Sepenggal kecemasan: Festival Buku dan Rendahnya Minat Baca Masyarakat


Oh hai! Saya kembali, tadinya mau bergunjing banyak mengenai sabab musabab hilangnya tulisan di blog ini selama nyaris 2 tahun! Serta kepulangan saya kembali ke tanah air. Tapi nanti saja… ada hal yang lebih krusial, dan itu adalah tentang: Buku!

Langsung saja, jadi kemarin saya mengunjungi IIBF, atau Indonesia International Book Fair. Terakhir kali saya ke book fair di Indonesia hmmm… sepertinya 10 tahun lalu, sebelum saya berangkat ke Jepang. Seingat saya, book fair itu begitu menyenangkan. Walau banyak buku tua, tapi menyambangi book fair tetaplah sebuah oase. Saya ingat, terakhir kali saya ke book fair adalah setelah saya selesai tes TOEFL untuk syarat beasiswa. Mendung, hujan, dan ketika tes…performa busuk. Maka munculah ide jalan dulu ke book fair untuk menghibur hati yang gundah.

Kala itu, kegundahan terobati. Kala itu loh ya.

Saat ini, 10 tahun kemudian.

Takdir membawa saya berkantor tidak jauh dari kawasan Gelora Bung Karno dan hanya butuh 15 menit berjalan untuk sampai ke JCC, tempat book fair biasanya diadakan. Ekspektasi saya sungguh tinggi, “Setelah 10 tahun, pasti kualitas buku makin ketje cetar membahana dong.”
Melawan polusi, radikal bebas, terik matahari, serta beban ekonomi kelas menengah, dengan gagah berani, saya melangkah ke JCC.

Dalam hati, tekad sudah membuncah “Buku! Tunggu aku… aku akan hamburkan hartaku yang tidak seberapa itu untukmu.”

Terlihatlah banner

IMG_1422

“Hmmm…kok kurang meyakinkan ya ?” ujar saya dalam hati. Tapi abaikan saja, karena memang selain bibir, hati dan pikiran saya memang kejam. Oke… positif, tetap berapi-api, Mon! Tetap berapi-api.

Masuk…
Keliling 2 rit…
Balik lagi…
Berputar… berputar…
dan

ZONK!

Oke! Ini murni memang Emon kejam. I am being mean here! Tapi kalau kalian tanya saya, “Worth gak sih ke international book fair?” Jawaban saya singkat, jelas, padat : Gak.
Goler-goler aja deh di rumah, panas… dan inget, Jabodetabek lagi banyak hujan angin tiap sore. Boboks udah paling benar. Jadikan istirahat sebagai salah satu agenda penting dalam hidup Anda.

Walau kejam, tapi saya punya argumentasi. Hal pertama adalah: SEPI! KOSHONG SODARA-SODARA!

IMG_1424

Ok! Kalian bisa menangkis argumentasi saya “Lah Mon, lo dateng hari kerja, siang-siang, maaph-maaph nih, Mon… ya cuman lo aja.”
Dan saya menerima argumentasi itu. Baiklah, kalian benar… Anda benar netijen!
Yang banyak datang adalah anak SMA, yang sepertinya berkunjung atas inisiasi dan undangan penerbit erlangga. Di booth mereka, mereka ada beberapa workshop untuk anak-anak sekolah dan cukup seru. Ada juga seminar mengenai hak cipta kepenulisan dan penerbitan, yang menurut saya sih pasti penting untuk para penulis. Itupun masih bisa dikritisi lagi oleh tante Emon yang hobi berceloteh ini, ruangan seminarnya seuprit banget di pojokan.

Tapi ya sudahlah… itu masih bisa ditolerir. Tapi yang ini, kalian pasti gak bisa mengelak.
Acara ini garing, kriuk-kriuk, karena minimnya variasi pada buku yang tersedia.
Setidaknya, buat saya, tidak banyak buku yang menarik di event yang dengan jelas menuliskan “International” pada judul acaranya.
Yang paling fatal, saya tidak merasakan kesan “internasional” pada acara ini.

Oke, ada perpustakaan Cina, perusahaan percetakan korea, dan dua perusahaan dari Timur Tengah yang jujur aja saya gak paham mereka tuh perusahaan apa karena semua judul di boothnya pake bahasa Arab. Tapi so what ???? Mereka tidak menjual buku, buku yang mereka pajang juga… ya permisi… saya gak bisa baca.

Jadi, ini event, internasionalnya itu sebelah mana ??? bukan karena ada booth pake bahasa wallahu’alam terus acara itu dikategorikan internasional. Saya berekspektasi ada sebuah booth toko buku yang menyajikan buku terbitan dari berbagai negara, dan please pake bahasa inggris.

Mungkin ada ya, entah di booth mana.

Tapi jiwa saya sudah geram dan kadung kecewa. Apalagi cuaca panas, lembab, dan saya lelah sekali karena dalam minggu ini dihajar rapat beruntun. Ekspektasi sudah besar, eh… koleksi buku sih, ini bukan mau sombong ya… sama perpustakaan mini saya di rumah juga lebih menarik perpustakaan di rumah saya sih.

Udahlah, bilang aja Indonesian Book Fair, gak usah sok-sok bilang “internasional”.

Kegeraman saya bertambah lagi karena saya tidak bisa menemukan buku-buku dengan topik yang saya suka: Sains populer.
Ini juga bukan jumawa, kalian yang kenal saya pasti tahu betapa saya ini penuh amarah dan julid. Jadi kalau baca buku fiksi, apalagi romance, chicklit, teenlit, sudah pasti baca 10 menit, ngomel-ngomel 10 hari. Hanya buku non-fiksi yang bisa membuat saya diam karena saya harus berpikir dan kadang bulak-balik bukunya dan bahkan ambil sticky notes buat catetan.
Busuknya lagi, saya pernah juga jadi ilustrator sewaktu masih muda belia dan saya punya skill yang amat terkutuk bernama : my visual long term memory is so excellent. Jadi, saya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang judge book from its cover. Saya sudah sampai pada taraf “Hah, ini kok illustrator covernya niru gambar luna dan artemis di covernya, yaaah… illustratornya aja gak kreatif, apalagi penulisnya.”

Gila gak!? Itu kan pribadi yang menyebalkan. Tapi memang saya semudah itu terdistraksi.
Tapi… jika kalian mau sedikit mengikuti sudut pandang dan perspektif saya, kalian coba… coba ke toko buku di Indonesia, sadar gak sih kalau untuk buku fiksi aja, tema dan bahkan desain covernya ya gitu-gitu aja.

Tidak bervariasi.

Teenlit, checklit, dkk-nya berkisar dari mas-mas, mbak-mbak, long distance, atau kantor beda, ketemuan. Kalo mau yang sedih, salah satu meninggoy.
non-fiksi, yaaaah paling temanya dua: membangun bisnis dan manajemen keuangan sama motivasi diri (yang menurut saya sih, no one can motivate yourself except your own self). Sisanya ? Kalo gak buku resep, ya tips lolos BUMN, CPNS, sama masuk PTN. Oh ya! Satu lagi yang cukup dominan. Buku agama.

Udah itu aja, jadi hidup itu zikir, lolos PTN, lolos BUMN/CPNS, terus menemukan cinta, dan meninggoy.

Terus manusia Indonesia tuh pada gak ada yang tertarik gitu dengan, apa kek, fisika kuantum, kimia pangan, fisiologi musang, camping di tepi niagara, pembangunan rumah di lempeng tektonik, membuat roket untuk pindah planet, apakah benar Isaac Newton pintar karena kepalanya kejedot apel. Banyak!

Kita, makhluk-makhluk FOMO ini, tahu tentang sesuatu. Apa ya, lari misalkan. Kita ikut event-event lari, beli aneka pernak pernik untuk lari, latihan menguatkan otot kaki.
Tapi kita tidak punya akses untuk mengetahui bagaimana sih lari ditinjau dari sisi matematika, fisika, biologi, kimia, sosial, psikologi, ekonomi.
Atau yah, mungkin kurang kali ya.
Hal-hal yang bagi kita yang hanya insan kepo yang gak ada niatan menjadi atlet atau peneliti untuk hal itu, sebenarnya bisa mengetahui hal tersebut dari buku. Iya gak sih? Masa’ gak ada yang sependapat sama saya sih ?

