Mahasiswa ikut demo? Salahkan?: Mengkritisi kematangan emosional dan Politik “Kidz zaman now”
Entah mengapa sedang muncul kisruh baru di dunia persilatan mahasiswa. Adik saya geram sekali karena dia dinilai sebagai mahasiswa apatis yang setelah kuliah langsung pulang dan hanya ikut satu kepanitiaan. Kalian tidak tahu kan, adik saya cepat-cepat pulang karena harus merawat Mama kami yang baru saja menjalani operasi bedah kecil karena luka yang tidak kunjung sembuh terkait penyakit diabetes Beliau. Sama seperti adik saya, saya juga gak terlalu gila dengan organisasi… walau dulu pernah masuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), kalau saatnya pulang yaaaa saya pulang. Demo? Aduh gak deh. Bagi orang-orang seperti saya… demo itu hukumnya “makruh”, yo wis lah kalau mau pada demo, tapi gw sih ogah.
Saya tidak pernah bermasalah dengan anak-anak yang demo, itu keren juga loh semangat muda yang berkobar-kobar. Dan memang, sesekali pemerintah memang harus didemo, disentil dan diingatkan. Lagian era demokrasi loh.
Yang membuat saya kecewa…. sebagai seorang “kakak”, bukan hanya bagi adik kandung saya tapi juga bagi mahasiswa-mahasiswa zaman now, kok kesannya malah mahasiswa yang “aktivis” dan “apatis” ini jadi dua kutub yang betul-betul bersebrangan dan saling tunjuk hidung dan merasa “Gue loh yang paling bener, lo…lo…lo…salah”. Zaman saya sih, saya berteman baik dengan anak-anak yang semangat berdemonstrasi, dan yang demo pun gak pernah tuh semena-mena “Lo itu, Mon… super apatis. Lo gak peduli sama masyarakat”. Kami mengkritik kajian-kajian BEM yang menurut kami ngawur, dan BEM juga nerimo-nerimo aja sebagai masukan. Lha! beda kan biasa~ justru perbedaan pola pikir memperluas perspektif kita.
Baru-baru ini ada kasus yang melibatkan kampus saya dan mungkin beberapa kampus lainnya. Ada kisah tentang beberapa mahasiswa yang ditangkap polisi karena berdemonstrasi menuntut kebijakan Jokowi-JK yang rasa-rasanya belum berjalan baik menurut mereka. Singkatnya, ada dua kubu: Kubu pro demo, dan kubu anti demo. Yang Pro-demo ini menuntut teman-temannya segera dibebaskan “ini orba model baru, krisis demokrasi”. Yang anti-demo jadi merasa bodo amat karena merasa “Ya rasain aja, salah sendiri lo gak ikut aturan main… harusnya bubar jam 6 sore, kok jam 11 malem masih stay. Mamam tuh di kantor polisi”.
Dan namanya juga “kidz zaman now” yang menurut saya kematangan emosional, sosial, dan politiknya masih belum stabil, yaaaaa…. gontok-gontokan aja di social media.
Well, mumpung masih jadi mahasiswa S1… masih ada banyak kesempatan untuk melakukan kesalahan dan juga belajar memperbaiki itu. Lalu, dengan cara itulah kalian akan menjadi lebih dewasa.
Kepada para mahasiswa yang demo (atau mendukung yang demo)
Mulai dari para demonstran yang semangat-semangat ini ya. Yang energi mudanya luar biasa.
Adik saya men-share sebuah pernyataan unofficial yang mewakili teriakan kubu pembela demo. Untuk menghormati adik ini, saya blur yaaaa namanya 🙂 kalau kamu tahu siapa, biar hanya aku dan kamu yang sama-sama tahu (apa sih… hahahahaha).
Oh iya… disclaimer dulu. Saya mah udah ‘senior’ dibilang mahasiswa apatis yang know nothing. Yah atuh saya mah apa lah dibanding mahasiswa aktipis mah… hanya mahasiswa uzur yang lagi penelitian dan kuliah di luar negeri aja. Tau apa, tentang gini-ginian mah lah~ pret. Hahahhaa… jadi saya kebal loh kalau kalian gak setuju sama saya. Tapi saya ini seorang kakak, dan saya merasa I need to criticize this one.
