Pamit…


Pamit: /pa·mit/ v permisi akan pergi (berangkat, pulang); minta diri;

Saya bertanya-tanya mengapa definisi pamit pada KBBI salah satunya adalah “minta diri”
Bukankan diri kita adalah hak kita, untuk apa kita meminta diri kita sendiri? Eits…tidak… tidak seperti itu.

Saya pernah membaca bahwa mungkin setiap orang, berada di suatu tempat…di suatu waktu… karena mereka dipercaya Tuhan untuk menyelesaikan sesuatu di saat itu, di tempat itu, tentu dengan orang-orang yang ada pada waktu dan tempat tersebut. Jika tugas sudah diselesaikan, maka mereka akan dipercaya Tuhan untuk meloncat ke ruang dan waktu yang lain, bertemu orang-orang yang berbeda pula… begitu seterusnya…. seterusnya… seterusnya… hingga seluruh tugas selesai maka Tuhan akan memanggil mereka satu per satu.

Ada dua implikasi jika hal tersebut [mungkin] benar. 1. Seseorang tidak akan pernah melompat, mengambil level yang lebih lanjut dalam stage kehidupannya jika dia belum menyelesaikan stage sebelumnya. Maka terima saja terjebak di ruang dan waktu tersebut. 2. Jika tugas di suatu ruang dan waktu sudah selesai, maka bersiaplah jika harus dipercaya untuk mencicipi ruang dan waktu yang lain dan bertemu orang-orang baru.

24 tahun saya hidup… saya sudah terikat dengan orang-orang yang begitu berarti untuk saya. Mama… adik saya… keluarga saya… guru-guru saya…. teman-teman saya… semuanya. Kalian tahu? selama 24 tahun saya belajar untuk bangkit berkali-kali ketika jatuh, saya belajar untuk tidak terlalu cengeng menjalani sesuatu, saya menyaksikan betapa banyak orang demi seorang Marissa Malahayati sudah melakukan dan mengorbankan banyak hal.

Saya melihat Mama saya sejak Beliau masih sehat, hingga kini jalannya yang sedikit pincang karena pernah terkena stroke. Rambutnya yang tebal semakin banyak yang rontok dan sedikit demi sedikit mulai menjadi abu dan putih.

Saya melihat adik saya, sejak dia masih bayi… saya bermain bersama dia, belajar beberapa hal bersama, ngomel-ngomel ketika dengan puppy eyes dia meminta saya mengerjakan tugas keseniannya [dan tetap saya kerjakan juga], hingga kini dia sudah kelas 2 SMA… sedikit lagi mengecap bangku kuliah… sebentar lagi menghadapi dunia yang saya hadapi saat ini.

Saya mengenal ayah saya… mendengar cerita-cerita Beliau… dimarahi habis-habisan karena salah tajwid ketika membaca Al-Quran, hingga Beliau akhirnya meninggalkan saya dan saya yang sekarang hanya berusaha mengingat-ngingat apa yang pernah Beliau katakan, membaca ulang buku-buku koleksinya, dan berjuang menjadi anak perempuan baik yang selama ini Beliau idamkan

Selama 24 tahun saya hidup, saya melihat segala sesuatu banyak yang berubah.
Saya sendiri berjuang untuk mengubah diri saya menjadi lebih baik, membuat orang-orang bisa menjadi bangga pada saya yang sepertinya tidak melakukan hal luar biasa yang begitu signifikan untuk mereka. Saya berjuang… kadang menangis… tapi setiap saya menyadari bahwa orang lain mungkin telah berjuang lebih keras untuk saya, rasanya terlalu tidak sopan untuk menyerah terlalu dini.

Hingga akhirnya Allah merestui saya untuk meloncat ke ruang dan waktu lain bertemu orang-orang baru, saya diizinkan untuk melanjutkan studi saya ke JEPANG.

Untitled

Sesungguhnya, saya sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk setiap orang yang berarti yang akan saya tinggalkan sementara di tanah air, akan tetapi saya tidak tahu apakah segala usaha tersebut juga dirasa baik untuk mereka. Maka izinkan saya, melalui tulisan ini “minta diri” untuk melakukan perjalanan jauh kali ini. Genapkan kesempatan yang diberikan Allah ini dengan doa dan izin dari kalian semua.

