[Emonikova Investigasi] Tebang Pohon, Gusur sawah gara-gara UU (?): Menelisik celah pada Pasal 122 UU Cipta Kerja
==============================================================
UPDATE! UPDATE! UPDATE! (12102020)
hari ini muncul di media terkait “final draft UU Cipta Kerja”. Agak bikin emosi sih karena masyarakat jadi mikir “Lah… kemaren yang diketok apa? draft yang belum jadi apa gimana?” tapi ya sudahlaaaaaah yaaaaaaa. Tenang….
Tapi mari mulai dari good news dulu. Setidaknya, dari pengamatan Tante, masyarakat berhasil menekan pemerintah untuk lebih berhati-hati dan gak usah maen-maen sama barisan rakyat (tentu dengan netijen di garis depan AHAHAHAHAHA). Yang pasti sih, jumlah halamannya jadi 1000++ sekarang ahahhahaha. makin tebel.
So, mari kita lihat pasal tentang lahan ya 😀
Oh ya! Naskah yang tante jadika rujukan didapatkan dari web CNBC Indonesia yang bisa kalian klik di sini. Jadi kalo ada salah-salah, marahin CNBC ya ahahahahahhaha.
Well, secara umum pasal 124 gak jauh beda ya….
Tapi sepertinya untuk menenangkan para aktivis lingkungan hidup dan pengamat lingkungan, pemerintah kemudian memaparkan “lahan untuk fasilitas umum itu apa sih?” dua diantaranya adalah kawasan suaka alam/ suaka budaya dan kawan untuk lahan pangan. Jadi kayaknya kalo mau gontok-gontokan (amit-amit ya) kita yang punya kawasan lahan pertanian pangan atau masyarakat di kawasan hutan adat, bisa keukeuh bilang “Hei… lahan kami juga untuk kepentingan umum”. Yah mayan… walau tetap ada masalah karena kita masih punya PR dalam menetukan batas-batas hutan, suaka alam, dan suaka budaya. Jadi semoga pemerintah bisa selesaikan ini dulu ya. Sebenarnya bisa cepet beres sih kalau kebijakan satu peta kelar. Sayangnya, hingga tulisan ini di tulis, webnya masih sering ngelag juga :’D
Masih ada celah? Masih….
Salah satu yang mungkin “rentan” adalah memanfaatkan “kemudahan” perizinan untuk lahan <5 ha. Karena perizinan untuk lahan <5ha akan sangat longgar sekali ya sepertinya.
Kalau yang berwenang mau “jahat” sih mungkin bisa ya beli lahan <5 ha sedikit-sedikit lalu lama-lama jadi bukit. Ahahahahaha… ah gak mau komen ah 😀 nanti dibilang ngasih ide jahat. Tapi mmmmm….. sekali lagi dari sudut pandang pengamat lingkungan hidup dan pecinta alam ya, amdal itu perlu loh, sekecil apapun lahannya. Kalau petani kecil sih ditawarin harga yang kayanya tinggi pasti langsung jual. Pemerintah gak belajar dari kawasan puncak yang akhirnya penuh sama vila? terus pas banjir di jakarta marah-marah ke kawasan puncak. Mmmm… gak lupa dong 🙂 Tante tidak anti pembangunan, I support that. Tapi manusia gak bisa fotosintesis, maka sebagai khalifah di muka bumi ini mbok ya sayang-sayang juga sama alam dan segala isinya gitu loh.
But anyway…. tante emon gak bisa selalu nulis dan nemenin kalian beropini. Tapi yang pasti, rupanya kita bisa juga ya mendesak pemerintah ketika kita punya keresahan bersama. Dan tante percaya kalau kita bisa bertindak kalau kompak. Gak perlu saling caci, cukup paparkan pemahaman kita dengan cara yang elegan dan sopan.
Sopan bukan berarti loyo! Jangan lengah! Lanjutkan dan kawal pengesahan UU ini. Tante percaya masih banyak celah yang lebih besar dari yang tante bisa temukan. Mungkin kalian yang lebih paham 😀 jadi yok… kompak kita kawal pemerintah dan omelin kalau perlu. KITA HARUS PUNYA PEMIKIRAN KRITIS! KARENA KITA GAK MAMPU BAYAR PENGACARA SEKELAS OM HOTMAN KALO KALO KESANDUNG MASALAH HUKUM! Oke!
