Pelecehan seksual dan Bullying: Hal yang “tidak biasa” yang dianggap “biasa”


Image and video hosting by TinyPic

Yak, puasa sudah lewat, weekend telah tiba, dan saatnya emonikova menggebrak logika-logika ajaib yang ada di sekitar kita. Ini penting sodara-sodara! Karena saya ingin pembaca emonikova tidak kalah dengan followers om Dedy Corbuzier yang disebut “smart people” itu. * OOT: Ufufufufufuufufu… Eh tapi lama-lama gw pun malas loh sama om Dedy hahahaha kadang dia doyan clickbait juga :p*

Jadi topik kita kali ini adalah pelecehan seksual dan bullying.
Siapa yang pernah jadi korban dua hal di atas, angkat tangaaaaan! Well… saya mungkin korban kedua-duanya.
Bullying jelas! Saya yang dulu gendut dan gak pernah make-up dan gak pinter juga sudah makan asam garam per-bully-an. “Ya ampun, Mon… udah jelek, gendut, lo gak pinter apa-apa pula.” |
“Eh kalau liat muka lo, lo kayak pembantu gitu ya” Well… mungkin yang ngomong gak pernah liat sinetron Inem Pelayan Seksi yang mukanya bening itu fufufufufufu. Semoga akhirnya dia mampu membeli TV di rumah, aamiin!!!!!!.
dan sebagainya yang kalau diinget-inget lagi rasanya nelongso.
Saya ada di posisi dimana saat ini saya begitu menyayangi semua orang, gak mau mencari alasan-alasan untuk mengingat masa lalu yang kelam kayak gitu.

Lalu pelecehan seksual? Oh pernah juga!
Salah satu yang paling kamfret adalah ketika saya masih menjadi assisten dosen di kampus. Saya ingat saat itu bulan ramadan dan yang menelpon saya beberapa kali lalu mengirim teks
“Kak, saya murid responsi kakak, telpon saya kak. Maafkan saya kak, teringat suara kakak saya hari ini jadi batal puasa.”
Perpaduan antara asdos yang masih polos dengan bumbu-bumbu kebegoan yang kuat saat itu, saya berpikir “Lha, apa urusannya inget gw kok batal puasa? Gw mirip donat?” Saya pikir anak ini mau ngeledek saya bulat dan ndut kayak donat. Ya akhirnya bodo amat, kebal aing mah kalo cuman dibilang gendut. Eh btw, di sekitar kampus IPB ada donat yang legendaris banget! Kalian harus coba deh kalau mampir ke IPB. Sumpah tuh donat enak banget!

Back to the topic!
Nah! hebohnya terjadi ketika saya cerita ke dosen pembimbing saya karena kami ini dekaaaaaat sekali, jadi kalau ada apa-apa ya cerita ke Beliau. “Ya Allah emooooooooooon! Kok kamu diem aja sih? Itu ngeri tauuuuuuuuu! Itu pelecehan seksual. Ihhh, jangan pulang malem-malem ah setelah ini.”
Owh… okay. Dan baru setelah sadar ngerasa serem dan keringet dingin. Jadi ngeri kalau pulang pas udah gelap.

Pelecehan seksual lainnya adalah ketika saya masih kerja di kemenkoperekonomian. Saya seringkali pulang larut karena bos saya saat itu memang “On” saat matahari terbenam. Jadilah burung hantu ini harus mencari ojek karena tidak ada angkot ke desa saya jika sudah malam. Jaman dulu belum ada ojek online ya. Naiklah saya ke ojek, entah doi ngira saya wanita macam apa, pak supir ojek malah bilang “Ngapain ke rumah, semalem aja yuk di hotel!” Ya saya gaplok juga si Bapak pakai botol aq*a bekas meeting, harusnya sih galon ya, lain kali bawa itu lah. Dan saya terpaksa harus setengah meloncat dari ojek tsb. Alasan mengapa saya akhirnya memilih kembali ke kampus untuk bekerja saat itu.

Saya yakin, bukan hanya saya yang mengalami kejadian seperti ini. Mungkin kalian juga pernah! Bahkan pedangdut macam Via Vallen!

Dan saya juga yakin, karena masih rendahnya kepedulian akan permasalahan ini, kita kadang tidak sadar jika sedang dilecehkan atau bahkan melecehkan! Oleh karena itulah, emonikova kali ini iseng tanya-tanya beberapa teman (yang saya sengaja samarkan namanya dsb karena mereka orang-orang baik dan cerdas yang kayaknya gak perlu berurusan dengan para netijen apapun alasannya -.-) dan bertanya mengenai perilaku bullying dan pelecehan.

Saya mengambil kasus via vallen karena menurut saya ini kasus unik. Perpaduan antara  Cyber Sexual Harrashment sekaligus Cyber Bullying! Nah ini! Ini penting untuk didalami lebih lanjut.

Mari kita mulai dari kasus pelecehan seksual itu sendiri, bener gak sih jika kita mengalami pelecehan seksual kita harus speak up?

Ini beberapa opini keren dari teman-teman saya. Aduh kok mereka keren-keren banget ya. Ini nih kenapa kalau nyari temen harus yang menyenangkan dan kepalanya “ngisi” jadi enak diajak ngobrol.

First of all, kita harus sepakat bahwa seseorang punya hak bicara ketika mereka mengalami hal yang tidak mengenakan
Image and video hosting by TinyPic

Dan entah kenapa ya, di Indonesia speak up, apalagi kalau berkaitan dengan pelecehan seksual itu terasa taboo di masyarakat kita? Parahnya lagi kadang kita pun gak ngeh kena pelecehan atau gak.

Image and video hosting by TinyPic

Image and video hosting by TinyPic

Yang lebih bikin males lagi, di tanah air masih ada “keanehan”. Kalau kita korban, pasti nama,TTL, status, foto terbaru, pokoknya semuanya di publish. Lha, yang jadi pelaku? Udah mah muka ditopengin, di blur, suara disamarkan, nama jadi inisial. Walau mungkin pihak terkait ingin melindungi mereka dari amukan masa, tapi kan yang korban juga tengsin ya tiba-tiba menjadi pembicaraan banyak orang, apalagi kalau yang  diomongin masalah aib! Waduuuh…

Image and video hosting by TinyPic

 

Nah tapi lanjut komen terakhir di atas,  ada beberapa yang bilang, kalau mau speak up yaaaa jangan di media sosial karena media sosial penuh dengan netijen julid. Hal paling bener adalah, kalau ada bukti-bukti, langsung bawa ke komnas anak dan perempuan atau bahkan kepolisian. Saya yang gak suka rame-rame juga sebenarnya lebih cenderung ke pilihan ini. Soalnya kita kan awam ya masalah seperti ini.

Nah untuk kalian, boleh nih jaga-jaga untuk mencatat kontak yang bisa dihubungi jika kalian mendapatkan perlakukan yang tidak menyenangkan dari orang lain. Catet loh, ini puenting sangat!
Kalau rupanya mereka no action dan lama dan malah bikin makin jengkel…
Yaaaa media sosial pilihan terakhir, rasakan kecaman-kecaman netijen!!!!

No darurat polisi : 110
Komnas perempuan : 021-390 3963
Komnas perlindungan anak (kalau kasus terkait anak-anak): 021-319 015 56

Dan ehmm… karena di postingan via vallen ada yang belain mas-mas bule yang katanya “Aduh emang orang sana mah itu biasa aja kali, mereka kan ceplas-ceplos. Lagian cowoknya ganteng.” please ya, foreigner juga gak terima kali dibilang gak sopan :’D Jika kalian pembaca setia emonikova, dan pernah baca mengenai artikel investigasi tanda parkir, pasti kenal sama Mamas Smiley. Nah, kali ini emonikova juga mengganggu Mas Smiley untuk menjawab emang kalau orang Barat maennya langsung nyosor kayak gitu?
Dan jawaban doi sih kira-kira.

