Fenomena “Afi” dan minimnya budaya literasi Indonesia 


Sebenernya gw males komentar hal ini, tapi gw  merasa baik yang mengidolakan dan mengkritisi Afi keduanya sudah kelewatan…. yo wis lah kali ini saatnya emonikova menyampaikan pendapatnya. 

Checkidot! 

1. Tanggapan tentang fenomena Afi?
 “Well… gimana ya? Menurut gw sih untuk anak daerah mulai berani menyuarakan suaranya, then it is good ? Inget loh, dia itu anak daerah, anak SMA, dan dari keluarga yang kondisi ekonominya tidak begitu baik. Jadi, dari sisi gw waaaah keren hahahha. Waktu gw seusia dia, gw kayaknya sibuk nonton doraemon sama spongebob ?

Tapi yaaaa gw sih gak ngefans, biasa-biasa aja. Masih banyak kekurangan di tulisan-tulisan doi… apalagi sekarang ada dugaan plagiarism dsb. Tapi ya namanya juga remaja, masih banyak ilmu yang perlu diraih, masih perlu banyak pengalaman dan pengetahuan untuk menstabilkan pola pemikiran dan sikap. Namun, terlepas dari segala kekurangan itu… mari kita apresiasi bakat dik afi ini.  

Gw selalu merasa bahwa beberapa orang di negeri kita terlalu nyinyir dalam menanggapi potensi, dan menurut gw itu yang lebih bahaya dari sekadar status-status yang beredar di social media. Afi, she made some mistakes… tapi apa susahnya sih mengapresiasi keberanian dia dalam menyampaikan opini, she just need a good teacher yang kelak bisa mengajari dia how write, how to deliver opinion. Hey Indonesia! What’s your problem? Belum minum aq*a? 

2. Tanggapan yang beredar tentang Afi: fans+haters?

Dari haters dulu deh, bukan haters sih lebih ke para kontraers.

Gw iseng sih baca2 yang kontra… salah satu yang paling viral itu tulisan mas-mas yang kuliah di Jepang juga. Karena saya gak gaul, jadi saya gak kenal mas ini. Tapi saya mah ketawa aja… tanggapan doi sih cerdas, kritis, subhanallah, tapi lupa kalau lawan bicaranya anak baru lulus SMA. Dengan pola diksi yang super pedas seperti mak icih level 100, yaaaa… keren, keren sih. Bener, mmm… okay! Tapi klo gw jadi Afi sih gw merasa “meh”. Mas ini menurut gw (maaf loh, Mas) kayak nembak nyamuk dengan rudal…hit the point sih, tapi yaaa too much! Bahasa anak gaulnya nih: Lebay.

Mungkin Masnya terlalu banyak berkutat dengan jurnal, jadi lupa beberapa detil salah satunya sisi psikologis manusia. Klo semua orang mengkrtitisi kayak Mas ini, kayak om Felix, dsb dsb…. Anak-anak remaja yang lagi “labil-labilnya” dan lagi “membangkang-membangkangnya” bakal males mengkaji lebih jauh permasalahan. Gitu sih.

Yaaaa okelah kalian mau kontra, tapi kalian punya kakak dong? Punya adik dong? Atau punya keluarga yang usianya lebih muda dari kita kan? Mau keluarga kita dikritisi seperti itu? Karena adik saya kira-kira seumuran afi, saya sih ngamuk kalau ada yang tiba-tiba membully adik saya although dia melakukan kesalahan… kan bisa menasehati baik baik dan berdikusi terlebih dahulu. Saya pikir, bully yang muncul buat dik afi ini udah too much, saya aja yang gak kenal dan gak ngefans sama nih anak jadi ikutan sebel. ERRGHHHHHH… 

3. Terus buat fans?

Nah ini juga menarik, menurut gw orang Indonesia itu suka maen like and share tanpa “mikir” dulu. Banyak kekurangan yang ada pada tulisan Afi ini, apalagi (inget) sourcenya social media. Bisa bener, bisa salah, bisa ngawur, bisa macem-macem, belum jelas lagi sourcenya. Saya sih lebih senang jadi orang yang baca, terus “oh ya bagus…bagus” tapi boleh dong gak setuju dengan beberapa hal. Ya udah… gitu aja, kemudian hidup berjalan sebagaimana adanya. Gak usah maen share… share…share…

jadi menurut gw lebay juga mengagung-agungkan tulisannya afi. Memang seluruh paragraph dan opini doi sepenuhnya shahih? Apa benar itu 100% pemikiran doi? Jika tidak dan rupanya dapat dari google… she will get trouble karena masih kurang dalam mencantumkan sumber (dan sekarang udah liat kan masalah itu). Lagian socmed! Helow! Kalau jurnal ilmiah mending ya di share karena sudah melalui tahapan review dsb. Status socmed? Oh D*mN!

4. Jadi menurut lo, Mon… permasalahannya dimana? 

Menurut gw, ini bukan masalah afi dan seluruh fenomena yang terjadi setelahnya. Menurut gw hal yang lebih memprihatinkan adalah, betapa masih dangkalnya pemahaman kita. Betapa masih ceteknya pola prilaku kita. Bahan bacaan kita adalah status-status di social media… hal-hal yang meng-gerak-an kita adalah hal-hal yang menarik di facebook, twitter, dsb. Kita ini miskin! Miskin daya nalar, miskin budaya literasi. Di muka bumi ini tersebar banyak riset yang lebih menarik dan lebih penting… misalnya how to builda good farmer’s market untuk memotong rantai distribusi pangan dan mensejahterakan petani sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Tau gimana caranya? Gak kan… krn gak ada di status fb. Temen social media kita kebanyakan sibuk share something yang menarik tapi gak krusial2 banget dalam kehidupan. Masih mending yang share resep masakan sih :’D that’s really help!

