Sekilas kritik untuk Negeri “Cuitan”


Saya teringat salah satu tuitan Sudjiwo Tedjo (I should tell I really like his point of view)

13398994_1186105991433852_1525162985_n

“Lama-lama orang malas romantis, karena takut disebut galau. Malas peduli, takut disebut kepo. Malas mendetail, takut dibilang rempong.
Malas berpendapat, takut dibilang curhat. Malas mengubah point-of-view saat debat, takut dibilang labil”

Mungkin jika tuitan itu ditulis di masa-masa ini mungkin akan ada tambahan “Lama-lama malas mengkaji agama, karena takut dianggap menistakan agama. Lama-lama malas berpolitik karena takut masuk penjara” terus begitu hingga ladang gandum dipenuhi coklat.

Guys! Wake up… kok kita mulai memperumit segala aspek dalam kehidupan kita sih, segala aspek yang yaaaa kita-kita sendiri ini yang bikin. Bikin masalah sendiri, mengkritik sendiri, marah sendiri, loh… maunya apa?

Ratusan kilometer dari tanah air, saya merasa mengapa Indonesia kok “mumet”. Saya ingat sahabat saya sampai bilang “Ini sih, Mon…mungkin manusianya yang harus diganti.”
Maaf saja tapi menurut saya seluruh kasus yang sedang hangat di tanah air itu sebenarnya “Meh!”

Oke start from kasus penistaan agama dari pak Ahok. Sebagai muslim, well… saya harus bilang Ahok salah. Sungguh kasus keselimpet lidah Beliau sangat fatal. Apalagi di Indonesia. Loh Indonesia loh, beda “mahzab” atau “partai” antar dua keluaga saja dua sejoli bisa batal nikah kok. lha, ini bawa Al-Quran. yooo blas! Beliau salah, namun saya pribadi merasa yang terjadi kepada Beliau selanjutnya juga jadi tidak fair. Sudah diproses secara hukum kok, masih di demo, masih di caci, lah… kalau kita sibuk menyudutkan dan mengulang-ulang kesalahan Beliau, apakah itu membuat kita menjadi lebih baik dibandingkan Beliau?

Dan, mbok ya kalau tahu lawan itu cerdas maka berperanglah dengan taktik yang cerdas. Lhaaa… ini kesaksiannya cuman nonton youtube, buat laporan pun kompakan, piye? Salah pun kompakan. Lha… perang itu bukan hanya modal bismillah dan Allahuakbar, harus ada taktik, harus ada pemikiran, harus pengkajian… semua harus dilihat secara kaffah dan menyeluruh. Masih pakai demo segala. Ini logikanya dimana? Ya percayalah kepada para penegak hukum. Coba-coba-coba latihan….latihan HUSNUDZAN alias berbaik sangka.

Okay… mari kita biarkan penegak hukum bekerja secara optimal.
Eh tunggu! Memangnya bisa?

Ada yang bicara sedikit menyinggung agama, langsung dilaporkan ke polisi.. pasalnya tidak tanggung-tanggung “penistaan agama”
Ada yang update status kritik sedikit, itu juga dilaporkan ke polisi
Ada mantan pejabat iseng sedikit ngetwit, juga heboh dikomentari
Bahkan uang rupiah yang sudah didesain seindah mungkin oleh tim, dilaporkan ke polisi juga. Itu cetaknya aja udah susah. Masih baik hati BI mau mengomentari hal ini, kalau saya jadi gubernur BI sih “Yo wis lah… biarin aja mereka misuh-misuh ndak jelas.” mending ngurus harga cabe yang jelas-jelas lebih krusial dan terang inti masalahnya.

Besok-besok nasi basi pun jangan-jangan sampai ke polisi “Ini kasus penindasan rakyat oleh perusahaan rice cooker”
Besok-besok, saya yang sering salah melafakan ش, ص, ز,ذ juga akan dilaporkan ke Polres Bogor karena kasus penistaan agama “Ini loh, mbak Marissa, baca Quran-nya salah… bahasa Arab itu salah makhraj salah arti, penistaan agamaaaaaaaaa, digoreng di nerakaaaaaaa” Arggghhhhhhhh~~~
Lha, ini polisinya pun jadi capek fisik dan psikologis.
Orang-orang yang cerdas, pintar, tapi malas ribet juga akhirnya jadi mulai searching “How to change your nationality”, mulai searching biaya visa, join global online dating, dan tentunya tiket pesawat.

Mungkin saya terlalu “cuek”, terlalu liberal, terlalu cetek, apapun lah yang ingin kalian bilang. Tapi di tengah konstelasi global, ketika orang-orang bersaing untuk bekerja lintas batas. Kita? Kita masih sibuk di masalah spekulasi cuitan dan saling salah menyalahkan dibandingkan fokus menyelesaikan masalah itu sendiri. Kalian tahu gak itu seperti apa? Seperti dalam perlombaan lari, peluit sudah ditiup, yang lain sudah lari… kita? Kita masih sibuk menyalahkan sepatu “Ini gara-gara sepatunya nih, terlalu murah! Terus stripnya terlalu terang jadi bikin silau, yang jahit sepatunya pasti ingin saya celaka. Siapa? Siapa? Siapa penjahit sepatunya?
Ya Allah…

Saya selalu bilang orang Indonesia itu luar biasa baik hatinya. Dimana lagi di sudut dunia orang bisa selalu melempar senyum dan tawa even to the stranger. Cuma di Indonesia! Tapi ya kita sering kali mudah tersulut…mudah percaya… mudah terprovokasi…
Sering banget sih.

Fenomena ini kan sudah terjadi sejak lama sebenarnya. Beberapa dari kita seringkali malas membaca detil berita, tidak mencari tahu lebih dalam dari informasi yang kita dapat dari grup Whatsapp, LINE, dsb… lalu Voila! Share ke seluruh social media yang ada. Awalnya sih range kecil-kecilan, lalu lama-lama ketagihan, dan jadi ketagihan nasional… dan Bom! Sekarang masalahnya jadi besar kan? Munculah Pak Buniyani yang diikuti kasus-kasus lainnya yang sebenarnya ya gitu-gitu aja.

