Karena kita menggali ilmu untuk mendewasakan pemikiran kita: Membongkar salah kaprah dalam melanjutkan studi


Jadi kalian kuliah itu ingin apa? -Saya-

Setiap menuju akhir pekan, saya mengecek blog saya… dan saya tertarik dengan search terms yang banyak muncul di blog saya… eng ing eng take a look!
Image and video hosting by TinyPicBahkan kalau di scroll kebawah lagi ada:
“IPB bubar”
“apa IPB bagus”
dsb….

Cieeee… pada nyari tentang IPB ya? Baiklah akan saya paparkan apa yang menjadi rasa penasaran kalian. Saya, walau alumni… tapi saya akan paparkan segalanya dengan seobjektif mungkin.

Masuk IPB susah? Gak kok, tinggal naik angkot 05 jurusan Dramaga bilang turun di IPB, terus masuk deh. Oh seriously, Marissa.
Yaaa layiknya masuk ke PTN ya, susah-susah gampang. Saingan kalian manusia-manusia pintar dan juga manusia-manusia dengan tekad baja. Pintar aja gak cukup harus banyak puasa sunnah dan tahajud :p

Kuliah di IPB susah? Jujur susah… susah buaaaaaangggeeeet…. kampret sekampret-kampretnya. IPB itu tega! Kalau kalian ngulang, bakal ada tanda bintang di transkrip yang mengindikasikan kalian ngulang. Jangan tanya kuliahnya… beuuuh, selalu ada mata kuliah killer di setiap fakultas. Karena saya anak yang biasa-biasa aja, yaaaah kenalan lah sama rantai karbon C, awalnya shock lama-lama sujud syukur karena Alhamdulillah lolos. Tapi yang dapat IPK 4.00 juga buaaaanyaaaak… jadi apakah kuliah dan dapat nilai bagus di IPB susah? tergantung kalian sendiri sih.

Apakah alumni IPB mudah mendapatkan pekerjaan yang layak? So far yang karirnya lebih bright dibanding saya buanyaaak banget. Kementerian, bank, jurnalistik, bisnis, semuanya ada….! complete!

Hal yang kayak begini sebenarnya bukan sesuatu yang perlu disearch di google, tapi ditelisik ke dalam diri sendiri, diajukan dalam setiap doa ke Tuhan. Yaaaah guys! Blog emonikova ini apa coba? yang ada saya malah mau ngomel-ngomel, nah nyesel kan…

Memangnya kenapa kalau kuliah itu susah?
Memangnya kenapa kalau jurusan yang kalian minati itu “Aneh” dan kayaknya kurang “hits”?
Kenapa? kalian mau mundur? Oh mundurlah karena dunia tidak butuh manusia cemen dan lembek.
Hei! Mana ada pelaut yang handal karena berlayar di sungai air tawar? Itu sih ternak ikan di karamba…. Pelaut handal itu handal karena mereka berani berlayar melawan ombak seganas apapun itu! Majuuuu! Serbuuuuu! Seraaaang! Terjaaaaang!

Jujur sebenarnya saya diterima di beberapa PTN di Indonesia, namun saya memilih IPB kemudian. Jangan pikir saya tidak tertekanya awalnya ketika saya masuk IPB…. ada banyak komentar miring
Ih… kok yang dipilih IPB sih, itu kan buangan aja buat anak SMAtop1 (menyamarkan nama sebuah SMA hits di Bogor)”
Ih kok yang dipilih IPB sih, kan susah dapet kerja sama beasiswa” Dan saya ingat betul yang mencetuskan ini adalah guru saya sendiri di SMP.
Kalau gw sih ya, Mon… gak ada hasrat sama sekali dengan tuh dengan IPB
dan ratusan hal lainnya…
Iya sih, saya kan biasa-biasa aja ya, garis rakyat jelata di SMA, mungkin jika saya masuk Oxford pun standar Oxford akan turun karena “Ih emon aja bisa masuk.” Waduh! kalau begini saya harus sungkem ke kampus….
But I study abroad now, nothing is wrong with my university, my teacher, everything! Everything are fine.

Kampus saya mungkin tidak perfect,
Nilai saya di kampus juga aduuuh gak usah tanya deh… :’D standar
Saya tertawa, menangis, jungkir balik, gila, bahagia, dan merasakan aneka perasaan nano-nano lainnya.