Ada juga yang share BPJS itu haram, asuransi itu haram… well ok! Good… tau mekanisme BPJS seperti apa? Mekanisme asuransi seperti apa? Lalu pembedanya dengan (misalnya) mekanisme penyaluran ZIQWAF seperti apa? Jika kemudian ada asuransi super mikro yang diberikan oleh BMT itu gimana? Pembangunan system finansial yang baik seperti apa? Tau jawaban untuk itu? Ya belum tentu…. Wong kitabnya Al-facebukniyyah dkk.

Diskusi kita lebih banyak pada debat cap pepesan kosong di social media. Berdebat tanpa mencari jalan tengah, kalau opini gw benar maka gw benar yang lain salah. Persetan dengan opini orang lain dan jalan tengah. Dan lempar-lemparan botol, sandal, kaleng, itu semua terjadi di kolom komentar yutub, tercipta pada twitwar, and bajir komentar di facebook. Itu keren? Itu namanya: alay!  

Dan kalau kalian gak percaya sama omongan gw, nih sesekali gw kasih data! Dalam publikasi “World’s Most Literate Nations”, dari 61 negara yang disurvey berdasarkan tingkat literasi (tingkat literasi itu bukan berapa banyak yang bisa baca ya, tapi lebih ke literate behaviours kayak berkunjung ke perpustakaan, baca buku yang berkualitas, baca koran, dsb cekidot at http://www.ccsu.edu/wmln/) . Indonesia ada di peringkat 60! HANYA SATU LEVEL DI ATAS BOTSWANA. Kalau adik saya bilang “Itu sih syukur cuman 61 negara yang disurvey, kalau 100 kayaknya tetep 99 dan jauh juga dari Thailand, laen kali mending gak usah ikut survey.” 

Jujur gw setuju pas pak Jokowi bilang “Negara lain sudah mikir gimana ke luar angkasa”, and that’s true! Kita terbiasa mencari short-cut dalam berpikir, gak mau capek.

Yang harus diperbuat?

Yaaah jangan gampang panasan lah menanggapi suatu isu. Apalagi kalau lo udah berpendidikan punya karir bagus, harusnya pola pikir lo juga naek beberapa level. Kalau lo punya keluarga, punya adik, punya kakak, lo juga tau dong gimana cara memposisikan diri lo terhadap mereka, dan jika lo baik dalam itu lo juga harusnya bisa memperlakukan orang lain dengan baik. Inget kawan, klo bawa-bawa agama nih, tugas kita itu habluminannas, hubungan sesama MANUSIA. Lo tau kan definisi manusia? Maka berbuat baiklah kepada sesama manusia.

Lo belum tentu selalu benar maka jangan paksakan opini lo. Orang lain juga tidak selalu benar, maka kaji setiap opini melalui berbagai perspektif. Kalau lo gak bisa memilah mana yang baik, lo gak bisa bijak dalam bersikap, lo gak bisa melihat masalah dari berbagai perspektif, terus kualitas apa yang bisa lo banggakan dalam hidup lo?

Sabar, Mon… jadi pesan lo? 

Pesan gw, udah lah gak usah ribut hal-hal yang remeh. Berhenti mendewakan seluruh mahzab Al-Facebukniyah. Lihat masalah dari berbagai perspektif. Bijak… dan stop nyinyir-nyinyir.

Dan untuk Afi, untuk anak-anak Indonesia lainnya. Tetep berkarya, berusaha memberikan yang terbaik, belajarlah dari aneka kesalahan. Saya berdoa semoga kalian mendapat pengajar yang baik, yang berilmu. Semoga kelak kalian bertemu kakak-kakak dan teman-teman yang asik diajak diskusi. Kita selalu melakukan kesalahan, dan bersamaan dengan itu kita selalu punya kesempatan untuk memberbaikinya, and ssssttt… this is a secret: itu yang akan membuat kita menjadi orang yang lebih baik.  

Eh btw, gak semua juga yang bereda di dunia maya itu benar, namanya juga dunia maya… termasuk tulisan gw ? gak usah misuh-misuh ye, gw juga gak minta lo setuju sama gw fufufufufu.  

Lots of love,

Marissa 

Filosofi Soto dan Kebhinekaan Indonesia


Jadi begini ya saudara-saudara, jika pemahaman kalian misalnya tidak mendalam terhadap Pancasila…. jika kalian gak jago-jago banget politik…. jika kalian too lazy for difficult topic, daripada pusing dan makin gila dan kelihatan (sorry) sotoy dan antagonis, mari kita lakukan hal yang menyenangkan bernama: MAKAN. Ya! Makan… siapa tidak happy dengan makanan, dan menu kali ini: SOTO.

 

Image and video hosting by TinyPic

Sumber gambar: penabiru.com

Saya percaya sahabat-sahabat saya yang pecinta makanan akan melakukan protes luar biasa dan bilang “Ini penistaan pada makanan,Mon! Bagaimana mungkin lo bisa mencampur aduk makanan dengan masalah konstelasi politik” habis gimana lagi? Memang dijelaskan secara teoritis mempan? Toh tidak, malah makin lempar-lemparan batu. Ya mending kita ngomongin makanan lah.

Kalian tahu ada berapa jenis soto di Indonesia? Saya pun tidak tahu, tapi paling tidak kita bisa meyakini bahwa nyaris setiap daerah punya soto mereka masing-masing. Di Jawa Barat saja sudah ada soto mie Bogor dan soto Bandung. Walau sama-sama dari Jawa barat, toh rasa pun beda. Tak jauh dari Bogor, ada juga soto Betawi. Walau hanya butuh 2 jam naik kereta dari Bogor ke Jakarta, toh soto Bogor dengan Soto Betawi itu cita rasanya berbeda sekali.

Belum lagi ada soto lamongan, soto madura, soto medan, coto makassar. Ya ampun! Soto… mereka kan enak banget ya.
Tapi kalian tahu gak, kalau soto sendiri punya filosofi tersendiri. Tahukah?
Ada satu kesamaan dari seluruh soto di nusantara, dan itu adalah: Kebhinekaan a.k.a persatuan bangsa Indonesia.
“Hah…hah..hah…wow…wow…wow… tunggu dulu, Mon… masa’ segitunya sih?”
Iya… itulah mengapa prinsip dasar pembuatan soto adalah mixed every best ingredients. Soto, bukan hanya simbol kekayaan sumber daya alam suatu wilayah, tapi juga keanekaragaman kultur dan budaya di daerah yang bersangkutan.