Marissa akan tetap menjadi orang yang sama.
Masih menjadi pecinta kucing, masih akan senang menggambar, masih akan menjajal rasa penasarannya terhadap fotografi, masih malas untuk membuka selimut dan bangkit dari kasur setiap kali bangun tidur, masih tidak suka melihat anak-anak kecil yang memberi jasa ojek payung harus kehujanan karena meminjamkan payungnya untuk orang lain, masih suka lagu-lagu jadul, masih suka bicara sendiri dengan boneka, masih suka memeluk Mama setiap kali ingin dimasakan sesuatu, masih suka jadi Ms. complain, dsb… dsb… dsb…

Yang seharusnya berubah adalah kedewasaannya, kemandiriannya, dan pola pikirnya.

Sekali lagi, terima kasih untuk kalian semua, dan sekali lagi pula… izinkan saya berpamitan dengan kepala tegak kepada kalian semua.
Biarkan perjalanan ini membuat saya bisa menghargai sesuatu lebih baik dari sebelumnya,
biarkan pelajaran yang saya peroleh menjadikan saya seseorang yang memiliki gagasan dan pemikiran yang lebih lugas dan cerdasbiarkan semua hal yang akan saya hadapi nanti membuat saya tertawa dan meringis dan kemudian menjadi saya menjadi seseorang yang lebih kuat dalam menghadapi segala hal.

Rasanya tidak tahu terima kasih sekali jika perjalanan ini saya sia-siakan.

ketika saya pulang nanti, ketika tiba waktu kalian menggerinyitkan dahi dan berpikir beberapa menit “Ini siapa ya? perasaan kenal” lalu mengingat saya sepersekian menit berikutnya “Oiyaaaa…. inget….inget!”, saya harap ketika hari itu tiba saya memang menjadi seseorang yang pantas untuk kalian ingat dan kalian kenal…

Sebagai satu partikel kecil diantara jutaan bahkan milyaran partikel-partikel lainnya di planet ini yang setiap saat berdoa dan memuji Sang Pencipta, saya tentu harus tahu diri bahwa jika tidak melakukan apa-apa maka saya hanya sekadar membuat sesak planet ini dan huuuftttt… apa yang bisa saya banggakan pada Allah nanti. Maka dengan ini, dengan rasa terima kasih yang teramat sangat, saya berjanji untuk melaksanakan tugas-tugas saya dengan sebaik-baiknya. Terima kasih Ya Allah…

dan untuk semuanya yang saya kenal… saya mohon doa kalian semua dan tentu saya mohon pamit beberapa waktu dari tanah air tercinta ini. Sekali lagi, terima kasih.

 

Kata maaf yang tidak akan pernah cukup…


Saya ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika Ayah saya masih ada. Saya pernah lari tunggang langgang ke luar rumah ketika akan di tes mengaji. Sayangnya saya kurang beruntung, saya tertangkap basah pagi itu. Saya harus membaca Quran surat Ar-Rahman dengan tartil, namun apa daya saya selalu melakukan kesalahan…. saya haru mengulang membaca ayat 1-13 berkali-kali hingga saking lelahnya saya menangis histeris lalu berteriak “Ayah, saya capek… kenapa sih… biarin aja mau 6 harakat… 4 harakat… 2 harakat… yang penting kan saya tau itu panjang atau gak, ayah kejaaaaaaam” tak pernah saya duga bahwa beberapa bulan kemudian pria yang mengajari saya mengaji dengan cukup keras tersebut kini tidak akan pernah mengajari anak-anaknya mengaji lagi. Parahnya, saya belum sempat mengatakan maaf atas kesalahan saya tersebut.

Saya ingat, berkali-kali saya memarahi Mama saya, “Mama… kalau di ekonomi ya, inflasi itu udah tinggi, Mama hemat dong…ngapain sih beli macem-macem buat saya” bak ekonom paling hebat di muka bumi saya menceremahi Mama saya. Lalu saya menyadari, selama ini, seluruh uang yang saya berikan kepada mama saya, seluruh uang yang mama saya miliki, semuanya untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Hingga kini Beliau yang sudah semakin tua dan sudah tidak sesehat dulu lagi, masih berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya dengan kualitas terbaik. Dan saya ingat, saya masih sering membantah perintahnya, bahkan pernah beberapa kali pura-pura tidur ketika Beliau minta tangannya diberi pijatan kecil.