A: “That man is simply stupid or crazy. Nothing else.”
Q: “But people said this man is handsome, so… the girl is want to show off that…”
A: “That someone handsome likes her? Well, handsome but stupid. So, your people is stand for someone just because their look? If a man smart enough, he’ll not take a risk by do catcalling to a woman in social media and this woman is an artist “

Gak berani lawan deh kalau pertanyaannya udah sefilosofis itu.

Saya pikir pun begitu. Ya kalo gak kenal dan gak pernah ada hubungan sama sekali sebelumnya mah mau bule mau bukan gak akan berani ngelakuin serendah itu ke perempuan. Mereka juga punya emak kali di rumah. Jadi kalau ada cowok yang melakukan pelecehan seksual maka yaaaa mesum dan bandel aja.

Yah kalau ganteng dan pinter mah dia gak usah gangguin perempuan juga kali, yang ada perempuan bertekuk lutut menunggu segera disuguhi lagu payung teduh (baca: akad). Kalau ganteng dan pinter mah gak perlu cara-cara murahan, wong di tahajud para wanita aja nama doi sudah diperebutkan. Iya gak sih? Yah sudahlah, kita tinggalkan Mas Smiley. Kalau kangen nanti kita tanya-tanya dia lagi untuk topik lainnya ya 😉

Yo wis, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka? Setidaknya beberapa waktu yang lalu CNN Indonesia memberikan beberapa tips untuk membantu korban pelecehan.

Ya intinya mungkin yang salah adalah: KITA.
Kita yang gak peduli dengan orang lain hingga kita sendiri yang merasakannya. Mungkin bully orang lain lebih gampang dan nikmat ya daripada berusaha menjadi pendengar yang baik atau orang yang bisa menghargai dan toleran. Ya, secara science wajar sih kalau banyak yang begitu, karena kalau mau bully, maki-maki, mendengki, dan nyinyir kan gak perlu pakai hati dan otak ya, jadi wajar lah jika kalori yang terpakai lebih minim. Dan layiknya badan yang gak pernah diajak olah-raga dan langsung encok pegel linu ketika sekali dipakai lari satu keliling lapangan bola, hati kita yang tidak biasa dilatih peka juga mungkin jadi kaku, keras, dan keseleo sekalinya dipakai berlatih untuk menjadi pribadi yang bijaksana. Mungkin kita menyerah untuk melembutkan hati yang kaku kaku itu, dan lambat laun memutuskan untuk tidak perlu melatih hati itu lagi.

Mungkin…
Mungkin…
Mungkin…

Lalu hatinya berkapur…
Dan terlalu terlambat untuk melembutkannya lagi.

Ah semoga saya salah memberi perumpamaan.

Beberapa waktu yang lalu ada berita mengenai orang utan yang menghalangi pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Saat itu saya mikir, “Wah, orang utan aja sekarang udah punya awarenees yang bagus nih.”
Jika kemudian kita tidak bisa punya “feel” untuk berbuat baik pada sesama dan lingkungan…. Well, mungkin pantas malu bahkan pada hewan sekalipun.

Catatan si kuper: Alasan saya memilih kuper (namun bahagia)


Tadinya mau nulis tentang sexual harrashment di sekitar kita. Tapi sebelum itu biarkan saya curcol tengah malam.
Mama saya kadang curhat “Ya ampun Kakak, ini anak Mama cuman dua. Bagi Mama sih anak Mama baik-baik. Anak lingkungan, pecinta alam, pecinta binatang, suka anak-anak. Kan baik ya. Tapi kok ya selalu ada aja konflik sama orang lain. Kalian itu harus kepala dan hati dingin, orang kan beda-beda.”

Saya dan adik saya mungkin mirip ya. Teman dekat kami bisa dihitung dengan jari tangan. Yaaaaa paling itu-itu lagi. Sampai Mama bisa hapal sampai tanggal ulang tahun beberapa teman kami. Hapal loh! Hapal!!! “Kak, Mamas ini kan ultah ya? Udah dikasih selamat ulang tahun belum? Ih ultahnya mirip kayak kucing kita yang dulu ya”

Saya tidak tahu dengan adik saya, tapi yang pasti saya memiliki alasan dan “keterbatasan” versi saya sendiri. Pada dasarnya saya tidak suka “muncul di permukaan”, saya mungkin seperti kucing garong gendut yang hobi tidur. Tidak akan mencakar jika tidak ada yang usil mengganggu saya. Saya tidak suka keramaian, I HATE CROWD! Saya memang kurang suka kumpul-kumpul, saya lebih suka lingkaran-lingkaran yang lebih kecil namun lebih akrab dan dekat. Saya tidak suka membicarakan tentang orang lain, dan saya pun tidak terlalu happy orang lain membicarakan saya.

“Emon itu sombong gak suka gaul, sok banget ya”
“Emang prestasi Emon apa? Gak pernah kedengeran”
“Eh, dia kan gak ada hal yang wah ya, kok bisa keterima di XYZ sih?”
“Dia suka main musik gitu, gak stress kan dia”
dst
dst
dst

Ok! Mari kita berkumpul…. berkumpul yang KONON lebih berfaedah daripada tidur gak jelas di kasur yang hangat, daripada baca koleksi buku yang harusnya beli e-book aja, dan lebih berfaedah dari belajar musik yang (banyak yang bilang) haram itu.

Mari kita berkumpul!
dan beberapa orang asik memamerkan ke-riya’-an mereka masing-masing. Dan lingkaran mereka saling timpal menimpali dengan ke-riyaan juga.
Tak lupa agar riya itu semakin halal, bawalah nama Tuhan seperti “Alhamdulillah hari ini aneh dapat LALALALLALALA loh”,
“Oh iya? Ih si X juga dapet loh LALALLALALA”
Begitu terus…
Ya memang subhanallah keren sih, dan mungkin saya mual karena iri dan dengki tidak seperti mereka.
Tapi, ada sebuah titik dimana saya merasa bahwa setiap orang memiliki medan perang yang berbeda. Ambil contoh dalam bidang akademik, beberapa orang  yang biasanya dari natural science dan kerja lab akan memamerkan publikasi mereka yang setahun yaaaa ada belasan lah. Wow keren!
Ya keren! Tapi tidak semua bidang tidak bisa menelurkan jurnal sebanyak itu dalam satu tahun.
Pertanian misalnya, mau penelitian jagung saja harus at least nunggu 3 bulan! Itu pun kalau tidak ada hama… tidak ada yang maling… cuaca mendukung….
Belum lagi kalau softwarenya yang loadingnya lama. Tanyakan pada, misalnya, para pejuang ArcGIS…. vektor petanya sudah muncul saja sudah sujud syukur. Eh ada pixel yang gak muncul-muncul, reload lagi deh!
Ilmu sosial juga tidak kalah heboh, apalagi yang membutuhkan data primer. Kliring data saja kalau bisa satu bulan sudah mahasakti, dan sudah dipastikan yang melakukan itu sudah over dosis Pr*mag.
Ingat juga, untuk beberapa keilmuan, mereka adalah single fighter… mereka yang desain penelitian, yang ngumpulin data, yang bikin simulasi, yang ngetik data. Setidaknya itu yang saya ketahui  di bidang ekonomi dan sosial. Tidak ada kisah 10 orang dalam tim, lalu bikin paper bareng 10 yang cuman ganti-ganti urutan penulis -.- no way!

Ya jadi keren sih harus ya…. tapi kan menjadi toleran pun penting bukan?

“Eh, tau gak… si X kan kayaknya depresi loh. Ih gak pernah ngumpul sih jadi kita gak tau kenapa dia depresi ya”
“Ih iya, di tempat gw sampe ada yang bunuh diri segala. Karena gak ada publikasi, eh kita aja udah 500 publikasi ya tahun ini aaahhaah, masih ada 50.000 lagi belum publish”
“Eh kita harus deketin si A, dia kan posisinya bagus”

Errrrrrrr……………………………………………………………………………….

dan lalu ada pertanyaan “Kok makin banyak orang yang depresi ya?”
“Kok makin banyak orang yang gak toleran ya?”
“Kok makin banyak yang gak sopan ya?”

