Mengenang Prof. Masanori Kaji: Belajar mengenai arti dedikasi
Saya kehilangan salah satu dosen favorit saya di kampus, dan rasanya sedih…
mungkin kalian berpikir “Yah, Mon…. siapa-siapa lo juga bukan” hahaha iya sih, tapi kan saya ngefans :). Selain itu ada banyak cerita di balik ini semua yang sebaiknya kalian ketahui karena bagi saya Tuhan lagi-lagi memanggil orang yang baik dari planet bumi ini. Ya! Lagi-lagi.
***
Kaji-sensei, begitu biasanya Beliau dipanggil adalah dosen sejarah sains. Beliau sebenarnya ahli kimia, tapi sepertinya ngefans berat dengan Mandeleev (yang lupa siapa gerangan Mandeleev, itu looooh yang bikin tabel periodik) Beliau kemudian mengejar Mandeleev dan menempuh jenjang doktoral Beliau di Rusia. Sebagai fans, kan saya jadi “kepo” dan saya sempat tertawa tiada henti karena seluruh foto Beliau di website pribadinya pasti di depan patung Mandeleev, oh come on… gak segitunya kali, Sensei hahahaha. Beliau kan orangnya pendiam, kalem, yah tipikal orang Solo lah kalau di Indonesia, jadi saya kan sekalinya menemukan hal-hal unik dari Beliau jadi pengen ketawa.
Saya kemudian mengetahui bahwa Beliau adalah salah satu kontributor dan salah satu editor dalam buku terbitan Oxford Press yang berjudul “Early Responses to the Periodic System”. Sebagai seorang maniak buku, saya tahu betul bahwa buku yang bisa dicetak Oxford Press itu tidak main-main, “Wah hebat juga nih, Sensei” pikir saya. Terlalu terlambat bagi saya untuk meminta tanda tangan Beliau… arrrghhh…. malu-malu kucing sih.
Saya baru saja selesai membaca essay yang Beliau tulis sendiri, dan lagi-lagi untuk kesekian kalinya saya baru tahu bahwa sejarah bisa begitu menarik. Pemaparan Beliau yang runut membuat kita paham bagaimana Jepang berusaha sedemikian rupa menyerap ilmu pengetahuan bahkan dari sebelum era Restorasi Meiji. Waaah… kalau kalain penasaran boleh lah pinjam buku saya 🙂 (asal jangan dibawa diaku dan gak dibalikin aja sih)
Saya jadi teringat banyak hal ketika Beliau menjadi dosen saya di kelas History of Environment
***
Beberapa keping memori di kelas…
Kelas History of Enviroment itu sebenarnya tidak lepas dari complain saya hahahaha…
Ini kelas yang menarik, Kaji Sensei selalu menunjukan list film dokumenter dan buku-buku menarik terkait lingkungan hidup. Karena saya pecinta film dan buku, ya saya jatuh cinta lah. TAPI…karena 3 minggu pertama film yang diputar tentang Minamata, lama-lama saya bosan juga. Saya sampai sudah sampai hapal di menit keberapa kucing yang terkena minamata menjatuhkan diri ke laut (and I hate this one so much), di tiga minggu pertama saya malah sibuk menghitung berapa kali kata “you know” keluar dari dosen pengajar lainnya yang mengajar di kelas yang sama (harap jangan ditiru).
Namun kemudian, kelas semakin menarik. Kasus lingkungan yang dipaparkan semakin beragam dan karena penelitian saya juga di bidang lingkungan jadi saya merasa “Ih ini gw banget nih.”
Saya juga jarang mengajukan pertanyaan di kelas, saya kan mahasiswa pasif hahahahhahahahaha (jangan ditiru juga ya). Tapi pernah pada akhirnya saya bertanya juga ke Beliau “Sensei, kenapa sih… kenapa semua negara kemudian harus dipaksa menjaga lingkungan? Kan gak fair! Inget loh… Jepang aja baru jaga lingkungan setelah ekonomi mereka in the peak point” <<– kira-kira begini pertanyaannya.
Dan saya ingat jawaban Beliau “…Saya paham pertanyaan kamu. Namun, itulah mengapa kita mempelajari sejarah. Sejarah kemudian telah menunjukan bahwa ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar suatu negara ketika mereka hanya mengejar kepentingan ekonomi dan mengenyampingkan lingkungan. Itulah kenapa kita belajar saat ini agar nanti… jangan sampai ada negara lain yang merasakan bencana lingkungan lagi, apalagi jika bencana itu kemudian mengambil nyawa manusia, nyawa itu tidak bisa dibayar oleh apapun”
Saya merasa jawaban itu bijaksana banget…. dan jika saya menjadi guru, saya akan ingat jawaban ini dan menjadikannya jawaban untuk pertanyaan yang sama.