Banyak hal yang masih misterius di muka bumi ini. Dan dengan harga tiket pesawat yang keparat mahalnya, maka opsi yang lebih ramah kantong untuk mempelajari itu semua adalah dengan membaca buku.

Bukan mau meremehkan penulis atau penerbit di tanah air ya, tapi jika kita masuk ke toko buku di luar negeri, gak usah jauh-jauh deh, di Thailand aja atau di Singapura, kalian bisa lihat topik dan variasi buku yang mereka tawarkan lebih bervariasi.
Gak itu lagi, itu lagi.
Dan bentuknya juga bermacam-macam, dari full text, buku bergambar, hingga komik. Jangan lupa juga, untuk kalian yang belajar bahasa asing, sudah banyak penerbit di luar negeri yang menyediakan buku-buku novel berbahasa asing dengan judul bervariasi yang ketebalan dan pemilihan bahasanya disesuaikan dengan level kemampuan bahasa pembaca.


Dulu, sewaktu saya kuliah, salah satu sensei reviewer disertasi saya pernah berkata, “Good writer comes from good reader.” Pemilihan topik, diksi, hingga cara penyampaian dalam sebuah karya tulis hanya bisa dilakukan oleh orang yang, bukan hanya banyak membaca, namun juga bisa menyerap, mengolah, dan mengkombinasikan intisari dari berbagai sumber. Tulisan seperti itu yang kemudian menjadi tunas gagasan-gagasan baru.

Sensei saya yang paling baik hati di planet bumi mendidik saya untuk baca buku sampai kebawa mimpi. Dalam zemi (seminar) bulanan kami di lab, Beliau gak tanya langsung “Heh, gimana penelitian kalian yang busuk itu ?”, tapi selalu mengawali pertanyaan dengan “Bulan ini kalian baca buku apa ? Buku apa yang kalian rekomendasikan ke temen-temen kalian?” Boleh komik, novel, sampai buku serius. Rupanya hal itu menyenangkan… kita jadi bisa tahu karakter teman-teman kita dari buku yang mereka rekomendasikan. Kita juga jadi punya perspektif yang lebih luas mengenai apa aja sih hal yang terjadi di muka bumi ini. Kita kemudian jadi ingin terus mencari tahu.

Saya mencoba berhipotesis untuk fenomena rendahnya variasi buku bacaan di Indonesia ini. Ada banyak hipotesis, tapi mungkin salah satunya adalah karena ya memang minat baca masyarakat rendah. Penerbit maupun penulis agaknya enggan mengambil risiko untuk menerbitkan buku yang terlalu keluar dari “pakem” buku yang tengah laris di pasaran.
Kalau di pasaran yang laku tentang bisnis peternakan, yang semua penerbit akan menerbitkan tentang ternak, dari ternak domba sampai ternak magot (yakin deh beberapa dari kalian setelah ini akan browsing apa itu magot).
Kalau di pasaran lagi hits tema-tema tentang pelakor, ya semua cerita tentang pelakor, dari yang pelakornya di kawasan urban maupun rural.

Lalu, itu semua menjadi lingkaran setan, dengan terbitnya buku yang itu-itu saja, pembaca pun hanya terpapar hal yang itu-itu saja. Begitu terus, hingga hari ditiupnya sangkakala.

Sudahlah rakyatnya malas membaca, dengar-dengar… akan dapat wakil presiden yang juga gak suka baca.

Ya harus gimana ?

Jujur, saya marah dengan adanya fenomena ini!

Asal kalian tau ya. Dulu, waktu SD, saya sekolah di desa. Buku itu suliiiiiiiiiit sekali. SD saya saat itu harus menunggu limpahan buku dari dikbud dan itu harus menunggu berbulan-bulan. Ketika buku-buku itu datang, baca covernya aja nih, baca kata “Jakarta” aja udah membuka mata saya sebagai seorang bocah ingusan bahwa ada loooh tempat lain di muka bumi ini selain Leuwiliang, dan tempat itu namanya “Jakarta.”
Saya ingat, betapa kala itu, saya bertanya pada guru saya bagaimana bentuk Jakarta, apa itu ibu kota? mengapa ibu kota itu ramai?

Satu hal baru pada sebuah buku bisa menjadi jalan untuk ribuan pengetahuan baru.
Maka bagi saya, menjadi penting bagi buku-buku yang ada di Indonesia untuk menawarkan topik dan pilihan yang lebih beragam. Karena siapa tahu, hal-hal baru yang diberikan itu akan membuka jalan untuk pembaca, entah siapa dan kapan, pada jalan hidup dan pengalaman yang lebih menarik. Yang pasti, eksplorasi pengetahuan dari buku sejatinya menjadi langkah pertama seseorang untuk mengeksplorasi dunia.

Saya bahkan mencoba bertanya ke teman satu ruangan saya yang baik hati, Mbak Ikum… yang rupanya setelah 1 tahun kami seruangan, kami baru tahu satu sama lain bahwa kami adalah pemerhati toko buku! Jadi, kemanapun kami pergi di belahan dunia manapun, satu tempat yang wajib kami datangi adalah toko buku. Saya bertanya, “Mbak, kenapa sih minat baca masyarakat kita rendah ?”

Beliau menjawab setidaknya ada 3 faktor: 1.) Harga buku di Indonesia itu MAHAL (dan ini saya amini sih, ini beneran amin yang paling serius), 2.) Variasi buku di Indonesia itu kurang, yang tanpa masyarakat kita sadari, mungkin mereka juga jenuh karena yang itu lagi – itu lagi, kurang banyak kebaruan, dan formatnya yang itu-itu aja, gak kayak di Jepang yang bahkan buku itu ada yang bisa disakuin (see ? apa saya bilang!), 3.) Budaya dan lingkungan, pada dasarnya memang kultur Indonesia itu adalah kultur tutur bukan kultur literasi. Budaya kita sampai turun menurun kebanyakan dari perkataan, bukan dari catatan sejarah seperti pada di Eropa. Yang agak mending itu ya kawasan pantura jawa, mereka ada punya banyak catatan sejarah yang beneran ditulis, seperti misalnya babad tanah jawi hingga hal kayak serat centhini. Makanya, provinsi dengan minat baca tertinggi itu kalo gak salah di Yogyakarta.

Dan rupanya bener dong kata Mbak Ikum, emang harus sungkem ke Beliau

Untitled

Udah ah, kita tinggalkan Mbak Ikum (makasih ya, Mbak) takut kalian semua ngefans.

—-

Saya sudah puas ngomel-ngomelnya.
Apakah saya pulang dengan tangan kosong?
Oh tidak, untungnya ada booth kompas yang menawarkan buku-buku yang cukup menarik perhatian saya. Saya beli dua buku ini. Keduanya menawarkan hal-hal “baru” yang saya belum ketahui banyak.

IMG_1425

Goresan Malam; merupakan sebuah catatan apik dari wartawan kompas yang merangkum sejarah dan filosofi batik-batik yang ada di Indonesia. Sebuah buku yang menurut saya langka, dan akan menjadi sebuah “aset” untuk pecinta buku yang juga merupakan pecinta seni. Kita, sebagai orang Indonesia, seringkali tidak mengetahui banyak terkait budaya Indonesia, dan buku ini membawa kita pada kesadaran betapa kayanya budaya Indonesia bahkan jika ditilik hanya dari batik. Saya yang sudah menyambangi banyak toko buku, merasa buku ini akan menjadi koleksi menarik. Dan jika kalian ‘FOMO’, hey! Percayalah, setelah membaca buku ini kalian bisa memulai percakapan dengan “Eh, tau gak sih beda batik pesisiran Cirebon sama Madura ?”
Bagaimana, menambah level ketampanan/kecantikan Anda satu strip kan ?

Bioetika; jujur ini hal yang cukup baru sih, setidaknya untuk saya. Jika kalian dokter atau peneliti di bidang biologi dan kimia mungkin hal ini lebih familiar. Namun, oh tidak untuk saya. Saya selalu ingin tahu, perkara-perkara seperti suntik mati, donor sperma, donor organ, pembekuan sel telur, itu tuh boleh gak sih? Kita gak bicara hukum agama aja di sini, ini kan permasalahannya adalah kebutuhan untuk hal-hal itu ada, dan makin meningkat. Masa’ hal seperti itu harus dianggap tabu terus menerus, gak mungkin kan. Cepat atau lambat, kita akan sampai pada masa ketika hal-hal seperti ini akan menjadi hal yang cukup lumrah pada komunitas kita. Buku ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana dinamika bioetika tersebut di Indonesia. Namun sayang, penulisannya masih terlalu “ilmiah”, padahal akan lebih menarik jika dikemas dalam penulisan yang lebih populer dengan lebih banyak studi kasus.