Saya pun heran mengapa media juga terkadang mengambi “cuitan” di sosial media sebagai literature review. Jurnal aja, jurnal akademik… kalau tidak terakreditasi masih harus diuji lagi kebenarannya, lha iki kutipan dari social media, yo ngawur ndak karuan wis. Itu sangat tidak ilmiah.

Aduh jadi capek marah-marahnya. Tapi serius, kenapa sih… kenapa kita begitu usil mengkritisi tanpa memberi solusi, mencaci dan menyalahkan tanpa saling mengingatkan. Kerajaan di Nusantara itu mayoritas bubar karena perang saudara, lha mbok ya sesekali belajar dari sejarah. Kalau tidak setuju dengan orang lain kan bisa “Witsss…. sebentar cuy! Kita agak berbeda perspektif nih bla bla bla”paparkan, jelaskan, diskusikan… ra usah misuh-misuh dikit-dikit twit, dikit-dikit curhat di socmed, dikit-dikit lapor polisi. Kan lebih sejuk.

Lalu harus bagaimana?
Mungkin sesekali kita harus matikan handphone dan TV gak usah lama-lama, setiap weekend aja, take your backpack and umbrella… dan lakukan semua hobi kalian selain liat handphone.
Coba cafe baru bareng sahabat kalian,
cuci baju,
tanam cabe di pekarangan rumah atau kacang ijo di kapas dan seperti layaknya bocah lugu yang antusias menunggu mereka tumbuh, atas ketawa konyol sendiri karena mereka secara misterius gagal tumbuh.
Baca buku yang benar-benar kalian mau baca
Bantu mama nyapu rumah
Shopping… atau berburu barang vintage
Journaling
Gangguin keponakan atau anak orang yang masih cilik dan lucu-lucunya tanpa perlu sibuk ambil foto dan upload ke social media
Ke ATM, transfer some money ke yayasan
Surprise visit ke rumah kalau kalian jauh dari rumah, plus bawa oleh-oleh yang mereka suka.
There will be lots of things you can do dalam waktu 24 jam tanpa melihat TV dan handphone sementara. Bukan berarti TV dan handphone itu jelek ya, tapi terkadang kita hanya butuh sedikit detox sih dalam hidup. Go outside and see everything from another perspective.

Jalan dan ngobrol bareng lah sama orang yang wawasannya luas dan menyenangkan, berdebat secara sehat… lalu ketawa bareng. Belajar untuk saling menghargai pendapat bahwa beda pendapat itu oke loh, menambah alternatif sudut pandang, dan itu membijaksanakan kita karena kita jadi “ngeh” oh iya yaaa pandangan gw belum tentu sama dengan orang lain.

Dan yang lebih penting lagi… sebelum klak klik submit atau share berita/komen/opini/foto/dsb. Baca dan liat lagi, kenceng-kenceng kalau perlu… pikir dan renungkan dengan otak dan nurani yang udah Tuhan kasih kepada kita apakah hal tersebut baik untuk disampaikan atau tidak. Kalau rupanya jelek, yaaaaa udah… delete lagi. Seberapa penting sih memang “eksis” di dunia maya? Menurut saya sih itu sesuatu yang semu dan gak penting.
Lagipula ada hadist yang berbunyi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

[رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Mengutip kata Alm. Gus Dur “Gitu aja kok repot” 🙂 iya sih pilihannya kan cuman dua diam atau say something good.

 

Cekrek!!! Memotret slide ketika kuliah, etis kah?


“Jadi kalau kalian foto itu semua slide, kalian beneran baca?” #tanyaserius

Image and video hosting by TinyPic

Mungkin jika saya kelak jadi dosen, hal pertama yang akan saya lakukan adalah: TURN OFF PROJECTOR! karena lama-lama kasus potret memotret slide itu semakin menyebalkan. Apalagi dengan hp jepang! Ya HP jepang, yang pasti bunyi ketika shutter ditekan =.=
CEKRIK!
CEKlek!
CEKROK!
JEPREEEET!
Wooooi! berisik!

Sebenarnya saya tidak bermasalah-masalah banget sih dengan orang-orang yang mengeluarkan hp mereka dan memotret seluruh slide. Mungkin ingin menyalurkan hobi fotografi atau memang sangat antusias dan ingin segera pulang ke rumah mencetak si foto dengan ukuran A0 dan memajang foto itu di kamar agar ngelotok di otak 😀 Semua kemungkinan bisa terjadi kan? Nah, masa iya menyalurkan minat dan bakat dilarang :’D Jangan iri dengki kamu, Mon!

Tapi kok saya lama-lama risih ya? Ini murni personal opinion loh ya… jadi tidak bermaksud mendiskriditkan siapapun.
Kata sensei saya, kalau mau mengkritisi sesuatu harus menjabarkan alasannya terlebih dahulu. Yo wis! Manut ae kalau ke Cencei mah.

1. Is that the way “today’s students” appreciate their teacher?
Saya pernah jadi mahasiswa nakal! Pernah sampai dikeluarkan dari kelas. Dibandingkan kalian, mungkin saya pernah jadi mahasiswa yang lebih buandel. Namun kemudian saya belajar, seiring dengan bertambahnya usia dan uban ya hahahhaha, bahwa bukan begitu cara menghargai orang lain. Setidaknya menurut saya.

Atau mungkin, ini sih saya saja yang “baper” karena sudut pandang saya sudut pandang introvert.

Image and video hosting by TinyPic

Saya sih jujur saja, jika saya mengajar di depan kelas… kemudian terdengar bunyi CEKLAK! CEKLEK! CAKRUK! aduuh saya kan jadi gak enak, jadi kalian merasa saya ini Kim Kadarshian?
karena saya jadi mikir kalian teh merhatiin gak? Ngerti gak? Bukan slide yang perlu kalian pahami, tapi pemaparan dan penjelasan yang disampaikan oleh orang yang sudah berbusa ngomong di depan kalian semua.

Yah mungkin hak kalian sih “Ih dosen sama guru tuh ngomong di gaji tau!”
Iya, betul… saya pikir kalau dosen mau kejam sih pamer muka aja…pajang slidenya terus bilang “Yak bocaaaah! foto nih, puas-puasin. Besok kuis!” selesai! Semua pun senang! Hahahahaha.
Saya ingat pernah suatu kali salah satu dosen saya bilang “Saya itu gak butuh kalian, kalian yang membutuhkan saya” sedikit mmmm… well agak manasin kuping sih, tapi yaaa emang iya sih hahhaa. We attend a lecture to absorb something that more than we can absorb just from read books or handouts, itulah fungsinya ada tenaga pengajar di depan hidung kita.

