Sekilas kritik untuk Negeri “Cuitan”


Saya teringat salah satu tuitan Sudjiwo Tedjo (I should tell I really like his point of view)

13398994_1186105991433852_1525162985_n

“Lama-lama orang malas romantis, karena takut disebut galau. Malas peduli, takut disebut kepo. Malas mendetail, takut dibilang rempong.
Malas berpendapat, takut dibilang curhat. Malas mengubah point-of-view saat debat, takut dibilang labil”

Mungkin jika tuitan itu ditulis di masa-masa ini mungkin akan ada tambahan “Lama-lama malas mengkaji agama, karena takut dianggap menistakan agama. Lama-lama malas berpolitik karena takut masuk penjara” terus begitu hingga ladang gandum dipenuhi coklat.

Guys! Wake up… kok kita mulai memperumit segala aspek dalam kehidupan kita sih, segala aspek yang yaaaa kita-kita sendiri ini yang bikin. Bikin masalah sendiri, mengkritik sendiri, marah sendiri, loh… maunya apa?

Ratusan kilometer dari tanah air, saya merasa mengapa Indonesia kok “mumet”. Saya ingat sahabat saya sampai bilang “Ini sih, Mon…mungkin manusianya yang harus diganti.”
Maaf saja tapi menurut saya seluruh kasus yang sedang hangat di tanah air itu sebenarnya “Meh!”

Oke start from kasus penistaan agama dari pak Ahok. Sebagai muslim, well… saya harus bilang Ahok salah. Sungguh kasus keselimpet lidah Beliau sangat fatal. Apalagi di Indonesia. Loh Indonesia loh, beda “mahzab” atau “partai” antar dua keluaga saja dua sejoli bisa batal nikah kok. lha, ini bawa Al-Quran. yooo blas! Beliau salah, namun saya pribadi merasa yang terjadi kepada Beliau selanjutnya juga jadi tidak fair. Sudah diproses secara hukum kok, masih di demo, masih di caci, lah… kalau kita sibuk menyudutkan dan mengulang-ulang kesalahan Beliau, apakah itu membuat kita menjadi lebih baik dibandingkan Beliau?

Dan, mbok ya kalau tahu lawan itu cerdas maka berperanglah dengan taktik yang cerdas. Lhaaa… ini kesaksiannya cuman nonton youtube, buat laporan pun kompakan, piye? Salah pun kompakan. Lha… perang itu bukan hanya modal bismillah dan Allahuakbar, harus ada taktik, harus ada pemikiran, harus pengkajian… semua harus dilihat secara kaffah dan menyeluruh. Masih pakai demo segala. Ini logikanya dimana? Ya percayalah kepada para penegak hukum. Coba-coba-coba latihan….latihan HUSNUDZAN alias berbaik sangka.

Okay… mari kita biarkan penegak hukum bekerja secara optimal.
Eh tunggu! Memangnya bisa?

Ada yang bicara sedikit menyinggung agama, langsung dilaporkan ke polisi.. pasalnya tidak tanggung-tanggung “penistaan agama”
Ada yang update status kritik sedikit, itu juga dilaporkan ke polisi
Ada mantan pejabat iseng sedikit ngetwit, juga heboh dikomentari
Bahkan uang rupiah yang sudah didesain seindah mungkin oleh tim, dilaporkan ke polisi juga. Itu cetaknya aja udah susah. Masih baik hati BI mau mengomentari hal ini, kalau saya jadi gubernur BI sih “Yo wis lah… biarin aja mereka misuh-misuh ndak jelas.” mending ngurus harga cabe yang jelas-jelas lebih krusial dan terang inti masalahnya.

Besok-besok nasi basi pun jangan-jangan sampai ke polisi “Ini kasus penindasan rakyat oleh perusahaan rice cooker”
Besok-besok, saya yang sering salah melafakan ش, ص, ز,ذ juga akan dilaporkan ke Polres Bogor karena kasus penistaan agama “Ini loh, mbak Marissa, baca Quran-nya salah… bahasa Arab itu salah makhraj salah arti, penistaan agamaaaaaaaaa, digoreng di nerakaaaaaaa” Arggghhhhhhhh~~~
Lha, ini polisinya pun jadi capek fisik dan psikologis.
Orang-orang yang cerdas, pintar, tapi malas ribet juga akhirnya jadi mulai searching “How to change your nationality”, mulai searching biaya visa, join global online dating, dan tentunya tiket pesawat.