Gimana, menarik kan? I told you. Dan saya menunggu lebih banyak buku dengan pembahasan yang bisa memberikan efek “Oh… gitu!” kepada saya dan kita semua.

Dan untungnya lagi, pulang masih ketemu nasi rawon. Lumayan lah, daripada gigit sandal.

IMG_1427

Ngomong-ngomong….Konon, kalau kita punya impian, harusnya sih gak boleh bilang-bilang ke orang lain. Tapi jiwa ini sudah terlalu geram.
Melihat hal ini semua, saya ingin kembali mendalami kemampuan bahasa asing saya, termasuk bahasa Perancis dan Jepang. I want to be a translator.
Bukan karena saya jumawa ya dengan kemampuan saya yang gitu-gitu aja. Tapi, ada beberapa bagian dari jiwa saya ingin memperkenalkan bacaan yang menarik dan menyenangkan dari berbagai belahan dunia. Saya ingin banyak orang memahami mengapa membaca sangat menyenangkan.

Saya mencintai buku dan membaca, jauh sebelum saya mencintai musik dan seni. Dan buku yang membawa saya jatuh cinta dengan banyak hal.

Semoga Tuhan mengizinkan ya. Maaf loh, Ya Allah kalau hamba mintanya macem-macem. Gak apa ya ? Pleasseeeeeee….

Oh bentar, sebelum pamit undur diri…Ini pesan saya untuk kalian book lover yang sekarang masih kuliah atau tinggal di LN : GOTONG BUKU KALIAN PULANG KE TANAH AIR!
Jangan hiraukan bea cukai, mereka tidak tahu kalau tumpukan buku kalian itu, belum tentu bisa kalian temukan di Indonesia.
Catat petuah saya ini dengan tinta emas, kalau perlu print, figura, gantung di tembok!!! Camkan itu!!!

Berani tidak sempurna…


Saya punya tekad untuk menjadi emon yang produktif. Bukannya apa-apa, tapi karena sebagai manusia… sungguh sebuah hal lumrah kalau saya galau, sedih, stress, dan hal-hal manusiawi lainnya. Bagi saya, tidak ada hal yang paling baik untuk melupakan hal-hal yang pedih, selain dengan cara move on, being busy….

Kalian tidak tahu kan betapa penatnya jadi peneliti. Deg-deg-an nunggu keputusan reviewer jurnal, pusing analisis data, terus baca hal yang serupa berjuta-juta kali, belum lagi kehidupan sosial yang agak-agak terombang-ambing. Banyak banget suka dan dukanya. Yang semoga aja, terbayar tunai sama Yang Mahakuasa. Kalo gak, kayaknya bakalan saya tagih terus deh. I am doing everything more than what people can imagine.

Nah, di penghujung bulan Mei ini, saya yang nyambi jadi pengajar online sebuah univ harus mulai menyelesaikan tugas memeriksa PR mahasiswa. Saya tidak bisa membayangkan betapa luas jiwa dan hati para guru dan dosen di saat pandemi seperti ini. Pintar akademis saja gak cukup loh gengs! Harus pandai dengan komputer, aneka software, dan yang harus lebih lihai lagi “MEMBACA MAHASISWA” yang bagi saya sih “Wah…. drama sekaleeeee…”

Ada yang tidak mengumpulkan tugas yang deadlinennya sudah sebulan yang lalu terus tiba-tiba kontak “Bu, waktu itu internet saya mati.” Laaaah kan bisa di hari selanjutnya :’)
Ada lagi yang salah upload tugas, dan setelah dikontak berjuta-juta kali, gak ada balesan.
Belum lagi banyak jawaban yang kopas plak-plek-plak-plek-plak. Yang kayaknya pas dikopas, otaknya lagi pada diistirahatkan di kulkas. Wallahu’alam.
Sungguh begitu banyak hal ajaib, yang kalau saya tatap muka sama mereka sih, mungkin saya udah banting microphone.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya….
Ada sebuah tugas yang sebenarnya begitu sederhana sih. Mahasiswa diminta untuk menuliskan dampak negatif dan positif dari globalisasi.

Yang dampak positif sih yaaaa standar lah ya….
Nah yang dampak negatif ini MENARIK!

Lebih dari 50% jawaban mahasiswa, pasti menuliskan “Globalisasi akan membuat tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.” bahkan ada yang langsung to the point “… akan membuat tenaga kerja dari Cina semakin banyak.” Loh, kenapa emangnya sama tenaga kerja dari Cina. Moon maaph, kalo etnis Cina, toh yang WNI juga sudah banyaaaaaaaaak, dan mereka orang-orang yang baik. Mana masakannya enak-enak pula, ya Allah~~terima kasih, karena ada akulturasi Tionghoa, masakan Indonesia jadi makin beragam dan enak-enak ya Allah~~~~~~ m(T^T)m

Belum lagi jawaban, “Tenaga kerja Indonesia akan semakin sulit bersaing baik secara nasional maupun global.”

Ada lagi “Membawa kultur yang buruk”, versi religius “Bisa berdampak buruk pada kultur dan iman masyarakat Indonesia, karena tidak sama dengan budaya dan agama mayoritas.”

Saya tentu misuh-misuh, namun apa gunanya misuh-misuh di dunia onlen-onlen yang rasa-rasanya kurang greget, kurang dramatis, dan mungkin kurang mantap kalau kepala belum pada dikeramas dan diberi pijatan-pijatan microphone.

Terlepas itu karena kasus “kopas” yang…yang…. yang tadi itu, yang pas dipake kopas, otaknya lagi hibernate mode di dalam freezer.

Tapi saya kemudian jadi berpikir, kenapa setakut itu sih? KENAPA?

Mari kita mulai dari perkara budaya dan keyakinan. Se-insecure apa, selemah apa, dan sebodoh apa kita hingga kita harus khawatir akan langsung, secara serta merta, terpengaruh kebudayaan dan keyakinan orang lain.

Jadi belajar ngaji dari level iqra sampai ubanan ini, apa faedahnya, kalau kemudian luntur karena, misalnya globalisasi.
Masa iya ada bule, kiclik-kiclik-kiclik, datang sebagai turis misalnya… terus gaya hidup kita langsung jadi sok-sok bule gitu. Kayaknya temen-temen kita yang orang Bali tetep dengan harkat dan martabatnya sebagai orang Bali. Itulah kemudian Tuhan menganugerahkan tempat mereka jadi obyek wisata laris…. dan jangan lupa, dulu setiap UN, nilai UN tertinggi itu pasti punya anak Bali. Mama saya tuh dulu sampai bilang “Ini jangan-jangan Allah pun jadi sayang sama Bali, abis orang-orangnya gak ribet.”

Tapi well, baiklah….
Sebagai suku dan penganut agama mayoritas, saya emang ngerasa beberapa oknum dari kita mmmmm memang secemen itu sih. Lah, puasa aja manja sampe harus tutup-tutup warung. Kenapa? Liat orang haus terus jadi pengen buka gitu? Ish~ yaaaaa ampuuuuun anak TK nol kecil banget.

Tapi ya sudahlah ya… mau gimana lagi coba. Konon, kita cuman bakalan naek kolestrol darah kalau mikirin orang-orang yang ignorant. Karena lagi koronce gini kan kesehatan mahal yang bok, mending kalem-kalem aja.

Tapi saya lagi-lagi terganggu dengan jawaban takut pada tenaga kerja asing, warga negara asing, dan produk impor. Kenapa?

Tanpa menampik bahwa, memang…. dan seringkali, pemerintah kita kurang bijak dalam memperhitungkan kesiapan sumber daya manusia dan industri dalam negeri (ini emang greget sih)
Tapi… apa jangan jangan kita juga merasa bahwa kualitas kita memang masih “meh” aja. Atau akhlak kita yang memang masih harus ditadaburi dulu :’D

Bayangkan jika kalian di dalam suatu kelas, terus kedatangan murid baru, dari luar negeri. Atmosfer sekolah dan kelas yang baik tentunya akan penuh dengan antusiasme. Semua murid veteran akan mencoba membuat si murid baru nyaman, kemudian saling ngobrol, rumpi, kenalan, dan tanya-tanya.

