya di upload, hanya dipilih yang bener-bener representatif untuk profile picture. Wajar lah manusia suka difoto…
Tapi kalau tiap saat upload foto selfie waduh! Gak apa sih… cuman kadang suka gak ada keterkaitan antara judul foto dengan fotonya. Lagi cerita otw di pameran bunga misalnya eh terus foto yang diupload foto dia, lha bunganya mana? atau dia adalah produk yang dipamerkan?

Lagian sejujurnya aja, maaf karena saya harus mengatakan kenyataan pahit ini, kayaknya orang lain juga gak butuh foto selfie kita banyak-banyak deh hahahahahaha… iya kan?

Dunia fotografi itu menarik banget. Saya bahkan sampai rela mau beli tongsis hahahaha… buat apa? Buat foto selfie dong! tapi apa semuanya mau diupload ke socmed? hahahaha… gak deh… gak PD. beberapa aja yang memang oke. Lainnya, hmmm mungkin orang lain ingin benar-benar menikmati hasil jepretan kita yang indah… bertema…. dan penuh makna. Picture speaks more than words! really? think again! Kalau semua picturenya selfie sih mmmm kayaknya gak begitu ya hehehe.

Huwaaaaaa demikian….
Udah ah, capek ngetiknya.
Jangan pada ngamuk ya… jika ada kemiripan dengan beberapa pembaca blog ini, saya mohon maaf karena saya toh tidak sengaja. Mungkin saya juga termasuk yang annoying di socmed hahahaha… ah mana saya tahu, tapi semoga saja tidak 🙂

Salam semangat di hari hujan…