Satu yang kita semua gak pernah tanya “Kok kita gak pernah ngaca ya?”

Loh, ngaca? Kan udah merasa yang paling hebat dan terbaik! Jadi buat apa dong ngaca.

===================================================================================

Baiklah, mari kita berkunjung ke tempat saya saat ini. TSUKUBA!
Di sini saya merasakan puncak kebahagiaan saya selama di Jepang.
Ingin tahu alasannya?

Saya punya seorang Sensei yang sangat baik. Yang rasanya kalau boleh minta ke Allah untuk boyong manusia ke surga, mungkin Beliau akan masuk list.
Beliau yang sudah melompat dari satu negara ke negara lain yang membutuhkan ilmunya, Beliau yang tidak ambil gajinya dari kampus dan membiarkan uang itu untuk lab kecil kami dan membuat kami tidak perlu bayar jika ada lab party.
Beliau yang memayungi saya yang kroco ini ketika hujan dan inget kalau saya gampang flu.
Beliau yang sibuk menanyakan kabar Mama saya yang sakit.
Beliau yang kerapkali mengajarkan saya dari basic sampai coding yang saya betul-betul tidak paham.
Beliau yang publikasinya mungkin lebih banyak daripada ucapan dzikir saya ke Allah selama ini tapi tidak pernah banyak koar-koar.
Beliau yang hanya senyum dan bilang “So, what? There is always a first time for everything” ketika saya bilang “I never do this! I don’t think I can make it”
Beliau yang cerita kalau Beliau pun pernah nangis di depan Sensei Beliau sebelumnya karena merasa gak bisa.

Saya bertemu banyak peneliti lain, yang bahkan baru akhir-akhir ini saya ketahui kalau mereka semua masuk ke kementerian lingkungan hidup Jepang, semua orang langsung tunduk sama mereka.
Mereka! Mereka yang sibuk nyodorin tissue ketika saya terisak ketika melihat seekor kucing tertabrak mobil di sana. “Udah dong, Marissa-san, kok jadi sedih sih liat kamu nangis gitu. Udah ya, kita makan sushi nanti”

Mereka yang mengajarkan saya untuk belajar benar-benar dari nol, untuk berhenti membandingkan diri saya dengan orang lain, untuk menjadi orang yang lebih berani bertanya, meminta bantuan, menerima diri sendiri, dan yang terpenting rela membantu orang lain.

Saya berkembang, dengan ritme saya sendiri.
Jiwa saya berbunga, seperti layiknya dia seharusnya berbunga.
Saya kembali menjadi ilmuwan yang tentu masih newbie, yang terus bertanya, yang penuh rasa ingin tahu, yang perlahan mendapatkan jawaban dari setiap permasalahan yang muncul. Saya bangga pada penelitian saya, karena saya tahu seluruhnya dari embrio hingga dia perlahan tumbuh. Saya paham kegagalan-kegagalan saya, dan menjalin untuk keberhasilan-keberhasilan baru.
Saya pun kembali pada seni…
kembali bermusik…
kembali melukis…
kembali memasak…

Saya sadar, saya rupanya lebih bahagia saat ini.
Saya bahagia, melihat kebaikan-kebaikan yang tulus.
Dan kebaikan yang tulus bisa datang dari mana saja.

==============================================
Eh tapi tulisan ini bukan menyuruh kalian untuk kuper ya. Saya mungkin salah satu contoh “big failure” dalam membina network dan memperluas jaring pertemanan. Kalau mau jadi pejabat sih, kurang oke ya meniru “idealisme” saya. Saya mungkin terlalu baper dalam memilih-milih orang yang masuk dalam lingkarang pergaulan saya.

Hanya saja, bagi saya….saya yang muak dengan hal-hal “fake” yang fana dan jujur ngabisin waktu, saya lebih senang berkumpul dengan orang-orang yang jelas lebih menghargai saya dan lebih membuat saya nyaman. Saya menemukan mereka….
Saya punya keluarga yang luar biasa,
sahabat yang yaaaaah mini-size tapi lebih dari cukup,
dan kini guru dan teman-teman baru yang saya rasa menyayangi saya.

Dan saya menyayangi mereka.
Saya tahu Allah akan menyayangi mereka pula. Jaga mereka baik-baik ya Allah, buat semuanya berumur panjang, lebih dari para dinosaurus. Karena planet ini akan terbakar lebih cepat daripada karena efek rumah kaca tanpa kehadiran mereka.

In the middle of the road, Allah yang memberikan saya jalan terbaik untuk dilalui.

 

Magnet Kulkas dan Sekelumit Kisah mengenang Prof. Rina Oktaviani


Image and video hosting by TinyPic

Ini bukan hanya cerita tentang magnet kulkas, ada cerita…alasan… dan kenangan di balik ini semua. Ada kenangan yang mengingatkan saya pada salah seorang dosen saya: Ibu Rina Oktaviani

Satu kali pernah saya berkesempatan mengunjungi rumah Beliau. Saya yang memang dulu masih alay dan norak hanya bisa takjub dengan koleksi pernak pernik Beliau dari berbagai belahan dunia.
“Hehehe…Lucu ya, Mon?” Kata Beliau kemudian memecah ketakjuban saya dengan tawanya yang khas dan saya yakini membuat rindu siapapun yang pernah mengenal Beliau.
“Wah! Iya, Bu… kapan ya saya punya hahhahaha. Magnet kulkas lah ya at least. Magnet kulkas di rumah saya itu bonus Chiki coba, Bu hahahhaa”.
“Oh come on, mon! Jangan putus asa gitu lah. There’ll be your time. Waktu kamu masih panjang and the world will someday demand your skill and knowledge. There’ll be your time to start your own adventure. Dan kamu harus bisa melalui itu.Percaya deh!” Saya dulu hanya bisa tersenyum simpul dan berpikir
“Duh masa iya sih” tapi kata-kata Beliau membekas. Hingga saat ini.

Beberapa tahun kemudian, yes! I started my adventure. Saya yang biasanya malas belanja jadi girang membeli pernak-pernik kecil untuk mengingatkan saya pernah kemana saya sejauh ini. Yang paling gampang dikumpulkan ya si magnet. Tidak bermaksud koleksi, hanya untuk senyum-senyum sendiri mengingat apa yang pernah Beliau katakan pada saya. Selalu terpikir kelak berbagi cerita kepada Beliau. Mungkin sedikit pamer sambil ketawa kecil “Akhirnya saya beneran liat luar negeri loh, Bu.”

Belum sempat petualangan ini selesai,
belum sempat cerita-cerita itu terucap…Beliau berpulang.
Sedih? Jelas! Namun mengetahui Allah sudah terlanjur begitu cinta pada Beliau…. saya toh bisa bisa apa? Kelak, saya akan bagi kata-kata Beliau tersebut kepada anak-anak lugu yang nyaris putus harapan melihat dunia, yang nyaris hilang percaya diri untuk stand-out di bidang mereka. Lalu biar mereka tahu bahwa ini kata-kata dari seseorang yang hebat: Ibu Rina.
Ya… karena orang sehebat Beliau layik selalu hidup dalam kenangan setiap orang.
Terima kasih, Ibu 🙂 Bumi boleh kehilangan jasadmu, namun bukan pemikiranmu. Lagipula semua toh akan berpulang bukan? Saat kita jumpa, semoga bisa berkelakar mengenai sudah seberapa tangguh kita menghadapi dunia.

Terima kasih.