Anyway! Crewmate! Tante bangga sama kalian!
==============================================================
UPDATE! UPDATE! UPDATE! (09102020)
Pak Presiden akhirnya angkat bicara hari ini terkait UU cipta kerja.
Kita dengarkan paparannya ya gengs!
Tante emon percaya, selalu percaya, pemerintah itu sebenarnya ada itikad baik untuk kebaikan masyarakat. Di seluruh buku teori ekonomi, pemerintah selalu disebut memiliki peran untuk “Pemerataan kesejahteraan.” Mungkin… ini mungkin…. pemerintah ada baiknya memberi saluran untuk kita semua yang memiliki pertanyaan dan unek-unek terkait naskah UU yang beredar. Berikan waktu untuk kita semua memahami dan bertanya. Izinkan para ahli dan akademisi menganalisa.
Masih ada asa terhadap pemerintah, walau masih belum bisa sepenuhnya menghapus tanda tanya dan kegelisahan. Semoga kita semua berhasil dan mampu menemukan jalan tengah.
=========================================================
Kata Gus Mus, “Bicaralah hal yang merupakan bidangmu.” Maka tante emon gak berani untuk membahas seluruh rangkaian UU cipta kerja yang sedang heboh itu.
Akan tetapi sebagai peneliti yang sedang meneliti dampak kebijakan perubahan iklim dan pertanian di Indonesia, ada beberapa hal yang rasanya bisa saya telisik. Tidak berani bilang “salah” atau “benar” ya, maklum… salah-salah nanti malah tante di sidak UU ITE. Hanya rasa-rasanya kok… ruwet bin mumet gituuuu.
Selain itu kondisi tante yang mudah encok, dan mata yang udah mulai burem kalau lihat dokumen berhalaman 900++, tidak memungkinkan baca satu per satu dokumen “Dewa” tersebut. Maka mari kita bahas satu pasal saja. Pasal 122 (Bab VII. Pengadaan Tanah). Oh iya dokumen ini diperoleh dari Tirto.id ya. Jadi kalo ada salah-salah, marahin Tirto aja (hayooo loh, To!).
Pasal 122 ini intinya sih, secara satu kalimat, atas nama “Penciptaan Kerja” konversi lahan diperbolehkan. Termasuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (tante singkat menjadi: LPPB).
Karena ada masalah pangan (dan kita mencintai pangan) maka kita loncat dulu ke poin b terkait si LPPB ini. Maka ayo kita loncat ke Pasal 124! Cerita berawal dari UU No.41/2009 yang diubah sehingga LPPB dapat dikonversi jika terkait dengan kepentingan umum maupun proyek strategis nasional (poin 2). Agak pusing sih, soalnya di poin 1 DILARANG eh di poin 2 DIPERBOLEHKAN. Ini maunya apaaaaaaaaaa? Apaaaaaaa? Apaaaa? Yah yo wis lah, lanzut!
“Wah! Aku ingin mengubah sawahku menjadi area komersil yang penuh remah-remah kekayaan duniawi! Apakah syarakatnya?” Syaratnya ada di point 3, yaitu:
Selintas terasa baik-baik saja kan? Akur?
Yes! Namun celah kebijakannya cukup besar.
Jadi semua lahan boleh jadi lahan pengganti untuk lahan yang dikonversi? Lalu bagaimana dengan lahan hutan? Lahan gambut?
Apakah alih fungsi lahan harus ada wilayah territorial yang sama? Bisa beda propinsi? Apakah tingkat kesuburannya sama?
Untuk pembacaku yang baik yang belum pernah digojlok pengantar ilmu pertanian selama satu semester dalam hidupnya. Kalau ini LAHAN PERTANIAN PANGAN… maka produktivitas lahannya harus cukup untuk kultivasi tanaman pangan dong. Iya dong? Nah kalau kemudian lahan penggantinya di area yang tidak produktif, ya petani rugi. Anda pikir mengembalikan tingkat kesuburan tanah itu mudah? Hey hey hey… anak Ilmu Tanah IPB sampe belajar redoks dan kimia tanah hanya untuk mencari cara mengembalikan produktivitas tanah. Jika lahan “pindahan” ini tidak terlalu produktif, petani harus keluar budget lagi untuk pupuk, irigasi, pembersihan lahan, dsb.
