Saya dan Puisi: sebuah kilas balik


Image and video hosting by TinyPic
“Lain kali…
Kita main lagi,
Kala matahari lebih tinggi,
Kala hari tak lagi dingin.
Moga saat itu, pilek tidak iseng mendatangi kita lagi.

Jika tidak, mari menepi.
Menikmati secangkir teh atau kopi.
Toh kita sama-sama tidak suka dingin.

Biar nanti kuterka, cerita apa lagi yang nanti kita bagi.”
-Copenhagen, ’18

“Wah, emon kini bisa berpuisi…ini kode tersembunyi apa?”
Weits, Anda belum tahu seorang emon yang sebenarnya. Puisi dan sastra adalah seni pertama yang saya pelajari, lebih dulu dari apapun.
Kali ini tiba-tiba ini kembali gara-gara: 1.) Melihat Mbak Najwa yang narasinya selalu punya ritme. Karena ngefans, jadi tentu obsesi di dalam hati bergejolak. 2.) Melihat foto yang secara “ajaib” bagus dari sebuah suduh di Copenhagen. Butuh waktu mencuci film, dan kemudian menerka-nerka “Ini dimana ya? Ini sedang apa ya? “Eh iya, waktu itu kan….”

Kamera film membuat kita terhanyut pada nostalgia, mendekati kita dengan sisi humanis tersendiri. Dan rupanya membuat kita satu level lebih puitis.

Kita akan kembali ke puisi di atas, tapi sebelumnya mari bicara tentang puisi dan saya sejenak!

Mengapa saya berhenti berpuisi?

Saya ingat betul saya berhenti menulis puisi gara-gara “patah hati”! Bukan sembarang patah hati, ini patah hati dengan Pak Arswendo Atmowiloto.

Bagaimana tidak! Saat masih SD, berulang kali saya menulis puisi untuk Majalah Bobo dan tidak kunjung dimuat! Saya ingat sekali, “komentator” puisi yang dimuat saat itu adalah Pak Arswendo.
Hati ini mangkel juga, mulai ragu dengan kepiawaian Pak Arswendo untuk menilai karya sastra yang mumpuni. Dengan keangkuhan khas anak-anak, hati saya bergumam “Saya ini loh,Pak…. juara lomba baca puisi se-Leuwiliang!”

Hish, jika Leuwiliang bukanlah level yang cukup meyakinkan maka beberapa tahun setelahnya saya naik level! saya jadi juara lomba baca puisi se-Kabupaten Bogor. Saya makin besar kepala, namun puisi tak juga dimuat…. “Sungguh Pak Arswendo ini tidak kompeten dalam menilai sebuah karya sastra!”
Pak Arswendo sungguh tidak tahu menahu bahwa kekecewaan itu lahir karena saya sesungguhnya fans Beliau. Saya yang masih bocah sudah senang membaca novel Beliau karena kakek dan ayah saya sama-sama pecinta karya sastra. “Aduh, Pak… ini fans loh, fans saja tidak dipilih! Apa gerangan?”
Saya baca betul alasan-alasan Beliau memilih puisi yang dimuat, seringkali alasannya sepele “Puisi ini beritme, sulit membuat puisi dengan ritme.”
Loh, Bung! Ini sastra… bukan kontes pantun, apa spesialnya puisi 5 baris dengan ritme seluruh kata terakhir berakhiran huruf “a”.
Sepertinya saya masih ingat puisi yang terpilih itu kira-kira.

“Kucingku sayang
Kuberi pita merah
Diberikan oleh Bunda
Akan selalu aku jaga
Agar kita bisa bermain bersama”
-XXXX–TK-A xxxxxx

hah? Begitu saja?
Aish, hati mana yang tidak kesal ketika kalah berkompetisi dengan si pemilik kucing berpita merah (untuk Mas/Mbak pemiliki kucing berpita merah yang pernah menulis puisi untuk majalah Bobo saat bocah, peace loh :’D tak ada dendam lagi antara kita). Kucing saya bahkan lebih banyak dibanding bocah ini!

Dari diksi saja, saya pikir ini jangan-jangan Bunda-nya yang memilihkan! Anak TK berpikir seperti itu, wah… itu terlalu piawai agaknya. Itulah saudara-saudara, contoh isi hati yang dipenuhi iri dengki :’D

Lalu setelah itu, saya ingat… saya berhenti berpuisi. Patah hati! Sejak dini! Mungkin enggan kembali!

Ya! Pak Arswendo, Anda memang perlu sedikit bertanggung jawab untuk masalah ini :’D

Setelah kisah patah hati di usia dini pada puisi,
Tiba-tiba Indonesia diguncang oleh romansa “Ada Apa Dengan Cinta.” Cinta yang tergila-gila pada Rangga gara-gara puisi. Ah, jangan lupa si buku catatan Rangga yang ditinggalkannya untuk Cinta, yang isinya membuat remaja kala itu “baper.”