Mahasiswa ikut demo? Salahkan?: Mengkritisi kematangan emosional dan Politik “Kidz zaman now”


Entah mengapa sedang muncul kisruh baru di dunia persilatan mahasiswa. Adik saya geram sekali karena dia dinilai sebagai mahasiswa apatis yang setelah kuliah langsung pulang dan hanya ikut satu kepanitiaan. Kalian tidak tahu kan, adik saya cepat-cepat pulang karena harus merawat Mama kami yang baru saja menjalani operasi bedah kecil karena luka yang tidak kunjung sembuh terkait penyakit diabetes Beliau. Sama seperti adik saya, saya juga gak terlalu gila dengan organisasi… walau dulu pernah masuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), kalau saatnya pulang yaaaa saya pulang. Demo? Aduh gak deh. Bagi orang-orang seperti saya… demo itu hukumnya “makruh”, yo wis lah kalau mau pada demo, tapi gw sih ogah.

Saya tidak pernah bermasalah dengan anak-anak yang demo, itu keren juga loh semangat muda yang berkobar-kobar. Dan memang, sesekali pemerintah memang harus didemo, disentil dan diingatkan. Lagian era demokrasi loh.

Yang membuat saya kecewa…. sebagai seorang “kakak”, bukan hanya bagi adik kandung saya tapi juga bagi mahasiswa-mahasiswa zaman now, kok kesannya malah mahasiswa yang “aktivis” dan “apatis” ini jadi dua kutub yang betul-betul bersebrangan dan saling tunjuk hidung dan merasa “Gue loh yang paling bener, lo…lo…lo…salah”. Zaman saya sih, saya berteman baik dengan anak-anak yang semangat berdemonstrasi, dan yang demo pun gak pernah tuh semena-mena “Lo itu, Mon… super apatis. Lo gak peduli sama masyarakat”. Kami mengkritik kajian-kajian BEM yang menurut kami ngawur, dan BEM juga nerimo-nerimo aja sebagai masukan. Lha! beda kan biasa~ justru perbedaan pola pikir memperluas perspektif kita.

Baru-baru ini ada kasus yang melibatkan kampus saya dan mungkin beberapa kampus lainnya. Ada kisah tentang beberapa mahasiswa yang ditangkap polisi karena berdemonstrasi menuntut kebijakan Jokowi-JK yang rasa-rasanya belum berjalan baik menurut mereka. Singkatnya, ada dua kubu: Kubu pro demo, dan kubu anti demo. Yang Pro-demo ini menuntut teman-temannya segera dibebaskan “ini orba model baru, krisis demokrasi”. Yang anti-demo jadi merasa bodo amat karena merasa “Ya rasain aja, salah sendiri lo gak ikut aturan main… harusnya bubar jam 6 sore, kok jam 11 malem masih stay. Mamam tuh di kantor polisi”.

Dan namanya juga “kidz zaman now” yang menurut saya kematangan emosional, sosial, dan politiknya masih belum stabil, yaaaaa…. gontok-gontokan aja di social media.

Well, mumpung masih jadi mahasiswa S1… masih ada banyak kesempatan untuk melakukan kesalahan dan juga belajar memperbaiki itu. Lalu, dengan cara itulah kalian akan menjadi lebih dewasa.

Kepada para mahasiswa yang demo (atau mendukung yang demo)
Mulai dari para demonstran yang semangat-semangat ini ya. Yang energi mudanya luar biasa.
Adik saya men-share sebuah pernyataan unofficial yang mewakili teriakan kubu pembela demo. Untuk menghormati adik ini, saya blur yaaaa namanya 🙂 kalau kamu tahu siapa, biar hanya aku dan kamu yang sama-sama tahu (apa sih… hahahahaha).

Oh iya… disclaimer dulu. Saya mah udah ‘senior’ dibilang mahasiswa apatis yang know nothing. Yah atuh saya mah apa lah dibanding mahasiswa aktipis mah… hanya mahasiswa uzur yang lagi penelitian dan kuliah di luar negeri aja. Tau apa, tentang gini-ginian mah lah~ pret. Hahahhaa… jadi saya kebal loh kalau kalian gak setuju sama saya. Tapi saya ini seorang kakak, dan saya merasa I need to criticize this one.

Bacanya pelan-pelan lah ya, biar puas hahahahaha 😀 eh pembaca yang lain juga boleh komen loh, tapi inget yang sopan dan kalau bisa penuh humor lah. Kalau penuh hujatan, saya bisa detect IP address kalian loh ya 😉

Image and video hosting by TinyPic

Kok rada-rada politik ya, eh emang mahasiswa teh boleh ya popolitikan kieu? Beneran gak tau, soalnya kalau di Jepang sini, kampus adalah kawasan steril yang bener-bener bersih dari bau-bau politik. Selebarannya pilkada aja gak boleh terbang ke kampus. Kalau sampai ada, wah bisa heboh seantero kampus. Tapi kan saya mah apa atuh, pas kuliah S1 saya juga biasa-biasa aja, gak wow…

Dan hey! mari kita ikuti logika berpikir Sang Penulis yang luar biasa sangat berbakat ini.
Jadi masa baju kotak-kotak salah ya dengan melebihi batas demo? Banget dong!
Nah, okey… mereka salah. Jadi kalau mahasiswa melebihi batas waktu demo juga boleh dong, wong sudah ada “suri tauladan”nya. Bukan perkara hal salah atau benar…. tapi perkara sudah ada yang melakukan itu sebelumnya atau belum?

Nak! kalian itu… sorry… mahasiswa? Mahasiswa itu kaum intelektual loh, dan sebagai seorang intelektual bukankah kalian seharusnya sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah? Jika kalian paham bahwa melewati batas waktu demonstrasi itu SALAH, no matter how much success stories bahwa ada yang berhasil dengan aman lewat masa demonstrasi adalah tetap SALAH. Iya gak sih? Atau logika matematis seperti itu harus diajarkan secara lebih serius di bangku SMA supaya metode penarikan keputusan kalian logis.

Dengan demikian, walaupun saya bisa memahami kalian berusaha kritis dan membela beberapa kepentingan negeri. Namun, maaf… masyarakat mana yang kalian wakili? Karena saya kok malah kecewa dan merasa tidak terwakili? Dan teman-teman kalian juga ada banyaaaaak sekali yang bahkan jadi berkurang respectnya dengan kalian. Kalian tahu, siapa lagi yang merasa tidak terwakili oleh kalian? Keluarga dari para polisi yang tugas jaga ketika demonstrasi kalian.

Saya mencoba seobjektif mungkin dan semanusiawi mungkin. Mengapa polisi cenderung lebih anarkis saat ini dibandingkan ketika kasus ahok misalnya? Karena mereka lelah… lapar… dan probably ngantuk. Ketika kasus ahok, walau massanya lebih masif tapi tempatnya terbagi dua bukan? Jakarta dan Depok? It means yang jaga pun terbagi, ada yang di Jakarta dan kemudian di Depok. Ketika massa bergerak ke Depok, yaaah mayan lah yang di Jakarta bisa makan dulu… meanwhile di Depok udah siap-siap dengan makan makanan bergizi dan stretching.
kasus kalian beda dek, waktu bapak-bapak polisi ini istirahat lebih terbatas. Mereka harusnya sudah bisa sedikit melemaskan otot setelah jam 6 sore. Lha, kalian lanjut sampai jam 11 malam. Berisik, capek, pegel, ngantuk, lapar… belum lagi mereka yang di garis depan itu polisi-polisi bergaji rendah loh, Dek… ya ngaaaaamuuuuuk. Itu sih sabar, kalau saya polisinya udah dari jam 7 malem kali saya jadi “liar” hahahhaa.

Saya menyayangkan kalian… mahasiswa cerdas, yang antusias memperjuangkan hal-hal makro, melupakan hal mikro bernama “berpikir dan bersikap manusiawi”. Saya akui aparat salah… iya! Itu parah sih. Tapi saya paham…mereka lelah, Dek. Jika yang jaga itu adalah ayah saya, saya akan marah sekali… marah sekali dengan kalian mahasiswa-mahasiswa yang “menahan” ayah kami begitu lama. Kalian mungkin gak paham ya, tapi sebagai seseorang yang sudah tidak memiliki ayah… saya pikir kita waktu seorang anak dengan ayahnya itu begitu berharga. Happy merebut waktu itu dari anak-anak yang menunggu bapaknya pulang?