Kemudian saya berpikir dari sudut pandang guru. Sakit gak sih kalau udah berkoar-koar di depan kelas eh point of focus murid-muridnya adalah “menyalurkan hobi fotografi”. Nah… nah… pernah belajar TEORI KEBUTUHAN MASLOW? dua puncak tertinggi kebutuhan manusia itu adalah: Aktualisasi diri dan Penghargaan. Saya pikir menjadi pengajar itu bentuk aktualisasi diri yang bisa ditempuh seseorang, namun untuk sampai si puncak ini, seseorang harus mendapatkan “Penghargaan” terlebih dahulu… saya pikir penghargaan dari seorang pengajar salah satunya adalah penghargaan dan pengakuan dari murid-murid mereka.

Nah, kita kan murid-murid nih… iya gak sih? Katakan pada saya standar penghargaan kita terhadap guru itu yang benar seperti apa sih? Saya tidak tahu, mungkin standar saya terlalu old school.

Huuuuuu…. kuno lo, Mon!

Then, ok! let’s move on to another reason

2. BERISIK!!!!!!!! dan sorry to say MENGGANGGU!
Ya udah deh, saya ngalah… memfoto slide kuliah itu memang mahapenting. Namun saya tidak tahan dengan bunyi berisik gadgetnya. Apalagi handphone Jepang…. aduuuh itu bunyinya bisa satu kelurahan dengar. Mungkin beberapa orang tidak tidak masalah ya, tapi sayangnya saya ini manusia yang mudah terdistraksi, jadi yaaaa annoyed lah. Kadang saya sampai hitung loh berapa kali bunyi CEKREK handphone yang saya dengar pada saat kuliah.

Yah gitu doang… cupu sekali Anda Marissa.

Oh, bukan itu saja, Anda tentu paham jika Anda ingin mengambil foto slide, Anda harus mengangkat tangan Anda. Dan saya, si pendek ini, yang sukanya duduk di pojokan kelas, yang lebih suka mencatat, harus sabar menunggu lambaian tangan para fotografer. CEKREK CEKREK CEKRET. Yak! Selesai sudah kalian memotret, tangan turun…. dan yak! Slide pun berpindah halaman :’)

No prob…. sudah biasa~hiks.

Begini…
Ketika kita pergi ke Masjid saja, kita diminta mematikan atau at least silent mode si telepon. Kenapa? Kan handphone juga handphone kita… suka-suka kita dong!
Perlu saja jelaskan kenapa? Karena DIKHAWATIRKAN MENGGANGGU KONSENTRASI JAMAAH!
Siapa tau juga kan, Imamnya sudah sepuh… lagi mimpin shalat baca Ar-Rahmaan, eh tiba-tiba ada handphone bunyi, waaah…. bisa aja imamnya jadi buyar terus lupa “Waduuuh, ini Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban yang ayat keberapa nih?”
Bisa aja kan?

Maka saya pribadi berkesimpulan, kode etik itu sesungguhnya jadi latihan untuk kita semua dalam menghadapi the real life.
Bukankah hal seperti itu seharusnya membuat kita berpikir “Eh iya ya, kita itu harus meminimalisir kelakuan kita yang mengganggu orang lain” iya gak sih?
Karena tidak semua orang memiliki kondisi sebaik kita. Mungkin kita memang jenius, awesome, luar biasa, punya konsentrasi tinggi. Tapi di samping kita? di depan kita? belum tentu lagi.

Aduh saya jadi ingat kakek saya pernah bilang “In your life, jika kamu tidak bisa membantu orang lain, setidaknya jangan mengganggu atau merepotkan orang lain”

3. Are you really READ your photos?
Saya ini pencatat yang buruk. Catatan saya hanya saya yang paham. Di S1, tidak ada yang mau meminjam catatan saya karena 1.) tulisan saya jelek, 2.) catatan saya itu lebih berbentuk gambar dari pada tulisan. Alhamdulillah sih jadi gak ada yang minjem AHAHAHAHAHAHAA. Masih ingat kah kalian nasib para manusia dengan tulisan bak mesin tik? Catatan mereka selalu berakhir di tukang fotokopi :’P

Image and video hosting by TinyPic

Namun apapun ceritanya, mencatat itu lebih baik untuk mengingat apa yang sudah kita pelajari. Saya misalnya, walaupun seringkali FAIL, tapi saya pasti ingat “Eh iya itu loooh…. aduuuh yang pake stabilo ijo! Aduh yang minggu lalu, gw nulis kok kalau gak salah ini deh *lalu nulis random dan mengarang bebas* ”

Tapi foto? Mau kalian apain? di pajang di Path?
Pernah suatu hari, ketika saya masih menjadi asisten dosen, murid saya curhat “Kak, catatan saya hilang”
“Hah, kenapa? kok bisa? Kehujanan?”
“Bukan, Kak…. hp saya di reset ulang gitu”
Zzzzzzzz….. =.=

Saya sih yakin beberapa di antara kalian memang by default pintar dan rajin, jadi si foto itu kalian pelajari. Tapi, ingat jika kalian ingin ngiket itu ilmu, pengen gak mau ilang, maka CATAT. Foto mah, sekali reset ilaaaaang!
Ingat deh Ikatlah Pengetahuan dengan menuliskannya”  begitu kata Sayyidina Ali bin Abi Talib.
jadi if it is possible, at least catet apa aja lah hahahhaaha :’D

demikian alasan saya.
Namun saya menyadari ini juga bukan sepenuhnya kesalahan para murid sih. Beberapa memang terpaksa karena gurunya kadang pelit berbagi literatur atau handout yang perlu dipelajari lebih lanjut. Jadi mmmm… punten loh ini Pak…. Bu….
jika boleh, izinkan kami memperoleh seluruh bahan material kuliah sebelum masuk kelas.