Bacanya pelan-pelan lah ya, biar puas hahahahaha 😀 eh pembaca yang lain juga boleh komen loh, tapi inget yang sopan dan kalau bisa penuh humor lah. Kalau penuh hujatan, saya bisa detect IP address kalian loh ya 😉
Kok rada-rada politik ya, eh emang mahasiswa teh boleh ya popolitikan kieu? Beneran gak tau, soalnya kalau di Jepang sini, kampus adalah kawasan steril yang bener-bener bersih dari bau-bau politik. Selebarannya pilkada aja gak boleh terbang ke kampus. Kalau sampai ada, wah bisa heboh seantero kampus. Tapi kan saya mah apa atuh, pas kuliah S1 saya juga biasa-biasa aja, gak wow…
Dan hey! mari kita ikuti logika berpikir Sang Penulis yang luar biasa sangat berbakat ini.
Jadi masa baju kotak-kotak salah ya dengan melebihi batas demo? Banget dong!
Nah, okey… mereka salah. Jadi kalau mahasiswa melebihi batas waktu demo juga boleh dong, wong sudah ada “suri tauladan”nya. Bukan perkara hal salah atau benar…. tapi perkara sudah ada yang melakukan itu sebelumnya atau belum?
Nak! kalian itu… sorry… mahasiswa? Mahasiswa itu kaum intelektual loh, dan sebagai seorang intelektual bukankah kalian seharusnya sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah? Jika kalian paham bahwa melewati batas waktu demonstrasi itu SALAH, no matter how much success stories bahwa ada yang berhasil dengan aman lewat masa demonstrasi adalah tetap SALAH. Iya gak sih? Atau logika matematis seperti itu harus diajarkan secara lebih serius di bangku SMA supaya metode penarikan keputusan kalian logis.
Dengan demikian, walaupun saya bisa memahami kalian berusaha kritis dan membela beberapa kepentingan negeri. Namun, maaf… masyarakat mana yang kalian wakili? Karena saya kok malah kecewa dan merasa tidak terwakili? Dan teman-teman kalian juga ada banyaaaaak sekali yang bahkan jadi berkurang respectnya dengan kalian. Kalian tahu, siapa lagi yang merasa tidak terwakili oleh kalian? Keluarga dari para polisi yang tugas jaga ketika demonstrasi kalian.
Saya mencoba seobjektif mungkin dan semanusiawi mungkin. Mengapa polisi cenderung lebih anarkis saat ini dibandingkan ketika kasus ahok misalnya? Karena mereka lelah… lapar… dan probably ngantuk. Ketika kasus ahok, walau massanya lebih masif tapi tempatnya terbagi dua bukan? Jakarta dan Depok? It means yang jaga pun terbagi, ada yang di Jakarta dan kemudian di Depok. Ketika massa bergerak ke Depok, yaaah mayan lah yang di Jakarta bisa makan dulu… meanwhile di Depok udah siap-siap dengan makan makanan bergizi dan stretching.
kasus kalian beda dek, waktu bapak-bapak polisi ini istirahat lebih terbatas. Mereka harusnya sudah bisa sedikit melemaskan otot setelah jam 6 sore. Lha, kalian lanjut sampai jam 11 malam. Berisik, capek, pegel, ngantuk, lapar… belum lagi mereka yang di garis depan itu polisi-polisi bergaji rendah loh, Dek… ya ngaaaaamuuuuuk. Itu sih sabar, kalau saya polisinya udah dari jam 7 malem kali saya jadi “liar” hahahhaa.
Saya menyayangkan kalian… mahasiswa cerdas, yang antusias memperjuangkan hal-hal makro, melupakan hal mikro bernama “berpikir dan bersikap manusiawi”. Saya akui aparat salah… iya! Itu parah sih. Tapi saya paham…mereka lelah, Dek. Jika yang jaga itu adalah ayah saya, saya akan marah sekali… marah sekali dengan kalian mahasiswa-mahasiswa yang “menahan” ayah kami begitu lama. Kalian mungkin gak paham ya, tapi sebagai seseorang yang sudah tidak memiliki ayah… saya pikir kita waktu seorang anak dengan ayahnya itu begitu berharga. Happy merebut waktu itu dari anak-anak yang menunggu bapaknya pulang?
Lanjooooot!