(PS: Nah! Asal kalian tahu saja, di usia saya yang sekarang… meninggalkan surat dan catatan sebelum lepas landas itu TIDAK SEROMANTIS ITU. Yang kemudian membaca notes itu kemudian dengan piawai merusak sisi romantis-dramatis dan akhirnya membuka telepon genggam, “Eh… ini masa’ sih? Gak, aku gak setuju sama bagian ini.” Dan ending ala-ala AADC itu sungguh fiksi belaka di era modern seperti sekarang. Jadi ayo… ayo… remaja dan pemuda Indonesia, bangkit, bangkit dari kebaperan! BANGKIIIIT!!!! ALLAHUAKBAR! Inilah jihad kita!)

Saya menjadi korban, dan membeli lalu membaca “Aku” karangan Sjuman Djaya. Bahagia rasanya ketika bacaan remaja saat itu “naik kasta.” Tidak mudah membaca karya sastra… butuh jiwa dan pemikiran yang tenang.

Saya pun jadi pembaca majalah “Horison”, biarlah Bobo menolak karya saya mentah-mentah, namun majalah sastra pasti lebih paham makna seni. Ini saat yang tepat! Biar dunia tahu bahwa remaja puitis bukan hanya Rangga dan Cinta, ada juga Marissa! Iya Marissa… saya ini!

Nah! Rupanya level majalah Horison terlalu tinggi! Saya tahu diri, manut jadi pembaca setia saja.

Tak kalah akal, “Oh mungkin kompas lah ya…. “ Saya ini pembaca setia kompas saat itu. Terutama setiap akhir pekan, ada cerpen untuk anak-anak (ya, saya suka membaca cerpen dan dongeng untuk anak-anak), dan ada juga kolom khusus untuk puisi. Ini! Ini! Ini kesempatan emas! Siapa tahu tulisan saya memang lebih cocok untuk kompas yang, pastinya, mengedepankan kualitas dan akal sehat.

Namun hati saya bukan hanya patah, saat itu remuk redam!
Penulis yang mengisi kolom puisi itu ya orang-orang sekelas Pak KH Mustafa Bisri, Pak Arswendo, dan tokoh-tokoh kawakan yang rasanya levelnya beda sekali dibandingkan rakyat jelata.

Untuk level Kompas, jangankan menulis puisi, atau prosa….menyelesaikan TTS-nya saja tidak mampu! TTS loh! Teka-teki silang!

Saya berakhir menjadi pembaca setia sastra, namun menulis? Ah mungkin bukan lapak saya.
—-

Sisi manis humanis manusia pun perlahan memudar, seiring dengan waktu.
Saya pun begitu
Saya lupa dengan puisi. Bukan hanya puisi, tapi juga musik dan aneka seni murni lainnya.
Rangga tidak lagi terlihat romantis! Tidak masuk logika Cinta perlu menunggu Rangga hingga 7 kali purnama. Apalagi hanya karena ditinggal secarik puisi. Apa hebatnya?
Cinta layik jatuh cinta pada Rangga jika dia berhasil tembus jurnal internasional terindex scopus dengan impact factor 10+!
Nah, monggo mbak Cinta, yang seperti itu boleh lah ditunggu 1 komet halley sekalipun.

Waktu rupanya membuat saya mendewakan seluruh faktor logika, lupa bahwa beberapa faktor yang bersifat humanis kadang membuat kita mengambil jeda sejenak, menghangatkan hati, mendinginkan pikiran.

Saya merasa menjadi orang yang terlalu “dingin”, lalu berpikir…. mungkin harus kembali mengingat yang dulu-dulu sempat dilupakan: Puisi, sastra, musik…

—-
Mengapa kembali?

Ada 2 alasan: 1.) Karena manusia mulai tidak menghargai esensi seni dan sastra. 2.) Karena beberapa memori dan nostalgia rupanya terlalu sayang untuk digambarkan secara “biasa”, butuh bumbu tambahan, butuh aksesori, dan saya yakin perlu ada sentuhan seni disana.