Mungkin saya terlalu “cuek”, terlalu liberal, terlalu cetek, apapun lah yang ingin kalian bilang. Tapi di tengah konstelasi global, ketika orang-orang bersaing untuk bekerja lintas batas. Kita? Kita masih sibuk di masalah spekulasi cuitan dan saling salah menyalahkan dibandingkan fokus menyelesaikan masalah itu sendiri. Kalian tahu gak itu seperti apa? Seperti dalam perlombaan lari, peluit sudah ditiup, yang lain sudah lari… kita? Kita masih sibuk menyalahkan sepatu “Ini gara-gara sepatunya nih, terlalu murah! Terus stripnya terlalu terang jadi bikin silau, yang jahit sepatunya pasti ingin saya celaka. Siapa? Siapa? Siapa penjahit sepatunya?
Ya Allah…

Saya selalu bilang orang Indonesia itu luar biasa baik hatinya. Dimana lagi di sudut dunia orang bisa selalu melempar senyum dan tawa even to the stranger. Cuma di Indonesia! Tapi ya kita sering kali mudah tersulut…mudah percaya… mudah terprovokasi…
Sering banget sih.

Fenomena ini kan sudah terjadi sejak lama sebenarnya. Beberapa dari kita seringkali malas membaca detil berita, tidak mencari tahu lebih dalam dari informasi yang kita dapat dari grup Whatsapp, LINE, dsb… lalu Voila! Share ke seluruh social media yang ada. Awalnya sih range kecil-kecilan, lalu lama-lama ketagihan, dan jadi ketagihan nasional… dan Bom! Sekarang masalahnya jadi besar kan? Munculah Pak Buniyani yang diikuti kasus-kasus lainnya yang sebenarnya ya gitu-gitu aja.

Saya pun heran mengapa media juga terkadang mengambi “cuitan” di sosial media sebagai literature review. Jurnal aja, jurnal akademik… kalau tidak terakreditasi masih harus diuji lagi kebenarannya, lha iki kutipan dari social media, yo ngawur ndak karuan wis. Itu sangat tidak ilmiah.

Aduh jadi capek marah-marahnya. Tapi serius, kenapa sih… kenapa kita begitu usil mengkritisi tanpa memberi solusi, mencaci dan menyalahkan tanpa saling mengingatkan. Kerajaan di Nusantara itu mayoritas bubar karena perang saudara, lha mbok ya sesekali belajar dari sejarah. Kalau tidak setuju dengan orang lain kan bisa “Witsss…. sebentar cuy! Kita agak berbeda perspektif nih bla bla bla”paparkan, jelaskan, diskusikan… ra usah misuh-misuh dikit-dikit twit, dikit-dikit curhat di socmed, dikit-dikit lapor polisi. Kan lebih sejuk.

Lalu harus bagaimana?
Mungkin sesekali kita harus matikan handphone dan TV gak usah lama-lama, setiap weekend aja, take your backpack and umbrella… dan lakukan semua hobi kalian selain liat handphone.
Coba cafe baru bareng sahabat kalian,
cuci baju,
tanam cabe di pekarangan rumah atau kacang ijo di kapas dan seperti layaknya bocah lugu yang antusias menunggu mereka tumbuh, atas ketawa konyol sendiri karena mereka secara misterius gagal tumbuh.
Baca buku yang benar-benar kalian mau baca
Bantu mama nyapu rumah
Shopping… atau berburu barang vintage
Journaling
Gangguin keponakan atau anak orang yang masih cilik dan lucu-lucunya tanpa perlu sibuk ambil foto dan upload ke social media
Ke ATM, transfer some money ke yayasan
Surprise visit ke rumah kalau kalian jauh dari rumah, plus bawa oleh-oleh yang mereka suka.
There will be lots of things you can do dalam waktu 24 jam tanpa melihat TV dan handphone sementara. Bukan berarti TV dan handphone itu jelek ya, tapi terkadang kita hanya butuh sedikit detox sih dalam hidup. Go outside and see everything from another perspective.