“Lha, emangnya kamu baca, Mon?”

hehe… gak juga sih :p kan saya kadang bandel. Tapi setidaknya itu mengurangi alasan pembenaran diri bagi kami para murid yang kadang suka keterlaluan males dan bandelnya ini :’)
Sungkem saya untuk semua guru-guru yang saya hormati  😀

 

Mengenang Prof. Masanori Kaji: Belajar mengenai arti dedikasi


Saya kehilangan salah satu dosen favorit saya di kampus, dan rasanya sedih…
mungkin kalian berpikir “Yah, Mon…. siapa-siapa lo juga bukan” hahaha iya sih, tapi kan saya ngefans :). Selain itu ada banyak cerita di balik ini semua yang sebaiknya kalian ketahui karena bagi saya Tuhan lagi-lagi memanggil orang yang baik dari planet bumi ini. Ya! Lagi-lagi.

***

Kaji-sensei, begitu biasanya Beliau dipanggil adalah dosen sejarah sains. Beliau sebenarnya ahli kimia, tapi sepertinya ngefans berat dengan Mandeleev (yang lupa siapa gerangan Mandeleev, itu looooh yang bikin tabel periodik) Beliau kemudian mengejar Mandeleev dan menempuh jenjang doktoral Beliau di Rusia. Sebagai fans, kan saya jadi “kepo” dan saya sempat tertawa tiada henti karena seluruh foto Beliau di website pribadinya pasti di depan patung Mandeleev, oh come on… gak segitunya kali, Sensei hahahaha. Beliau kan orangnya pendiam, kalem, yah tipikal orang Solo lah kalau di Indonesia, jadi saya kan sekalinya menemukan hal-hal unik dari Beliau jadi pengen ketawa.

Saya kemudian mengetahui bahwa Beliau adalah salah satu kontributor dan salah satu editor dalam buku terbitan Oxford Press yang berjudul “Early Responses to the Periodic System”. Sebagai seorang maniak buku, saya tahu betul bahwa buku yang bisa dicetak Oxford Press itu tidak main-main, “Wah hebat juga nih, Sensei” pikir saya. Terlalu terlambat bagi saya untuk meminta tanda tangan Beliau… arrrghhh…. malu-malu kucing sih.
Image and video hosting by TinyPic

Saya baru saja selesai membaca essay yang Beliau tulis sendiri, dan lagi-lagi untuk kesekian kalinya saya baru tahu bahwa sejarah bisa begitu menarik. Pemaparan Beliau yang runut membuat kita paham bagaimana Jepang berusaha sedemikian rupa menyerap ilmu pengetahuan bahkan dari sebelum era Restorasi Meiji. Waaah… kalau kalain penasaran boleh lah pinjam buku saya 🙂 (asal jangan dibawa diaku dan gak dibalikin aja sih)
Image and video hosting by TinyPic

Saya jadi teringat banyak hal ketika Beliau menjadi dosen saya di kelas History of Environment

***

Beberapa keping memori di kelas…

Kelas History of Enviroment itu sebenarnya tidak lepas dari complain saya hahahaha…
Ini kelas yang menarik, Kaji Sensei selalu menunjukan list film dokumenter dan buku-buku menarik terkait lingkungan hidup. Karena saya pecinta film dan buku, ya saya jatuh cinta lah. TAPI…karena 3 minggu pertama film yang diputar tentang Minamata, lama-lama saya bosan juga. Saya sampai sudah sampai hapal di menit keberapa kucing yang terkena minamata menjatuhkan diri ke laut (and I hate this one so much), di tiga minggu pertama saya malah sibuk menghitung berapa kali kata “you know” keluar dari dosen pengajar lainnya yang mengajar di kelas yang sama (harap jangan ditiru).

Namun kemudian, kelas semakin menarik. Kasus lingkungan yang dipaparkan semakin beragam dan karena penelitian saya juga di bidang lingkungan jadi saya merasa “Ih ini gw banget nih.”

Saya juga jarang mengajukan pertanyaan di kelas, saya kan mahasiswa pasif hahahahhahahahaha (jangan ditiru juga ya). Tapi pernah pada akhirnya saya bertanya juga ke Beliau “Sensei, kenapa sih… kenapa semua negara kemudian harus dipaksa menjaga lingkungan? Kan gak fair! Inget loh… Jepang aja baru jaga lingkungan setelah ekonomi mereka in the peak point” <<– kira-kira begini pertanyaannya.

Dan saya ingat jawaban Beliau “…Saya paham pertanyaan kamu. Namun, itulah mengapa kita mempelajari sejarah. Sejarah kemudian telah menunjukan bahwa ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar suatu negara ketika mereka hanya mengejar kepentingan ekonomi dan mengenyampingkan lingkungan. Itulah kenapa kita belajar saat ini agar nanti… jangan sampai ada negara lain yang merasakan bencana lingkungan lagi, apalagi jika bencana itu kemudian mengambil nyawa manusia, nyawa itu tidak bisa dibayar oleh apapun”
Saya merasa jawaban itu bijaksana banget…. dan jika saya menjadi guru, saya akan ingat jawaban ini dan menjadikannya jawaban untuk pertanyaan yang sama.

Pernah juga setelah kunjungan ke Museum Daigo Fukuryu Maru, karena saya anak kuper yang lelet, entah bagaimana ceritanya saya terpisah dari teman-teman saya DAN DI SAMPING SAYA HANYA ADA BELIAU. Kami pun satu kereta, satu gerbong, samping-sampingan, aduuuuh awkward banget, entah mau ngomong apa. Saya pernah ya awkward di depan gebetan, kalian pernah kan? pernah kan? nah  ini… ini lebih awkward lagi! Mau ngomong apa kan ya ahahahaha. Yah pokoknya garing sih, hingga akhirnya Beliau bertanya

“Rencananya setelah lulus mau kemana?”
“Oh lanjut, Sensei.”
“PhD?”
“Iya””Penelitian kamu apa? Siapa senseinya? ”
“Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi, Masui Sensei”
“Menarik sekali. Setelah PhD mau kemana?”
“Jadi dosen mungkin… belum kepikiran sih, Sensei”
Jadi dosen yang baik ya… ketika menjadi guru itu sebenarnya bukan kita yang mengajari orang-orang di depan kita, tapi kita yang belajar dari mereka. Belajar hal-hal baru karena pengetahuan itu selalu berkembang, perilaku manusia berubah, semuanya. Jadi, jangan pernah berhenti belajar

Jika saya tahu itu nasehat terakhir seorang guru kepada saya, pasti saya sudah nangis bombay saat itu.