Soto betawi kuah susu misalnya, tau dong soto betawi yang pakai susu dibandingkan santan. Konon itu karena pengaruh Belanda yang pernah membuat markas di Batavia. Masih dari Betawi, soto tangkar dulunya itu pakai iga dan tulang (sekarang banyak yang lebih sering ganti jadi daging sih daripada repot dengan tulang belulang), konon soto tangkar itu sendiri tercipta dari kreativitas masyarakat betawi di era VOC yang susah membeli daging jadi mereka mengumpulkan remah-remah tulang dan iga dari pasar.

Soto Bandung, kenapa sih kok pakai lobak? Karena Bandung itu dataran tinggi, lobak tumbuh dengan subur, cepat, dan lama-lama stok lobak pun menumpuk. Daripada pusing kan, nah… dengan kreativitas warga Bandung yang memang tidak perlu diragukan lagi, dibuatlah soto Bandung dengan aneka khas-nya sendiri.

Tidak hanya sampai situ, soto bukan hanya bicara ciri khas kewilayahan… tapi dengan sangat terbuka membuka pintu terhadap pengaruh-pengaruh positif dari luar Indonesia. Pernah dong makan soto yang ada bihunnya? Atau at least makan soto bogor dengan risoles. Nah! Nah! Bihun itu… asalnya darimana? Cina, gaes!

Pernah juga dong makan soto yang rempahnya nendang banget, pake kayu manis dsb. Lengkap dengan taburan bawang goreng. Itu mirip makanan mana sih? Yak! India… ingredient-nya nyerempet-nyerempet bumbu kari ala India.

Ada juga yang pakai perpaduan minyak samin, nyam…nyam…nyam… itu dari mana sih? Itu jelas pengaruh Arab!

Betapa luar biasanya soto karena semangkuk soto bisa dengan akur bersatu-padu, meleburkan seluruh pengaruh budaya, sampai akhirnya menonjolkan cita rasa khasnya tersendiri. Sampai kapanpun kita tetap bisa membedakan cita rasa soto setiap daerah…

Kalau mau bodoh-bodohan lagi nih, soto pun tidak pernah memaksa soto lainnya untuk meniru cita rasa mereka. Tidak ada soto yang saling berantem masalah copyright. Toh soto betawi yang punyanya ibukota tidak pernah mendikte soto lainnya untuk menjadikan cita rasanya sebagai patokan rasa soto.

Kita patut bangga pada soto, soto nusantara tidak bermasalah sama sekali.
Yang bermasalah kini adalah para penikmat soto: Kita!

Saya heran loh, kok bisa-bisanya masih adaaaaaaaaa sajaaaaaa diantara kita yang ribut-ribut lebih berkonsentrasi pada perpedaan.

“Ih dia kan China”
“Weeeeh… Arab sih gitu”
“Dia nonis sih”
bla… bla…bla…. bahkan yang “sama” aja sama “Ih ukhti yang itu kan masih belum bener Islamnya” DAMN!

Saya tahu sih pelajaran Pancasila dihapuskan bertahun-tahun yang lalu, tapi kan menjadi toleran tidak perlu jadi pintar-pintar banget ya… hanya perlu punya nurani.
Kalau teman dan tetangga kamu beda dengan kamu, then what’s the problem? Dulu… sewaktu saya masih SD, salah satu sahabat saya adalah seorang etnis Tioghoa. Keyakinan beda… suku beda… ras beda… warna kulit apa lagi kan langsung kalah flawless. Tapi no problem tuh, kadang saya masih dapat dodol maha enak handmade yang sudah dipastikan ingredientnya pasti aman dikonsumsi muslim. Ketika lebaran, kami pun makan masakan lebaran rame-rame tuh. Kami belajar bareng, main bersama, ya aman-aman aja.

Bagaimana kita bisa maju, bisa merangsek menghadapi dunia global, kalau pemikiran kita saja sempit. Iya sempit! Terbatasi stigma-stigma tentang perbedaan satu sama lain. Hello! Sehat? Udah minum Aq*a?

Jadi denger, mau kalian etnis apapun, ras apapun, mau NU, Muhammadiyah, PKS, bahkan HTI… I DON’T CARE!
Sok ajalah kalian mau berdiskusi dengan saya. Mau menyampaikan pandangan kalian kepada saya, menyampaikan bahwa sight kalian tuh yang paling wah! Well, go ahead! Why not? Kan ada kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat.
Tapi saya sudah nyaman dengan diri saya hari ini, dengan keyakinan saya, dengan kebenaran-kebenaran yang sudah saya temukan sendiri.
Saya pikir orang lain pun sependapat dengan saya.
Maka jangan paksakan pandangan kalian pada orang lain!

Jika menurut kalian pakai jilbab lebar dan burqa itu yang benar, tidak perlu ngotot menjudge yang masih pakai jilbab seadanya atau jilbabnya penuh tutorial dan memaksa mereka menjadi seperti kalian. Yang jilbabnya masih standar dan yang modis, gak usah lambe nyinyir ke yang berjilbab lebar. 

Jika kalian Nasrani maka tidak perlu jor-jor-an memaksa saudara yang Muslim ganti agama, begitu pula sebaliknya.

Kalau kalian pernah kecopetan sama ibu-ibu berjilbab, maka jangan pukul rata semua yang berjilbab itu copet. Yang paling benar yang tidak berjilbab. Heloow! 

Jika kalian berpikir Pancasila itu omong kosong, ya itu sih ente aja kali… kami sih oke-oke aja tuh. Maka tidak perlu mendoktrin orang lain untuk ikut-ikutan perspektif ente. Urusan nanti ente (yang kalau misalnya benar) masuk surga sendiri, ya udah itu kan pemahaman ente… ane sih berpikir jalan ke surga itu banyak dan gak cuman nurutin ente.