Namun, saya akan tulis hal penting ini denga ukuran jumbo dan bold:

Kesuksesan kalian adalah hasil tekad dan kerja keras kalian sendiri!

stop blaming the university,  the teachers, the subjects, your parents, your friends, your God. Satu-satunya orang yang perlu kalian marahi adalah orang yang wajahnya muncul di kaca ketika kalian bercermin. Oh yes! you.. just yourself.

Apa kalian akan lebih keren dibandingkan teman-teman kalian yang kuliah di univ.X ketika kalian diterima kuliah di univ. Y?
Apa kalian akan lebih jenius dengan kuliah di univ Y dibandingkan X?
dsb
dsb
dsb

Lupakan semua pemikiran mahadangkal dan bodoh itu. Jangan merendahkan diri kalian sendiri dengan menganggap kalian lebih hina ketika terdampar di suatu universitas bukan di universitas lain yang lebih “wah”. Jangan pula terlalu angkuh ketika kalian diterima di univ.impian yang luar biasa berat dan top and think that nobody in this universe can beat you! Think that you are the best and the smartest people in this blue planet. Bukan berarti saya menyuruh kalian untuk leyeh-leyeh gak berjuang ke univ unggulan, aduuuuh gak lah… kalian malah harus berjuang gila-gilaan untuk itu.

Oh please… please… please…
Jangan merendahkan harkat “pendidikan” dengan perspektif yang sempit….

Dalam Islam saja, sampai ada hadist (aduh masa’ harus gw yang ingetin):
The Prophet Muhammad (peace be upon him) said:  “The seeking of knowledge is obligatory for every Muslim.” – Hadist Al-Tirmidhi

Kenapa sih, kenapa mencari ilmu itu wajib? Kerena pengetahuan yang akan membijaksanakan kalian… membuat pola perilaku kalian tidak “kosong”

Ketika saya kuliah di IPB misalnya, lebih dari sekadar nilai… saya bertemu dengan orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan kultur. Setiap orang kemudian punya cerita mereka masing-masing,punya masalah dan kompleksitas hidup mereka masing-masing. Sebagai jembatan dari masa labil ala anak SMA menjadi dewasa, level S1 lebih menjadi sebuah media yang mengajarkan bagaimana kita harus bersikap menghadapi orang dengan latar yang berbeda-beda tersebut.

Saya juga belajar mata kuliah yang lebih kompleks dibandingkan ketika SMA, menghadapi dosen dengan aneka karakter dan aneka rupa cara mengajar yang tentu lebih beragam daripada ketika SMA. Nah, disitu kita berlatih untuk mencerna berbagai informasi dari beragam cara penyampaian.

Bahkan ketika nanti kalian lanjut ke jenjang yang lebih tinggi (S2/S3 misalnya), kita bisa nangis loh liat persoalan di depan mata kita… air mata terkuras. Selfie sih dengan senyum tapi hati teriris meringis. Lalu kita sadar “Oh dalam hidup ada yang permasalahan yang kompleks buanget” lalu kalian akan belajar how to solve itu semua. Di kelas mikroekonomi misalnya, waaaah jangan tanya susahnya macam apa (pakai nihongo pula), ada equation yang puaaaaanjaaaaaang banget… dan kemudian untuk dipecahkan, rupanya equation itu harus dipecah jadi beberapa equation… lalu pecahkan satu persatu. Nilai mungkin pecah-pecah, tapi itu kemudian melatih pola pikir kalian “Wah ada hal yang rumit nih! Oh baiklah mari runut satu per satu dan pecahkan semuanya step by step.” Bukankah pendidikan semacam itu sesungguhnya lebih mendidik kita untuk jadi orang yang gak ngotot dan lebih humble?

Kita belajar sesuatu dengan lebih fokus terhadap satu permasalah. Kita dilatih untuk memilah fact and hoax dengan cara yang lebih scientific. Memilah mana yang penting untuk dianalisa lebih lanjut di sel abu-abu dan mana yang tidak.

Beberapa dari kita juga mungkin akan tinggal jauh untuk pertama kalinya dari orang tua. Kita belajar untuk bertanggung jawab, memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Belajar bertanggung jawab dengan amanah dan doa orang tua kita yang pastinya gila-gilaan menyekolahkan kalian agar kelak kalian menjadi orang yang lebih baik.