***

Kisah si jam tangan analog dan jam tangan pintar…
Ada satu hal lagi yang selalu membuat saya tertawa dalam hati: Jam tangan!
Beliau itu selalu menggunakan jam tangan double, yang satu jam tangan analog dan satu lagi smartwatch. Saya yang paling malas pakai kacamata ini walau penglihatan sudah semakin merabun, akhirnya membawa kacamata saya juga ke kelas karena penasaran. Saya memperhatikan kok dua jam tangan ini menunjukan dua waktu yang sama… karena tadinya saya mikir ya siapa tahu aja kan Beliau LDR sama istrinya terus supaya gak salah pas nelpon atau sms-an jadi pakai jam tangan dobel dengan dua zona waktu yang berbeda. Tapi rupanya tidak! Tidak sama sekali… semuanya sama persis! Kan otak saya jadi iseng berkonspirasi, apa sih maksud si jam tangan ini? Koleksi? atau apa?

Belakangan saya mengetahui dari sumber terpercaya (tuh kan fans sih selalu over kepo) bahwa si smartwatch itu berguna untuk mengingatkan Beliau kapan untuk minum obat. Seperti yang kita tahu fitur smartwatch kan memang untuk health reason ya. Lalu, untuk apa lagi si jam tangan analog?
Karena itu hadiah dari istri Beliau… katanya jika melihat si jam itu Beliau merasa dekat dengan istrinya.

Selesai sudah… kayaknya sih suami saya kelak juga tidak akan se so-sweet ini.

Arti sebuah dedikasi…
Yang luar biasa dari Beliau adalah, Beliau tidak terlihat seperti orang yang sakit. Saya tidak pernah mengira bahwa Beliau memiliki kanker dengan stadium yang sudah tinggi pada saat mengajar kami semua. Bahkan murid-murid Beliau di lab pun begitu.

Dari mahasiswa Beliau saya tahu bahwa hingga Maret lalu, Beliau berhasil mengadakan Simposium internasional untuk Chemical History in Tokyo. Saya juga mengetahui bahwa tiga hari sebelum Beliau wafat, Beliau masih terbang ke Singapura untuk memberikan materi pada sebuah workshop internasional. Namun mungkin kemudian Beliau terlalu lelah hingga akhirnya drop dan dipanggil Tuhan pada 18 Juli yang lalu.

Mendengar cerita ini, saya merasa hingga akhir hidupnya Beliau tetap mendedikasikan hidupnya untuk bidang keilmuan yang begitu Beliau cintai. Saya bisa menangkap bahwa cinta Beliau pada ilmu pengetahuan terutama pada bidang sejarah sains dan filosofi sains begitu kental. Saya bisa melihat Beliau membuktikan pesannya kepada saya untuk menjadi guru yang baik yang terus berbagi pengetahuan.

26 tahun saya hidup di dunia ini, beberapa kali saya melihat orang yang angkuh dengan pengetahuannya yang masih cetek. Saya tidak melihat hal tersebut dari diri Beliau. Saya bersyukur dalam hidup saya, saya lagi-lagi dipertemukan oleh orang yang hebat… diajari oleh orang yang hebat walau dalam waktu yang singkat.

Secara personal saya merasa Beliau bisa menjadi tokoh paling berpengaruh di bidang pengembangan sejarah sains karena bidang ini masih sangat langka. Namun sayangnya Beliau sudah berpulang. Mungkin kini Beliau sedang bercengkrama dengan Mandeleev, siapa tahu?
Teriring rasa terima kasih saya kepada Beliau,
semoga alam dan manusia bisa senantiasa hidup selaras dan beriringan…. semoga.
Image and video hosting by TinyPic

Belajar menjadi manusia seutuhnya: Catatan seorang PhD newbie


Tidak pernah terlintas dalam hidup saya bahwa saya akan menjadi seorang PhD candidate. Sampai bisa sekolah master di luar negeri saja sudah begitu “Wah” untuk saya. Wong saya ini anak ndeso kok! Lahir boleh di Jakarta, tapi sekolah SD di Leuwiliang… namanya saja tidak bonafid!
Setelah itu pindah dan tinggal di kawasan Ciomas… lagi-lagi namanya kok ya agak ndeso gitu ya, dan memang ndeso karena pizza h*t saja enggan delivery ke kampung ini :’) untungnya sekarang sudah ada g*jek dkk… jadi tidak terpencil-pencil banget lah. Tapi tetap angkot 32 hanya mau mengantar sampai ke “dusun” saya pada jam kerja. Jangan harap dapat angkot yang mengantarkan Anda ke area dusun saya jika sudah lewat jam 6 sore.

Kuliah pun di kampus IPB Dramaga. Wuaduuuh rek! Boleh lah kampus ini jadi salah satu kampus terbaik di Indonesia,tapi posisi si Dramaga ini jauh dari peradaban. Sungguh, kami para mahasiswa kere ini sesungguhnya memendam keirian mendalam pada kampus diploma dan pasca sarjana yang punya posisi lebih elit. Namun kami pun sadar, kalau toh kampus kami dipindah ke daerah yang lebih elit, sesungguhnya uang jajan kami yang hanya cukup untuk beli nasi uduk plus telor penyet (itu pun masih mencari warung yang paling murah) tentu tidak akan sanggup menggapai kemewahan pusat kota. Yo wis lah mau bagaimana lagi.

Belum lagi saya ini orangnya kuper. Hobi: Tidur, makan, dan uwel-uwel kucing.
Bahasa Inggris saya juga yaaaah gitu-gitu aja. Bahasa Jepang cuman bisa kore-kore. Bahasa perancis, cuman bisa baca, listening dan speaking sih wassalam  :’D.
Kemampuan matematis so-so
Kemampuan menghapal lebih parah
Loooh, mau jadi apa toh, Nduk?