Tapi bisa juga, si anak baru ini kemudian kena bully habis! Tidak ada yang berteman dengan si anak baru.
Setidaknya ada 3 alasan.
1. si anak baru ini memang nyebelin, gak mau kerja-sama. Yaaaaa…. kita-kita kan jadi males juga ya nemenin yang model gini.
2. anak-anak di kelas memang pada dasarnya badung-badung, dan gak suka aja sama orang yang “bukan golongan kami.”
3. si anak baru ini rupanya pintar, lalu menarik perhatian bapak ibu guru! Anak-anak lama mulai geram dan iri “Cih, anak baru…. bisanya cuman cari perhatian aja!”

Masalahnya, kita ada di kasus yang mana? Apa jangan-jangan… jangan-jangan…. kita cuman iri dengki aja dengan orang-orang yang kayaknya kemampuannya lebih aduhai daripada kita.

Jujur saja, saya pribadi sering loh merasa iri AHAHAHHAHAHAHA.
Karena sejak sekolah saya bukan anak yang pintar, dan “B” aja, terus sering kena terapi “Jambak rambut kribo” sama Mama saya, saya tuh suka meratapi kebodohan-kebodohan saya. Saya kerapkali membandingkan diri saya dengan orang lain.

Nah… sejak saya SMA, saya selalu kagum dengan sebuah sekolah katolik yang tetanggaan dengan SMA saya dulu. Kok ya anak-anak di sekolah itu menang olimpiade sains terus ya. Ini apa harus pindah agama biar bisa pintar berhitung. Mereka makan apa ya kok bisa pada pinter, kayak pula. Ya Allah…. saya ini loh, itu 9+ 7 aja kadang mesti pake kalkulator.

Sampai S3 kelar, saya masih terperanjat dan suka sedih sendiri, “Ini kok saya gak pinter-pinter ya.” Kalian suka denger dong, Asian are so good in Math! Ini kayaknya “Asian”nya para East-Asian ya, soalnya… yang model-model kayak saya kayaknya gak masuk sample. Nah, riset saya ini kebetulan erat kaitannya dengan ekonomi, matematika, dan statistik. Dan tentu saja…. rasanya dikuasai oleh rekan-rekan saya yang dari Cina, Singapura, Malaysian Chinese, Korea, dan Jepang. Tinggalah tante emon yang bagaikan Timon di sarang hyena…

But they are so smart! Dan secara fair, dan kalau saya bisa… kayaknya saya mau standing applause. They are really really really really really smart. Dan saya berani untuk memuji mereka terang-terangan loh.
Dan itu titik dimana saya percaya bahwa perjalanan saya untuk belajar masih panjang. Kalau saya kebanyakan galau, sedih, menyalahkan diri sendiri, saya tetep disini-sini aja. Malah mental health yang kena. Sedangkan mereka moving forward, getting greater and awesome.

Saya selalu bilang “Okay Emon, jangan kalah. Suatu waktu, harus mencapai kualitas yang lebih baik dari mereka-mereka yang lo bilang keren.”

Bisa gak ya? Ya gak tau… tapi toh, harus dicoba kan ya. Karena iri, misuh-misuh, gamang, dan aneka toxic positivity itu rupanya…. rupanya gak bawa kita kemana-mana.

Dulu, salah seorang teman saya bilang “Mon, suatu hari kamu akan ‘ngeh’ dan bilang ‘Ooooooooh gini toh’ sama hal-hal yang ditakdirkan Allah buat kamu.”

Dan itu benar! Cuman terkadang kita tidak cukup sabar. Terkadang, menyalahkan itu memang lebih gampang aja.

Menyalahkan keadaan, sampai kemudian menyalahkan Tuhan, “kenapa harus gini sih? kenapa harus gitu sih?”

Kembali lagi ke topik kita semula.
Kenapa ya kita begitu phobia pada banyak hal.

In my personal case, mungkin karena memang banyak yang blurry aja kedepannya bakalan gimana sih? Duh ini aja udah seberliku-liku ini…. jangan-jangan kedepannya makin ribet.
Wajar kok, karena di muka bumi ini tidak ada yang pasti, selain ketidakpastian itu sendiri.

Eh… tapi…siapa tahu kita pun tidak seremeh yang selama ini kita duga. Siapa tahu, rupanya pemikiran kita, mental kita, fisik kita, lebih kuat dari yang siapapun tahu. Kata Mama, kalau masih sama-sama manusia, masih di planet yang sama, pasti sama-sama punya waktu 24 jam dan liat matahari yang sama.

Maka kita bisa melakukan apa yang orang lain bisa.
Maka kita bisa melakukan sesuatu di luar ekspektasi dan batas-batas yang kita buat sendiri.

Jangan meremehkan Tuhan dengan meremehkan kemampuan diri kita sendiri.

————-

Tsukuba, Akhir Mei 2021.

Catatan Akhir Ramadan


Ramadan tahun ini lagi-lagi masih kurang lengkap, karena lagi-lagi…. gara-gara pandemi… saya gagal kembali ke rumah. Untuk membuat saya terdistraksi, Allah menyibukan saya dengan komentar reviewer yang pedas, sepedas keripik Mak Icih level 100. Mungkin kalau kalian bukan peneliti, kalian tidak tahu betapa getirnya mendapat kritik reviewer. Dan kritik itu harus dibaca berkali-kali karena kalau kita mau karya kita publish, kita harus membuat komentar detil poin per poin. Membaca hal menyakitkan layiknya berzikir itu: Sakyiiiiiit!

Ramadan tahun ini, yang sulit bukan menahan lapar dan dahaga, tapi emosi yang naik dan turun.

Jangan tanya khatam Quran atau tidak, tarawih saja bolong-bolong.
Sahur saja tidak pernah, jadi modalnya Cuma minuman ion yang bisa mengganti ion tubuh dan kulit bening seperti adek-adek JKT48.
Jeleknya lagi, alih-alih ibadah yang khusyu’, kalau sudah capek saya malah marathon nonton drakor. Dari Vincenzo, Navillera, sampai Mouse. Gila! Yang kayak saya-saya gini nih yang bisa bikin drakor jadi “haram.” Bukan drakornya yang salah, saya yang dodol dan terlalu mudah luluh lantak dengan pesona Oppa Vin dan termakan penasaran gara-gara oppa Jung Ba-Reum. Tersesat oh tersesaaaaat~~~ astagfirullah!

Tapi dua minggu terakhir, saya bertekad “Gak bisa gini, Mon. Lo harus bisa merevisi sesuatu dari ibadah lo selain revisi paper lo.”
Dipikir-pikir, revisi paper, walau itu penting banget untuk karir dan tanggung jawab saya. Tapi pun ditolak (walau jangan dong please), masih bisa submit di jurnal lain. Tapi ibadah di bulan Ramadan, waduuuh… belum tentu umur sampai Ramadan tahun depan.

Tapi karena waktu sudah mepet, impian saya tidak muluk-muluk: Saya mau dengar bacaan shalat saya sendiri. Terutama saat shalat di rumah. Saya penasaran.

Ramadan hari ke-17, nuzulul Quran. Untuk kalian yang non-Muslim, jadi Ramadan hari ke-17 itu adalah saat Al-Quran diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Pokoknya sakral banget deh.
Nah, kebetulan! Sebagai orang yang belajar music, saya tentu punya voice recorder dan clip on. Saya rekam bacaan shalat tarawih saya.

Dan setelah saya dengar lagi…. rasanya mau nangis!
Bacaannya terkesan terburu-buru, dan ayat-ayat yang dipanjatkan mandek di Al-Ikhlas dan An-Naas. Untuk Allah itu baik loh, kalau tidak! Rasanya saya sudah dapat komentar lebih pedas daripada komentar reviewer untuk paper saya.

“Gila lo, Mon… masa buat Tuhan eh lo kayak gini.”

Maka malam-malam selanjutnya saya bertekad, pokoknya pakai ayat-ayat lain dalam Quran. Pokoknya tiap rakaat shalat harus beda bacaannya.