Jika kalian liat Kim Jong Un kok keliatan nyebelin, terus semua yang sipit jadi terlihat seperti doi. Dan kita langsung mikir “Wah pasti jahat nih”

dsb
dsb
dsb
Hingga akhirnya kalian mulai membatasi lingkup pergaulan kalian.
Hingga akhirnya kalian membatasi pemikiran kalian sendiri.
Hingga akhirnya kita, bareng-bareng menjadi bangsa tertinggal karena kebanyakan “suudzan”, kebanyakan fokus pada hal-hal yang tidak krusial. Terlalu banyak menekankan pada perbedaan.
yah met lamet aja deh.

Kok usil banget sih ngurus hal yang kayak ginian? Paham gak bahwa kita diciptakan Tuhan kan gak bisa milih mau lahir dimana, keluarga apa, suku apa. Paham juga gak kalau semua orang itu punya proses pendewasaan dan pencarian jati diri mereka masing-masing, maka yang perlu kita lakukan itu cuman ngasih saran jika dia butuh (klo doi gak minta mah gak usah sok iye!) dan senyum. Finish… life even getting easier.
Lagian kan kita semua udah sama-sama gede, masa bodoh-bodoh banget sih sampai tidak bisa berkontemplasi mana yang terbaik untuk hidup kita dan orang-orang di sekitar kita?

Di tempat saya melakukan riset saya sekarang, saya punya seorang teman yang sempat bilang “Di Indonesia banyak suku bangsanya ya? Seru ya rich of diversity. Kelak saya mau ajak anak-anak saya untuk jalan-jalan ke sana, mungkin kalau bisa tinggal di sana supaya anak-anak saya bisa belajar masalah keragaman.” Mbak ini berasal dari Cina.

Jujur, saya sih bangga… Indonesia di mata negara lain itu seindah itu ya. Saya bangga banget loh promoting everything tentang Indonesia. 

Tapi, lihat kondisi sekarang kok saya malah ragu ya ajak teman saya ke Indonesia.

Lihat kondisi negeri ini yang malah saling gontok-gontokan sendiri, rasanya saya malu… bahkan pada semangkok soto.
Apa susahnya sih work together seperti soto… saling bekerja sama dan saling melengkapi untuk menciptakan cita rasa yang khas. Mungkin cita rasa khas itu yang selama ini kita kenal dengan istilah: Kebhinekaan.

Udahlah jangan banyak misuh-misuh, makan aja! :p Jangan mau diadu domba, domba itu enaknya dipiara, dibarbeque, disop, digule…. bukan diadu. 

Maaf, Bicara Makanan Halal dengan alasan ilmiah saja tidak cukup….


halal-060715

To the point saja, kita sudah tidak bisa bilang di depan orang Jepang atau non-muslim manapun bahwa kita tidak makan babi karena babi itu tidak sehat, kotor, bla..bla…bla… Alasan seperti itu hanya menunjukan dua hal: 1. Kalian TIDAK mengikuti perkembangan ilmu pengetahun terbaru, 2. Kalian mungkin BELUM pernah (dan pastinya males) berkunjung ke peternakan babi terutama yang ada di Jepang.

“Mon, gaya hidup lo udah hancur… lo kok bisa ngomong kayak gini?”

Mata saya terbuka lebar ketika saya berkunjung ke salah satu peternakan di kawasan Chiba, Jepang. Saya menyadari bahwa bahkan Babi di Jepang mandi lebih sering dibandingkan saya. Kandang mereka dibersihkan secara rutin, dan saat saya berkunjung ke pusar penelitian pertanian di Tsukuba, saya mengetahui  bahwa karena ilmuwan kini tahu masalah cacing pita dan aneka parasit lainnya dan mungkin aneka “threat” lainnya. Proses quality control-nya pun kini sudah sangat modern, dan please kawan… saya bisa menjamin, at least di Jepang si pork dsb ini layak dan sehat untuk dikonsumsi. Why? Am I say something wrong?

index.jpg

Babinya bersih dan lucu kan :’)

Selain itu, semakin saya belajar masak memasak dan pada akhirnya membaca buku “The Science of cooking”, masakan Jepang banyak yang memakai alkohol dalam proses penyajiannya, yaaaa karena itu untuk mematikan bakteri. Orang sini kan sering makan yang mentah-mentah including ikan. Hal serupa untuk masakan eropa, kok steak aja harus disiram wine atau aneka minuman beralkohol lainnya? Ya karena mereka banyak yang makan setengah mateng dagingnya… jadi alkohol itu membantu membunuh para parasit dan semacamnya yang mungkin masih boboks di situ. Logika yang sama ketika kenapa masakan timur tengah dan asia selatan kok rempahnya terlalu strong ya…. Karena mereka banyak mengkonsumsi mutton, daging kambing….! Kolestrol brow, nah untuk meminimalisir itu… maka dimasukanlah seluruh spices and herbs. Semacam itu.

Untuk meyakinkan apa yang telah saya baca, saya langsung menanyakan kepada dua orang sahabat saya yang notabenenya satu orang berlatar belakang dokter hewan dan satu lagi pentolan teknologi pangan.

Apa yang saya dapatkan…
Dari kubu dokter hewan “Mon, lo mending cuman diri lo yang mempertanyakan. Gw di depan professor-professor ahli hewan ditanya kenapa Muslim gak makan babi. Gue gak bisa jawab macem-macem. Yah ini mah perkara komitmen sama Islam aja lah. Lo udah milih jadi Muslim ya udah, manut”

Dari kubu teknologi pangan “Mon, gue… gue… gue suka banget wangi wine, dan gue rasanya mau banget nyicip. Please, wine itu secara kandungan gizi menyehatkan ya, Mon. Gue mau minta minum wine di surga nanti.”

