Tentang Seorang Pria…
Sebuah persembahan cerita untuk my lovely brother yang akan berulang tahun besok, kelak kamu akan membacanya dan jadilah seorang pria yang hebat 🙂
Saya….
Hanya merasakan hidup selama 12 tahun dengan ayah saya. Itupun tidak full time karena tentu saja Beliau bekerja dsb. Selama 12 tahun, dengan pengetahuan saya tentang kehidupan yang masih sangat minim, saya mencoba memahami nilai-nilai yang Beliau pegang. Lagi-lagi, dengan pengetahuan saya yang masih sangat minim tentang kehidupan, saya sangat mengagumi ayah saya karena alasan-alasan yang sangat sederhana. Namun, setelah Beliau meninggalkan saya dan keluarga, saya marah pada Beliau sekaligus pada Tuhan, well… why should my father? why?
Sempat sedikit shock, saya lalu mengumpulkan setiap kepingan ingatan saya tentang Beliau, alasannya? Karena hanya kenangan-kenangan itu yang bisa saya jaga dan saya ingat selamanya. Kenangan itu akan jadi harta paling berharga dalam hidup saya, dan semoga juga untuk orang lain.
Izinkan saya bercerita sedikit tentang Beliau.
Ayah saya adalah seorang anak pertama dari keluarga yang biasa saja. Karena Beliau seorang anak yatim, maka untuk membantu ekonomi keluarganya, Beliau menjadi gembala ternak saat masih sekolah, membantu ibunya berjualan, dan karena pintar Beliau juga menyambi menjadi guru di kampung halamannya. Karena prestasi akademisnya yang baik, Beliau kemudian bisa bersekolah di IPB melalui jalur undangan. Harapan Beliau saat itu hanya satu, kelak bisa menjadi guru, lalu kembali ke kampung halamannya dan mencerdaskan anak-anak di kampung halamannya.
Hampir menjadi dosen tetap namun akhirnya Beliau give up for his biggest dream, alasannya masalah ekonomi. Saat itu, menjadi dosen apalagi belum tetap sangat tidak prospektif. Beliau kemudian menjadi seorang pegawai swasta.
Saat mendengar cerita itu, saya kemudian protes kepada ayah saya. Bagaimana mungkin impian yang sudah Beliau perjuangkan bertahun-tahun harus kandas begitu saja. He just great… so why he should stop? Why? ini terlalu tidak fair.
Menjawab pertanyaan saya yang menggebu saat itu, Beliau hanya tersenyum lalu menjawab dengan kalimat-kalimat yang menurut saya terlalu berat untuk saya mengerti saat itu.
“Jadi pria itu berarti menjadi imam… menjadi pemimpin… menjadi seorang mengambil keputusan. Itu amanah dari Allah” Jawab ayah saya pendek
“Masa bodoh… ini masalah cita-cita, yah. Ayah yang bilang perjuangkan impian sampai mati. Gantung cita-cita di di bintang, jangan hanya sampai di bulan karena bulan sudah pernah dicapai oleh NASA. Lha… ini ayah sendiri kok melanggar kata-kata itu?” Protes saya
“Ayah belum selesai. Nak, menjadi seorang pria itu haruslah bijaksana… karena imam yang tidak bijak hanya akan merugikan umat. Sampai situ, setuju?”
“Iya, lalu?”
“Lalu… ayah yang saat itu harus mengambil keputusan yang paling banyak memberikan keuntungan bagi orang-orang di sekitar Ayah. Kalau ayah bersikeras untuk sekolah lagi…. bersikeras untuk melanjutkan pekerjaan yang uangnya tidak jelas… maka Ayah akan mengorbankan kalian. Tentu ayah tidak mau menjadi egois”
“Okay, alasan diterima. Tapi ini berarti ayah menyerah dengan impian ayah?”
“Tidak… siapa ya menyerah? Justru Ayah sedang mengembangkan impian ayah jadi lebih fenomenal… lebih nyata…. lebih keren”
“Sok banget. Memangnya mempersiapkan apa?”
“Mempersiapkan kamu” jawab ayah saya singkat.
Saya bingung lalu bertanya, “Maksudnya apa? Saya gak mau jadi guru ah… jadi dosen juga… saya mau jadi presiden Amerika Serikat aja. Kayaknya lebih kaya dan keren”
“Hahahahahaha… terserah kamu mau bercita-cita jadi apa. Akan tetapi satu hal yang kamu tidak boleh lupa, ketika kamu semakin berilmu nanti maka jadilah orang yang semakin rendah hati. Jadilah orang yang bisa membagi ilmu kamu untuk kepentingan banyak orang. Ilmu itu harta dan amanah, dan kamu tahu kan setiap harta harus dikeluarkan zakatnya.”
“Iya, yah? gimana bayar zakat ilmu?”
“Dengan memanfaatkannya sebaik mungkin. Dengan mengamalkannya sebaik yang kamu bisa. Ingat juga bahwa ilmu adalah harta, maka dia bisa dicari terus menerus hingga ke pojok bumi manapun. Ingat bahwa ilmu adalah amanah, dan amanah hanya diberikan pada orang yang pantas, maka jadilah orang yang baik sehingga Allah menilai kamu pantas untuk diamanahi ilmu pengetahuan”
“Aduh pusing banget ya, yah… gak ngerti deh”
“Yaaaaa… nanti juga ada saatnya kamu ngerti. Yang penting ingat saja dulu”
Lalu pembicaraan pun semakin mencair, dan saat itu saya tidak pernah berpikir bahwa pembicaraan itu akan menjadi pondasi berpikir saya di masa yang akan datang.