Ketika saya terbang dan menempuh studi di Jepang,di Tokyo Institute of Technology pula, banyak pesan yang masuk ke mailbox saya. Beberapa tentu memberi selamat. Beberapa ada yang keceplosan “Kok bisa, Mon?” sampai “Lo beneran sekolah? Bukan exchange? pasti pake uang lo sendiri kan?”
Saya kok paham kenapa banyak yang bilang begitu hahahhahaa.

Saya berangkat bukan serta merta membawa senyuman loh kawan-kawan. Saya membawa beban berat. Mungkin Allah menyeret saya dengan cara yang cukup ekstrim. Sebelum saya berangkat, saya sudah menuai banyak kontroversi (Hish! Bukan Pak Super aja yang bisa menuai kontroversi, gw juga!). Saya dianggap cukup “durhaka” meninggalkan mama saya yang memang kondisi kesehatannya tidak se-fit dulu dan meninggalkan adik kecil saya yang masih sekolah. Saya dianggap sombong… dan jangan salah, ada juga loh yang sampai bilang saya bakal “seret jodoh” itu agak sedih sih.

Di tengah konflik batin itu, tiba-tiba Dosen saya menawarkan saya untuk studi di luar negeri. Tiba-tiba juga LPDP mengabulkan permohonan perpindahan universitas saya yang sebelumnya sudah ditolak mentah-mentah. Dan pada puncaknya adik saya yang dingin, tidak romantis, garing, dsb dsb dsb “datang dan bilang “Kak, you should go! Study hard there, and I want to see you happy”
Karena sesungguhnya tiada hal paling romantis selain kata-kata sweet dari orang yang dingin!
Pernah suatu saat adik saya membawa celengan kesayangannya “Kak, tell me how much you should pay to go abroad?”
Mungkin… ini mungkin… jika saya tidak memiliki adik seperti adik saya, saya tidak akan ada di sini. Di posisi ini.

Saya… si anak “biasa-biasa” ini kemudian terbang ke Jepang. Sekolah lagi! Di Tokyo Institute of Technology hahahaha asa keren ada technology-nya hahahah anak dusun jadi lebih “melek” teknologi

Image and video hosting by TinyPic

Menempuh jenjang master di luar negeri itu pun tidak semudah yang kalian bayangkan. Selfie mungkin cantik dan ceria, namun di balik itu? Saya shock karena saya merasa otak saya kosong!  Saya shock dengan kendala bahasa, saya putus asa karena mata kuliah yang ingin saya kuasai dalam bahasa Jepang, saya kaget dengan budaya kerja di negeri ini yang tidak kenal ampun. Saya lelah… saya lapar… dan sesampainya di rumah? Di apato mungil saya hanya ada kulkas kosong. Ketika emosi, saya menjadi garang dan membunuh para kecoa dengan membabi buta. Pernah suatu hari petugas dari Tokyo Gas sampai datang ke rumah karena alarm gas saya berbunyi… padahal itu hanya efek saya menghabiskan satu kaleng insektisida untuk memusnahkan para kecoa hingga ke anak, cucu, dan cicit.
Yah tapi  alhamdulillah lulus juga :’D

Image and video hosting by TinyPic

Namun di balik itu semua, saya menemukan hidup yang baru.
Saya bekerja sama dengan Sensei-sensei yang humble dan bijaksana.
Saya menemukan teman-teman baru.
Saya melihat tempat-tempat baru.
Saya jatuh cinta.
dan yang pasti saya mulai menemukan diri saya yang sebenarnya. Sebuah sisi manusiawi yang paling nyaman saya “kenakan” saat ini.

Lalu kemudian saya sampai di titik yang sekarang. Saya menempuh jenjang doktoral.
Sungguh tidak ada yang mahakeren dari ini semua. Menjadi seorang PhD mungkin hanya sebuah cara yang tidak biasa untuk menjadi lebih manusiawi dan rendah hati.

Marissa, si PhD candidate ini toh masih jadi orang yang wara-wiri ke semua orang hanya untuk revisi proposalnya yang masih busuk (dan ditolak LPDP hahaha #curhat).
masih menjadi orang yang kikuk ketika bicara tentang orang asing,
masih menjadi orang yang bermasalah dengan percaya diri namun kemudian berusaha untuk lebih menerima diri sendiri, untuk tidak terlalu keras kepala terhadap diri sendiri.
Masih menjadi mahasiswa bloon yang kena omel sensei “Loh… ini loooh kok ndak dibaca. Udah berapa kali saya bilang” hehe
Masih bodoh di matematika dan pada akhirnya semakin muka tebal mengunjungi anak bachelor dan master untuk di ajari matematika :’D ini kisah nyata loh.
Saya tetap mahasiswa ngirit yang pergi ke toko sayur pun hanya jelalatan melihat sayuran diskon.

Beberapa kali saya katakan kepada setiap orang, sungguh tidak pantas pendidikan yang tinggi membuat kita menepuk dada terlalu keras. Pertama, karena itu kan sakit ya, Bok. Pertama, karena sesungguhnya pendidikan yang semakin tinggi membuat kita semakin sadar bahwa kita ini yaaa belum tau apa-apa. Kedua, pendidikan yang semakin tinggi membuat kita sadar bahwa kita butuh bantuan orang lain. Pada intinya, pendidikan membuat kita sadar bahwa kita adalah MANUSIA.

Kepada kalian pembaca blog ini, terutama yang masih muda-muda, adik-adik saya….
Kalian masih muda, you are still young! Jadi berkelanalah jemput impian-impian kalian. Bumi Allah ini luas, maka explore bumi ini. Temukan pengalaman dan teman-teman baru. Jangan takut dengan kelemahan-kelemahan yang kalian punya. Saya toh bukti nyata dan hidup kalau si manusia dusun yang biasa-biasa saja ini bisa lohhh sampai ke level ini. Kalian mungkin akan ragu, minder, takut, tapi jangan lupa tetap maju…hanya dengan melangkah maju kita bisa tahu apakah kita bisa mengatasi setiap kelemahan kita. Semoga setiap langkah itu membuat kalian, kita semua, menjadi manusia yang jauh lebih kuat dan lebih mengenal diri kita sendiri. Insha Allah 🙂 * Kalau udah umur segini emang omongannya lebih emak-emak*

Kepada teman-teman yang sedang melanjutkan studinya semoga Allah melimpahkan kekuatan dan berkah dari ilmu yang kalian tuntut. Hingga kelak kalian bisa memastikan ilmu kalian berguna bagi khalayak banyak. Dan semoga Allah juga melindungi kita dari sifat sombong. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk 🙂 Okay.