Dan setahu saya, sake, arak, dsb dsb dsb… dalam dosis yang terbatas mereka memang menyehatkan dan kalau kalian berada di negara yang dingin, bisa untuk menghangatkan badan. Cuman ya, kan khamr ya… Allah mungkin tahu kita probably ketagihan, terus mabuk, hilang kesadaran, dan bisa bikin macem-macem yang mungkin tidak hanya membahayakan kita tapi juga orang lain.

Begitu pula daging,  kandungan protein daging Babi itu bagus loh. Sumber protein, jika Muslim boleh mengkonsumsi babi, saya yakin peternakan Babi akan lebih banyak daripada ternak sapi dan kambing, bahkan mungkin ayam.

Jadi jika kalian mau bilang “Iyaaaa… ini diharamkan karena tidak sehat.” Errrr…. Mungkin alasan itu sudah tidak mutu lagi. Sorry to hurt you, guys.

Atau jika mau berdalih “Kalau kebanyakan itu bisa berbahaya buat kesehatan” yah kalau itu sih, kita kebanyakan minum air putih juga bisa mati karena Hiponatraemia. So many ways to sick and die, gak perlu capek dengan minum khamr atau olahan daging babi.

Maka kembali pada kesimpulan teman-teman saya: It is a matter of COMMITMENT. Sudah memilih Muslim maka turuti aturan mainnya. Dan untuk saat ini mungkin ini alasan paling masuk akal yang bisa kita lempar ketika ada yang bertanya.

 Dari Sudut Pandang Ekonomi
“Ok, jadi mon… daging halal itu lebih murah dari yang non-halal” kata seorang teman yang pernah berusahan menjelaskan hal ini di depan saya. Dia lupa, saya ini seorang: ekonom :’)

Kalau minuman, oke lah ya. Minuman beralkohol kan prosesnya lebih panjang dibandingkan yang non-alkohol. Jadi well… make sense.

Tapi daging?
Where? Where you bought your meat? Ya daging ayam halal memang lebih murah daripada yang non-halal, di INDONESIA. Kenapa? Karena supplynya lebih banyak. Ini kan perkara kasus supply demand aja. Di negara Muslim, semua slaughterhouse akan menyembelih hewannya dengan cara yang “halal” sedangkan yang non-halal mungkin dia punya metode pemotongan yang lebih cepat, mesin jagal atau bahkan yang kejam seperti di listrik dsb, itu akan butuh capital cost yang lebih mahal. Nah, iki bener iki!

Tapi di negara non-moslim? Paling banter adalah harganya sama dengan harga daging non-halal. Dengan metode pembuktian terbalik menggunakan cara berpikir pada paragraph sebelumnya. Harga yang sama dengan daging non-halal ini bisa terjadi jika slaughterhouse di suatu negara menyadari bahwa daging halal itu bisa dikonsumsi oleh semua orang, bukan hanya Moslim. Dan ini yang menjadi celah “bisnis” untuk negara-negara seperti Brazil dan Australia misalnya. Jika kalian berada di luar negeri, pasti bisa menemukan daging halal yang diimpor dari negara-negara non-Muslim.

Untuk kesehatan daging sendiri, dari yang saya baca dari berbagai jurnal dan buku, untuk negara Eropa yang semakin parno dengan kesehatan makanan dan hajat hidup para hewan, mereka juga secara prinsip cara memotongnya sama dengan cara memotong hewan ala kita. Bedanya hanya, tidak membaca Bismillah di awal menyembelihan. Ini yang membuat daging mereka jadi tidak halal untuk kita. Namun untuk sisi kesehatan, sama daging di Indonesia sih lebih sehat daging mereka ya HAHAHAHAHHAA. Ketika mereka mulai sadar bahwa mereka cuman tinggal menambah “Bismillah”, maka saya yakin beberapa tahun kedepan pasar daging dan makanan halal di dunia akan dikuasai yaaaaah setidaknya oleh negara-negara Eropa. Yes! Europe… plus Jepang lah karena mereka kan bersih banget.

Meanwhile in Indonesia, yang lebih sibuk mikir pilkada daripada memikirkan konstelasi global. Untuk lead pasar makanan halal aja kita belum mampu. Kenapa? Karena kalau kata teman saya “Kita itu lupa, Mon…. halal itu gak cukup, tapi harus halalan tayyiban. Kualitasnya juga harus baik”

Ternak kita masih belum aman dari aneka penyakit sih, belum lagi perlakuan off-farm yang seadanya :’) belum lagi lambung kita yang sudah terbiasa dengan pewarna tekstil dan borax plus MSG dalam jumlah tinggi, rasa-rasanya tidak terlalu peduli dengan kualitas makanan yang masuk ke tubuh kita. Untuk dikonsumsi oleh Muslim, daging kita cukup ok-lah yaaa daripada lapar. Namun untuk merebut hati pasar internasional, sayangnya belum.

Mengapa saya harus menjelaskan hal ini, karena jika kalian kelak ketemu bule atau siapapun yang apesnya lebih pintar dari kalian dan bertanya “Kenapa ini haram?” lalu jawaban kalian “Oh iya, karena gak sehat”, they will turn the table and say “Lha, emang makanan di Indonesia sehat?”

Lalu Apa Alasan yang Tepat?

Dengan ilmu agama saya yang cetek, saya tidak tahu. Saya dan teman-teman saya pun beda pendapat masalah ini. Yang pasti kami hanya sepakat, rule is a rule…

Mungkin Allah sengaja mengetes komitmen kita.

Sedangkan saya, hmmm…. Untuk khamr, saya memahaminya sebagai upaya preventif. Supaya otak kita tetap waras ketika menghadapi segala sesuatu. Walau kemudian masih bisa ditimpal juga dengan “Lah kalo wine dipake buat ngerendem daging kan gak akan bikin mabok” Iya sih… makin enak pula kan ya HAHAHAHAHA. Tapi yaaa, wis lah, rule is rule.