* * *
Saya tidak akan bercerita lebih panjang mengenai ayah saya, mungkin harus dibuat sebuah buku khusus untuk menceritakan Beliau. Singkat cerita, Beliau kemudian sakit saat saya duduk di kelas 6 SD karena sebuah kecelakaan di kantornya dan kemudian meninggal dunia saat saya duduk di bangku SMP kelas 2.
Saat Beliau jatuh sakit, saya sangat marah pada Tuhan. Yaaaa… supaya kalian tahu saja, saya pernah sampai tiap hari hanya menggugat Tuhan. Bagi saya terlalu tidak adil jika seseorang yang baik seperti Beliau harus jatuh sakit seperti itu. Gila!
“Ayah gak kasian sama kita-kita, sampai sakit begini?” Kata saya pada Ayah saya, “Kenapa sih Ayah masih aja baik sama Allah, Allah aja gak baik sama Ayah. Yaaaaa jangan dibaik-baikin dong Allah-nya, keenakan nanti”
“Ayah merasa ayah beruntung banget aja”
“Ayah demam kali -____-, syarafnya bener-bener rusak rupanya”
“Nggak… ini serius. Tidak banyak yang mau menerima orang yang sakit seperti Ayah sekarang dengan baik… dengan sabar… tapi ayah punya kalian, semuanya baik, semuanya sabar, semuanya tetap semangat. Kamu juga rupanya bisa kan dapat NEM tertinggi”
“Cuman sekabupaten, Yah… gak se-Indonesia.”
“Tapi itu luar biasa kan? Kamu pikir itu biasa, bagi ayah luar biasa. Nak, tidak mudah menjaga semangat berjuang di saat-saat sulit dan kamu bisa melakukan itu. Kelak kamu bisa menjadi wanita yang hebat, masih mau jadi presiden Amerika?”
“Gak Yah, jadi presiden Amerika banyak musuhnya. Kayaknya jadi dokter mata aja deh”
“You change your dream because of me?”
“Sepertinya begitu”
“Iya, gak apa. Tapi kelak… setelah kamu semakin dewasa, kamu harus semakin mantap dalam menentukan impian dan jalan hidup. Jangan terlalu sering berubah, karena itu membuat kamu menjadi kurang fokus terhadap apa yang kamu kejar. Tentukan langkah yang mantap, pantaskan diri, lalu berjuang… jangan takut gagal, toh semua orang pernah gagal”
“Saya orang yang takut kepada kegagalan, yah…. saya sih jujur saja”
“Untuk apa? Nak, setiap pencapaian besar itu butuh waktu… butuh proses… dan salah satu proses yang harus kamu hadapi adalah kegagalan. Berhasil dan gagal itu satu paket.”
“Mengapa harus satu paket?”
“Agar kita menghargai setiap jerih payah yang telah kita tempuh… agar kita menghargai setiap hal yang kita peroleh… agar kita bersyukur dan semakin rendah hati”
“Ayah terlalu banyak teori!”
“Hahahahahaha…. oya? Iya sih ya… tapi gak apa selama teorinya baik dan benar.”
Beberapa tahun kemudian saya tidak memiliki kesempatan untuk kembali berdebat dengan Beliau.
* * *
Hari ini, saya sudah bertemu dengan banyak pria. Beberapa orang yang sangat bersemangat dalam meraih setiap impiannya, beberapa terlalu mudah bertekuk lutut pada kegagalan. Saya geram! Manusia di muka bumi ini seharusnya menyadari bahwa banyak orang yang meninggal terlalu cepat sebelum mereka meraih impian dan cita-cita mereka, lalu apakah pantas jika masih saja ada yang ingin menyerah begitu dini dengan impian-impian mereka?
Jika ingin menyerah, bolehkan saya memohon untuk setidaknya kalian mencoba satu kali lagi…. terus menerus seperti itu. Setidaknya modifikasi impian dan rencana-rencana yang ada sehingga lebih memungkinkan untuk dicapai. Tapi jangan menyerah! Bergerak maju bukan hanya harus dengan cara berlari, merangkak pun tidak apa…. yang penting maju! Itu saja!
Saya yang hari ini, ingin mewujudkan impian saya sekaligus impian ayah saya yang belum tercapai. Jika kalian pikir ini mudah, maka kalian salah besar… saya sudah jatuh berkali-kali, ratusan kali menangis, berkali-kali pula ingin menyerah, tapi apakah saya pantas untuk menyerah? Tidak kawan, saya harus maju… jika tidak saya akan semakin tertinggal dan semakin jauh dari semua impian saya.
Setiap pencapaian besar butuh waktu!
Bagaikan perlombaan marathon, jutaan orang sedang berlari mengejar impian mereka masing-masing…. terus berlari hingga lelah. Jika kita terjatuh, lalu kita berhenti karena lelah…. maka kita hanya akan terinjak oleh peserta marathon yang lain. Perjuangan ini tidak mengenal kata lelah…. jika kau lelah, maka mungkin kau belum menemukan hal apa yang tengah kau perjuangkan.