Saya ingat, saya pernah memarahi adik saya habis-habisnya ketika ulangannya mendapat nilai yang kurang memuaskan “Kamu itu, belajar yang benar…. buku mahal-mahal dijadiin apa? bantal? gak ada di buku, ada kan internet. Mau jadi apa kamu kalau males begitu” tanpa saya sadari saya hanya bisa mengomel dan mengomel… saya bahkan tidak mengajarinya secara jelas dan komprehensif tentang stoikiometri dan trigonometri. Saya bahkan mungkin tidak bisa juga mengerjakan soal ujiannya yang semakin lama semakin sulit dan bahkan lebih sulit dibandingkan soal di jaman saya bersekolah dulu.

Saya ingat, pernah suatu hari,lama sekali… seorang  teman yang paling baik hati meng-sms saya “Mon, lu dimana, gw udah nunggu di perpus” lalu 2 jam kemudian saya membalas smsnya “Hah? di perpus? Ih gw di rumah… ini baru bangun tidur. Lu ngapain? masih di sana?” TING sms balasan datang “Iya, masih. Oh dikirain jadi ke perpus” beberapa tahun kemudian… kekejaman saya masih sama “Aduuh, lu itu harus gini loh…. harusnya gitu loh… betah stagnan gini-gini aja?” dan senyumnya masih sama seperti dulu. Tanpa saya ketahui, dia mungkin berusaha keras mewujudkan apa yang saya katakan padanya, berjuang untuk impian-impiannya, masa depannya, keluarganya, semuanya. Saya ingat, dia masih selalu ada untuk saya bahkan ketika saya ada untuk orang lain.

Saya ingat, keangkuhan saya membatasi saya dengan pergaulan yang lebih luas. “Ih… males ah gaul sama si A… si B… si C… yang diomongin cuman masalah fashion, high heels, pacarnya gimana, emangnya urusan gw tau segala macam tentang doi termasuk foto selfienya sama pacarnya dan kapan doi putus”, dan saya ingat beberapa dari mereka yang saya jauhi tersebut kemudian mendekat pada saya, lalu menceritakan segala masalah mereka “Mon, gw percaya… lu kan orangnya logis, gw percaya sudut pandang lu yang beda dengan orang lain”, saya tidak menyangka bahwa rupanya masalah mereka lebih besar daripada yang saya kira, tidak menyangka bahwa mereka butuh banyak masukan, dan tidak menyangka bahwa mereka menghargai keberadaan dan pendapat saya.

Saya ingat, saya tidur ketika kuliah… merasa bosan dengan materi yang dibawakan oleh dosen saya. bahkan di luar kelas saya masih sempat komentar bahwa slide Beliau bikin sakit mata dan bisa membuat minus mata bertambah. Saya juga ingat sekali saya sampai tidak membaca buku teks di rumah karena saya sudah putus asa dengan pengajaran dosen saya yang saya pikir membuat materi semakin sulit. Siapa sangka, materi-materi yang saya abaikan itu kemudian menjadi materi-materi krusial yang harus saya kuasai di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Saya ingat ketika bos saya mengirim sms di hari libur, saya membiarkannya berdering… lalu tidak mengangkatnya… lalu saya tinggal tidur. Saya tidak peduli pada saat yang sama Beliau sedang galau habis-habisan dengan data yang sudah saya olah… saya tidak peduli bahwa pada saat itu yang Beliau butuhkan hanya diingatkan bahwa e-mail sudah saya kirimkan.

Saya ingat bahwa saya senantiasa melakukan kesalahan…
Saya memang tidak bisa mengingat satu per satu kesalahan dan dosa saya, tapi saya ingat bahwa dalam perjalanan hidup saya ini saya senantiasa melakukan kesalahan. Hebatnya, begitu cintanya Allah pada saya, hingga semua orang masih bersedia membantu dan menyayangi saya bahkan ketika saya melakukan kesalahan pada mereka tiap hari, tiap menit, tiap detik.
Maaf saja tidak akan pernah cukup untuk menebus segala kesalahan saya.

Saya hanya memohon izinkan saya, menjadi wanita yang lebih dewasa….
Izinkan saya dalam perjalanan panjang yang akan saya jalani bisa membuat saya menjadi wanita yang bisa membuat kalian bangga karena telah mengenal saya. Saya mungkin tidak akan pernah mengurangi segala kesalahan saya, tapi saya pasti bisa menambah hal-hal baik yang bisa membuat kalian semua bahagia.

Terima kasih.