Kalian tahu apa yang terjadi? Saya baru ngeh kalau saya sudah banyak lupa dengan ayat-ayat pendek pada Quran.

Saya loh! Saya berani diadu perkara etos kerja dan etos belajar. Pagi saya paksa diri diri saya mengerjakan riset. Malam saya belajar Bahasa. Akhir pekan? Saya belajar musik, masak, menggambar, membantuk koreksi tugas mahasiswa secara online. Saya bahkan lari dan kejar medali event-event lari!
Eh, tapi saya lupa kalau perkara ibadah itu harus dikejar juga.
Duuuuh… ayah saya penghapal Al-Quran loh, saya juga hampir sempat hapal juz 30. Tapi kemudian menunda-nunda untuk menuntaskan hapalan, eh akhirnya sampai sekarang deh.
Terlena itu rupanya memang memabukan loh.

Arghhhh…. Malu banget.
karena saya tipe yang sangat keras pada diri sendiri, saya sempat down. Saya merasa kok saya tidak pintar dunia akhirat ya. Kenapa sih, kenapa Allah harus menciptakan seorang emon dengan begitu banyak kekurangan yang meh banget. Saya sampai dengar kursus bahasa Arab online hanya karena saya merasa tengsin dengan kualitas ibadah saya sendiri.

Kalian pernah gak sih, berkontemplasi…. Terus kalian tiba-tiba sampai pada suatu poin dimana kalian tuh malu dengan kompetensi kalian sendiri. Kayak “Hei, kemana aja gue selama ini.”

Proses kontemplasi belum kelar, eh dunia heboh dengan banyak hal.
Ada feminis julid lah, ada roket jatuh lah, ada bipang lah, ada tsunami pandemi lah, kebijakan mudik gak jelas, ada pemuka agama yang sudah bagus-bagus mengayom anak muda eh tiba-tiba dihujat karena dianggap penganut aliran Islam yang berbeda.
Yang lebih panas lagi!  konflik yang kemudian meledak lagi di Palestina. Sudahlah panas, eeeeh… di negeri Nirmala masih ada yang heboh saling menyalahkan ketika ada public figure yang belum atau tidak bersuara terkait kasus ini. Mereka itu siapaaaaa? Duta perdamaian PBB? Lempar lembing cap tarkam di media sosial tidak akan menyelesaikan dan membantu apa-apa. Ada loh fund raiser-fund raiser resmi yang mengumpulkan dana untuk proyek-proyek kemanusiaan. Sisihkan sedikit tabungan kita untuk itu. Semoga semua bisa tenang di hari Idul Fitri, semoga semua manusia di muka bumi ini bisa merasakan khidmatnya hari raya.

Jujur saja, saya pribadi kayak…. “Ini manusia pada ngapain sih?”
Apa sih yang ada di benak umat manusia yang ada di planet ini sampai kemudian sibuk menciptakan konflik  dan menghujat orang lain. Yang model-model begitu, kalau muslim, apa pernah denger bacaan shalatnya sendiri? Shalat yang hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, bukan sebagai media kontemplasi, meditasi, dan memperbaiki diri. Yang jangan-jangan, arti dan maknanya apa saja tidak paham. Yang jangan-jangan kalau ditanya “Tadi baca apa pas shalat?” terus blank “Hah apa ya?”

Manusia yang sibuk merusak hubungan dengan manusia lain dan makhluk lain itu sadar gak sih kalau jangan-jangan, yang perlu dihujat itu yaaaa diri kita sendiri.

Setidaknya bagi saya, saya merasa seperti tangkai cabe rawit di bungkus gorengan. Masih begitu remeh. Jangankan energi untuk meladeni orang lain. Untuk mengurusi kekurangan diri sendiri aja masih repot. Duh ini umat manusia tuh sedang apa? Mau apa?

Perkara Idul Fitri bertepatan dengan hari kenaikan Isa Al-Masih saja heboh.

Apa sih… apa yang ada di benak manusia-manusia ribet seperti itu?

Saya jarang berbicara hal-hal terkait agama karena itu bukan kompetensi saya. Ayah saya yang hapal Quran saja selalu bilang “Ayah hanya hapal, untuk memahami dan membuat tafsir, itu ilmunya lebih tinggi lagi.” Jikalau antum-antum yang bacaannya hanya Qulhu sama An-Naas, itupun makhraj-nya blunder, percayalah bahwa kompetensi Anda begitu minim sehingga tidak sepantasnya menjustifikasi perkara dunia dan akhirat orang lain. Jangankan yang berbeda akidah, pemahaman untuk kepercayaan sendiri saja masih bobrok.

Apa jangan-jangan mengoyok-oyok orang lain itu adalah manifestasi dari ketidakpiawaan dalam berilmu dan beragama.

Saya punya teori, kenapa ada orang yang sedikit-sedikit marah meminta dihargai Ketika berpuasa, marah-marah Ketika ada warung yang buka, mengamuk Ketika ada yang beda dengan mereka.

Karena jangan-jangan keteguhan jiwa dan iman mereka ya segitu saja, namun enggan mengakui dan enggan memperbaiki diri. Kalau jiwa dan pendirian seseorang teguh, secara logika, harusnya tidak mudah goncang diterpa ujian apapun. Mengapa orang lain harus repot dengan ke-cemen-an diri kita? Kenapa?

Tapi iya sih, lagi-lagi mengeksternalkan kesalahan memang nikmat rasanya. Menjadi tidak tahu diri, memang terasa begitu ringan dan menenangkan -.-

Saya kemudian punya pertanyaan yang baru. Apa sih yang salah dengan beragam perbedaan yang ada di hadapan kita?

Kita punya impian-impian yang besar, bahkan perdamaian di muka bumi. Bahkan mimpi untuk melihat keadilan di bumi Palestina. Sebuah impian yang luar biasa mulia.
Saya pun ingin melihat suatu Ketika, kita bisa tenang berkunjung ke sana. Seluruh umat baik muslim dan non muslim bisa ibadah tenang tanpa khawatir perkara apapun.

Tapi kita bahkan belum selesai menyelesaikan konflik pada diri kita sendiri, pada metode berpikir kita. Kita bahkan belum selesai berdamai dengan konflik yang ada di sekitar kita sendiri.
Kita bahkan belum selesai berdamai dengan aneka perbedaan yang ada.

Bisakah kita memecahkan soal limit trigonometri, jikalau perkara tambah-kurang-kali-bagi saja masih sering salah. Mampukah kita menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks, ketikda permasalahan remeh temeh saja kita gelagapan?

Bisakah? Waduh saya tidak tahu dan tidak punya kapasitas untuk menjawab hal tersebut.

Sebelum saya menutup podcast kali ini, kalian tahu keputusan saya berhijab sesungguhnya karena dukungan dan perkataan teman saya yang Nasrani? Begini ceritanya.

Saya sempat kesal luar biasa dengan beberapa oknum saudara seiman saya yang bagi saya, begitu merepotkan, ribet, dan bisa membuat frustasi.

Sedikit-sedikit kristenisasi… sedikit-sedikit kafir…. Sedikit-sedikit haram… sedikit-sedikit sunni, syiah. Woi, maen jauhan dikit. Mahzab dalam Islam aja ada macem-macem. Ilmu antum kalau masih baru sampai ngetik di google sebaiknya kalem saja lah. Bayangkan! Kesal gak sih, ada sekelompok orang yang begitu percaya diri dengan pengetahuan mereka yang cetek. Itu luar biasa loh, tingkat kepercayaan diri yang patut diacungi jempol.

Puncaknya, saya begitu marah karena saya yang dulu belum berhijab, berulang kali disindir dan dibilang “Duh kalau belum berhijab kan kasihan nanti ayahnya dimasukan ke neraka.”

Saya saat itu geram! Bagi saya “Lo boleh mencaci gue, tapi jangan sekali-kali hina orang tua gue.” Saya saat itu merasa, kalau saya busuk, brengsek, apapun itu… saya berani mempertanggungjawabkan itu, bahkan jika harus dipanggang di neraka sekali pun. Oke! Jika saya yang salah, maka saya yang harus bertanggung jawab. Main yang fair lah. Kalau tidak bisa beradu argumentasi, jangan permainkan psikologis seseorang dong.