Terima kasih kepada keluarga dan guru-guru saya, saya tidak bisa membalas apa-apa namun semoga setiap jerih payah saya kali ini dan kelak akan menjadi alasan kecil untuk membuat mereka semua tersenyum

Terima kasih kepada teman-teman saya, hidup ini sepi loh tanpa kalian… dan apapun alasannya, tetap perlakukan seorang Marissa seperti Marissa yang biasa 😀 seorang pecinta kucing sejati.

Dan mungkin terima kasih kepada semesta dan Sangpencipta semesta… karena caranya untuk mengajarkan saya tentang banyak hal begitu Indah.

Kajian Eksklusif: Sedikit Berbincang Tentang Rokok


“Jadi, Mon, lo kan sekarang udah master di environmental economics… jadi harga rokok itu perlu naik gak?”

Waduh, sekalinya ada yang nanya ke saya kok ya berat-berat banget hahaha. Saya tidak bisa menyimpulkan secara akurat ya, ini sih perlu kajian lebih mendalam terutama masalah elastisitas permintaan and penawaran rokok itu sendiri. Kalau misalnya permintaan rokok itu relatively inelastis, yaaa sampai ladang gandum dipenuhi cokelat sih menurut saya masyarakat tetap cuek dan akan terus mengkonsumsi rokok walau harganya naik. Yaaah nanti lah ya saya terangkan kurvanya.

Tapi supaya tidak penasaran, ya udah mari kita bandingkan fenomena rokok di Indonesia dan di negara lain terutama di Jepang. Biar gak penasaran kan ;D.

Let’s check this out!

Rokok di Indonesia
Image and video hosting by TinyPic

Bangsa Indonesia itu smokers by culture. Sama halnya seperti mengapa makanan di jawa tengah kok relatively manis-manis? Karena dulu ketika kita masih dijajah daerah Jawa Tengah adalah sentra perkebunan tebu. Naaaah! Sama seperti tembakau, ketika kita dijajah, petani harus menanam tenaman perkebunan bernilai tinggi mulai dari rempah-rempah sampai tembakau. Yaaaa kita kan gak dijajah sebentar, tanaman perkebunan itu menjadi bagian dari kultur masyarakat kita. Kalau ada hajatan, pasti ada rokok…. kalau ada kenduri di kampung-kampung, biasanya sih ada suguhan rokok… mau bangun rumah dan mempekerjakan orang, harus ada uang rokok… yang lebih kasihan lagi sih rokok juga menjadi bagian dari sesajen :’D agak kasian sih sama roh halus yang pasti zonk cuman kebagian rokok siapa tahu kan mereka sebenarnya rindu nasi liwet atau rawon hangat.

Dari sudut pandang sosial sih jujur aja menurut saya ini pekerjaan maha dahsyat menurunkan konsumsi rokok di Indonesia. Gak cukup, yo wis ekonomi lah sedikit.  Sewaktu saya turun lapang ke daerah Jember, Jawa Timur, petani-petani banyak yang beralih dari menanam tanaman pangan menjadi menanam tembakau karena harganya lebih stabil (dan tentu lebih tinggi) dibandingkan harga tanaman pangan. Kalau sudah begini kan pemerintah juga tidak bisa larang, kecuali pemerintah melakukan regulasi pasar dan menstabilkan harga hasil tanaman pangan. Kalau gak bisa? Ya susah juga sih 🙁

Belum lagi ada yang pernah bilang ke saya “Kebohongan seseorang yang paling dusta itu ‘gw akan berhenti merokok‘”, karena rokok itu membuat ketergantungan dan addiction. Perokok mulutnya asem dan bisa-bisa keliatan sakaw kalau tidak merokok. Perokok sejati itu kalau sudah addict kayaknya hanya maut atau cinta sejati yang bisa menghentikan mereka merokok deh. Yang lebih LUAR BIASA lagi, masyarakat miskin Indonesia juga ada yang merokok, dan mereka lebih memilih merokok daripada makan. Kita sih yang bukan perokok mah bisa aja bilang “Kalau uangnya dipake buat beli batako daripada beli rokok, udah jadi tuh satu rumah” tapi kalau sudah kadung kecanduan rokok mah, gak mikir lagi :’D

Apa-apaan ini, Mon! Lo mendukung produksi rokok… lo…lo…lo bener-bener keterlaluan

Sabar-sabar… saya sih anti rokok, saya punya masalah di saluran pernafasan jadi jangankan rokok, debu pun saya anti. Tapisaya pikir kita harus melihat masalah ini dengan mata yang dibuka lebar-lebar. Sebenarnya apa sih yang paling annoying dari rokok? Pertama menurut saya adalah ASAP-nya dan konsumsi rokok bagi anak dan remaja di bawah umur.
Jika kita belum mampu lawan si industri rokok yang guedeeee ini, lawan hal-hal yang masuk akal bisa kita lawan dulu deh.

Beberapa dari kita masih terlalu baik hati pada perokok, bahkan jika asap rokok itu memapar ke diri kita bahkan anak-anak di sekitar kita.
Beberapa dari masyarakat kita juga bahkan ada yang membiarkan anak mereka merokok hanya agar mereka “gak rewel”
Kita masih masa bodoh ketika ada anak-anak yang membeli rokok di warung-warung.
Masih ada orang tua yang merokok di depan anak-anaknya.

Saya berpikir mungkin kita perlu lebih “galak” untuk masalah ini. Bakal keliatan bawel dan nyebelin bagi beberapa orang sih, tapi yaaa harus.

Rokok di Jepang

Dengan penghasilan minimum masyarakat Jepang yang 200rb yen/ bulan (sekitar 25 juta IDR) harga rokok yang sekitar 400 yen sih sepertinya receh banget.
Image and video hosting by TinyPic

Sepengetahuan saya sih perokok di Jepang juga banyak, bedanya di Indonesia: 1. Tidak ada yang merokok sembarangan, dan 2. Tidak ada perokok di bawah umur. Salah satu cara meminimalisir perokok di bawah umur (di bawah 20 tahun) adalah dengan adanya IC card bernama TASPO (Tobacco Passport). Tanpa keberadaan Taspo ini kalian gak bisa beli rokok di vending machine.
Image and video hosting by TinyPic
Cara yang paling gampang untuk membeli rokok ya di convenient store. Kalau kalian mukanya boros dan keliatan lebih dari 20 tahun sih kalian akan lolos beli rokok hehehehe, tapi tentu petugas convenient store tidak akan memberikan si rokok kepada anak-anak.