Marissa Malahayati

——————————————————————————–

Selamat hari raya Idul Fitri..
Image and video hosting by TinyPic

Untuk adikku… Selamat ulang tahun, Nak…


Dear adikku…Tahukah kamu 16 tahun yang lalu, di sebuah desa di Bogor, orang-orang masih terbiasa dibangunkan oleh kokok ayam yang bersahut-sahutan dengan adzan subuh.
Saat itu, anak-anak ayam disimpan pada kandang kecil yang diberi lampu bohlam sebagai penghangatnya.
Saat itu kamu masih sangat kecil, mungkin kamu tidak ingat. Tapi kita pernah memiliki banyak sekali anak ayam dalam jumlah yang cukup banyak.
Saat itu, mukena kakak masihlah mukena ukuran kecil berwarna putih dengan bordir hijau.
Kita juga punya pohon singkong dan pohon beringin kecil di depan rumah kita.
Saat itu juga, tepat 16 tahun yang lalu, ketika kamu lahir ke muka bumi ini, piala dunia juga sedang berlangsung. Jika kakak tidak salah ingat, Jerman sedang berjuang melawan Kroasia saat itu… kakak tidak sempat menonton seluruh pertandingan seperti apa yang kita lakukan sekarang, saat itu kakak sedang komat kamit berdoa agar Mama dan kamu selamat, dan dengan penuh tanda tanya terkadang mengintip ke ruang bersalin.
16 tahun yang lalu, kakak resmi menjadi seorang kakak.

Lalu waktu berjalan, dan sungguh jalanmu tidak semudah yang siapapun pikirkan.
Ketika kamu harus ditinggalkan sosok ayah ketika masih sangat kecil
Ketika kita, kakak dan kamu masih sering bertengkar karena berbagai alasan kecil yang ketika kita ingat lagi kini kita pasti akan menertawakan diri sendiri dan ingat betapa bodohnya kita.
Ketika kamu semakin besar dan mengecap sistem pendidikan yang senantiasa berbeda setiap tahun
Ketika mama kita sakit dan kakak juga belum menjadi kakak yang cukup kompeten dalam menghadapi berbagai masalah.
Ketika kamu sempat menjadi atlet dan harus menghadapi lawan yang terkadang adalah kawanmu sendiri.
Ketika semua itu bisa kamu jalani,
Ketika kakak menyadari bahwa kamu sudah tumbuh menjadi pria yang semakin lama semakin tangguh.

Adikku sayang, tiada hidup yang mudah
Semakin bertambah usia kita, semakin bertambah pula masalah kita, pada saat yang sama bertambah pula tanggung jawab kita.
Ketika kelak kamu merasa lelah dan ingin menyerah,
kembalilah mengingat seberapa jauh kamu sudah melangkah dan berjuang
kembalilah mengingat seberapa besar kami menyayangi dirimu.
Kita sebagai manusia, terlalu berharga untuk menyerah…

Selamat ulang tahun adikku…
Jadilah pria yang baik dan semakin baik

-Kakak-

 

Menjadi dewasa… : Sebuah renungan untuk diri sendiri


Once you’ve met someone, you never really forget them.
It just takes a while for your memorize to return
-Spirited Away-

“…. Dan sehebat apapun kamu, kamu bukan siapa-siapa tanpa bantuan siapapun”

Kemarin sore, sebuah amplop besar dari Tokyo Institute of Technology melayang ke rumah saya. Isinya mungkin hanya beberapa lembar kertas tapi lembaran kertas itu mungkin yang akan mengubah kehidupan saya untuk beberapa hal. Mungkin lembaran kertas itulah tangga-tangga kecil menuju impian saya. Singkat kata, secara resmi saya diterima di universitas tersebut. Saya sudah katakan sebelumnya bahwa untuk masalah pendidikan saya kali ini, saya merasa Allah memudahkan segalanya. Saya tidak akan bercerita mengenai hal itu lebih banyak, karena bukan itu yang ingin saya bicarakan kali ini… bukan, ada hal yang lebih dari ini semua.

Saya yang hari ini, bukanlah siapa-siapa tanpa bantuan banyak orang.
Ketika saya menyadari itu saya tahu bahwa terima kasih saja tidak pernah cukup.
Tidak pernah cukup….

——————————-
Saya teringat ketika saya masih kecil, saya pernah terpana dengan kata-kata dari guru mengaji saya,
“Jadi begini ya anak-anak… kita tidak boleh sombong atau merasa lebih hebat dibandingkan siapapun. Ketika kita berhasil, yang perlu kita lakukan cuman dua: Bersyukur karena Allah sudah begitu baik, dan berdoa agar Allah menjaga diri kita dari sifat-sifat buruk. Kalian tahu kenapa sombong itu tidak boleh?”