Kesal dengan itu semua, dan merasa tidak “aman” untuk curhat dengan teman sesama Muslim, saya pun akhirnya menceritakan keluh kesah saya pada teman saya yang seorang Kristen. Kenapa bukan ke sesama Muslim?  Karena saat itu saya sempat berpikir…. siapa tahu saya sial, terus malah digosipin penodaan agama. Waduuuuh, masuk koran deh.

Dengan kondisi selabil itu, teman saya bisa saja loh… bisa saja… bilang “Yok Mon, gabung klub domba tersesat.” Tapi tidak kawan… tidak. Dengan bijaknya teman saya itu bilang

“Bukan agama lo yang salah. Bukan Tuhan lo yang salah. Yang salah adalah pemahaman beberapa orang terhadap seluruh konsep agama lo yang mulia.”

Saya ingat betul, itu jawaban paling bijak yang pernah saya dengar dan ingin saya dengar. Saya ingat betul dia juga tanya

“Mon, gw bisa liat loh, lo begitu bangga pada Tuhan lo, pada agama lo. Lo cuman keliatan sewotan aja, tapi hati lo penuh kasih. Semoga lo bisa menjalani keimanan lo dengan lebih baik ya. Islam butuh orang-orang seperti lo. Dunia, butuh orang seperti lo. Semoga Tuhan menuntun jalan lo ya.”

Hal itu cemen dan sederhana banget, tapi itu hal yang saya tunggu datang dari mulut temen-temen Rohis saya. Orang-orang yang malah sibuk mengurus metode berpikir saya, yang sering dibilang, terlalu liberal.

Saya kemudian berhijab sejak 25 Desember 2012. Dan kalau kalian tanya kenapa seorang Emon begitu ambisius untuk jadi peneliti yang Go internasional dan gak kalah sama tante Agnez-Mo… Itu karena saya ingin membuktikan apa yang teman saya bilang, kalau dunia ini butuh juga manusia saya seperti saya. Saya ingin sempat memperkenalkan diri pada dunia, sebagai wanita, sebagai Indonesia, sebagai Muslimah.

Gak tau kapan… tapi itu jalan ninja yang sudah kupilih AHAHHAHAHAHAHA.

Jika saja… jika saja saya terjebak pada pola pikir sempit yang terlalu berfokus pada perbedaan. Mungkin saya tidak pernah bertemu dengan teman saya tersebut. Mungkin… saya bukanlah emon yang setangguh ini.

Semoga kalian, lebih beruntung dari saya. Menemukan hal-hal ajaib yang mengubah kita jadi lebih baik.

Saya tante emon, selama hari raya Idul Fitri. Semoga kita bertemu dengan aneka cerita di lain hari.

[Emonikova Investigasi] Tidak perlu marah-marah ke Bloomberg: Membaca hasil kalkulasi Bloomberg terkait penyelesaian kasus Covid di Indonesia


Saya sungguh tidak percaya bahwa harus secepat ini mengeluarkan artikel Emonikova Investigasi. Tadinya tuh mau ngobrol santai tentang buku atau film seru yang bisa dicoba menemani hari. Atau bahas tentang pelajaran Bahasa saya yang mentok-mentok itu. Eh… ada berita Bapak Moeldoko yang sepertinya tersinggung dengan hasil perhitungan Bloomberg yang memprediksikan Pandemi di Indonesia akan berakhir kurang lebih setelah 10 tahun.

Saya kemudian mencari-cari publikasi yang dimaksud, dan membacanya seteliti mungkin. Sebagai peneliti, saya rasa tidak perlu ada yang tersinggung, apalagi menyuruh Bloomberg untuk belajar ke negeri oki dan Nirmala.

Justru kita yang harus belajar cara membaca hasil suatu penelitian.

Saya percaya Pak Moeldoko begitu sibuk mengurus negara yang indah ini,  mana sempat membaca semua hasil riset di muka bumi ini. Saya juga jadi agak sebal dengan jurnalis, yang saya bayangkan pertanyaannya berkisar “Pak, kata Bloomberg, Indonesia baru beres pandemi 10 tahun, Pak. Bagaimana menurut Bapak?”
Ya Bapaknya langsung kaget lah, dan respon yang wajar sih menurut saya. saya juga kalau jadi Beliau bakalan misuh-misuh, apa maksudnya Bloomberg ngomong gitu. Apalagi Bapaknya dulu orang militer. Ya darah menggelegak lah.

Tapi rupanya Bloomberg tidak berbicara SEGITUNYA loh Sodara-Sodara!

Seperti biasa, saya tidak bisa membiarkan masyarakat Indonesia, emm setidaknya followers saya di media sosial, tidak teredukasi dengan baik, maka saya yang akan menerjemahkan hasil penelitian Bloomberg agar lebih mudah dimengerti oleh kita semua. Supaya kita gak gampang emosi, dan malah menurunkan imun tubuh.

Untuk kalian yang kepo, kalian bisa mengunjungi hasil perhitungan Bloomberg terkait pemberian vaksin ini di internet. Cukup ketikan kata kunci covid vaccine tracker global distribution Bloomberg di mesin pencarian kalian. Nah pasti ketemu tuh.

covid

Laman tersebut hanya memberikan hasil perhitungan Bloomberg terkait sebaran dan kecepatan pemberian vaksin di seluruh dunia. Dengan data tersebut, Bloomberg memproyeksikan seberapa lama sih vaksinasi ke 75% populasi seluruh negara bisa tercapai, dan seberapa lama suatu negara bisa meraih herd immunity.

Nah penjelasan pendukungnya, bisa dibaca di artikel lainnya yang terkait.
Saya membaca prognosis “When will life return to normal? In 7 years at today’s vaccine rates.”

covid2

Karena biasa membaca jurnal, membaca artikel ini sih respon saya hanya “Ooooooooh….” Karena Bloomberg toh membeberkan keterbatasan studi mereka

“Bloomberg’s calculator provides a snapshot in time, designed to put today’s vaccination rates into perspective. It uses the most recent rolling average of vaccinations, which means that as vaccination numbers pick up, the time needed to hit the 75% threshold will fall. “

Bloomberg Covid-19 Tracker

Mereka juga bilang

“The calculations will be volatile, especially in the early days of the rollout, and the numbers can be distorted by temporary disruptions.”

Tom Randall- When Will Life Return to Normal? In 7 Years at Today’s Vaccine Rates (Bloomberg)

Nih kalau gak paham Bahasa Inggris, kebiasaan orang Indonesia juga kan suka males kalau artikel tuh bukan Bahasa Indonesia. Artinya, rate ini dihitung linear saja, dengan menggunakan rate vaksinasi saat ini. Ya wajar lah hasilnya sampai bertahun-tahun, wong semua negara masih dalam tahap awal vaksinasi. Ya kan?

Karena data yang terbatas, ada beberapa negara yang rate vaksinasi hariannya mengalami trend stagnan bahkan penurunan. Makanya kemungkinan over-estimated-nya gede banget. Contoh untuk perhitungan Canada, mereka juga diprediksi jika masyarakatnya mencapai herd immunity itu sekitar 7 tahun. Nah gak jauh beda sama Indonesia toh? Kenapa? Karena pada saat periode perhitungan, Canada sempat mengalami kendala logistik.

Nih biar kebayang, misalnya sample yang diambil selama 1 minggu nih. Nah pas lagi periode observasi di Canada, di 3 hari pertama vaksinasi lancar jaya, eh 4 hari kemudian eeeh ada longsor, badai salju, dsb gak ada vaksinasi toh? Masa ada yang mau vaksin pas badai salju.

Jika kemudian jumlah vaksinasi Canada sebenarnya 100 dosis perhari, maka kalau 1 minggu idealnya mencapai 700 dosis toh (termasuk weekend, jadi 7 x 100). Naah gara-gara gangguan logistic, dalam seminggu itu Canada cuman berhasil kasih vaksin 300 dosis (karena efektif ngasih vaksin selama 3 hari). Namanya statistik, ya gak pake tendeng aling-aling, tetep aja yang diambil nilai rata-rata pemberian vaksin selama waktu observasi. Ya jadinya kecil banget ratenya. Yang harusnya 100 dosis/ hari eh jadi kehitung sebagai 42.9 dosis perhari. Jauh toh? Ya iya… memang! Dan itu sudah disebutkan oleh Bloomberg sebagai keterbatasan mereka.