Selain itu, orang Jepang itu entah kenapa ya kok taat-taat aja gitu sama peraturan. Mereka tidak akan merokok di tempat selain tempat-tempat yang disediakan untuk merokok (smoking area).
Image and video hosting by TinyPic
Mungkin gak segitu tulus-tulusnya sih mentaati peraturan :p karena kalau mereka kepergok melanggar peraturan dan merokok sembarangan, hal terapes yang mungkin terjadi adalah terkena denda double: denda karena merokok sembarangan dan denda buang sampah sembarangan karena hitungannya lempar abu rokok dan putung rokok sembarangan :’D dendanya tentu lebih mahal dari rokoknya.

Perokok di Jepang juga sebenarnya relatively “lebih sehat” dibandingkan perokok lainnya di dunia karena mereka punya “detox culture”, makannya ikan… minumnya teh hijau… yaaa kedetox deh itu si para racun dari rokok dan rokok mereka semuanya berfilter pula. Belum lagi banyak aturan dimana-mana. Selain itu sebagai negara maju yang makin sadar betapa mahalnya sehat… kesadaran untuk mengurangi konsumsi rokok muncul sendirinya. Yang lebih lucunya lagi, konon (ini konon)…. pernah ada survey yang dilakukan oleh sebuah universitas di Jepang dan mereka bikin survey “Apakah kalian mau menikahi pria perokok?” dan lebih dari 50% menjawab NO! Ahahahahhaa kalau itu benar….  maka menjadi JOMBLO rupanya lebih mengerikan daripada bahaya rokok :’D ini bisa ditiru loh.

Sudut Pandang Ekonomi

Jadi gimana si rokok ini dari sudut pandang ekonomi?
Sekali lagi, saya tidak tahu elastisitas permintaan dari rokok… namun jika saya benar saya asumsikan bahwa elastisistas permintaan rokok di Indonesia ini relatif INELASTIS, hal ini didasarkan pada laporan BPS bahwa bagi beberapa masyarakat Indonesia rokok adalah “kebutuhan pokok”.

Barang-barang dengan permintaan yang inelastis itu “Perubahan permintaan lebih sedikit dibandingkan perubahan harga.” Artinya, jika harganya berubah sekalipun, orang cenderung akan  tetap membeli barang tersebut. Jika itu benar, maka kalau harga rokok mau naik misalnya sampai 50 rb sekalipun… orang tetap akan membeli rokok. Industri rokok akan semakin happy. Penerimaan cukai rokok pun aman.
Saya pribadi merasa kita semua “dibegoin” saja dengan isu kenaikan harga rokok yang hits akhir-akhir ini. Dengan diisukan harga rokok akan naik, para perokok akan langsung berbondong-bondong menimbun rokok :’D eh rupanya gak… ahahahah kecele deh.

Beda cerita jika rokok itu rupanya elastis. Ketika harga berubah, demand juga langsung berubah drastis. Ketika harga rokok naik menjadi 50rb misalnya, orang-orang jadi enggan membeli rokok. Karena saya pembenci rokok sih, ya alhamdulillah ya hhhahaha. Lalu bagaimana dengan cukai dan para petani tembakau, dan para buruh rokok? Nah di sini peran pemerintah diperlukan. Harus ada sektor lain yang bisa mengalihkan daya tarik industri rokok. Apa itu? Lagi-lagi saya pikir harus ada penelitian yang mendalam untuk ini. Tapi karena saya pernah ke lapang, petani itu mau loh menanam tanaman pangan dan tanaman perkebunan lain kalau harganya stabil. Ini kan petani ada yang convert ke tembakau karena ketika mereka menanam tanaman pangan harganya jatuh setengah mati ketika panen raya.

Begitu pula para pekerja di industri rokok. Industri rokok kita itu menyerap tenaga kerja lumayan tinggi loh, apalagi untuk yang rokok linting. Jika ada industri yang bisa menawarkan lapangan kerja dan upah yang gak kalah dari industri rokok, saya rasa mereka pun rela untuk pindah.

Ini kan masalah perut. Dan ingat juga! Supply itu ada ketika ada demand. Industri rokok tidak akan berkibar jika permintaan rokok di negeri kita tidak tinggi.

Dan masalah nyali pemerintah juga, benar-benar ikhlas tidak kehilangan industri rokok? Benar-benar serius tidak memerangi rokok? PD tidak dengan sektor lain yang bisa memberikan penghasilan lebih daripada rokok dan tembakau? Butuh keikhlasan loh membuat perusahaan besar macam Phill*p M*rris dkk untuk hengkang dan mencari tempat kekuasaan lain. Mereka itu pindaaaaah dari Amerika ke Indonesia karena indutri rokok di negeri mereka sudah tidak menguntungkan dan penuh regulasi… dan mereka liat di Indonesia regulasinya sedikit, ya happy lah mereka usaha di sini.
Terserah pemerintah deh sekarang.

Kalau kemudian itu masih susah dan kita juga hanya punya dua tangan dan uang pas-pasan untuk melawan industri rokok. Maka kita hanya bisa menasehati perokok untuk merokok di tempatnya. Dan sayangi anak-anak deh, jangan sampai mereka terpapar asap rokok. Asap rokok itu bukan hanya buruk untuk kesehatan bisa menurunkan tingkat kecerdasan juga loh. Didik juga anak-anak hal-hal yang lebih useful misal nyapu, ngepel, dan nyetrika biar bisa bantu-bantu misal science dan hal-hal keren lainnya dibandingkan disuruh membeli dan mengkonsumsi rokok.

Yo wis lah jika kalian merokok, tapi bertanggungjawablah atas perilaku tersebut. Merokok di tempat merokok, dan jangan ganggu orang lain yang tidak merokok dengan asap rokok tersebut.

Gitu lah ya 🙂