Sedangkan untuk daging… entahlah. Ini pun susah mencari celahnya.
Semakin saya belajar di bidang lingkungan hidup, saya memahaminya sebagai the way Allah menjaga keseimbangan ekosistem. Tanpa rule ini, eksploitasi terhadap Babi mungkin akan over (karena mereka juga bagus buat penelitian kedokteran), konsumsi daging juga pasti akan meningkat, peternakan akan semakin banyak seiring dengan meningkatnya deman ternak, itu berarti rumput dan tumbuhan lainnya juga akan over exploited karena herbivor-nya pun semakin banyak.

Yah, tapi masa selebay itu sih? Iya sih… walau saya percaya kita ini sebagai manusia by default memang “rakus” jadi tanpa aneka rule kita akan maen lahap semua sumber daya di muka bumi ini. Wong ada rule aja kita masih ngerusak planet ini kok.

Mungkin dengan aturan dari Allah “Ingatlah Aku sebelum makan dan minum” melalui mekanisme halal-haram ini, kita jadi bisa sedikit mengerem nafsu konsumtif kita. Mungkin.

Namun, wallahu’alam bi shawab

Ah, namun lagi-lagi…. Yang paling utama adalah ini masalah komitmen kita pada Yang Di atas.

If I never come back, the reason is….


Jika saya harus memilih Indonesia dengan seluruh hidup saya, saya akan memilih Indonesia. I love Indonesia, the art, the culture, the beauty, everything…
Namun, jika kemudian saya tidak kembali ke tanah air, itu bukan berarti saya tidak cinta dengan negeri ini. Tapi lebih karena saya terlalu kecewa dengan beberapa hal. Saya tidak marah kepada Indonesia, again, I really love Indonesia. Walau banyak hal “meh” yang mesti diperbaiki, but who will able to forget the beauty of Indonesia? Namun, selalu ada yang membuat saya geram. Yang membuat saya terlalu marah sebagai seseorang yang terlalu fanatik mencintai negeri saya sendiri. And hei! Indonesian people, here… here… I told you why! Dan saya percaya ada banyak orang-orang yang sama seperti saya… mungkin orang-orang dengan kualitas intelektual yang lebih baik dibandingkan saya, dan jika mereka sepemikiran dengan saya, then Boom! You’ll lose tones of awesome people, Indonesia. You will!

Politik di Institusi yang seharusnya netral: A big no!

Saya percaya, bagi beberapa orang setelah membaca tulisan ini akan bilang “Marissa, you will enter the hell in no time, in Jahannam maybe” oh good, I don’t care! But I need to say this, to show you that there always a clear border between religion, education, and f***in’ politics.

Saya mendengar selentingan bahwa di salah satu kampus di Indonesia, terdapat soal ujian agama “Sebagai Muslim kita harus memilih pemimpin yang?” konon katanya jika Anda memilih “non-muslim” maka nilai Anda langsung akan drop dan terancam tidak lulus. Saya pikir ini hanya hoax. Lagipula, masa’ sih? Jadi saya pikir, yo wis lah… gosip.

Namun, lama kelamaan saya jengah juga ketika beberapa dosen yang luar biasa saya yakini intelektualitasnya, saya hormati luar biasa, saya kagumi dengan sepenuh hati, mulai berkoar masalah politik. Yang lebih saya sayangkan “Ini bukan politik, ini masalah religius, masalah agama, masalah membela Tuhan” Tuhan di posisi yang Mahaagung, maka Dia tidak perlu di bela, kita yang butuh dilindungi Tuhan, salah satunya dilindungi dari pemikiran yang sempit.

Saya kecewa karena sebagai muslim saya merasa Islam itu begitu mulia, maka saya tidak ingin masalah agama dioplos dengan politik. Saya, sebagai pecinta ilmu pengetahuan meyakini bahwa ilmu itu susah! Perlu hati yang tenang, perlu pemikiran yang jernih, ketika kemudian itu di”cemari” dengan something little things called politic… which is, I should tell you, not even your business! Except you are a political student of course…
then how you can absorb all of those precious knowledge? How? tell me how? Belajar itu tidak semudah menghapal judul FTV! Butuh konsentrasi luar biasa untuk itu. Bismillah dan sekadar shalat komplit 5 waktu plus sunnah tidak cukup untuk meyakinkan Allah untuk menjadikan kalian cerdas dan pintar dan berilmu. Nope! you need a constant commitment to keep studying. To stay away from every unimportant stuff in your life.

Pada buku Sanshiro, Natsume Soseki menjelaskan mengenai kehidupan mahasiswa di era restorasi meiji. Di bawah kondisi politik yang kental, para mahasiswa tidak serta merta concern pada kondisi perpolitikan mereka, begitu pula para professor mereka. Mereka lebih concern dalam menyerap seluruh pengetahuan barat dan kemudian menkonversi itu semua kedalam konsep yang lebih “Japaniyah.” Karena itu “jihad” para akademisi! Dan hingga hari ini, universitas adalah tempat bersih dari politik. Professor here doing research, updating their publication, thinking about gaining a nobel prize after their retire. Mahasiswa di sini, jika perlu menginap seharian di lab untuk menyelesaikan penelitan mereka. Tidak ada poster selain yang terkait dengan hal-hal ilmiah atau ehmmm free concert. Laah, kita apa? Politik juga gitu-gitu aja, ekonomi segitu-segitu aja, IPTEK yaaaa tidak ada yang signifikan banget.

Saya sampai tertawa getir ketika ada sebuah pertanyaan, “Eh, jadi kalau mau jadi petinggi kampus X salah satu syaratnya harus jadi simpatisan partai ABC ya?” can you believe that? Itu hal yang maha memalukan ketika ada pertanyaan seperti itu menodai suatu institusi pendidikan.