Untuk alasan pertama…. ketika saya ingin kembali menekuni seni, musik, prosa, dan puisi….rupanya dunia sudah kadung berubah!
Puisi dan Musik jadi bahan memaki, jadi ajang mencaci, jadi sarana menghakimi.
Saya tentu marah! “Ini loh! Ini! Ini yang membuat seni jadi haram!”
Kakek saya mengatakan “Sastra ada untuk memperindah bahasa.” saya percaya musik pun demikian. Loh, ini… mengapa ada banyak sekali yang mendiskriditkan seni dengan cara yang tidak elegan! Ini manusia-manusia apakah lupa menamatkan 12 pupuh yang isinya semua mengenai nasihat yang mengajak manusia berpikir secara bijak.
Apa tidak pernah piknik menonton pentas puisi? Atau yaaah wayang kulit atau wayang golek? Atau sendratari? Yang mayoritas filosofinya penuh makna.
Ini sejak kapan terjadi? Apa yang terjadi?
Saya hingga tidak menyadari itu semua.

Oh, ini tidak bisa dibiarkan! Jika ada yang perlu menyelamatkan keluhuran bahasa dan sastra, maka saya harus masuk ke dalam poros itu.
Setidaknya, jika kelak saya menjadi orang tua… rasa-rasanya saya masih ingin membiarkan anak-anak saya untuk menikmati mahakarya, Setidaknya sastra dan puisi.
Tunjukan pada saya, hari ini, anak Indonesia mana yang bisa se-level dengan si pemilik kucing berpita merah yang sudah berani menulis puisi di majalah?

NOL!

Saya memang masih dendam dan jengkel sekali dengan si pemilik kucing berpita merah, namun memori tentang “persaingan kasat mata” kami ini lucu, manis, dan menyenangkan. Diam-diam saya berdoa, semoga generasi setelah saya merasakan pengalaman serupa. Menemukan “pemiliki kucing berpita merah” mereka masing-masing.

Untuk alasan kedua….
Ah, ini tentu lebih personal, begitu personal hingga akhirnya saya bisa menulis puisi di buku harian saya sebelum kembali ke Jepan.

Saya, saya memang tidak terlalu suka bepergian. Packing! Melihat tempat baru! Bertemu orang baru! Makanan baru! Duh, terlintas saja sudah membuat encok. Jika saja saya tidak suka fotografi, mungkin tidak ada tempat yang membuat saya berdecak. Tidak ada tempat senyaman kasur saya yang sudah ditata sedemikian rupa dengan selimut berlapir dan boneka-boneka empuk serta tumpukan buku!

Namun konon, kita bukan merindukan tempat, kita merindukan pengalaman.
Merindukan ingatan yang mungkin tidak akan kembali.

Saya menemui seseorang.
Saya tahu betul orang ini merasa saya lakukan seluruh hal ajaib di muka bumi.
Tapi bagi saya, dia orang yang paling ajaib di semesta raya.
Dimana lagi ada orang yang perlu memarkir mobil tepat 180 derajat? Ia akan kembali ke mobilnya ketika dia menyadari roda mobil membentuk sudut 179 derajat! “Ah! Kurang 1 derajat!”

Seseorang yang bagi saya kikuk setengah mati.
“Loh jadi selama ini orang ini…. se-ajaib ini?” setidaknya itu yang ada di benak saya saat itu.
Kami bicara beberapa hal aneh yang tidak penting-penting amat.
Kami yang memang jarang bicara satu sama lain selama ini, rupanya bisa juga menertawakan hal-hal konyol yang kami lakukan sendiri.

Saya yang benci hiruk pikuk dan bising kota, yang merasa makan malam perlu disudahi dengan cepat tanpa perlu basa-basi, yang sudah manjadi begitu “kaku” karena terbiasa membaca dan mengerjakan aneka karya tulis ilmiah bahkan saat senggang, tiba-tiba seperti kembali bertemu “teman main.”

Hal termenyedihkan ketika pesawat lepas landas dari Copenhagen bukanlah rindu pada kota itu, tapi lebih pada setiap topik pembicaraan yang terpilih secara acak saat makan malam… “Oh, rupanya punya teman ngobrol saat makan malam itu seru ya!”

Andai… andai saja… saya bertemu dia lebih awal, di usia ketika saya masih membaca majalah Bobo… Mungkin daripada saya kerap meragukan keobjektifan para editor dan komentator kolom puisi pada majalah itu, saya akan keluar rumah… menjulurkan tangan pada orang ini lalu bilang “Ayo, kita pergi main.”

Sederhana sekali, tapi kok rasanya menyenangkan ya.
Lagi-lagi, kakek saya berkata “Sastra ada untuk mempercantik bahasa.”
Saya meyakini beberapa kenangan tidak cukup dituliskan secara biasa.
Saya merasa hal ini kemudian pantas ditulis dalam bahasa puisi. Yang sederhana saja, toh yang penting memorinya yang mengena.Dan biarkan sastra mengingatkan saya bahwa hal-hal seperti ini justru istimewa.

Ya, begitu saja…

Dan (semoga) dunia pun berpuisi lagi….