Jalan dan ngobrol bareng lah sama orang yang wawasannya luas dan menyenangkan, berdebat secara sehat… lalu ketawa bareng. Belajar untuk saling menghargai pendapat bahwa beda pendapat itu oke loh, menambah alternatif sudut pandang, dan itu membijaksanakan kita karena kita jadi “ngeh” oh iya yaaa pandangan gw belum tentu sama dengan orang lain.

Dan yang lebih penting lagi… sebelum klak klik submit atau share berita/komen/opini/foto/dsb. Baca dan liat lagi, kenceng-kenceng kalau perlu… pikir dan renungkan dengan otak dan nurani yang udah Tuhan kasih kepada kita apakah hal tersebut baik untuk disampaikan atau tidak. Kalau rupanya jelek, yaaaaa udah… delete lagi. Seberapa penting sih memang “eksis” di dunia maya? Menurut saya sih itu sesuatu yang semu dan gak penting.
Lagipula ada hadist yang berbunyi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

[رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Mengutip kata Alm. Gus Dur “Gitu aja kok repot” 🙂 iya sih pilihannya kan cuman dua diam atau say something good.

 

Mendefinisikan kembali makna PERTEMANAN


Saya punya satu pertanyaan krusial untuk kalian semua yang tersasar membaca kalimat ini..
“Apa makna Cinta dan Pertemanan menurut kalian?”
dan jika kemudian saya boleh melanjutkan pertanyaan ini ke jenjang yang lebih filosofis, “Sudah layakah kalian untuk mendapatkan Cinta dan Pertemanan yang tulus dari orang-orang sekitar kalian?”
“Apakah kita sudah cukup dewasa mengelola emosi dan psikis kita?”

Hah apa ini, Mon? apa?
Apa yaaa…. mmmm udah pernah liat video stand up comedy-nya Raditya Dika yang ini?

It is true… Ini fakta, kita, terutama wanita, kadang terlalu emosional ketika ngegosip. Bahkan ketika yang digosipin itu mereka sebut TEMAN sendiri!

Gak percaya? Hei… jika tidak ada pertemanan yang “sesadis” ini (maaf saya harus bilang ini memang sadis), maka kita tidak akan melihat kasus “Wanita yang tewas setelah meminum kopi bersama sahabat-sahabatnya”. Sahabat macam apa ya yang bisa saling bunuh-bunuhan? apalagi konon motifnya hanya karena “cinta segitiga”yang menurut saya ya ampuuuuun meh banget!

Jika kalian ingat lagi beberapa tahun yang lalu, sekitar awal 2014, ada kasus Ade Sara. Dua sejoli yang sebenarnya teman Mbak Ade Sara ini tega menghabisi nyawa gadis belia ini. Motifnya? Yang Cowok sakit hati karena pernah diputusin, yang cewek? Ikutan gemes karena merasa cowonya belum move on dan atas nama cinta apapun yang dilakukan si cowok akan doi support. Ini ke temen loh… TEMEN. Gila gak?

Dan saya masih punya ratusan catatan kasus kejahatan yang dilakukan seorang teman atau sahabat. Pertemanan seperti apa sih yang kalian maksud? Apa? Apa? dan Apa?

Saya hanya berpikir mungkin kasus-kasus ini bisa diminimalisir jika kita mendefinisikan pertemanan dan persahabatan dalam definisi yang lebih baik dan tentunya lebih TULUS.