Namun apakah Pak Justin Trudeau ngamuk ke Bloomberg dan bilang, “…Bloomberg, sini sampeyan belajar dulu ke Canada.” Kan gak… karena memang bukan hal yang perlu diperdebatkan. Jadikan bahan muhasabah aja, “Oh iya juga ya, kalau pace kita segini keteter sih emang sih.”, “Duh kalau ada gangguan logistik lagi, kelar sih kita.”

Kalau misalnya kemudian tiap negara bisa mempercepat pacenya, ya Alhamdulillah…. Itu yang diharapkan kita semua, termasuk Bloomberg.

Selain itu, mereka menyebutkan, tidak memperhitungkan populasi yang punya natural immunity karena sempat terserang covid, anak-anak, dan lansia. Jadi dipukul total rata aja total populasi.
Walhasil rate vaksinasi berbanding lurus dengan jumlah populasi, iya toh?

Nah ini gimana nih Indonesia. Kok ya bisa 10 tahun? Dari data Bloomberg. Sejauh ini, baru 0,3% populasi yang dapat vaksin dosis pertama, dan 0.1% yang dapet dosis kedua. Populasi Indonesia ada 270 juta orang. Coba ya kita hitung kasar, kalau ratenya vaksinnya 0.1% per hari aja. Yang kelar vaksinasi butuh 1000 hari, itu udah hampir 3 tahunan gak sih? Nah….itu belum nunggu sampe ngebentuk immunitynya. Emangnya setelah divaksin langsung jadi iron man gitu? Kalau mau kayak gitu makan odading mang Oleh aja.

Ini juga salah kaprah tentang vaksin, vaksin tidak membuat kita jadi manusia kebal virus. Gak, gak gitu ceritanya… masih bisa kena, hanya saja, mungkin tidak se-fatal jika tanpa diberikan vaksin. Saya gak berani ngomong banyak, that’s not my field. Tapi konsep utamanya seperti itu.

Jadi nanti kalau kalian di vaksin, eh terus beres itu jorok lagi, yaaaaa masih bisa terserang virus. Bahkan mungkin virus strain baru. Jadi protocol Kesehatan wajib terus diresapi hingga kapanpun.

Balik lagi ke drama kumbara “Bloomberg” ini. Selain itu, rasanya kita sudah berkali-kali mengolok-olok “warning” dari para peneliti ya. Dulu pas ada ilmuwan yang bilang berdasarkan hasil perhitungannya covid harusnya udah menclok di Indonesia, eeeeh… malah diketawain, malah diejek-ejek. Padahal kalau kemudian dulu didengar, dan dipikir “Oh iya ya, wah harus waspada nih.” Mungkin kita udah bisa happy-happy seperti teman-teman kita di Vietnam.

Maksud penelitian itu baik loh, ingin memberikan warning. Itu saja.

Sudah saatnya, pemerintah dan masyarakat untuk belajar. Belajar mendengarkan. Jadi peneliti itu sulit loh. Belajarnya lama, dapat karir yang pas dengan expertisenya juga sulit, nulis hasil riset juga kena reject berkali-kali. Eh, pas niat baik mau mengedukasi masyarakat malah dijulidin.

Jadi kalau kalian tidak menghargai mereka…yang kalian lakukan itu jahat….
Menghargai itu bukan selalu harus selalu setuju loh. Disagree juga gak apa, tapi jangan diolok. Kalau dalam dunia kami, aturan silatnya adalah, kalau mau tidak setuju, maka lawan dengan bikin paper lagi. Nah itu! Elegan… tidak saling menyakiti. Perangnya pakai bukti ilmiah.

Dan untuk media, tolong lah lain kali kalau mau wawancara policymaker juga baca dulu bahannya dengan teliti, agar punya pertanyaan yang lebih jitu dan cerdas.  Saya rasa akan lain sekali ceritanya ya jika pertanyaannya adalah “Pak, menurut proyeksi Bloomberg, penanganan covid-19 akan lebih menantang untuk negara-negara yang memiliki kendala logistik. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, apalagi dengan jumlah populasi yang besar, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkan pemerintah untuk mempercepat distribusi vaksin?”

Kan enak…. Cerdas… keliatan udah baca. Pak Moeldoko itu ya sibuk, gak bisa baca semua paper, jurnal, berita… maka pertanyaan yang baik harus setidaknya memberikan rangkuman “Ini loh Pak tantangannya ini.  Bagaimana tanggapan Bapak?”

Maka adem, tenang, gemah ripah lohjinawi. Semuanya dapat informasi. Masyarakat dapat literasi dan tambahan ketenangan “Oh pemerintah gw siap nih. kereeeen.”

Begitu, gak semua harus diterjemahkan dengan urat :’D

Saya tante emon, dan semoga gak sering-sering ada case yang saya harus jelaskan ya :’D cappppeeeeek~~~

Yang lebih berbahaya daripada Covid19: Kehilangan nurani kala krisis


 “Iya, tapi kan gak semua peduli. Gak semua berpikir bawa hati nurani. Kadang-kadang harus ikutan jahat gitu gak sih biar survive?”

Emon memang orang yang keliahatan super ceria dan gampang ketawa…
yang orang gak tau, seorang Emon juga gampang panik. Gampang banget.. terutama ketika kepikiran tentang Mama dan adik. Mereka adalah dua orang yang paling berharga bagi gw saat ini. Kalau tiba-tiba gw khawatir, gw bisa langsung moody dan panik. Dan saat ini, media sosial berhasil membangunkan kembali kepanikan gw yang udah hibernasi sejak gw belajar musik, dan itu semua gara-gara the most viral topic of the year: COVID-19.

Gw sesungguhnya tidak terlalu panik awalnya, karena di Jepang… walau kasusnya besar dan gw sudah mengira akan besaaaaaar banget karena ketika wabah mendera Cina, banyak turis Cina berlibur sesaat ke Jepang. Itupun karena Jepang dianggap lebih bersih, aman, stabil, dan steril (well… dan juga deket kan). Lalu BOOM! wabah merebak di negeri Sakura. Jangan kira di negara maju dan se-well prepared kayak Jepang gak ada panic buying! Ada dongs!

Masker hilang dari pasaran, tissue toilet entah mengapa makin menipis stoknya, wowowowowowo~ cukup kaget juga. Pertemuan publik di-cancel, sekolah diliburkan, banyak plan hancur berantakan. Bahkan airport pun sepi. Pesawat menuju Jepang kayak kapalnya kapten Flying Dutchman di Spongebob. Hati gw pun ambyar!

photo6296462270171032090

Narita Airport sunyi….

 

Namun setidaknya, teman-teman dan supervisor gw baik. Kami saling mengecek satu sama lain. Dan mungkin karena gw tinggal di kota yang mayoritas penduduknya peneliti, tidak ada kepanikan berarti…. “Hmmm, ini kan virus ya, pasti sudah nyebar kemana-mana ya, wong kecil gitu kok. Sekarang kita yang harus tanggung jawab menjaga diri dan orang-orang terdekat kita. Ja! Ganbarimashou!”

Sungguh, awalnya gw tidak panik. Gw memang jadi lebih waspada, tapi hidup berjalan menyenangkan… seperti biasanya.

Sampai kemudian, wabah menyebar di Indonesia. Lengkap dengan pemerintah yang terlihat sekali gelagapan mengambil keputusan dengan cepat. Jangan lupa! Semakin gurih dengan “topping” beberapa paket netijen bawel di media sosial, beberapa media yang masih hobi bikin judul clickbait,  dan beberapa paket masyarakat yang emmmm…gimana bilangnya ya… norak? alay? sungguh harus ada padanan kata yang lebih dari itu semua.

Yak! Sebuah kombinasi yang luar biasa…
luar biasa membuat panik!

Gimana gak?

Panic buying dimana-mana, harga semakin merangkak naik, belum lagi jumlah penderita yang masih saja simpang siur.
Eh masih sempat pula ada kisah “FTV” dimana seorang pasien positif yang terjangkit virus masih sempat “kabur” dari ruang isolasi.
Butuh waktu untuk mencerna informasi-informasi yang berseliweran dan bisa membuat siapapun yang baca jadi GILA!