Listen to me, siapa pun presiden Indonesia, siapapun gubernur Jawa Barat, siapapun gubernur Jakarta, siapapun penjaga makam mbah priok, siapapun itu… Indonesia gak akan berubah jika perdebatan kita sempit dan hanya sekitar itu-itu aja. Ya! Bukankah Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah dirinya sendiri. KAUM, kaum itu a big group of people…. bukan perseorangan. Jadi saya merasa kok konyol sih harus ribut-ribut dan heboh masalah pilkada, dsb?
Ketika negara-negara G20 sudah berusaha untuk membuat 0 emission growth in 2030, kita masih repot mikir pilkada, KPU, bu mega, dan segala tetek bengek yang tidak jelas faedahnya.

So, please stop!

Masjid pun mulai berpolitik….

Sahabat saya pun ada yang melapor bahwa ceramah di sekitar apartementnya pun tidak menyejukan lagi. Ya Allah, untung yang Allah itu baik… dan untungnya Allah mendelegasikan beberapa tugas kepada Malaikat yang tidak punya hawa nafsu. Jika Allah mendelegasikan tugas mengatur alam semesta kepada Marissa Malahayati misalnya, “Wah… apa ini? Loh kok sekarang parpol jadi kualifikasi masuk surga, tenggelamkan!” maka niscaya planet bumi akan lebih dipenuhi kucing dibandingkan manusia.
Maka bersyukur deh Allah tuh baaaaaaiiiiiiiiikkkkk setengah mati…
Dan saya percaya teman-teman saya yang beragama lain pun sepakat “Iya sih, kayaknya kualifikasi dekat dengan Tuhan itu bukan pandangan politik deh”
Sepakat kan?

Then stop… dunia itu semakin complicated, ketika saya ke masjid saya ingin mendengar suara adzan, Quran yang mendayu, nasehat yang membangun… kalau bisa yang membuat saya menjadi lebih “adem” dan “bijak” setelah saya melangkahkan kaki keluar masjid.

Saya rasa ulama juga harus lebih bijaksana… tidak perlu terlalu “nyeleb” lah.
Saya sangat menghargai ulama, kyai, dsb. Tapi saya merasa kok jadi off-site ya membuat mereka menjadi mata tombak untuk politik?

Logika saya tuh pemuka agama itu justru harus jadi pihak yang paling netral sehingga bisa jadi tempat kita meminta pendapat tanpa perlu ada sorot kamera.
Something like that…

Sedikit tentang pilkada…

Pertemanan di negeri kita kita diuji oleh harta, tahta, pilkada.
Okay, kalian mau dengar pendapat saya?

Listen, both of the candidate are too crazy with the “position”!
Dua-duanya punya kelemahan dan kelebihan.
Yang satu… mmm…. while I environmental economist, saya merasa reklamasi itu somehow kurang tepat. Selalu ada cara yang lebih bijaksana untuk memperbaiki alam dan udah laaah pembangunan jangan diembat semua sama Jakarta.
Yang satu, DP rumah 0% saja konsepnya tidak jelas… menghalalkan segala cara untuk meraih simpati warga. Aduh apa banget deh.
So yeah, are you blind guys? Both are not perfect, maybe asholes.
But now you need to choose who is better between those candidates.
you need to choose an asholes you can work with better.

kriterianya? Yaaa itu masing-masing pribadi kalian yang menentukan.
Kalau kamu punya alergi dengan durian kamu tidak bisa memaksa semua orang untuk tidak makan durian.
Yo wis lah, kalau menurut kamu keyakinan, suku, dsb itu kriteria utama, yaaa udah pilih yang sesuai… tidak perlu nyinyir dengan yang tidak mempersoalkan itu.

kan bisa baik-baik “Mmm, bro gw berbeda pendapat deh kayaknya. Kayaknya X lebih ok”
“Iya ya, Bro? Waaah udah masalah hati sih jadi susah ahhahahha”
Lalu marilah nikmati es kelapa muda bersama-sama… jangan lupa dengan mie ayam pangsit. Abang tukang es dan mie ayam pun kecipratan rezeki. Itu lebih signifikan efeknya.
Hidup pun lebih mudah dan sepertinya lebih damai.
Tidak hanya untuk pilkada, tapi untuk next political leap in our country.

In short….

I want Indonesia back to the previous humble country with a sensible humor.
Dan jujur ketika saya di sini, ngobrol dengan teman-teman saya di kantor, saya lelah menjawab “Marissa-san, what’s wrong with your country?”
And I have no answer for that.

Saya pernah membaca “Banyak orang yang pintar, bertalenta, dan akademisi kini enggan berurusan dengan politik…”
Jika sekolah-sekolah
universitas
bahkan masjid-masjid  sudah dipenuhi politik
maka masihkah ada tempat untuk mereka si orang yang pintar, bertalenta, dan para akademisi tersebut di tanah air yang pastinya sangat mereka cintai.

Padahal hanya ada satu kesalahan mereka, enggan berurusan dengan hal-hal yang bukan kemampuan dan keahlian mereka.

Saya meyakini… pasti di hati mereka terkesiap:
If I never come back, that’s not because I am not love this country.
But maybe because there is no place for me…

Indonesian, seriously… fix your self!

 

OVERLY DUMP WAY TO WRITE TO YOUR PROFESSOR [or Potential Professor] with some examples


“…And God…. tell us the reason, youth is wasted on their young!”(Lost Stars-Adam Levine)

Ok! This posting is quite important, let me write it in English. While if I write in Indonesian, I can’t control my emotion on it.

Sometimes my Sensei ask me to help him checking for  International Students application. Sometimes also some of my juniors in university ask me my opinion about their application. Some of them are really good.. but some of them, errrrrr 🙁 I almost got hypertension because of it. I have a nice friend who always become a “positive”person and said “Calm down, Marissa… they just need more information on it” but now… now…now… he is away. MWAHAHAHAHAHAHA…. I am unstoppable now, so I made a resume of “Dumb ways to contact your professor”and because I love all of you (although I look like a godzilla sometimes), I will provide you an example about how to contact your Professor or Professor-be.

Yes… sit down there, I will explain everything to you. It is okay to do some mistakes, but never make too-dumb mistakes.