===========================
Saya tidak tahu, tapi bagi saya beberapa pertemanan di lingkup sosial kita ini terlalu sadis dan kejam…

Lingkup sosial kita mulai tidak bisa mentolerir sakit hati, kekecewaan, dan kemarahan. Which is very childish in my opinion. Apalagi jika kalian sudah ada di area usia seperempat abad ke atas. Tau kan satu abad itu berapa? 100 tahun…. jika kalian udah Alhamdulillah mencapai usia ini maka bersyukurlah salah satunya dengan cara menjali hubungan yang lebih baik dengan orang sekitar.
Ini beneran, untung Allah baik, masih mau merawat kalian…
Kalau saya yang kemudian diberi kepercayaan untuk mengatur lama hidup manusia, waaaah kacau
“Aduuh… orang ini drama deh, udah ah ganti aja sama Tyranosaurus, klo sadis tuh mbok ya sekalian. Ah yang ini juga…ganti sama Panda ah lebih imut. Nah ini, wah yang ini nyebelin, ganti aja deh sama Rafflesia Arnoldi, mayaaan memperbanyak spesies bunga langka”

Ya kawan, bersyukurlah atas usia kalian.

Pernah gak sih kalian lagi ngumpul sama temen kalian… terus kalian saling ngobrol cantik. Nah, terus ada aja nih satu atau dua orang yang kemudian ngomongin aib-aib temen yang lain. Dan bener kata Raditya Dika, nanti pas yang diomongin dateng, yang ngomongin akan bertindak layaknya bidadari baik hati dari khayangan.

Atau pernah gak sih, ada temen kamu yang emang salah… banget banget salah, daaaaan selalu ada sekelompok atau beberapa kelompok yang ngomongin kesalahan itu entah sampai kapan. Prediksi saya mungkin sampai hari kiamat tiba.

Saya pernah dulu saya melakukan sebuah kesalahan fatal ke guru saya… saya akui itu. Saya salah. Personally saya kemudian belajar untuk memanage sifat rebel dan kurang ajar saya. Tapi siapa peduli dengan proses transformasi psikis lo? PFFFFTTTT BULLSHIT! Selalu ada orang yang ungkit-ungkit kesalahan saya. Saya marah? Tidak, tapi saya jengkel. Jika saya salah maka dengan segala hormat, jika Anda teman saya, mohon beri saya solusi dan nasehat sebaiknya harus bagaimana. Loh emang olok-olok itu membuat orang lain jadi  better off? Gak kan?
Sama halnya dengan apa yang seringkali saya lihat sekarang… saya pikir manusia akan berubah secara revolusioner sesuai dengan peningkatan kedewasaan, rupanya tidak! selalu ada beberapa orang yang minim toleransi terhadap kesalahan, dan sindiran… nyinyiran… dsb masih tersebar di planet bumi hingga detik ini dan mungkin akan terus berlangsung hingga anaconda betulan ditemukan di video klip Nicki Minaj.

Dan jika itu tidak menyeramkan… ah mungkin kalian belum tahu hal yang satu ini:

Listen carefully to how a person speaks about other people to you….

Yuph, jika seseorang bisa ngomong hal-hal jelek dengan tega tentang orang lain ke kalian, dia juga bisa melakukan hal yang SERUPA ke orang lain. Dan topiknya, ya tentang kamu laaah…. 😀 selamat ya, Guys.

Atau ada juga ketika kalian saling adu argumentasi dengan temen kalian… dua-duanya gak mau saling ngalah yang bisa disebabkan dua hal: dua-duanya sama sama benar, atau dua-duanya sama-sama salah, cuman beda perspektif. Alih-alih saling menghargai pendapat satu sama lain, yang ada malah terjadi puasa ngomong, puasa mutih, puasa weton, puasa daud, dan puasa-puasa lainnya. Yang kemudian bisa membuat kita berpikir “Oh kualitas pertemanan kita segini ini aja toh” beda pendapat dikit aja bisa saling diem-dieman.

Nih ini nih salah satu bukti gaul bocah-bocah era 90-an sekaligus bisa jadi pemicu konflik antar bocah-bocah kolektor Tato stiker pada masa itu (hayooo inget gak?)

Bahkan waktu TK, ketika saya kehabisan permen jagoan neon dengan hadiah tato kupu-kupu yang saya belum punya karena keduluan oleh teman saya, owwwh kami berantem dong… saya nangis sejadi-jadinya. Tapi itu paling cuman 15 menit… setelah itu kami makan es krim dan pulang bareng ke rumah dengan hati riang. Wait! Masa hal kayak gini aja kalah sama bocah TK di tahun 90-an, yang rupanya lebih cerdas secara emosional ketika menghadapi konflik saat itu. Think again, guys!