Pernah juga setelah kunjungan ke Museum Daigo Fukuryu Maru, karena saya anak kuper yang lelet, entah bagaimana ceritanya saya terpisah dari teman-teman saya DAN DI SAMPING SAYA HANYA ADA BELIAU. Kami pun satu kereta, satu gerbong, samping-sampingan, aduuuuh awkward banget, entah mau ngomong apa. Saya pernah ya awkward di depan gebetan, kalian pernah kan? pernah kan? nah ini… ini lebih awkward lagi! Mau ngomong apa kan ya ahahahaha. Yah pokoknya garing sih, hingga akhirnya Beliau bertanya
“Rencananya setelah lulus mau kemana?”
“Oh lanjut, Sensei.”
“PhD?”
“Iya””Penelitian kamu apa? Siapa senseinya? ”
“Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi, Masui Sensei”
“Menarik sekali. Setelah PhD mau kemana?”
“Jadi dosen mungkin… belum kepikiran sih, Sensei”
“Jadi dosen yang baik ya… ketika menjadi guru itu sebenarnya bukan kita yang mengajari orang-orang di depan kita, tapi kita yang belajar dari mereka. Belajar hal-hal baru karena pengetahuan itu selalu berkembang, perilaku manusia berubah, semuanya. Jadi, jangan pernah berhenti belajar”
Jika saya tahu itu nasehat terakhir seorang guru kepada saya, pasti saya sudah nangis bombay saat itu.
***
Kisah si jam tangan analog dan jam tangan pintar…
Ada satu hal lagi yang selalu membuat saya tertawa dalam hati: Jam tangan!
Beliau itu selalu menggunakan jam tangan double, yang satu jam tangan analog dan satu lagi smartwatch. Saya yang paling malas pakai kacamata ini walau penglihatan sudah semakin merabun, akhirnya membawa kacamata saya juga ke kelas karena penasaran. Saya memperhatikan kok dua jam tangan ini menunjukan dua waktu yang sama… karena tadinya saya mikir ya siapa tahu aja kan Beliau LDR sama istrinya terus supaya gak salah pas nelpon atau sms-an jadi pakai jam tangan dobel dengan dua zona waktu yang berbeda. Tapi rupanya tidak! Tidak sama sekali… semuanya sama persis! Kan otak saya jadi iseng berkonspirasi, apa sih maksud si jam tangan ini? Koleksi? atau apa?
Belakangan saya mengetahui dari sumber terpercaya (tuh kan fans sih selalu over kepo) bahwa si smartwatch itu berguna untuk mengingatkan Beliau kapan untuk minum obat. Seperti yang kita tahu fitur smartwatch kan memang untuk health reason ya. Lalu, untuk apa lagi si jam tangan analog?
Karena itu hadiah dari istri Beliau… katanya jika melihat si jam itu Beliau merasa dekat dengan istrinya.
Selesai sudah… kayaknya sih suami saya kelak juga tidak akan se so-sweet ini.
Arti sebuah dedikasi…
Yang luar biasa dari Beliau adalah, Beliau tidak terlihat seperti orang yang sakit. Saya tidak pernah mengira bahwa Beliau memiliki kanker dengan stadium yang sudah tinggi pada saat mengajar kami semua. Bahkan murid-murid Beliau di lab pun begitu.
Dari mahasiswa Beliau saya tahu bahwa hingga Maret lalu, Beliau berhasil mengadakan Simposium internasional untuk Chemical History in Tokyo. Saya juga mengetahui bahwa tiga hari sebelum Beliau wafat, Beliau masih terbang ke Singapura untuk memberikan materi pada sebuah workshop internasional. Namun mungkin kemudian Beliau terlalu lelah hingga akhirnya drop dan dipanggil Tuhan pada 18 Juli yang lalu.
Mendengar cerita ini, saya merasa hingga akhir hidupnya Beliau tetap mendedikasikan hidupnya untuk bidang keilmuan yang begitu Beliau cintai. Saya bisa menangkap bahwa cinta Beliau pada ilmu pengetahuan terutama pada bidang sejarah sains dan filosofi sains begitu kental. Saya bisa melihat Beliau membuktikan pesannya kepada saya untuk menjadi guru yang baik yang terus berbagi pengetahuan.
26 tahun saya hidup di dunia ini, beberapa kali saya melihat orang yang angkuh dengan pengetahuannya yang masih cetek. Saya tidak melihat hal tersebut dari diri Beliau. Saya bersyukur dalam hidup saya, saya lagi-lagi dipertemukan oleh orang yang hebat… diajari oleh orang yang hebat walau dalam waktu yang singkat.
Secara personal saya merasa Beliau bisa menjadi tokoh paling berpengaruh di bidang pengembangan sejarah sains karena bidang ini masih sangat langka. Namun sayangnya Beliau sudah berpulang. Mungkin kini Beliau sedang bercengkrama dengan Mandeleev, siapa tahu?
Teriring rasa terima kasih saya kepada Beliau,
semoga alam dan manusia bisa senantiasa hidup selaras dan beriringan…. semoga.