Seperti biasa… tipikal anak Indonesia, kalau ditanya pasti pada diem hahahhaa… tapi saya ingat ada juga yang nyeletuk “Karena dosa, Pak!”…. “Karena buruk, Pak”…. dan lain sebagainya.

“Iya semua jawabannya benar. Tapi yang terpenting adalah…. karena kita hidup di bumi ini tidak lepas dari bantuan orang lain”

Guru mengaji saya tersebut kemudian menjelaskan bagaimana orang tua yang susah payah membesarkan anaknya…. bagaimana petani yang betul-betul lelah menggarap sawahnya… bagaimana buruh tekstil harus bekerja overtime untuk memenuhi target produksi pakaian jadi di pasaran. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, seluruh kebutuhan kita terpenuhi karena “keringat” orang lain.

Begitu melekatnya cerita guru saya tersebut hingga tumben-tumbennya saya menceritakan ini kepada kakek saya karena tempat mengaji saya dulu sangat dekat dengan rumah kakek saya. Saya ingat jawaban kakek saya “Benar itu, manusia kadang terlalu sombong. Manusia terkadang lupa banyak hal, bahkan ketika manusia itu masuk liang lahat, manusia masih tetap membutuhkan bantuan orang lain… hargailah semua orang, karena kita tidak pernah tahu kepada siapa kelak kita memerlukan bantuan”

Saya tidak memahami hal itu untuk beberapa saat, mungkin baru memahaminya sekarang!
—————————-
Beberapa tahun kemudian, ayah saya meninggal dunia. Saya melihat begitu banyak orang yang menangis, kecuali adik saya yang belum paham apa-apa. Kecuali saya… yang juga belum memahami apa-apa. Saya hanya sedikit patah hati karena saya merasa kehilangan Beliau begitu cepat.

Untungnya saya adalah orang yang beruntung, Allah berbuat baik… luar biasa baik kepada saya.

Saya punya Mama yang selalu menyemangati saya. 23 tahun lebih saya hidup menuju 24 tahun, saya nyaris tidak pernah melihat Mama mengeluh, setidaknya di depan kami anak-anaknya. Mama selalu menyemangati saya untuk sekolah yang benar, belajar yang benar, dan melakukan yang terbaik yang saya bisa. Ketika saya gagal, Mama selalu menjadi orang pertama yang bilang “Gak apa, Kak… Allah pasti mau ngasih yang lebih baik” sejak saya pertama kali tahu sakitnya kegagalan, hingga hari ini… Mama tetap supporter barisan VVIP bagi saya, Mama selalu yang paling mempercayai saya lebih dari siapapun.

Saya bersekolah di daerah ketika SD, saya ingat pada hari kelulusan saya saat SD… guru saya mengatakan “Sebagai anak daerah, bukan berarti pemikiran dan cita-cita kamu harus terbatas. Pergi kemana yang kamu mau, tuntut ilmu setinggi-tingginya karena ilmu tidak hanya ada di satu tempat” saya pegang kata-kata Beliau hingga saat ini. Salah satu alasan untuk terus berjuang!

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk melanjutkan sekolah. Sebagai anak yatim dan Mama yang hanya guru les, maka biaya pendidikan saya sebenarnya sangat berat untuk Mama. Namun, saya punya uwak yang sangat baik… mereka yang membantu menyekolahkan saya hingga saya berhasil menyelesaikan kuliah S1 saya.

Saya sadar…. hingga kapanpun saya tidak akan pernah bisa membalas kebaikan Beliau. Tanpa Beliau mungkin saya belum memegang gelar akademik seperti saat ini, tanpa Beliau mungkin saya bukanlah Marissa yang bisa bermimpi lebih tinggi daripada langit. Karena saya tahu hal itu, maka saya berjuang belajar gila-gilaan. Kapasitas otak saya memang terbatas, saya bukan anak yang pintar… tapi setidaknya saya tidak pernah kesulitan memilih sekolah. Saya diterima di dua PTN bahkan sebelum saya melaksanakan Ujian Nasional, lalu memilih untuk berkuliah di univ.dekat rumah. Impian saya sih tidak muluk-muluk, mbok ya sudah dibantuin orang lain jangan bodoh-bodoh banget lah.