Lebih gila lagi kalau rupanya malah dikasih lahan basah dan rawa. Keluar budget lagi untuk liming (pengapuran)… nyari varietas yang sesuai, dan aneka keruwetan lainnya.
Ya masa iya mau dipindahin ke atas Gedung DPR?
Terus gimana? Nebang pohon?
Wallahu’alam… hanya yang bikin UU yang tahu. Allah juga tahu, tapi kayaknya udah ngelus-ngelus dada.
Pertanyaan yang sama berlaku untuk lahan pertanian yang dikonversi. Jadi gimana? Kalau misalkan lahan tersebut adalah area agroforestry yang sudah establish? Atau lahan pertanian itu rupanya beririsan dengan kawasan hutan yang sudah memberikan kekayaan biodiversitas dan udara yang bersih untuk Indonesia? Atau bagaimana jika kawasan tersebut ada di wilayah kaum adat?
Mau ditebang gitu? Terus lahan penggantinya dimana? Ditumplekin di atas lahan istana presiden sama Gedung DPR juga gak akan cukup.
Yang lebih rumit adalah kaum adat. Batas-batas hutan adat di Indonesia itu belum jelas, namun kawasan ini dijaga serta dimanfaatkan oleh indigenous people yang setiap merawat kawasan tersebut. Mereka memang buka sedikit-sedikit lahan pertanian, tapi duuuh segimana sih bukanya? Keciiiiil bgt. Mereka orang-orang yang menjaga lingkungan GRATIS tanpa meminta bayaran dari pemerintah. Tulus dan jiwanya murni sekali. Tante aja masih gila harta. Mereka gak… mereka ikhlas menjaga kelestarian alam dari dalam hati.
Nah… kalau misalkan proyek pemerintah lewat daerah hutan adat, mau diapain? Mau diganti apa? Diganti dengan pahala seluruh anggota DPR dan staf pemerintahan juga belum tentu cukup. Mereka menjaga kelestarian alam loh. Emang kalian mau disimpen di hutan tanpa sinyal dan harus cari makan sendiri di belantara? Tante sih tidak siap ya.
Makanya kita harus berterima kasih kepada masyarakat-masyarakat adat seperti itu. Eh eh eh… dengan adanya UU ini malah berpotensi mau digusur ☹
Tapi tante kan optimis ya “Ah masa iya… masa iya gw yang newbietol ini aja bisa aware dengan celah ini. Masa yang nulis kejem-kejem banget sih? Masa gak nyampe mikirin kawasan hutan dsb”
Maka tante pun skrol balik ke pasal di atasnya. Pasal 123 (Bagian kedua: Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum).
Pasal ini menambahkan beberapa poin untuk UU No. 2/ 2012. Dan… seluruh ke husnudzan ini ambyar setelah membaca pasal tambahan 19C.
Sampe ngucek-ngucek mata pas baca “TIDAK DIPERLUKAN LAGI”!
Well, gak mau menyimpulkan sih. Tapi kayaknya mau itu lahan gambut, hutan, mangrove, sawah, neraka Jahannam, semua bisa dialih fungsi dengan dalih untuk “penciptaan kerja dan kepentingan umum”
Ini permisi ya… apakah yang bikin UU sudah lihat statistik yang sudah disusun BPS hingga pada begadang? Pertanian (dalam definisi luas) kita masih menyerap banyak tenaga kerja, terutama di pedesaan. Jadi ini mau menciptakan atau mau menghilangkan pekerjaan? Bingung aku tuh. Arghhhh…..
Sungguh, batin ini ingin berteriak… UU ini amatlah laknatullah, karena kita diajak berputar-putar, skrol atas-bawah untuk menelisik setiap poin per pasal. Ini jangan-jangan, jangan-jangan, jangan-jangan, jangan-jangan, masih banyak poin yang “bercelah” tapi luput karena stamina kita yang terbiasa sebagai kaum rebahan selama PSBB memang tidak kuat scroll dokumen ini terlalu lama. Ndak kuwaaaaaat, Baaaang!
Dengan segala kerendahan hati dan maaf yang sebesar-besar, namun bagi saya pasal ini sungguh memutar balik logika. Karena kemudian kontradiktif dengan banyak kebijakan lain (yang wallahu’alam mau diseriusi atau gak ya).