Saya sebenarnya setuju dengan paparan di paragraf selanjutnya. Mengenai keresahan mengenai ketimpangan dsb. INI KEREN! Saya tulus mengakui ini, dan itu pula yang membuat saya bilang “I have no problem sih kalau ada yang memilib berdemo”. Tapi, pemerintah itu orang-orang yang sibuk, including Pak Jokowi yang pada esensinya kalian demo…. sebelum koar-koar, bikin lah kajian yang jelas dengan data scientific dan permodelan yang jelas. Jangan demo dulu… cari kawan “apatis”
kalian yang jago nulis, buat karya tulis misalnya, sampaikan di conference, dengar masukan expert di bidang itu, dan kalau lebih hoki lagi siapa tahu kan dapat hadiah dari lomba karya tulis. Sebagai ekonom lingkungan, saya juga menentang reklamasi misalnya. Lebih ektrim dibandingkan kalian, saya juga tidak setuju dengan pembangunan pabrik semen di Kendeng, saya juga tidak setuju dengan perluasan lahan kelapa sawit. Tapi lawan kita ini juga orang-orang yang pintar! mungkin juga licin… maka kita harus lebih cerdik. Itulah alasan mengapa saya memutuskan terus belajar. Somehow, walau saya tahu kalian akan berpendapat bahwa jalan perjuangan kita yang beda, kita harus lebih pintar dibandingkan “lawan-lawan” kita itu. And have you, guys? Not yet? Then go back to the school… Seriously!
Lalu, saat kalian memiliki kajian yang kuat, kalian bisa deh datang dengan PD kepada para pemegang kebijakan. Datang baik-baik ke Ibu Sri Mulyani kek, atau ke Ibu Susi kek. Diskusi “Bu, jadi berdasarkan hasil penelitian kami dengan data time series tahun xxxx hingga xxxx, kita bisa lihat nih masalah kita A, B,C, D, etc”. Nah! Pertanyaannya, sudah berani belum jika intelejensi dan mental akademis kalian diadu dengan para ahli di pemerintahan? Saya sih gak, saya kan bodoh hahhahahaa… makanya sampai sekarang masih sekolah, itupun masih banyak salahnya. Entahlah jika ilmu kalian sudah sampai ke level itu. Kalau level kalian kira-kira masih cuman bisa complain dosen pembimbing kalian killer hingga kalia gak lulus-lulus dan penuh revisi, terus curhat di socmed…. yang perlu direformasi terlebih dahulu mungkin mental kalian.
Jika langkah-langkah tersebut sudah dijalani, DAAAAAN mentok…. hayu lah, saya dukung demo sampai kapanpun. Karena dibandingkan demonstrasi, saya merasa metode pendekatan lewat kajian, terutama untuk para akademisi (btw inget2 loh, mahasiswa itu masuk CIVITAS ACADEMICA), lebih efektif dibandingkan demonstrasi berjam-jam. Kalian juga bisa bertemu para “kunci” pemegang kebijakan. Sekarang aja kalian idealis gila-gila, tapi sebagai yang juga pernah bekerja di pemerintahan, internal pemerintahan itu juga stressful, banyak permasalahan yang menumpuk dan perlu diselesaikan satu per satu. Saya yakin, kita nyoba jadi tukang fotokopinya kementerian aja belum tentu sanggup, karena pekerjaannya sangat sulit dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan.
Saya kemudian mengkonfirmasi dan melihat media sosial BEM univ-univ terkait yang mengklaim mereka tidak bubar karena Pak Jokowi batal menemui mereka padahal dari yang mereka dapatkan “Pak Jokowi akan dapat menemui massa”
Rupanya……….. Bapaknya ada di NTB :p
Kecawi lah para pendemo.
Paham juga sih kenapa yang demo kecewa, tapi… ya mau bagaimana, toh Pak Jokowinya ke NTB juga melakukan hal yang (I am so sorry to say this, Dek) lebih berguna daripada mendengarkan massa demonstrasi. Karena, bagi saya yang mengamati dari luar, mana kajian ilmiah yang kalian gadang-gadang merupakan alasan kalian berdemonstrasi? Jangankan Pak Jokowi, kami saja menunggu loh. Kalau memang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan, gak usah panas-panasan juga dibantuin deh menemui pihak-pihak terkait. Ya, ini sih malah opportunity cost pada akhirnya… pergi ke NTB mengurus masalah perizinan tanah lebih jelas outputnya. Kalau Beliau tidak menyelesaikan ini juga kalian marah bukan?
Well… topik demonya pun menjadi blunder, ini beneran membela rakyat?
Jadi ini teh demo masalah ketimpangan? Atau UU Ormas? Wow…wow…wow… mind blowing wooooow….