Sekali lagi, saya tidak pintar, tapi saya harus berjuang mati-matian untuk setidaknya “tidak mengecewakan.” Ketika saya memenangkan beberapa lomba, ketika saya menjadi mahasiswa berprestasi, maka itu bukanlah hanya sekadar suatu pencapaian… itu adalah terima kasih saya kepada Beliau dan juga kepada Mama yang sudah berjuang mati-matian kepada saya.  Terima kasih pula kepada dosen-dosen saya yang sangat baik, karena atas jasa mereka semua saya berhasil melalui level ini dengan cukup baik. Saya bahkan merasa memiliki guru sekaligus sahabat ketika saya bertemu dengan dosen pembimbing saya.

Orang lain mungkin melihat saya sebagai sosok yang ambisius, tapi mereka tidak tahu… saya harus ambisius untuk menyatakan terima kasih saya yang tidak bisa saya sampaikan dengan kata-kata.

Orang lain mungkin hanya melihat beberapa keberhasilan saya, tapi mereka mungkin tidak pernah tahu bahwa kegagalan saya lebih banyak dibandingkan keberhasilan saya. Saya hanya berhasil bangkit berkali-kali setelah berkali-kali jatuh.

Hingga saat itu, saya masih merasa enggan untuk berkunjung ke makam ayah saya terlalu sering. Bagi saya, saya belum memberikan apa-apa untuk ayah saya. Ayah meninggalkan saya terlalu cepat sebelum saya membuat Beliau bangga. Saya ingat satu impian ayah saya yang belum kesampaian, Melanjutkan Studi ke Jenjang yg Lebih Tinggi. Saya bersumpah… cepat atau lambat saya akan penuhi impian ayah saya. Saya harus bersekolah lagi.

Seperti perkataan Anton Ego dalam film Ratatouille “Terkadang dunia terlalu sinis pada gagasan-gagasan baru…” saya nyaris putus asa karena mayoritas orang di lingkungan saya meragukan keinginan saya untuk bersekolah lagi. “Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Nanti jodohnya susah”, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, yang penting kerja dulu… kumpulin uang yang banyak” dsb dsb dsb….Saya menangis beberapa kali… tapi lagi-lagi Mama saya tetap mendukung saya ketika orang lain meragukan saya. Padahal Beliau yang paling berhak mengatakan “Kamu gak usah mimpi deh, Nak”…. kalau Beliau tidak ridha saya sekolah lagi, saya pasti akan menurutinya. Saya bukan tipe anak yang tega melawan orang yang sudah berjuang dan berkorban banyak untuk saya. Tapi rupanya Beliau tidak pernah lelah mendukung saya dan mendoakan saya.

Ketika saya tidak percaya dengan diri saya sendiri, adik saya yang selalu bercanda kemudian berkata “Kakak… ini tentang hidup kakak, kakak harus pilih yang paling bikin kakak senang”

Ketika saya mulai ragu untuk melangkah lagi, saya mempunyai seorang sahabat yang luar biasa… yang akhirnya bisa mengatakan “Lakukan apa saja yang kamu mau, selama itu bisa membuat kamu bahagia”

Saya tidaklah sekuat yang semua orang lihat, tapi banyak orang yang bisa menguatkan saya. Seketika saya merasa seperti seekor kucing yang sudah kehilangan satu nyawanya, tapi masih memiliki delapan nyawa cadangan. Dengan terengah-engah saya mencoba memanfaatkan nyawa-nyawa yang tersisa.

Saya teringat, ketika kemudian saya ditanya oleh pewawancara saya saat wawancara beasiswa,
“Apa yang kamu harapkan dari diri kamu?” saya tidak menjawab hal lain selain “Saya ingin menjadi orang yang bisa berterima kasih”
“Terima kasih, kenapa?” tanya si bapak pewawancara dengan dahi berkerut.
“Karena saya yang saat ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa tanpa bantuan orang lain”
“Baik saya mengerti. Lalu apa yang kamu harapkan dari diri kamu dihadapan adik kamu kelak?”
“Saya ingin melakukan yang saya bisa sebaik mungkin, saya ingin begitu kelihatan amazing di depan adik saya. Hingga suatu hari kelak, jika dia menceritakan tentang saya di hadapan orang lain nanti dia bisa bilang ‘Saya bangga pada kakak saya’ sama seperti ketika saya mengatakan kepada semua orang ‘Saya bangga pada ayah saya, pada mama saya’ “

Lalu kemudian pada hari ini, saya kemudian mengatakan hal yang hampir serupa kepada salah satu sahabat saya, “Kalau kelak kamu jadi ayah, jadi ayah yang amazing di depan anak kamu, apapun yang terjadi. Biar dia bangga dengan apa yang kamu lakukan, biar dia terpacu untuk bisa berbuat lebih baik dari kamu” pada saat yang sama sebenarnya saya sedang menasehati diri saya sendiri, setidaknya mengingat kata-kata saya pada diri saya sendiri.