Lanjooooot!

Image and video hosting by TinyPic

Saya sebenarnya setuju dengan paparan di paragraf selanjutnya. Mengenai keresahan mengenai ketimpangan dsb. INI KEREN! Saya tulus mengakui ini, dan itu pula yang membuat saya bilang “I have no problem sih kalau ada yang memilib berdemo”. Tapi, pemerintah itu orang-orang yang sibuk, including Pak Jokowi yang pada esensinya kalian demo…. sebelum koar-koar, bikin lah kajian yang jelas dengan data scientific dan permodelan yang jelas. Jangan demo dulu… cari kawan “apatis”
kalian yang jago nulis, buat karya tulis misalnya, sampaikan di conference, dengar masukan expert di bidang itu, dan kalau lebih hoki lagi siapa tahu kan dapat hadiah dari lomba karya tulis. Sebagai ekonom lingkungan, saya juga menentang reklamasi misalnya. Lebih ektrim dibandingkan kalian, saya juga tidak setuju dengan pembangunan pabrik semen di Kendeng, saya juga tidak setuju dengan perluasan lahan kelapa sawit. Tapi lawan kita ini juga orang-orang yang pintar! mungkin juga licin… maka kita harus lebih cerdik. Itulah alasan mengapa saya memutuskan terus belajar. Somehow, walau saya tahu kalian akan berpendapat bahwa jalan perjuangan kita yang beda, kita harus lebih pintar dibandingkan “lawan-lawan” kita itu. And have you, guys? Not yet? Then go back to the school… Seriously!

Lalu, saat kalian memiliki kajian yang kuat, kalian bisa deh datang dengan PD kepada para pemegang kebijakan. Datang baik-baik ke Ibu Sri Mulyani kek, atau ke Ibu Susi kek. Diskusi “Bu, jadi berdasarkan hasil penelitian kami dengan data time series tahun xxxx hingga xxxx, kita bisa lihat nih masalah kita A, B,C, D, etc”. Nah! Pertanyaannya, sudah berani belum jika intelejensi dan mental akademis kalian diadu dengan para ahli di pemerintahan? Saya sih gak, saya kan bodoh hahhahahaa… makanya sampai sekarang masih sekolah, itupun masih banyak salahnya. Entahlah jika ilmu kalian sudah sampai ke level itu. Kalau level kalian kira-kira masih cuman bisa complain dosen pembimbing kalian killer hingga kalia gak lulus-lulus dan penuh revisi, terus curhat di socmed…. yang perlu direformasi terlebih dahulu mungkin mental kalian.

Jika langkah-langkah tersebut sudah dijalani, DAAAAAN mentok…. hayu lah, saya dukung demo sampai kapanpun. Karena dibandingkan demonstrasi, saya merasa metode pendekatan lewat kajian, terutama untuk para akademisi (btw inget2 loh, mahasiswa itu masuk CIVITAS ACADEMICA), lebih efektif dibandingkan demonstrasi berjam-jam. Kalian juga bisa bertemu para “kunci” pemegang kebijakan. Sekarang aja kalian idealis gila-gila, tapi sebagai yang juga pernah bekerja di pemerintahan, internal pemerintahan itu juga stressful, banyak permasalahan yang menumpuk dan perlu diselesaikan satu per satu. Saya yakin, kita nyoba jadi tukang fotokopinya kementerian aja belum tentu sanggup, karena pekerjaannya sangat sulit dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan.

Saya kemudian mengkonfirmasi dan melihat media sosial BEM univ-univ terkait yang mengklaim mereka tidak bubar karena Pak Jokowi batal menemui mereka padahal dari yang mereka dapatkan “Pak Jokowi akan dapat menemui massa”
Rupanya……….. Bapaknya ada di NTB :p
Kecawi lah para pendemo.

Paham juga sih kenapa yang demo kecewa, tapi… ya mau bagaimana, toh Pak Jokowinya ke NTB juga melakukan hal yang (I am so sorry to say this, Dek) lebih berguna daripada mendengarkan massa demonstrasi. Karena, bagi saya yang mengamati dari luar, mana kajian ilmiah yang kalian gadang-gadang merupakan alasan kalian berdemonstrasi? Jangankan Pak Jokowi, kami saja menunggu loh. Kalau memang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan, gak usah panas-panasan juga dibantuin deh menemui pihak-pihak terkait. Ya, ini sih malah opportunity cost pada akhirnya… pergi ke NTB mengurus masalah perizinan tanah lebih jelas outputnya. Kalau Beliau tidak menyelesaikan ini juga kalian marah bukan?

Well… topik demonya pun menjadi blunder, ini beneran membela rakyat?
Image and video hosting by TinyPic

Jadi ini teh demo masalah ketimpangan? Atau UU Ormas? Wow…wow…wow… mind blowing wooooow….
Pantesan Pak Jokowinya memilih ke NTB, Dek.

kalian teh paham gak fasis itu apa? Nih, lah saya kasih. Karena saya yakin kalian lebih fresh dan lebih cerdas daripada saya yang sudah aging dan bodoh ini, saya asumsikan level bahasa Inggris kalian lebih baik dari saya… ini loh ya definisinya:

fascism

noun

1.(sometimes initial capital letter) a governmental system led by a dictator having complete power, forcibly suppressing opposition and criticism, regimenting all industry, commerce, etc., and emphasizing an aggressive nationalism and often racism.

2.(sometimes initial capital letter) the philosophy, principles, or methods of fascism.

3.(initial capital letter) a political movement that employs the principles and methods of fascism, especially the one established by Mussolini in Italy 1922–43.
Saya pikir presiden kita jauh lah ya dari “Fasism”. Fasisme itu kata yang serius loh, kalau kalian ngomong ini di Jerman mungkin bisa digelepak sandal sama orang sana.

Fasis itu bukan hanya otoriter tapi menguasai seluruh sektor dan cenderung rasis. Kayaknya saya merasa tidak ada rasisme di Indonesia (yaaaa belum tahu kalau sudah ganti). Saya juga merasa kalau gak ada halangan untuk seluruh lapisan berkarya. Ketika kebebasan berinteraksi dan berekspresi itu masih ada maka itu bukan FASIS. Otoriter saja rasanya belum sampai.

Bukan saya ini pembela Jokowi, tapi bagi saya jika ingin berjuang… ingin berperang… maka elegan dan cerdas lah, apalagi membawa bendera AKADEMISI sebagai mahasiswa.
Sebagai bagian dari civitas academica, jujur saya malu dan menyayangkan ketika hal seperti ini terjadi pada mahasiswa. Dan maafkan saya… ketika saya kecewa melihat argumen-argumen pembelaan yang menurut saya lebih berbau politis daripada akademis.

Dan UU Ormas… what happened with UU ormas? Saya sampai baca loh itu si Perpu Ormas. Yang belum baca silakan deh baca di sini
Saya kan bodoh politik ya, jadi saya nanya deh, yang salah apa? Ya wajar lah, pemerintah tidak mau ormas membuat keributan dsb. Yang salah itu apaaaaaa? Ohhhhh, kalian bagian dari ormas yang kemarin dibubarkan? Ya kalau gitu jangan pakai panji-panji mahasiswa lah, silakan gunakan embel-embel ormas.

Ya udah blak-blak-an saja, saya akui masalah pembubaran HTI itu agak blunder sih, kalau mau dibubarkan kenapa gak dari dulu. Iya kaaaan? Lha… pemerintah baru menyadari pelanggaran yang dilakukan sekarang, yo wis… dibubarkan. Tidak setuju? Ya pasti ada pro dan kontra. Tapi saya sih termasuk yang setuju-setuju saja jika ormas ini dibubarkan, karena saya sudah terlalu kecewa dan marah melihat video ikrar mahasiswa untuk mendirikan negara khilafah. KE-CE-WA! Dan sempat kampus saya dahulu, citranya sedikit terganggu karena diusung-usung sentra ormas-ormas HTI. Sudah berusaha memperbaiki citra dan perlahan membaik, eeeeeh…. muncul kasus mahasiswa yang tertangkap. Jackpot!