Kita ini loh ya, mau menurunkan emisi setidaknya 29% dari Business as Usual level di tahun 2030. Emisi kita mayoritas dari perubahan serta kebakaran lahan dan gambut. Lah… ini mau nambah-nambah kerjaan untuk konversi lahan.
Kita ini loh ya….
Padi kita, produktivitasnya sudah hampir mentok, mungkin akan mulai diminish beberapa tahun kedepan. Lah ini lahan pangan mau dikonversi? Biar bisa impor lebih banyak?
Katanya mau mengurangi impor pangan?
Belum lagi tingkat stunting kita masih sangat tinggi! Ditambah tingginya food waste and loss! Penyerapan pangan kita belum optimal, lah… lahan pangannya mau ditekan dengan adanya UU ini.
Jadi masyarakat Indonesia mau dikasih makan apa? Disuruh fotosintesis?
Jadi maunya apa?????
Apa biar tahun depan ada kerjaan jadi bisa bikin UU lagi?
Nyari aktivitas gak gitu-gitu amat kali ya ☹ Ada banyak hobi positif yang bisa dicoba loh? Belajar musik, ikut marathon, cuci tangan pakai sabun. Bukan cuci tangan kalau ada masalah (aw..aw..aw..).
Perlu gw bicara sebagai ekonom? Fine! UU ini gak untung2 banget secara ekonomis, apalagi untuk masyarakat berpenghasilan menengah kebawah. Gak usah ke sisi makroekonomi lah. Kalau segi lingkungan tidak ditelisik secara lebih teliti, maka siap-siap saja bencana alam makin sering mampir ke tanah air. Klo kena bencana alam memangnya gak rugi secara ekonomi? Itu menghilangkan kapital ya.
Oh well…paling paling kita akan literally jadi tanah air, tinggal nyisa tanah dan air :’) Ulalala…
Lemas rasanya menelaah satu pasal ini saja.
Tapi tante tuh masih berharap loh, pemerintah punya sedikit sisi welas asih di hatinya.
Pikirkan seluruh pendapat-pendapat para akademisi dan ahli.
gak perlu dengerin tante yang newbitol ini, banyak sekali cendekiawan Indonesia yang pintar luar biasa tersebar di seluruh penjuru dunia. Mereka siap kok kalau ditanya pendapatnya.
Secara pribadi, tante juga miris dengan kelakuan para angkota dewan yang kekanak-kanakan (sorry). Yang bahkan tidak memiliki kedewasaan emosional untuk mendengarkan saran, masukan, dan kritik masyarakat. Hal ini yang sangat melukai hati masyarakat.
Wahai Bapak/Ibu dewan yang terhormat, jangan lukai hati kami… karena benang-benang fibrin tak mampu menambal hati yang luka.
Atau jangan-jangan ini azab dari Allah ya? Duuuuh…
Maafkan kami ya Allah. Kami memang suka julid di internet, kami juga kadang suka iri hati dikit-dikit melihat orang lain pamer kebahagiaan. Tapi kami tidak kuat jika azabmu adalah dikaruniai pemerintahan yang ******** (micnya dimuted, tapi Tuhan dengar bahkan untuk suara semut sekalipun).
Namun sungguh pepesan kosong kalau tidak ada alternatif solusi.
Dari tante pribadi ya….
- AMDAL itu perlu. Terlepas dari Amdal kita yang memang masih banyak kekurangan sana-sini. Tapi itu jauh lebih baik daripada gak ada. Setidaknya ada pihak independen yang aware dengan lingkungan. Bukannya gak percaya sama pemerintah ya, tapi pihak independen juga penting untuk ikut serta untuk menjaga kepercayaan publik dan meningkatkan validitas data lingkungan.
- Tolonglah semua jangan dilihat dari accounting cost… lalu mengeluarkan banyak sekali social cost dari sisi lingkungan, sosial, waaah banyak.
- Mungkin sebelum membuat UU, pahami dulu UU yang lain sebelumnya. Jangan sampai malah overlap lalu gontok2an sendiri. Ya seperti pasal tentang lahan pangan ini.
Demikian dari tante emon.
Mohon dilanjut bagi kalian yang punya expertise yang lain. Maaf kawan, tante cuman kuat baca satu ini aja :’) lanjutken perjuangan!