Bagi saya hidup tidaklah mudah…apalagi sekolah!
Untuk ikut tes iBT TOEFL saja saya harus menabung cukup lama, saya bahkan tidak punya cukup uang untuk ikut berbagai les. Tapi melihat begitu banyak orang yang sudah mendukung saya, saya tidak mau terlalu kejam dan menjadi orang yang menyerah sebelum berjuang.

Kalian mungkin tidak tahu, tapi saya seperti Simba yang memandang bintang-bintang di langit setiap malam untuk mengingat ayahnya,Mufasa. Saya rindu ayah saya, tapi saya merasa belum begitu pantas untuk datang ke hadapan makamnya dan bilang “Yuph! here I am, Yah… membanggakan kan seperti ayah membanggakan saya” tapi saya percaya pasti ada waktu ketika saya benar-benar bisa menjadi anak perempuan yang senantiasa Beliau banggakan.

Bagi saya sekolah itu tidaklah mudah, maka jika boleh bersekolah di dalam negeri saja itu sudah anugerah yang luar biasa…
Ketika mendapat beasiswa, saya tidak terlalu ambil pusing mau bersekolah dimana, mau dikasih uang berapa… Who’s care??! Jika saya harus mati karena meraih impian saya, it’ll be okay. Lagipula saya punya Tuhan yang pasti akan memberikan jalan keluar untuk segala hal. Saya sudah terlalu lelah, bahkan untuk sekadar mengeluh.

Lalu kemudian dosen saya membantu saya, memperkenalkan saya dengan guru-guru yang hebat. Dosen saya yang kini menjadi bos saya pernah bilang “Hidup ini pilihan, maka kamu harus perjuangkan pilihan yang menurut kamu paling baik. Ini pilihan kamu, bukan urusan orang lain”

Lalu saya memperoleh Sensei yang luar biasa baik hati, yang membantu saya untuk banyak hal… yang mau mendengarkan saya dengan baik bahkan ketika saya belum resmi bersekolah di universitas tempat Beliau mengajar.

Lalu saya memperoleh sahabat-sahabat baru yang satu perjuangan. Yang berbagi banyak hal… yang menyemangati saya setiap saat, yang berbagi impian-impiannya yang luar biasa dengan saya. Yang tanpa sungkan mengajak saya untuk berjuang bersama tanpa mempedulikan suara-suara sumbang yang ada. Sahabat-sahabat yang satu visi dengan saya.

Jelas sudah, terima kasih saja tidak akan cukup. TIDAK AKAN PERNAH CUKUP!
—————————-
Jutaan tahun ibadah mungkin tidak cukup untuk menyampaikan terima kasih saya pada Tuhan, mungkin jika Allah memiliki sebuah superkomputer yang bisa menghitung setiap remah mikron pahala saya, maka selama apapun proses komputer itu berjalan maka monitornya tetap akan menunukan “Pahala tidak cukup, coba lagi nanti” Hffffft…
Saya bahkan tidak akan pernah bisa membalas jasa-jasa Mama
Saya juga belum bisa sebijaksana ayah,
belum bisa sebaik uwak saya…
belum bisa seceria adik saya…
saya juga belum bisa mengalahkan pengetahuan dosen-dosen, guru-guru, serta banyak orang yang sudah menunjukan betapa dunia ini dipenuhi pengetahuan, misteri, atau hal-hal unik.
Saya bahkan tidak akan sanggup mengembalikan kuota internet, pulsa telepon, dan waktu sahabat terbaik saya yang sempat terbuang percuma hanya untuk mendengarkan saya.
Saya butuh waktu seumur hidup untuk mendengarkan semangat dan cita-cita sahabat-sahabat baru saya yang sangat visioner.

Ketika saya semakin dewasa, saya makin menyadari bahwa terima kasih saja tidak akan pernah cukup.