Pantesan Pak Jokowinya memilih ke NTB, Dek.
kalian teh paham gak fasis itu apa? Nih, lah saya kasih. Karena saya yakin kalian lebih fresh dan lebih cerdas daripada saya yang sudah aging dan bodoh ini, saya asumsikan level bahasa Inggris kalian lebih baik dari saya… ini loh ya definisinya:
fascism
noun 1.(sometimes initial capital letter) a governmental system led by a dictator having complete power, forcibly suppressing opposition and criticism, regimenting all industry, commerce, etc., and emphasizing an aggressive nationalism and often racism.
2.(sometimes initial capital letter) the philosophy, principles, or methods of fascism.
3.(initial capital letter) a political movement that employs the principles and methods of fascism, especially the one established by Mussolini in Italy 1922–43.
Fasis itu bukan hanya otoriter tapi menguasai seluruh sektor dan cenderung rasis. Kayaknya saya merasa tidak ada rasisme di Indonesia (yaaaa belum tahu kalau sudah ganti). Saya juga merasa kalau gak ada halangan untuk seluruh lapisan berkarya. Ketika kebebasan berinteraksi dan berekspresi itu masih ada maka itu bukan FASIS. Otoriter saja rasanya belum sampai.
Bukan saya ini pembela Jokowi, tapi bagi saya jika ingin berjuang… ingin berperang… maka elegan dan cerdas lah, apalagi membawa bendera AKADEMISI sebagai mahasiswa.
Sebagai bagian dari civitas academica, jujur saya malu dan menyayangkan ketika hal seperti ini terjadi pada mahasiswa. Dan maafkan saya… ketika saya kecewa melihat argumen-argumen pembelaan yang menurut saya lebih berbau politis daripada akademis.
Dan UU Ormas… what happened with UU ormas? Saya sampai baca loh itu si Perpu Ormas. Yang belum baca silakan deh baca di sini
Saya kan bodoh politik ya, jadi saya nanya deh, yang salah apa? Ya wajar lah, pemerintah tidak mau ormas membuat keributan dsb. Yang salah itu apaaaaaa? Ohhhhh, kalian bagian dari ormas yang kemarin dibubarkan? Ya kalau gitu jangan pakai panji-panji mahasiswa lah, silakan gunakan embel-embel ormas.
Ya udah blak-blak-an saja, saya akui masalah pembubaran HTI itu agak blunder sih, kalau mau dibubarkan kenapa gak dari dulu. Iya kaaaan? Lha… pemerintah baru menyadari pelanggaran yang dilakukan sekarang, yo wis… dibubarkan. Tidak setuju? Ya pasti ada pro dan kontra. Tapi saya sih termasuk yang setuju-setuju saja jika ormas ini dibubarkan, karena saya sudah terlalu kecewa dan marah melihat video ikrar mahasiswa untuk mendirikan negara khilafah. KE-CE-WA! Dan sempat kampus saya dahulu, citranya sedikit terganggu karena diusung-usung sentra ormas-ormas HTI. Sudah berusaha memperbaiki citra dan perlahan membaik, eeeeeh…. muncul kasus mahasiswa yang tertangkap. Jackpot!
Jika kalian mau berdebat masalah ini, saya malas lah… tapi jika dibutuhkan saya akan wawancara EKSKLUSIF ke Mas-Mas dari timur tengah mengenai konstelasi di Timur tengah dan apa kaitannya dengan ormas seperti HT? Apa pandangan mereka? Selain itu, Masnya ganteng-ganteng juga jadi bisa sekalian modus, siapa tau jodoh. Lagipula tidak semua ormas dibubarkan, bukan? Kayaknya yang adem-adem mah gak dibubarkan tuh.
Jangan sampai kalian teriak-teriak, terus eeeeh rupanya pas ditanya Fasis apa gak tau… ditanya Perpu isinya apa,eh belum baca juga. Jangan ngaku mahasiswa lah klo gitu.
Untuk Para Anti-demo
Saya gak kasih skrinsut komen-komen netijen lah ya…. alasannya karena ada beberapa yang terlalu… terlalu… wah pokoknya terlalu bukan mahasiswa lah. Yang baik dan cuman humor aja sih ada banyak juga. Tapi, yang too much juga banyak, dan capek menyensor plus malu sendiri karena jadi mikir “Damn! Ini beneran mahasiswa yang ngomong?”