Ketika kalian memutuskan untuk menjadi MAHAsiswa, maka camkan dalam benak kalian bahwa kalian punya tanggung jawab yang MAHAbesar.
Jika mental kalian terlalu cemen untuk mengemban tanggung jawab itu, silakan mundur…

Jika kalian punya impian, jika kalian benar-benar ingin belajar sesuatu, jika kalian ingin menjadi manusia yang lebih baik… detik ini tetapkan kalian mau masuk univ apa, jurusan apa, dan bertekadlah untuk berusaha luar biasa di bidang itu. Jika kelak kalian dapat nilai yang jelek, sedih… nangis… luapkan… tapi jangan terlalu lama, segera bangkit setelah itu! Belajar! cari dimana kesalahan kalian… jangan batasi ilmu kalian sebatas nilai di transkrip.
Jika kemudian kalian lulus, dan kemudian kalian ingin mencari pekerjaan dan membahagiakan orang tua kalian… carilah… sejauh mungkin! Kalian mungkin aka gagal ratusan kali, tapi ingat orang tua kalian tidak pernah menyerah ketika menyekolahkan kalian. Sebelum kalian menyerah, ingatlah untuk selalu mencoba lagi sebelum menyerah.

Kalian hanya perlu melakukan hal terbaik untuk hal yang benar-benar kalian suka dan kalian yakini.
It is like fall in love, no matter how hard it will be… no matter how crazy it will be… you’ll never give up on it.

And NEVER LISTEN ANY NEGATIVE THINGS AROUND!
Please juga untuk para “motivator” di kampus-kampus terutama motivator wirausaha biasanya… stop talking “Bill Gates juga dulunya drop out dari sekolah” are you stupid or what? Dia drop out dari Harvard! HARVARD!!!! bukan sekolah abal-abal! Kalian tau persaingan masuk Harvard itu macam apa? Aduuuuh…. by default otak dia sudah bright ya adek-adek sekalian. Lagian apa salahnya sih kalau kalian pintar, punya track record pendidikan yang baik, lalu punya bisnis? Oh come on don’t be stupid. Memotivasi orang tuh mbok ya yang membawa hikmah… otak pas-pasan lulus kuliah aja dapet kerja susah, apalagi kalau drop out? rezeki memang di tangan Allah tapi yaaaa kan semua juga gak cuman modal bismillah lalu life goes on dengan lancar.

Tuhan dan semesta ini sudah mendukung kita untuk melakukan hal yang baik, and the ace is on your hand now. Kalian mau sukses… mau gagal…. mau cupu… mau keren… itu semua kalian yang memutuskan.
Hei kalian, jangan menyerah ya kalau kalian merasa hal yang akan kalian lalui adalah yang terbaik untuk kalian dan untuk orang-orang sekitar kalian.
Seperti motto boneka Daruma: 七転び八起き (Nana korobi yaoki):Fall seven times, stand eight times…
Dan ah, bertanggungjawablah pada Tuhan yang sudah mengizinkan untuk mengabulkan doa kalian dan doa orang-orang terdekat kalian.

Mengapa kita tidak bersatu saja ???


Jika Anda follower saya di twitter maka beberapa dari Anda akan merasa geram atau sekadar bertanya-tanya kenapa saya berkali-kali menyebut nama “Dewa Ilmu Pengetahuan” lalu memaki-maki beberapa orang yang terlalu memuja-muja si Dewa tersebut. Beberapa kali teman saya yang tipe ikhwan-ikhwan kemudian mempertanyakan “Mooon… Dewa itu gak ada!” *kalau yang akhwat mah udah gak kuat kali ya menghandle saya hahahahha jadi gak komentar*, hahahahahha…. makanya dengarkan penjelasan saya terlebih dahulu.Mohon maaf, kebanyakan baca sastra melayu tahun ini gara2 ngajarin adik sebelum UN, jadi gaya bahasanya suka aneh-aneh.

Dewa Ilmu Pengetahuan yang saya maksud adalah lambang-lambang Universitas yang ada di muka bumi… well ada yang bentuk gajah megang pentungan, ada yang kayak penggebuk kasur, ada yang bentuk tameng dan bunga tratai, ada yang bentuk burung garuda, daaaaaan sebagaaaaainya… Saya mulai geram karena seperti ada chauvinisme masalah ini. Setiap orang membangga-banggakan almamater mereka secara “lebay” lalu terkesan mendewakannya. Sejujurnya bagi saya hal seperti amatlah tidak krusial dan tidak penting.