Lalu, gw inget Mama dan adik di rumah. Oh bagaimana kabar mereka kala gw kembali ke Jepang.
Gw cek harga barang-barang macam masker, hand sanitizer, dsb. Gak lupa gw pun cek harga-harga bahan sembako.
It doesn’t make sense… harganya mulai sama bahkan lebih mahal dibandingkan di Jepang. “No, my family will be not okay under this situation.”
Padahal, kalau gw boleh jujur, Jepang pun tengah resesi. Gw juga merasa uang gw lebih cepat habis akhir-akhir ini. Tapi… kalau kemudian harga di Indonesia bisa hampir sama bahkan lebih tinggi dari di Jepang? Geng… sori buat bilang hal ini….ini jelas-jelas:  Harga barang di Indonesia melonjak jadi MAHAL BANGET!

Gw bertekad, apapun yang terjadi… semahal apapun barang yang harus dibeli… kalau memang itu buat Mama, gw jabanin deh.

Gw pun kemudian tanya baik-baik ke Mama.

Me:   Ma, liat deh… orang-orang kan pada panic buying tuh, nanti harga makin mahal loh. Yakin gak mau beli sembako, sama masker, dsb? Beneran nih?

Mom: Mmmm… gak usah kak. Mama kan gak kemana-mana. Eh paling check up ke RS, tapi kayaknya sekarang lagi gak kondusif ya. Serem ah.

Me: Iya, jangan ke RS dulu sementara. Tapi jaga makan baik-baik ya.

Mom: Iya… obat rajin diminum, sama mama puasa tiap minggu. Makannya juga sekarang udah pinter abis ditongkrongin terus sama Kiki

Me: Ma, beneran nih, gak butuh printilan-printilan yang pada lagi dibeli orang-orang? Klo perlu, beli nih walau mahal juga.

Mom: Gak usah kak, kita punya cukup kok stok buat kita aja. Jangan beli lebih dari yang kita butuhin, ikut-ikut panik, nanti harganya makin naik.

Me: Ya makanya… sebelum makin naik lagi.

Mom: Eh kok gitu. Kalau buat kita aja harga segini udah berat banget, yang ekonominya lebih sulit dari kita pasti nangis-nangis. Duh kasian, udah kita jangan ikut-ikutan dzhalim. Gak tega ah!

Me: Ya udah, masker deh… butuh gak?

Mom: Kan Kiki udah beli sabun cuci tangan, yang penting rajin cuci tangan kan? Toh kita juga wudhu sebelum shalat. Insha Allah aman. Kita juga jarang keluar rumah kalau gak penting-penting banget. Udah jangan nambah-nambahin deh, kasian nanti yang butuh masker beneran. Nanti yang sakitnya parah banget gimana? Terus yang mobilitasnya padet gimana? Mereka-mereka itu tuh yang lebih butuh dari kita. Jangan suka ambil hal yang bukan hak kita ah. Mama sama Kiki anteng di rumah main sama kucing kok, gak kemana-mana.

Dan dari semua hal brengsek yang terjadi sepanjang 2020 serta komen-komen netijen yang terkadang terlalu ajaib, perkataan Mama seperti siraman air zamzam di komplek perumahan di tengah klaster neraka jahannam! Adem banget!

Tapi… itu membuat gw sedih karena pada akhirnya gw bilang, “Iya, tapi kan gak semua peduli. Gak semua berpikir bawa hati nurani. Yeeee… emang semuanya kayak Mama? Sori la yaw”

Lalu adik gw yang memang mulutnya berbisa itu pun angkat bicara, “Loh iya, memang Kak… memang! Kalau ada apa-apa, misal Mama nih yang kena si virus, pertama-tama… orang akan jauhin kita, rumah kita akan dipasang police line. Kakak akan dihujat, kok ya anak perempuan egois, sekolah lama-lama di LN, bawa virus. Kiki juga, anak cowok gak guna… gak bisa jaga Mamanya. Kita tamat kok kalau ada apa-apa. It’s predictable”

YES! THAT’S THE POINT! Jadi gak salah dong kita berpikir strategis sebelum kita dijahatin orang. Sedih banget kalau nanti kita sakit eh masih di bully dan dikucilin. God! Sudah jatuh dilindes traktor.

Tapi Kak, kalau orang lain kehilangan akal sehat bukan berarti kita ikut-ikutan kan? Gak gitu cara mainnya. Kita harus kuat, harus sehat, harus bertahan, agar kita bisa buktikan bahwa jadi orang baik pun masih bisa loh bertahan hidup di planet ini. Action speaks more than words, Man!

Gw jadi tau sih kenapa gw agak cemen dan cengeng kalau baca dan liat hal-hal yang penuh kebencian di dunia nyata dan dunia mayaa. Karena di dalam rumah, keluarga gw gak punya hal-hal jahat sedikit pun di benak mereka. Terlalu naif, tapi… bersama mereka gw merasa sangat nyaman.
Dan emang… mereka adalah oksigen gw. Oksigen saat “polutan-polutan” menyerbu benak gw.

Saat gw menulis ini, gw baru baca berita…
Ada masa suatu aksi berdoa agar India diserang virus Korona…
Ada berita tentang ibu-ibu sosialita yang pamer belanjaannya (yang jelas2 membeli banyak sekali sembako dari supermarket).
Ada status seorang netizen yang bilang “Inilah tanda mengapa wanita harus menggunakan cadar/burqa.”
Ada tablig akbar “Syiah lebih berbahaya dari virus Korona.”
Ada aneka persepsi”Oh pemerintah lambat luar biasa.”
Ada yang antipati “Cih, pasti kebijakan ini cuma untuk cari muka.”
Ada caci maki “Hish, Cina memang cuman menolong negara-negara Syiah dan Kristen… komunis!”
Masih ada berita “Banyak yang memakai sanitizer di tempat publik untuk isi ulang.”

In short:
Bahkan di saat yang genting, rupanya ada… rupanya banyak… yang masih sempat membenci.

Padahal ini wabah karena virus loh, makhluk super kweciiiiil yang bisa menyerang siapa saja.
Apapun agama kita…
Apapun suku kita…
dan karena tidak mudah dideteksi, maka siapapun bisa terserang. Bisa saja keluarga kita.
Bisa saja diri kita sendiri.
Dan jika kita yang dapat “jackpot” tersebut, tentu kita ingin mendapat banyak dukungan. Ingin mendapat banyak pertolongan. DARI SIAPAPUN.
Secara logika, bukankah seharusnya kita peduli untuk melakukan hal serupa pada sesama? Saling dukung… saling tenggang rasa… tepa salira kalau kata buku PPKN jaman SD dulu.

Gw pernah membaca, saat ketika manusia paling jujur adalah ketika mereka ada di titik kritis, ketika mereka menduga bahwa hari akhirnya semakin dekat.
Jika wabah ini adalah titik kritis, dan jika gw merujuk kutipan tersebut…. maka apakah watak kita sebenarnya memang egois? Memang mau menang sendiri?

Ah, ya… gw pernah bilang, secara default manusia emang egois, oleh karena itu kalau di angkot yang hampir penuh,  kita yang baru naik pasti disuruh duduk di paling pojok yang paling panas.
Kita egois. Oke! Mari kita telan kenyataan ini.
Tapi yang tidak disangka-sangka, kita kurang bisa me-manage sifat egois itu. Jadi yaaaa begitu saja~
Jangan-jangan sejak era Pithecanthropus Erectus ?

Kalau saja, kalau…. semua orang bisa seperti Mama, bisa dengan ringan berkata, “… jangan ambil hal yang bukan hak kita.”
Mungkin dunia akan sedikit lebih tenteram.

Eits… Mom, wait! You are wrong, in this cruel world… people think in another direction “Grab any kind of opportunity! No matter what!”

Oh iya lupa! Konon katanya, sebelum hari akhir…. yang tertinggal memang orang-orang yang jahat 🙂 Aha! kini kita punya penjelasannya!

Mungkin memang banyak orang yang lebih memilih untuk survive hingga akhir apapun taruhannya. COVID19 memang mengguncang dunia, merubah banyak hal, kecuali satu: sifat serakah manusia.

Sedih…
Sayangnya, kenyataannya begitu.
Is it time to farewell with solidarity and humanity? Gak tau, gw sih masih punya harapan (dan doa) untuk itu. Kalau kamu?