Saya tidak memiliki apa-apa, saya masih kalah hebat dengan banyak orang.
Maka oleh karena itu, maka izinkan saya membuktikan bahwa saya bisa menjadi anak yang baik, adik yang baik, saudara yang baik, teman yang baik, murid yang baik, lalu kelak bisa menjadi istri yang baik, ibu yang baik, guru yang baik, bahkan jika ada waktu menjadi nenek yang baik.

Saya bukan siapa-siapa dan bukan manusia yang terlahir jenius, karena itulah saya berjuang lebih keras dari siapapun…hingga kelak tidak ada yang menyesal pernah mengenal saya. Saya berjuang dengan keras, karena hanya itu yang bisa saya lakukan untuk saat ini.

Terima kasih saja tidak pernah cukup,
tapi izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada kalian semua.

Percayalah, saya… kamu… kita semua bisa berkali-kali bangkit setelah jatuh.

Nasehat seorang ayah pada putrinya tentang ilmu…


Suatu malam, sambil menikmati acara TV dari sebuah TV kecil ukuran 14′, seorang ayah bertanya kepada putrinya….
“Hei… tau gak kenapa ilmu kalau ditulis dalam bahasa arab itu jadi علم” kata Sang Ayah sambil menuliskan serangkaian huruf arab di atas kertas.
“Lha… memang asal katanya itu kan, Yah? Ah yang kayak gitu aja dipertanyakan… repot banget” kata si anak
“Wuettts… semua itu ada filosofinya lagi”
“Apa emang?”
“Ah…. katanya gitu aja dipertanyakan…”
“Ih… sebel banget, udah penasaran gak jadi cerita. Ya udah gak jadi”
“Yah, padahal tadi mau mulai cerita”
“Aduuuuh apa siiiih? :(”
“Hehehehe… ya udah nih ayah bahas. Perhatikan ya…”

Lalu Sang Ayah menuliskan kata علم besar-besar di sebuah kertas kosong ukuran A4.

“Perhatikan, huruf pertama ‘ع’ …..’ain kan?… perhatikan mulut ‘ain selalu terbuka… itu berarti dalam ilmu hal pertama yang perlu kita lakukan adalah terus lapar terhadap ilmu. Ilmu tidak pernah cukup, maka kita harus secara terbuka untuk terus belajar dan belajar. Ilmu itu dinamis… maka dia harus terus dipelajari. Jangan pernah merasa puas atas ilmu yang sudah kita peroleh.

Huruf kedua…’ل’… lam! Perhatikan huruf lam selalu tegak… maka ketika kamu menguasai suatu ilmu maka tegakanlah kebenaran berdasarkan ilmumu. Jangan menjadi orang yang sok tahu, jangan melakukan sesuatu yang tidak kamu ketahui ilmunya, karena pada intinya ilmu itu menegakan yang benar. Jadilah orang yang benar dengan ilmu yang benar, jadilah bermanfaat dengan ilmu yang bermanfaat.

huruf terakhir itu ‘م‘…mim. Pada kata ini, mim ditulis merunduk. Maka ketika ilmumu sudah semakin tinggi tetaplah rendah hati. Ingat ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Ingatlah pula jika kelak kamu meninggalkan dunia ini nanti, biarkan dunia mengenangmu sebagai seseorang yang menyebar manfaat kepada banyak orang. Tinggalkanlah dunia ini dengan meninggalkan ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu adalah kebijaksanaan… maka dia membuat pemiliknya memiliki hati yang lebih bijaksana.”

Si anak hanya terpana, usianya yang masih terlalu kecil masih terlalu dini mencerna kalimat ayahnya….namun ia paham bahwa apapun yang dimaksud oleh ayahnya adalah sesuatu yang luar biasa.

“Gak ngerti ya?” Tanya si Ayah.

Si anak mengangguk pelan.

“Gak apa, nanti juga ngerti sendiri. Itulah ilmu… butuh proses dalam pemahamannya” jelas sang Ayah.
———————–
Beberapa tahun kemudian, si anak itu beranjak dewasa. Dia semakin memahami apa yang dikatakan oleh Ayahnya. Setiap dia merenungi tiap senti kehidupannya… ketika dia mulai merasa terjatuh dalam menghadapi sesuatu… maka penjelasan Sang Ayah itu membangkitkan semangatnya. Penjelasan ayahnya itu membangkitkan dirinya berpuluh-puluh… beratus-ratus… mungkin beribu-ribu kali.

——————–
Anak kecil itu adalah saya… dan Sang Ayah adalah Ayah saya
http://eemoticons.net

Terima kasih, Ayah 🙂 just missing you in the middle of training today 🙂