Sungguh bukan maksud saya atau menjadi kewenangan saya untuk mengganggu tiap kubik rasa bangga Anda pada almamater Anda. Tidak! Tidak sama sekali! Tapi ketika rasa bangga itu menuntun Anda pada keangkuhan… ini lain cerita! Saya mencintai dunia akademik dan penelitian, saya tidak mau dunia tersebut dikotori sifat tidak bermutu seperti itu! Kini ini menjadi urusan saya… Anda suka, atau tidak suka.

Pernahkah kalian? kita semua…. melakukan hal yang paling pertama diperintahkan Tuhan, IQRA! membaca! Baca filosofi setiap lambang kampus di muka bumi ini, jika Anda jeli… Anda akan menemukan satu kesamaan, semuanya akan merujuk pada KEBIJAKSANAAN dan KERENDAHHATIAN! Ketika Anda tidak bisa memupuk itu pada tindak tanduk Anda sebagai insan akademis, maka sebenarnya Anda telah mencederai “Dewa Ilmu Pengetahuan” yang Anda banggakan.

Pembaca yang budiman…
Mata, hati, serta pikiran saya kemudian mulai lelah dengan beberapa kenyataan yang ada. Dalam instansi pemerintah, banyak orang yang membanggakan almaternya, beberapa diantara mereka bahkan hanya ada yang mengambil jenjang akademis yang lebih tinggi hanya untuk menaikan jabatan mereka lalu menyombongkan almamaternya secara luar biasa. Bahkan ada joke yang beredar… kalau ingin melihat proporsi lulusan mana yang paling banyak diterima di suatu perusahaan, maka lihatlah susunan bos besar di institusi tersebut dan lihat mereka lulusan mana, nepotisme terselubungkah? Aaaah… ilmu saya belum cukup untuk menjawab itu. Tapi jika saya adalah “Dewa Ilmu Pengetahuan” maka saya akan menangis sedih memandang kenyataan ini.

Di dunia penelitian, kadang ego institusi juga masih begitu dominan. Institusi X kadang anti bekerjasama dengan institusi Y hanya karena beda institusi, bahkan kadang dalam satu institusi saja ada juga kasus Manusia X tidak mau bekerja sama dengan Manusia Y karena beda almamater. Tidak semua memang, tapi ada! dan itu membuat saya tidak habis pikir!

Mengapa ada… diantara kita, yang secara halus menyatakan bahwa, orang dari institusi X lebih “kurang kompeten” dibandingkan orang dari institusi Y?
Sungguh itu picik sekali!
Ingat! Anda bukanlah lebih pintar daripada orang lain, Anda mungkin hanya lebih dulu belajar dibandingkan orang lain. Satu lagi! Anda mungkin hanya lebih beruntung.

Saya harus mengakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia memang tidak merata, hal ini mengakibatkan ada ketidakmerataan kualitas pendidikan. Oke! Kita menyepakati itu. Lalu apakah jika kita berada di institusi dengan kualitas yang baik, kita pantas pongah? apa kita pantas merasa lebih eksklusif dari orang lain? Saya rasa tidak… ini tidak ada dalam konsep ilmu pengetahuan yang ingin mengajarkan kita menjadi bijaksana!

Pengetahuan akan berkembang ketika ia menjadi interdisiplin, catat ya…bukan hanya multidisiplin tapi juga interdisiplin, artinya setiap ilmu bersatu padu untuk memecahkan suatu permasalahan. Untuk menjadikan ilmu itu menjadi interdisiplin dan komprehensif serta terus berkembang, maka diperlukan kerjasama yang baik dari semua stakeholder. Dengan demikian semua bisa saling melengkapi kekurangan masing-masing. Ketika saya misalnya, seorang lulusan ilmu ekonomi, di sebuah institut pertanian, apa saya hanya boleh meneliti dengan orang-orang dari institusi yang sama dengan topik yang itu-itu saja pula? Apa salahnya jika ada masa ketika saya ingin belajar fisika, kimia, teknik, geografi, dsb untuk kemudian memperluas pengetahuan saya… apa salahnya jika saya kemudian bekerja sama dengan orang-orang dari bidang keilmuan yang berbeda dan dari institusi yang berbeda untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada? Salah? Apa karena saya minoritas yang berpikir demikian maka semuanya menjadi salah?