Jujur saya kecewa jika hal-hal seperti ini justru dilakukan oleh orang-orang dengan level pendidikan yang tinggi, dengan kondisi sosial ekonomi yang gak jelek, yaaah pokoknya di posisi yang perlu disyukuri lah. Salah satu sahabat saya selalu bilang begini kalau dia denger kasus-kasus macam ini “Yah, Mon… jadi kemana ilmu lo ampe mati ngerjain skripsi? Lo belajar berpikir kritis, sistematis dan runut berdasarkan fakta! Secara mental lo juga dididik gimana ngehadapin kritik dan saran pembimbing lo, gimana ngehadapin ketika lo stuck, gimana cari solusi. Kalau lo gak bisa implement itu di hidup lo, yaaaah… gak ada gunanya tuh skripsi dsb… kecuali sekadar bikin lo lulus tapi gak bikin lo jadi better human” (Yang ngerasa pernah bilang ini ke gw, ahahahha… lo emang bisa lebih antagonis dari gw ketika lo berapi-api)

Ya! Itulah mengapa menurut saya, pendidikan bukan membuat kita menjadi lebih jenius. NOPE! Pendidikan seharusnya membentuk pola sikap dan perilaku. Kita udah belajar bahwa dalam riset misalnya ada berbagai metode penelitian, dan berbagai metode itu bisa baik untuk menyelesaikan suatu permasalahan namun belum tentu baik dan bisa menyelesaikan masalah lainnya. Ya begitu… dalam kehidupan sosial kita juga akan nemu banyak-banyak masalah, dan kita harus bisa menerima kenyataan bahwa setiap orang itu punya preferensi, sikap, dan masalah yang beda-beda… dan mungkin memang pola perlakuannya harus berbeda-beda pula.

Saya pun sama, saya ini nyebelin… saya orangnya suka pukul rata, kejam, gemesan kalau liat orang yang saya kira nyebelin, kritikus, waaaah pokoknya nyebelin banget. Tapi saya sadar tidak semua orang bisa mentolerir sifat buruk saya itu. Sedikit demi sedikit sahabat-sahabat terbaik saya, nurani saya, guru-guru saya, buku-buku yang saya baca, mengikis sifat-sifat buruk saya itu. I have a brand new life… and I love it.
Saya tidak berharap apa-apa selain, saya merasa saya sudah menjadi the best version of me now… dan saya ingin seperti ini tanpa perlu mengotori hati dan pikiran saya with negativity.

Saya tidak memiliki banyak sahabat, tapi saya percaya sahabat saya adalah orang-orang terbaik dalam bidang mereka, dan mereka saya pilih bukan karena mereka perfect… tapi karena mereka NO-DRAMA. Bagi saya hal terpenting dalam suatu persahabatan adalah ketika kita bisa berargumentasi secara rasional, sehat, dan masuk akal.
===========================

Saya punya seorang sahabat, kami sering berdebat mengenai beberapa masalah, misalnya tentang jodoh. Dia lebih pada mahzab “It is better, Mon untuk gak nunda-nunda pernikahan dsb” sedangkan saya… saya lebih pada “Ahay! mumpung masih single, gw bisa keliling dan ngapa2in sendiri, selama beli tiket masih cuman buat satu orang”. Kami berdebat, kami saling mengingatkan satu sama lain, dan pada akhirnya kami malah jadi diskusi…. dan seperti biasa berakhir dengan ketawa, menertawakan kekonyolan kami masing-masing sambil kemudian nyeletuk “Yaaaah…. pantes aja kita berdua jomblo“. Pembicaraan kami yang Mahaserius bisa mendadak banting stir menjadi pembicaraan tentang wabah panu, kadas, kurap di era 90-an.