Jika kalian mau berdebat masalah ini, saya malas lah… tapi jika dibutuhkan saya akan wawancara EKSKLUSIF ke Mas-Mas dari timur tengah mengenai konstelasi di Timur tengah dan apa kaitannya dengan ormas seperti HT? Apa pandangan mereka? Selain itu, Masnya ganteng-ganteng juga jadi bisa sekalian modus, siapa tau jodoh. Lagipula tidak semua ormas dibubarkan, bukan? Kayaknya yang adem-adem mah gak dibubarkan tuh.

Jangan sampai kalian teriak-teriak, terus eeeeh rupanya pas ditanya Fasis apa gak tau… ditanya Perpu isinya apa,eh belum baca juga. Jangan ngaku mahasiswa lah klo gitu.

Untuk Para Anti-demo

Saya gak kasih skrinsut komen-komen netijen lah ya…. alasannya karena ada beberapa yang terlalu… terlalu… wah pokoknya terlalu bukan mahasiswa lah. Yang baik dan cuman humor aja sih ada banyak juga. Tapi, yang too much juga banyak, dan capek menyensor plus malu sendiri karena jadi mikir “Damn! Ini beneran mahasiswa yang ngomong?”

Ya sudahlah yaaaa…. Di Quran untuk masalah agama saja tidak boleh ikut campur, padahal itu masalah yang paling mendasar dan krusial. Apalagi masalah demo! Mengutip pernyataan di atas “Semua orang punya jalan perjuangan masing-masing”

Ya sudah, biarkan saja. Kalau kemudian berakhir adu mulut… yang tinggalkan. Sesungguhnya hapalan rumus kalkulus lebih membutuhkan perhatian khusus dan spesial daripada debat kusir. Menkritisi aktifis dan pendemo, menurut kakak sih…. Seperti mempermasalahkan “keimanan”. Sekuat apapun argumen kita, ya sudah “iman” kok, ndak bisa ditawar-tawar.

Namun, alangkah eloknya jika semuanya bisa tetap saling berteman 🙂 ya beda pendapat kan biasa. Tapi semoga kalian bisa tetap menyebut orang yang berbeda pendapat dengan kalian sebagai “Oh! Mereka teman saya. Yaaaa beda mahzab sih, tapi temen kok” karena kelak kalian akan saling membutuhkan.
Semoga tidak perlu ada lagi hujan hujatan di media sosial… karena lagi-lagi, kalian adalah bagian dari dunia akademisi. Harapan negeri itu di tangan kita semua loh.

Kalau cuman nulis di socmed sih, yaaaah…. ya gak guna juga sih HAHHAHAHA. Iya gak sih?
Sebenarnya teman-teman yang demo itu ada kerennya juga, awareness mereka terhadap isu itu bagus. Kita-kita yang gampang encok untuk turun ke jalan, harapannya bisa menyampaikan aspirasi kita dengan cara lain yang lebih persuasif dan akademis.
yang suka ngegitar… angkat gitar kalian!
yang suka futsal… berfutsal lah sampai ke lapangan tingkat nasional!
yang suka belajar… hayuk lah, masa’ kementerian bikin lomba… mau gelontoring uang berjuta-juta bayar ide kalian, kok ya gak ada yang minat?
Ayo semuanya sibuklah dan berjuang dengan cara masing-masing.

Saya juga menyayaaaangkan sekali karena diantara kalian yang anti-demo, kata-kata yang kalian lempar juga malah kayak lempar bensin ke lokasi kebakaran di pabrik petasan. BOOOOOOM! DHUAAAAAR DHUAAAAAR! BOOOOOM!

In the end….
Di era saya, permasalahan yang saya hadapi adalah antara politisi dan akademisi seringkali sulit akur masalah penentuan kebijakan. Kadang suka diam-diam berdoa, “semoga generasi setelah gue gak usah kayak gini lah, akur-akur aja….”

Melihat kenyataan seperti ini, kok kayaknya saya meragukan kapasitas kalian untuk mewujudkan kerja sama yang baik antara akademisi dan politisi. Kayaknya malah makin jauh.

Dari negeri jauh, saya selalu promosi “Iya loh, orang Indonesia itu toleran abis lah pokoknya. Makanya dateng dong!”
rupanya? Masalah baju kotak-kotak atau tidak saja bisa mengkotak-kotakan negeri.

Terima kasih telah membuat saya kecewa (and I know you don’t care about it, karena kalian juga gak kenal sama saya kan).
Namun, kalian masih muda… masih punya banyak waktu untuk berbuat kesalahan dan memperbaikinya, dan saya masih punya harapan yang masih tinggi dan luas untuk melihat kalian semakin dewasa dan semakin baik.

Lampaui pencapaian yang telah saya raih, kalian perlu lebih hebat dari saya dan orang-orang di era saya karena masa yang akan kalian tempuh juga akan lebih menantang dibandingkan masa yang kami hadapi. Dan sebagai kakak, saya peduli pada kalian.

Maka saya tantang kalian untuk mewujudkan impian-impian baik negeri ini….
Saya tantang kalian untuk menjadi orang-orang berkualitas yang dikenal di planet bumi ini, yang ketika ditanya bisa dengan bangga bilang “Saya orang Indonesia loh”…. yaaa boleh lah narsis dan bawa pesan sponsor sedikit “Eh, dulu saya mahasiswa univ. xxxxx loh.”

Saya menantang kalian, karena begitu lah cara saya peduli kepada kalian.
Semoga kalian berbaik hati untuk tidak mengecewakan saya sekali lagi.

Semoga….

Meratapi Literasi Indonesia: Karena Rakyat Indonesia berhak Mendapat Buku-Buku yang Lebih Baik


Pernah suatu hari saya geram dengan orang-orang Indonesia yang tidak gemar membaca, apalagi dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bukannya apa-apa, Karena adik saya pun pernah seperti itu. Itu terlalu aneh Karena setahu saya sewaktu masih bocah dia cukup suka membaca dan rasanya semua orang di keluarga saya memang suka baca. Lha kok ini males banget. Untung kami belum sampai pada mufakat untuk melakukan tes DNA untuk memastikan bahwa adik saya ini tidak tertukar di rumah sakit.

Adik saya itu biasanya kalau jalan-jalan pasti berkunjung ke gram***a yang notabenenya toko buku paling kawakan di  tanah air. Sekarang? Nope
“Ki, ke gram** yuk cari buku”
“Aduuuh… gak deh kak. Bobok aja deh di rumah”
Ini kan serius, kalau anak yang suka baca saja tiba-tiba malas ke toko buku, pasti ada yang salah.

Saya pun iseng-iseng melakukan riset kecil. Ini pasti ada yang salah… pasti ada yang salah…. entah itu apa.
Saya berkali-kali mendapat isu dari sahabat dan teman saya yang suka berburu buku.
“Iya, Mon… jadi secara kuantitas sih bertambah, tapi kualitas… aduuuuh, jauh menurun”
“Aduh, Mon… lo pasti sedih lah liat buku di sini sekarang. Kurang beragam”

Saya tentu percaya teman-teman saya itu, they are limited edition in this planet dan sejauh yang saya tahu opini mereka selalu objektif dan kritis. Tapi kan penasaran dong jika kita belum liat sendiri. Saya pun memutuskan, saat kunjungan super singkat saya ke tanah air (yang pada akhirnya hanya bikin sakit punggung walau I am super duper happy to meet my family and my cats) saya bertekad untuk ke TOKO BUKU.