Pembaca yang budiman….
Saya… saya mengecap pendidikan hingga S1 saja sudah Alhamdulillah sekali. Tidak banyak orang yang seberuntung saya di muka bumi ini, apalagi selain masalah finansial, otak saya juga agak pas-pas-an :'(
Saya… saya mungkin salah satu orang yang paling banyak dicaci di muka bumi ini karena pilihan-pilihan saya bersekolah dan keasikan melakukan penelitian padahal harusnya saya menjadi kepala keluarga yang baik karena merupakan anak pertama.
Sudah pengorbanannya segitu, masih ada yang iseng bilang “Aduuuh… kok penelitiannya ambil jatah bidang orang lain sih?”, “Aduuuh… Perguruan tinggi kamu siapa yang jadi menteri gak ada ya?”, “Aduuuuh ngapain sih belajar terus?” daaaaaan sebagaaaaaaiiiinyaaaaaa… belum tentu deh kalian kuat kalau jadi saya, udah banyak banget soalnya. Saya ini dicap sombong, brengsek, nyebelin, kampungan, dsb sudah pernaaaaaaah semua! dan sudah kebal!
Tapi apakah saya dendam untuk itu semua?
Tidak…! Tidak sama sekali!
Sejak saya menasbihkan diri mengabdikan diri saya untuk setiap orang disekitar saya lewat ilmu pengetahuan, saya bermimpi ada sebuah masa dimana setiap ilmuwan, akademisi, hingga penentu kebijakan bersatu padu merumuskan penelitian dan kebijakan untuk negeri secara bersama-sama. Tidak perlu melihat SARA, almamater, parpol, atau kecemburuan sosial lainnya.
Jika otak saya mampu, saya ingin belajar semua bidang. Okelah otak saya sudah diset belajar ilmu sosial sekelas ilmu ekonomi, tapi saya juga ingin belajar science, saya ingin belajar sastra, semuanya…. saya ingin bekerja sama dengan orang-orang yang menguasai dan mencintai bidang keilmuan mereka masing-masing dan memiliki ghirah yang sama dengan saya, membangun ilmu pengetahuan untuk kepentingan bersama.

Saya ingin ada sebuah masa, dimana saya kelak bisa menjadi sebuah role model bagi generasi-generasi setelah saya bahwa kehilangan atau kekurangan bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang, tapi sebuah alasan untuk menjadi jauh lebih baik dan bisa menjadi pribadi yang bisa memperbaiki banyak hal. Saya ingin menjadi sebuah simbol perjuangan, bahwa variabel endogen kesuksesan adalah sikap serta perjuangan kita sendiri, bukan masalah almamater, parpol, SARA, atau kecukupan materi.

Mengapa tidak banyak yang kemudian berpikir sama dengan saya?
Mengenyahkan ego-ego pribadi lalu bersatu padu saling membantu untuk kemashlahatan bersama. Sesulit itukah?

Saya pernah bertemu seorang teman yang belajar di jurusan teknik geologi dalam sebuah lomba tingkat nasional , dalam esainya yang luar biasa  dia berkata…

“……Bumi ini semakin tua dan beban yang ditanggung semakin berat, akan ada masa ketika bumi tidak kuat lagi menampung serta menahan beban yang ada. Kita yang hari ini, berjalan tanpa pernah menyadari itu, lalu terus membebani bumi hingga kelak melebihi kapasitasnya. Ahli-ahli akuntansi kemudian hanya membangun bangunan megah yang bisa menyeimbangkan neraca debet dan kredit mereka, ahli ekonomi hanya asik dengan pembangunan yang bisa membuat kurva indiferen dan garis anggaran mereka saling bersinggungan, para ahli-ahli teknik terus membangun bangunan megah tanpa memperhitungkan social cost deficit dari bangunan megah mereka, ahli statistik terlena dengan data-data pertumbuhan ekonomi tanpa melihat ketimpangan yang terjadi, semua orang pintar di muka bumi ini asik dengan pekerjaan mereka masing-masing, dengan diri mereka masing-masing, dengan institusi mereka masing-masing, mereka terlena lalu lupa… bumi yang tengah mereka pijak sedang berteriak, meminta mereka bersatu padu, mengulurkan tangan, untuk setidaknya sekali dalam hidup mereka memperdulikan kemashlahatan semesta.”

Jadi, masih ingin egois? Aaaah… apa daya? saya sudah berusaha menyadarkan Anda.
Saya sudah berusaha menyampaikan pemikiran saya.