WHY YOU CONTACT A PROFESSOR?
There are millions reason why you should contact a professor. If you are student now, you may need to ask some questions regarding to your research. If you are “student-wanna-be” you may find professor who willing to accept you in his/her lab.

WHAT YOU SHOULD NOTICE?
1. You are in the position need the Professor! Not the other way.
2. They are not in your age! They are older than you (oh come on, I can’t believe I should write this one)
3. While they are older than you, and perhaps not as “hi-tech”as you are, kindly make everything as compact and as simple as possible. NEVER! give any difficult link, with crazy password and the password should be written in Cyrillic, Arabic, and Chinese character. Trust me, even me… I will not open it.

password-requirements
4. Please be polite… keep your manner on it.

Well, can you give us any examples?

I will… I will… what’s no in this blog… Welcome to our main menu Today
OVERLY DUMP WAY TO WRITE TO YOUR PROFESSOR (Or maybe your Professor-Be).

1. Don’t Overvalue your Skill…. I mean, would you mind please to be: HONEST

Trust me I found this cases several times. I understand that you really want to show that you are “outstanding”… that you are “Distinct” from any other candidates who may contacts your potential professor. But, it doesn’t means you should write everything “too-much” and “too-far”

For example:
Image and video hosting by TinyPic
And please don’t be surprised if then the professor will try to “test” you like this (this example is only an illustration, sorry for any mistakes on Kanji, etc :p)
Image and video hosting by TinyPic
What will be happens to you:

I am also surprised, because it is not one or two times then some student ask me the meaning of their e-mail. Gyaaaa… I am not better than them. It is fine if we just ended mourning about our stupidity on that field, but if you want to believe me… I also sometimes find someone who blame me “Are you sure you can’t translate it? What are you studying there then?”
Huh?

Okay…
Let me tell you, you can say “I am able to do XYZ” if you already passed some official test and gain any certificate on it. As my knowledge, Japanese for example thought that if you say “I can speak Japanese” at least you are in N3 or N2 level. If you still in “kore-kore” and “sore-sore” level, you still in my level… come here, join newbie club :’D

If it is still not clear for you…
Well… listen to me.
Not because you read Quran everyday, still with sooooo many error in tajweed  and so on and so on, doesn’t mean you can speak Arabic.
Not because you can say “Ich liebe dich” to your crush, you can say you able to speak Germany.
Not because you can use microwave, you are an engineer!

Okay, it is no use to explain about it too much.
Let me show you how to solve this problem… here a little example that may help:
Image and video hosting by TinyPic

Remember, you contact for very important and busy person… please appreciate them. One wise way to appreciate them is also to ask for their solution and suggestion for your problems.
2. Don’t act like you are the busiest person in Planet Earth.

This is very common mistakes… and unbelievable also.

For example, something like this:

Image and video hosting by TinyPic

Take your time honey… don’t even need to wait for the reply because you will not get any :p
What do you think?
Your professor is very busy, so much more than you!
He has so many conferences, journals, research deadlines, and maybe also so many missed calls from his family who keep asking why he doesn’t have time.
Oh come on….seriously!

Except you are in special condition, and you afraid you are not available soon when your professor try to reach you. Maybe you can write something like this

Image and video hosting by TinyPic

Remember! You are in position “needy” not “needed”

3. Don’t be LAZY! and please be SERIOUS on it.
Image and video hosting by TinyPic
The most important point you should show to you professor is: Your interest to study and how serious you are. That’s why you need to write them your research plan so they can check whether your field is “click” with him or not, furthermore it is also to check how serious you are to study, your mission is to make you “targeted professor” can think “Oh wow, this student is good… he even already prepare about what he want to do”

And just to let you know that: Your professor is not working in University Admission office! So, please don’t ask him to send you all university requirements and forms. Because what: 1.) Every university has a website, 2.) Your prof. probably also lost about admission system. He knows, but maybe not in details.
I am really sleepy… I will stop soon.
But there are several additional  questions, I usually got.. let me answer it in short:

1. I want to study abroad, but I don’t have TOEFL/IELTS. Why the university not accept me just because that small certificate?
“…. because, you will not speak in your mother language here. Seriously. ”

2. I see so many happy faces in facebook, study abroad must be easier.
“…. our life is not as beautiful as our selfies. Please don’t judge a person by his/her selfie”

3. Why my Professor not answer my e-mail?
“… just wait for abour 3-4 weeks, if no response just contact another professor. He may very busy”

4. Where I can get scholarship?
“…. There are lots of source of it, you can google it 🙂 ”

5. Why there are so many requirements to get the scholarship?
“…. excuse me, are you complaining? Come on… there is an institution which want to fund you to continue your study by FREE. Of course they will make very high qualification.”

6. I am poor, I am stupid, I can’t do anything…. can I continue my study?
“… I am also not come from rich family, I am also not smart, I have nothing except my dreams and people who really loves me. Once in my life I want to make them proud of me with reaching my dreams. And here I am now. Is it enough to answer you question? Listen to me… life is tough, we should strong enough to face everything!

7. What will I learn in graduate degree?
*Throwing the syllabus*

To close this posting, I humbly want to say you something…
Maybe it is important for you to look distinct, outstanding,  awesome… and what can I say? it is your right. But do you know what is more important? To be well mannered!
You smart, you rich, awesome, almost perfect… but you can’t show that you have lovely personality, then everything just become a waste.
Education, in fact, exist not for making you become The Almighty… or become an ego-centrism human. It trains your way of thinking… make you more humble when you realize how many people give their time to teach you, when you see so many people who are better than you. In the same time, it trains you to accept your self… to say “It’s okay myself you already did your best” while you will realize that you may very good in something but really moron in something else… that’s a process to make you realize that “Ah I need anybody else in this planet.”
Education maturing and nurturing your heart and thought.

And while you are still a “green apple” would you mind to show to your teachers, your seniors, your friends that you ready to learn from them and in one point of time you can become a sweet “red apple” and from you there will be a high quality of apple trees 🙂

 

Now… it’s back on you 🙂

Have a nice day 🙂