Sudah habis dilahap polusi dan panas matahari, kepala saya langsung pusing karena lapar karena sesampainya di toko buku saya paham kenapa orang seperti adik saya saja bisa jadi malas bertandang ke toko buku. Wanna see the reason?
“BUKUNYA TIDAK BERAGAM” and sorry to say (dan maaf jika ini menampar para penulis di tanah air) “KUALITASNYA Pfffffffftttttt…..”

Indonesia! Seriously! Are you lose your mind or what?

Mau lihat… okay! no pic= HOAX, so check this out.

Penulisnya beda-beda tapi semuanya selalu diawali “Love in…”
Image and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic
Saya pikir ini diawali Mbak Illana Tan sih (eh bener gak sih, gak pernah baca soalnya)
kayaknya semuanya hanya latah ikut-ikutan, dan metode penulisannya? Entahlah mungkin gelar peta lalu lempar panah “Aha! Dapet Stockholm” lalu ditulislah “Love in Stockholm”,
Tertancap di Ottawa, tulis saja love in Ottawa
dst…
Masalah apakah alur cerita dan latar masuk akal atau tidak, oh itu belakangan… toh sekarang lagi trend pembaca-pembaca remaja dibodohi dengan angan-angan romansa walaupun itu tolol sekalipun!!!!
Pernah sahabat saya mengkritik “Ya ampun, Mon… ada loh yang nulis ‘salju menumpuk di Tokyo'” buat para pembaca blog ini, saya kasih tau ya… it is rare salju menumpuk di Tokyo. Seringnya, turun salju pun langsung cair. Mungkin kalau di utara Jepang oke lah ya.

Tapi itu sih belum seberapa, mari positif thinking, mungkin penulisnya datang ke Tokyo ketika badai salju. Who knows! Jakarta dan Bandung aja bisa hujan es kok.
Ada juga loh yang bisa-bisanya menulis, ini latarnya di Eropa utara ya… “Matahari bersinar terang dan menghangati Januari di hari itu”
Ketika membaca frase itu, saya sempat berpikir itu novel science fiction dan kejadiannya ketika global warming sudah melelehkan kutub utara. Kawan… Januari itu: MUSIM DINGIN, dan please kalau kalian ambil latar utara bumi apalagi di kawasan Eropa Utara, jangankan hangat…. matahari aja bersinarnya cuman beberapa jam.

Kalian paham “ketololan” yang terjadi? (Maaf saya terlalu kasar kali ini).  Bahkan saya bisa pastikan bahwa penulisnya, minim membaca. Mungkin terlalu sibuk dengan social media.

Saya berpikir, hmmm… okay fail with young adult mungkin mereka punya alternatif hiburan yang lain. Saya merangsek ke rak entertaiment.

Dan… tebak yang saya temukan:
Image and video hosting by TinyPic

Oh God! Damn it! What’s the point kalian khatam masalah k-pop? APAAAAAAA?
Ya ampun gila apa ya.

Saya mencoba positive thinking. Wah gimana dengan buku biografi. Mungkin ada tokoh-tokoh inspiratif yang bisa mengobati rasa sakit hati saya dengan buku-buku novel young adult. Saya merayap ke sisi buku biografi dan sejarah, yang saya temukan konspirasi ahok lah, konspirasi jokowi lah… Ya Allah, apa sih kok rasa-rasanya kepala saya penat ya melihat itu semua.

Saya berpikir lagi, saya terlalu emosional mungkin karena kurang dekat dengan Tuhan. Saya lalu mendekati buku untuk Muslim. Dan bahkan kali itu saya langsung ingin melakukan taubatan nasuha kepada Allah SWT karena this one really kill me!
Image and video hosting by TinyPic

Jadi manusia itu sibuk ibadah ke Tuhan hanya untuk masalah romance? Jika ibadah itu hanya mengurusi masalah percintaan antar lawan jenis, udah deh… bareng-bareng masuk neraka lah sekalian. Oh come on! Bisa kan ada buku Harun Yahya tentang science and Quran, Answers for daily life kayak ‘Boleh gak sih kita meluk-meluk anjing?’, ‘gimana sih cara thaharah yang baik dan benar?’, ‘Perihal alkohol pada makanan’, yang pertanyaan-pertanyaan sehari-hari seperti itu kan lebih bermutu dan berkualitas jika diserahkan kepada ahlinya dan dijawab dengan bahasa yang remaja banget, dan dijadiin buku. Saya yakin itu akan membantu sekali untuk banyak orang (nih, gw kasih ide! Biar ada yang bisa bikin buku rada bermutu)

Saya lelah marah-marah, karena saya pecinta buku non-fiksi saya menyeret bada saya ke rak buku-buku non fiksi. Well… cukup menarik. Tapi covernya suram (apa salahnya men-judge book from its cover, cover yang bagus toh salah satu cara memanjakan dan menarik pembaca), topiknya sempit, dan saya yang sudah tua ini saja agak enggan membacanya apalagi anak muda.
Image and video hosting by TinyPic

In short, pilihan buku yang cerdas, mencerahkan, menarik, dan dengan tema beragam itu sangat-sangat TERBATAS.
Dan ini: MENYEDIHKAN.

Indonesia yang tertinggal masalah literasi

Dengan lunglai, Mama saya menyambut dengan rendang andalannya dan bilang “Nah, liat kan sekarang. Bagaimana anak Indonesia bisa pintar jika ‘jendela dunianya’ saja cuman jendela yang ditutup kertas kado warna pink”

Ya! Jendela itu ada, tapi yang terlihat dari dalam hanya pink pucat, bukan dunia yang ada di luar sana. In short: FANA!

Adik saya pulang dari kuliah hanya tertawa, “Kenapa Kak? Sekarang tau kan kenapa Kiki males ke toko buku? Kiki ke perpustakaan di kampus kak sekarang karena buku jaman dulu masih jauh lebih bagus daripada yang muncul akhir-akhir ini”

Adik saya yang kini agak lebih bijak setelah masuk kuliah kemudian mengakatan “Jangan negative thinking kak,  masyarakat kita gak suka baca, mugkin bacaan yang menariknya aja yang terbatas. Orang Indonesia suka kok baca dan belajar hal-hal baru” Dengan teliti saya mendengarkan adik saya yang selalu membaca buku yang saya berikan ke kampus dan dia mengaku antrian panjang untuk ikut membaca buku-buku yang saya hadiahkan pada adik saya cukup panjang.

Miris loh, sewaktu saya masih kecil saya masih dibelikan buku-buku seri ilmu pengetahuan oleh Mama dan Ayah saya. Saya juga membaca dongeng dari seluruh dunia. Ketika saya sudah lebih mahir membaca, buku-buku novel saya naik kasta ke serial-serial misteri dan petualangan. Sebelum saya berangkat ke Jepang, saya masih bangga karena ada novel sekelas Laskar Pelangi yang ceritanya manis dan menyemangati anak-anak Indonesia. Saya percaya pada saat itu litarasi di Indonesia akan naik kelas, dan kualitasnya akan semakin baik.

Nyatanya? Saya bahkan tidak bisa menumukan buku non-fiksi populer di toko buku dengan retail terbesar di tanah air. Tidak ada buku buku seperti “what if” atau “naked statistics” atau jika memang belum ada penulis Indonesia yang cukup sakti membuat buku seperti itu, setidaknya mbok ya terjemahannya.

Ada? Tidak!

Jangan pikir saya ini tidak minder, berteman dengan orang-orang dari negeri lain seperi Jepang dan China saja sudah membuat saya “jiper”. Mereka bertanya mengapa saya tidak membawa buku teks dari Indonesia sedangkan mereka? Rak mereka penuh dengan buku-buku teks asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Saya? Saya haru membeli buku-buku itu dengan uang saya sendiri… mencari di toko buku… dan mau tidak mau harus membeli versi bahasa Inggris.

Kalian pikir saya jago-jago amat, saya bahkan masih mengggunakan google translate dan kamus untuk menerjemahkan beberapa kata dan kalimat, dan itu… itu makan waktu!

