Sedikit cerita dari Tsukuba: ketika orang Jepang lebih mengimplementasikan hadist rasul dibandingkan kita semua.
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
beberapa minggu terakhir, kasus Covid19 di Tsukuba meningkat cukup cepat. Sampai saat ini, setidaknya ada 7 orang yang terserang di Tsukuba. 5 orang sekeluarga, 1 orang guru dansa dari Italia, 1 orang yang bekerja di Tokyo. Pemkot Tsukuba langsung mengeluarkan imbauan untuk kami yang tinggal di Tsukuba agar tidak bepergian keluar Tsukuba dan yang tinggal di luar Tsukuba untuk tinggal di rumah hingga 2 minggu ke depan alasannya:
1. Kita tidak tahu seberapa luas virus ini sudah menyebar di Tsukuba,
2. Kita perlu khawatir jika ada yang commute dari Tokyo dan sekitarnya menuju Tsukuba malah akan menambah kasus baru.
Mantap bukan!
Tes koneksi berkali-kali (sampai bosen dan garing).
tes koneksi ini bener-bener bikin kering loh, karena banyak peneliti yang sudah sepuh juga kan. Walhasil mereka masih gaptek, dan kadang jadi terlalu zoom mukanya…..dsb
Belum lagi di rumah mereka ada pet ada anak-anak yang masih liburan, jadi kadang “rame” karena pada gak ngeh mute suara mereka.Banyak lah suka dukanya. Kami yang biasanya peneliti tulen tiba-tiba disuruh cobain macem-macam peranti remote meeting kan heboh juga. Jadi belajar bareng sama sekretaris dan teman-teman yang lain.Sensei saya lebih heboh lagi. Perkuliahan mulai awal april, dan tiba-tiba semua perkuliahan Beliau HARUS dilakukan secara online! Beliau tinggal di Tsukuba, dan kampus di Tokyo. Inget rulenya? Dari Tsukuba gak boleh keluar!Walhasil harus nyiapin materi kuliah online.
Sudah sip sistemnya….
Eh~~~~ banyak mahasiswa baru yang perlu self-isolate selama 2 minggu karena banyak yang baru pulang jalan-jalan selama spring break. Akhirnya harus bikin sistem kuliah online-nya lebih mantap lagi agar bisa diakses banyak orang dari banyak tempat. Itu pun masih ada drama karena banyak mahasiswa baru yang gak punya wifi di kosan-nya m(T^T)m kalau pake kuota hp kan mahaaaal cin. Akhirnya kelas offline juga dibikin tapi tata ruangnya.
Kasian juga liat para sensei heboh ngecekin sistem kuliah online satu-satu m(T^T)m
dan please gengs, jurusan ekonomi… banyak persamaan sama kurva yang harus diturunin satu-satu.
Tapi kayaknya para sensei mulai enjoy dengan “mainan” baru mereka :’D yo wis lah.
Dan kerennya, dengan segala suka duka, semuanya nurut dan oke-oke aja demi kebaikan bersama.
KRL tsukuba express pun refund tiket langganan untuk para pejuang kereta ini.
Gak ada yang ngeyel “Loh kan belum lockdown.” semuanya lebih bilang “Yah… daripada kita menyebarkan virus kemana-mana dan gak tau. Virus kan gak keliatan.”
Subhanallah, Rasul pasti baik banget sih jadi gak negative thinking…. tapi kayaknya untuk orang Indonesia, mmmm…mmm….mmm…. harus pake cara polisi India yang maeh gebug pake rotan apa ya? Hmmmm… gimana menurut kalian?
Gimana nih masyarakat yang katanya religius? Atau memang butuh rotan untuk “efek kejut” 😀