Membongkar cinta-cinta dalam kardus *)
Dan perlukah kita mengungkapkan cinta?
Waduh… pertanyaan macam apa ini. Kalau gw ditanya, jujur gw jawab: tidak, setidaknya itu jawaban seorang wanita gengsian seperti gw. Tapi perjalanan selalu membuat kita berpikir lebih baik, dengan perspektif yang berbeda. Ketika gw bertemu salah satu sohib gw di kyoto gw jadi berpikir, mungkin in some cases kita perlu mengungkapkan cinta, namun bagaimana cara yang baik dan waktu yang baik itu semua masih diproses dalam otak gw yang masih semrawut dan perlu dibersihin pakai vacuum cleaner ini.
Mulai dari mana ya?
Mulai dari mmm….
Pernah gak sih waktu kalian masih keciiiiil banget, terus mama kalian tanya “Sayang gak sama Mama?”, “Sayang gak sama ayah?”, “Hayooooo anak Mama atau anak Papa”, dan sejenisnya.
Percayalah gw ingat ketika gw masih balita mama gw pernah tanya itu sambil gendong gw. Mungkin mama di seluruh dunia melakukan itu. Jawaban standarnya pasti “Sayang dong” atau jawaban sejenis itu. Lalu semakin gw menua… *haish* gw merasa bahwa pertanyaan seperti itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, itu kayak nanya “Apakah matahari bersinar” oh come on…. how stupid. Tapi semakin usia gw bertambah juga, semakin banyak orang yang gw sayang meninggalkan gw. Tragisnya, gw belum sempat bilang dengan lafal yang jelas dan tegas “I love you, so much” not a big deal, tapi ada saat ketika lu teringat dan “Auwch… I miss you so much, and do you know how much I love you. I wish you know it”
Tapi pengalama itu toh tidak membuat gw kapok, gw tetap merasa…. “Apa yang sudah gw lakukan ini belum menunjukan kalau gw…. gw, Marissa Malahayati, sayang banget ke kalian”
Gw gak pernah bilang sayang ke adik gw, mama gw, keluarga gw, temen-temen gw, bahkan cowok yang gw suka. Lagi-lagi itu bukan masalah, apaan juga sih… kalau baik yaaaa baik aja, kalau sayang ya sayang aja, kalau cinta ya cinta aja….pamrih banget sih sampai harus diungkapkan segala? COME ON!
Lalu ting….whatsapp dari adik gw. Dia baru baca tulisan gw di salah satu buku. Awalnya cuman saling ledek seperti biasa. Tapi setelah itu “Kiki sayang sama kakak, belajar yang bener ya kak, oleh-oleh jangan lupa” kalian tau rasanya? Mungkin harus ada kata di atas kata bahagia untuk menggambarkan itu. Mungkin super mega combo happy. Dan rupanya hal sesederhana itu bikin gw bener-bener bahagia.
Lalu ting… whatsapp dari mama gw, “Mama juga sayang ke kakak dan kiki” of course….itu sih gw tau, seperti tau kalau matahari terbit dari timur. Without any doubt. Tapi entah kenapa ketika itu semua terucap, it cheers you up…more than anything else in this world.
Ketika ayah masih ada, setiap gw ulang tahun ayah selalu ngasih kado ke gw, I love presents. Tapi yang lebih gw suka lagi adalah membaca notes yang selalu Beliau tinggalkan di dalam bungkus kado itu. When you know someone you love, love you back…. don’t you think it’s awesome?
Tapi lagi-lagi karena gw ini cewek gengsian ya… kalo kata temen gw yang dodol, “watashi wa watashi desu” alias gw ya gw…. style gw, sok cool, mencintai segalanya diam-diam. Untuk keluarga sih mungkin gak terlalu masalah ya, mereka selalu jadi orang nomer satu yang tau style dan segala keanehan gw. Tapi ke sahabat, temen, atau orang yang lu taksir, aaaah… it such a big deal. Ketika kalian menyembunyikan cinta-cinta kalian dalam kardus, kalian selotip, lalu ditimpa sama tumpukan koran, maka dia tetap tersimpan di dalam kardus.
Orang yang gak kenal-kenal banget ke gw pasti berpikir gw ini jutek *iya sih… itu gak salah-salah banget*, berdarah dingin *alhamdulillah gw belum jadi amfibi kok*, suka menggigit *errrr….-.-*. Tapi gw gak sejahat itu *ngaku-ngaku*. Gw sebenarnya mau jaim aja sih jadi cewek sok cool gitu :p, namun daya kebablasan. Mungkin cara gw yang berbeda untuk mendekripsikan itu. Gw memang aneh…. aneh banget.