Ya sudahlah yaaaa…. Di Quran untuk masalah agama saja tidak boleh ikut campur, padahal itu masalah yang paling mendasar dan krusial. Apalagi masalah demo! Mengutip pernyataan di atas “Semua orang punya jalan perjuangan masing-masing”
Ya sudah, biarkan saja. Kalau kemudian berakhir adu mulut… yang tinggalkan. Sesungguhnya hapalan rumus kalkulus lebih membutuhkan perhatian khusus dan spesial daripada debat kusir. Menkritisi aktifis dan pendemo, menurut kakak sih…. Seperti mempermasalahkan “keimanan”. Sekuat apapun argumen kita, ya sudah “iman” kok, ndak bisa ditawar-tawar.
Namun, alangkah eloknya jika semuanya bisa tetap saling berteman 🙂 ya beda pendapat kan biasa. Tapi semoga kalian bisa tetap menyebut orang yang berbeda pendapat dengan kalian sebagai “Oh! Mereka teman saya. Yaaaa beda mahzab sih, tapi temen kok” karena kelak kalian akan saling membutuhkan.
Semoga tidak perlu ada lagi hujan hujatan di media sosial… karena lagi-lagi, kalian adalah bagian dari dunia akademisi. Harapan negeri itu di tangan kita semua loh.
Kalau cuman nulis di socmed sih, yaaaah…. ya gak guna juga sih HAHHAHAHA. Iya gak sih?
Sebenarnya teman-teman yang demo itu ada kerennya juga, awareness mereka terhadap isu itu bagus. Kita-kita yang gampang encok untuk turun ke jalan, harapannya bisa menyampaikan aspirasi kita dengan cara lain yang lebih persuasif dan akademis.
yang suka ngegitar… angkat gitar kalian!
yang suka futsal… berfutsal lah sampai ke lapangan tingkat nasional!
yang suka belajar… hayuk lah, masa’ kementerian bikin lomba… mau gelontoring uang berjuta-juta bayar ide kalian, kok ya gak ada yang minat?
Ayo semuanya sibuklah dan berjuang dengan cara masing-masing.
Saya juga menyayaaaangkan sekali karena diantara kalian yang anti-demo, kata-kata yang kalian lempar juga malah kayak lempar bensin ke lokasi kebakaran di pabrik petasan. BOOOOOOM! DHUAAAAAR DHUAAAAAR! BOOOOOM!
In the end….
Di era saya, permasalahan yang saya hadapi adalah antara politisi dan akademisi seringkali sulit akur masalah penentuan kebijakan. Kadang suka diam-diam berdoa, “semoga generasi setelah gue gak usah kayak gini lah, akur-akur aja….”
Melihat kenyataan seperti ini, kok kayaknya saya meragukan kapasitas kalian untuk mewujudkan kerja sama yang baik antara akademisi dan politisi. Kayaknya malah makin jauh.
Dari negeri jauh, saya selalu promosi “Iya loh, orang Indonesia itu toleran abis lah pokoknya. Makanya dateng dong!”
rupanya? Masalah baju kotak-kotak atau tidak saja bisa mengkotak-kotakan negeri.
Terima kasih telah membuat saya kecewa (and I know you don’t care about it, karena kalian juga gak kenal sama saya kan).
Namun, kalian masih muda… masih punya banyak waktu untuk berbuat kesalahan dan memperbaikinya, dan saya masih punya harapan yang masih tinggi dan luas untuk melihat kalian semakin dewasa dan semakin baik.
Lampaui pencapaian yang telah saya raih, kalian perlu lebih hebat dari saya dan orang-orang di era saya karena masa yang akan kalian tempuh juga akan lebih menantang dibandingkan masa yang kami hadapi. Dan sebagai kakak, saya peduli pada kalian.
Maka saya tantang kalian untuk mewujudkan impian-impian baik negeri ini….
Saya tantang kalian untuk menjadi orang-orang berkualitas yang dikenal di planet bumi ini, yang ketika ditanya bisa dengan bangga bilang “Saya orang Indonesia loh”…. yaaa boleh lah narsis dan bawa pesan sponsor sedikit “Eh, dulu saya mahasiswa univ. xxxxx loh.”
Saya menantang kalian, karena begitu lah cara saya peduli kepada kalian.
Semoga kalian berbaik hati untuk tidak mengecewakan saya sekali lagi.
Semoga….