Itu yang jomblo, yang semi jomblo ada lagi. Walau sama-sama di Tokyo, tapi yaaa gak sampe kalau saya mau hang out sendiri dia harus ikut, begitu sebaliknya. Kami saling menghargai kesibukan masing-masing. Dan kalau salah satu ada yang stress, ya baru deh chattingan atau telpon-telponan sampai kuping panas. Udah gitu, ya udaaaaah…. life keeps turning on. Apa saya bilang dia sombong? Apa dia bilang saya yang sombong? Gak…
Pun kami kirim-kiriman pesan, pesan kami tuh aduuuuh…. “Mon ini ganteng kan” dan yang dia kirim adalah foto domba didikannya :’) Lalu pembicaraan kami nothing but about DOMBA dan SAPI!

Untuk yang beda gender, saya punya juga. Apa dia sempurna? Pfffft…. ya gak lah! Gak tau cara milih kado, imajinasinya minim, pengetahuan atas popular tale nyaris nol, sense fashionnya standar. Tapi dia baik! Gak pernah marah dan tersinggung walau saya bilang dia gak kreatif lah, jeansnya kegedean lah, jambangnya terlalu lebat lah,… dsb dsb dsb. Dan ketika saya marah-marah ketika curhat ke dia, dia bisa berpikir jernih dan selalu jadi orang yang menenangkan saya, yang bisa ngasih tau kalau saya salah dan memberikan solusi kira-kira saya harus bersikap seperti apa. Ketika dia gak tahu akan sesuatu dan dia merasa salah dia akan bilang itu, gak kemudian mencoba membela diri dengan aneka alibi untuk membuat dia terlihat keren, manly, dan bener. Dari dia saya belajar untuk jadi orang yang lebih humble yang berani bilang “I am really stupid in this case” dengan lapang dada.

Hal-hal yang hebat dari sahabat-sahabat saya adalah… ketika saya salah, ketika saya bermasalah, mereka gak ngomong ke orang lain… mereka langsung menghubungi saya. Complain segala hal tentang saya. Persahabatan kami sederhana namun gurih layaknya Rumah Makan Masakan Padang. Punya aneka rasa dan punya motto “Gak enak bilang ke kami, enak beri tahu yang lain”
kami saling mengkritik
saling menertawakan
saling complain
saling menyemangati
saling mendukung
saling memahami kekurangan dan kelebihan kami masing-masing.

Dan apa dunia perlu tahu segala persoalan dan keburukan kami? Gak, kawan… gak perlu.
Saya ingin kami menua bersama, mendewasa bersama.
Saya ingin anak-anak kami kelak juga memperoleh persahabatan dengan kualitas yang serupa atau bahkan lebih baik, yang anti-drama, yang siap dengan segala konsekuensi pertemanan. Yang open minded dengan perbedaan orang lain.

Saya juga percaya bahwa bahkan jika kelak saya menikah, cinta itu paling hanya bertahan beberapa bulan atau kalau beruntung beberapa tahun. Saya dan dia akan menua, getting ugly and uglier. Saya menjadi gendut setelah punya beberapa anak, jadi lebih cerewet karena harus menghandle banyak urusan rumah tangga. Suami saya… ya sama aja, setampan apapun dia saat ini, dia kemudian akan membuncit, rambutnya mulai berubah warna, kulitnya menggelap dan sedikit demi sedikit mengkeriput…. dia akan punya lebih banyak tanggung jawab dan tentunya permasalahan. Bagaimana kami bisa bertahan jika tidak ada feel “Persahabatan” diantara kami? Saya ingin menjadi sahabat terbaik untuk suami saya kelak… yang tidak peduli seberapa menyebalkannya kami masing-masing, tidak peduli sebanyak apapun kami beradu argumentasi, kami berakhir dengan saling minum kopi atau teh bersama lalu tersenyum pelan sambil bilang “Ah, everything will be alright.” Kami menua bersama, seiring menuanya cangkir kami… rumah kami… mendewasanya anak-anak kami… namun persahabatan kami tidak pernah menua. Which is perfect 🙂

Dan apakah sekarang kita bisa mendefinisikan makna pertemanan dan persahabatan yang baik menurut versi kita?
Hei… ini versi saya, apa versi kamu?