Kalian tahu kenapa gw gak pernah pake ojek payung? Karena gw gak tega saat gw pake payung dia dan dia kehujanan.
Kalian tahu kenapa kalau gw lagi sedih gw gak jarang bilang? Karena gw tidak mau menambah masalah buat orang lain dengan masalah gw.
Kalian tahu kenapa gw ketika ketemu teman gw, gw hanya sekadar menyapa terus langsung pergi? Karena gw berpikir mungkin mereka punya agenda lain yang jauh lebih penting dari sekadar chit-chat basa basi sama gw
Kalian tahu kenapa kalau naik angkot gw selalu memilih paling pojok walau itu tempat paling panas sekalipun? Karena gw terlalu malas buat geser, dan gw gak mau orang lain repot masuk jauh-jauh sampai ke pojok saat naik angkot.
Gw lalu jadi kayak bocah pelit, ansos, introvert, dan gaje. Emang bener sih… tapi errrr… sebenarnya gw tidak bermaksud seperti itu. Itu membuat gw tidak punya terlalu banyak teman, tapi ketika gw punya sahabat, mereka orang-orang terbaik yang pernah ada di planet ini.
Lalu ketika gw suka sama seseorang, hal yang gak jauh beda terjadi. kalaupun kelepasan gw kan jago nulis dan berkelit gw bisa nulis atau bilang “Hahahaha…. becanda lagi” gw kayak gak pernah nonton film pocong juga pocong aja hahahahahaha. Ini juga salah, karena gw terlalu “minder” untuk banyak hal. Gimana gak minder ya -.- stereotype gw di mata beberapa orang kan udah terlanjur “aneh” jadi gw takut orang yang gw suka juga menganggap hal yang serupa. Mungkin dia lebih baik gw tinggal, menemukan orang yang gak seaneh gw lalu have a happy-normal life. Gw juga agak trauma ketika gw ditinggal ayah dan kakek gw dalam waktu yang berdekatan, man I love…leave me so fast, why should I love the other one except my brother. Itu juga alasan kenapa sebenarnya gw gak excited banget buat nikah, gw cuman mau mama bahagia…liat adik gw punya pekerjaan yang baik dan keluarga yang bahagia and I think my tasks in this world just finish. Tapi mungkin gw salah.
Gw butuh orang lain yang bisa menemani gw…
Ketika mama nanti gak ada, adik gw udah punya keluarga, semua teman-teman gw udah punya kehidupan dan keluarga masing-masing, ketika gw makin tua dan menua. Harus ada orang yang bisa selalu ada di samping gw dan jadi orang yang ngingetin gw banyak hal dan jadi teman gw bertukar pikiran, yang akan ada untuk gw dan gw ada untuk dia. Yang seiring dengan keriput gw nambah, gw bisa bersama dia dan denger cerita dia sampai tiap lembar rambutnya berubah warna. Gw bisa sih piara kucing, tapi kucing gak bisa telpon 911 kalau ada apa-apa sama gw.
Terpisah jarak ratusan kilometer dari Indonesia, gw membawa cinta gw dalam beberapa kardus. Beberapa cinta retak, dan sudah gw perbaiki dengan lakban dan selotip kardus plus sedikit lem besi, it is stronger now. Tapi tetap gw simpan di dalam kardus, membiarkannya berdebu. Mungkin sekarang saatnya, gw unpacking kardus-kardus itu, bersihin semua cinta yang udah berdebu, beberapa harus digosok minyak kayu putih biar semakin mengkilat… lalu membungkusnya lagi dalam kemasan yang lebih cantik, mengirimkan cinta itu kepada orang-orang yang seharusnya menerimanya, membiarkan mereka tahu… dan membiarkan mereka berpikir apa yang seharusnya mereka lakukan setelah menerima itu. Ini sudah bukan masalah lagi jika kemudian mereka reject paket cinta yang gw kirim, atau lupa siapa nama gw yang tertulis di space “pengirim”, tapi sebelum semuanya terlambat. Karena gw gak mau mati sesak napas tertimpa kardus-kardus.
—————————————————————-
*) Judul terinspirasi dari film “Cinta dalam Kardus” Raditya Dika