Negara lain pada umumnya menerjemahkan beberapa buku teks dan karya literatur penting dan terkenal lainnya (seperti novel dsb) kedalam bahasa mereka. Alasannya? Agak mudah dipelajari dan memperluas perspektif mereka mengenai perkembangan dan sudut pandang di negara lain.

Di banyak seminar ESQ sering terdengar: lihat, tiru, modifikasi…
Apa yang dilihat?
Apa yang mau kita tiru?
Apa yang mau kita modifikasi?
Novel-novel picisan yang hanya menjual mimpi cinderalla story?

Saya ini bukan pembaca buku teenlit atau young adult loh, tapi saya bisa memastikan bahwa buku young adult asing banyak yang ceritanya menarik… bukan hanya masalah cinta kadang juga tentang persahabatan , keluarga, pokoknya lebih beragam.

Karena saya pecinta non-fiksi populer, saya masih mendapatkan buku-buku seperti itu di sini.
Image and video hosting by TinyPic

dan masih ada juga novel-novel klasik yang menurut saya kisahnya penuh makna
Image and video hosting by TinyPic

As a book lover and an avid reader, jelas negara lain lebih menarik bagi saya. Bahkan India saja bukunya lebih beragam dari kita loh! Trust me!

Sebuah Pembodohan

Jika saya begitu jahat, dan punya ambisi untuk menguasai suatu negara, saya akan menggunakan suatu ide brilian: Buat saja seluruh masyarakat di negara tersebut jadi BODOH.
Jadi punya pemikiran sumbu pendek.
Kenapa? Karena dengan itu saya bisa dengan mudah mendoktrin dan membodohi orang-orang di negara tersebut. Yah! diadu domba sedikit juga nanti perang sendiri, mulai dari perang mulut hingga ke perang otot… yang pasti tidak ada perang otak, karena otak mereka sudah kosong melompong!

Karena saya cukup “strategis” dalam berpikir maka saya terlalu gegabah jika membom negara tersebut, bom sekolah… bom perpustakaan…. aduuuh, cemen banget sih. Belum tentu berhasil masih bisa kena gugat PBB pula.

Bagaimana jika, saya susupi dengan trend?
Racuni dengan sinetron dan infotaiment tidak mutu yang hanya membahas artis dan aneka berita tidak mutu lainnya.
Jangan lupa, agar lebih mantap “kebegoan” yang akan tercipta…. di negeri ini artis harus jadi segala-galanya. Ketika ada bom nuklir di Korea Utara, tanyalah artis dangdut.
Ketika ada penemuan teknologi yang baru, jangan lupa wawancara artis sinetron striping (ssst… sinetronnya pun tiru habis drama di luar negeri, kalau ratingnya bagus… diperpanjang hingga 1 juta episode, sssttt ini rahasia kita aja ya, jagan bagi-bagi strategi ini loh).

Okay, sekarang seluruh media dari media cetak hingga online pokoknya harus sibuk memberitakan hal-hal yang gak penting tapi seru, misalnya jambak-jambakan antar dua artis ibukota dan isu nikah siri sampai tayangan langsung artis yang sedang ngeden melahirkan.
Agar lebih “cerdas” jangan lupa #sharedisocialmedia.

Lalu trend tercipta, dunia masyrakat negeri ini menjadi sempit.
Piramida penduduk negeri ini yang didominasi oleh anak muda membuat saya sadar “Well, target utama: Anak muda”
Maka, buat juga buku yang ada (in case masih ada yang mau baca buku) mendoktrin anak muda untuk trapped in the nutshell.

And yeah! Perfect! Makan waktu sih, tapi efeknya dahsyat dan dijamin anti gagal.

Karena masyarakat kemudian diperlihatkan bahwa “cinta” itu hanya sebatas dimabuk kepayang oleh lawan jenis. Maka mereka akan lupa cinta pada sesama, cinta pada orang tua, cinta pada orang yang berbeda keyakinan, cinta pada alam.
Yaaaah… biarkan saja, toh mereka nanti akan gontok-gontokan sendiri ketika ada kawannya yang beda keyakinan atau suku.
Diamkan saja, toh nanti mereka juga akan mati sendiri terkena banjir dan longsor (atau dimakan anakonda lapar) wong mereka yang rusak lingkungannya sendiri kok.

Oiya! Jangan ajarkan hubungan science dan agama, agung-agungkan saja masalah virus merah muda dan keutamaan nikah muda. Semuanya nikah muda, biar si perempuan segera hamil dan punya anak banyak…
Paling nanti sibuk mengurus anak dan akan lupa dengan pendidikan dan karirnya.
Jangan tunjukan jalan ke surga itu beragam… pokoknya jangan!
Ini juga metode yang efektif untuk membuat peperangan antara wanita karir dan Ibu rumah tangga. Padahal mereka punya keutamaan masing-masing ya, eh biarkan saja! Kalau kaum wanita sudah perang dunia, negeri ini makin mudah dikuasai.

Oiya! Karena di negeri ini sudah terlanjur “bodoh”
Sebar juga isu kalau wanita yang masih single hingga after 25 itu bakalan mandul, perawan tua, pokoknya yang jelek-jelek. Selipkan juga isu wanita yang sekolah tinggi dan berkarir itu seringkali tidak mau menurut pada pria.
So, genius women will never get married! Dan kalau wanita-wanita cerdas tidak menikah… maka tidak ada bayi-bayi yang genius pula. Ya ampuuuuuun sempurna!

Karena negeri ini sudah terlanjur “bodoh”, maka katakan juga bahwa kualitas manusia itu bisa dilihat dari fisiknya. Kalau dia gendut, hitam, pokoknya jauh dari standar artis-artis kurus tinggi langsing, itu hina banget deh!
Jangan lupa! Di bully juga… buat mereka tidak pede! Efek paling ringan:trauma dan minim percaya diri, paling berat: BUNUH DIRI.

Dan bukankah itu sempurna?
Semoga misi “pembodohan” di atas tidak terjadi di Indoenesia.

Kawan, saya tidak menjudge jika kalian nikah muda, tidak membaca buku, tidak sekolah tinggi, kalian salah. Oh no! Mana mungkin saya berani melakukan itu.
Namun saya hanya ingin mengatakan we should do more!

Jika kalian ibu-ibu muda, didik anak kalian sebaik mungkin. Carikan buku yang baik, ceritakan cerita-cerita yang berkualitas, angkat impian mereka.
Jika kalian wanita atau pria yang masih single, fokus ke pekerjaan dan pendidikan kalian
Jika kalian pelajar, maka belajar dengan giat dan konfirmasi seluruh informasi yang kalian terima.
Dan lebih dari itu semua: read a good materials.
Jika kalian tahun bahwa tontonan TV tidak bermutu… turn it off!
Bijaklah dalam menggunakan social media dan selalu konfirmasi seluruh berita yang kalian dapat, amati, dan sortir. Kalian ini sudah besar… bisa bedakan mana yang baik dan buruk.
Investasikan tabungan kalian untuk membeli buku yang bagus berdasarkan hobi dan minat kalian. Baca!
Jika kalian tidak suka buku, beli majalah yang “berbobot”… national geographic misalnya jika kalian tertarik dengan alam.
Pelajari! dan Dalami! Lalu sadarlah bahwa dunia ini luas, dan dunia ini membutuhkan kita… manusia dengan kualitas yang lebih baik.

Saya tahu, tulisan-tulisan saya banyak yang “kontroversial” dan banyak juga yang sudah terlalu sebal dengan saya. But really! I criticize for your good. Kita tidak bisa hidup dengan perspektif yang sempit.

Jika membaca buku yang berkualitas saja kita tidak tahan, bagaimana kita bertahan dalam konstelasi global?
Bagaimana? Beri saya jawaban.

Sekali lagi, kita berhak mendapat akses yang lebih baik pada hal-hal yang lebih berkualitas, salah satunya: BUKU dan bahan bacaan lainnya.