dan menjadi wanita [mungkin] memang tidak mudah…
Tersebutlah di sebuah planet yang mirip dengan bumi, terdapat sepasang manusia yang sedang melakukan pembicaraan sangat serius di sebuah cafe, sebutlah namanya Rama dan Shinta.
Rama (R): Shin, aku mau tanya apa pendapat kamu tentang wanita yang sudah menikah, apa dia masih harus berkarir atau tidak?
Shinta (S): Kenapa nanya aku, Ram? Itu kan pertanyaan klasik banget.
R: Ini serius, Shin… aku mau tau sudut pandang kamu.Jawaban kamu akan menentukan banyak hal.
S: Mmmm… kalau aku ya, aku sih fine-fine aja tuh wanita mengejar karir mereka bahkan setelah menikah.
R: Tapi nafkah kan kewajiban suami, Shin.
S: Kewajiban dan gengsi pria, Ram… harga diri dan martabat, pria! Catat itu… aku tahu dan paham itu. Tapi apa salahnya jika wanita mengejar impian mereka juga. Apa wanita tidak boleh ambisius?
R: Dalam agama kita, Shin.., seorang wanita hanya perlu menjaga kehormatan dirinya dan suaminya. Mendidik keluarga, mengurus anak-anaknya, untuk apa berlelah-lelah di rumah.
S: Aku tahu maksud arah pembicaraan ini, Ram… aku paham.
Shinta tersenyum simpul lalu menyeruput teh hangat di depannya.
S; Ram, kamu sudah semakin dewasa dan semakin religius. Perdebatan ini gak akan ada habisnya, Ram. Kamu tahu itu, kita tidak pernah selesai berdebat.
R: Aku sekadar ingin tahu.
S: Dan menginvestigasi? Ram… kamu pernah baca artikel tentang Abenomics? Sebuah mahzab ekonomi baru dari Perdana Menteri Shinzo Abe di salah satu tempat di planet biru, dia mengatakan bahwa sebuah negeri yang makmur juga harus memberikan kesempatan untuk wanita agar mereka bisa berkembang, bersinar, dan berkarya. Dengan mengoptimalkan kemampuan wanita, maka perekonomian dan kondisi sosial akan lebih stabil. Oh come on, kamu harus sering jalan-jalan ke planet lain di antariksa ini.
R: Aku tidak kenal siapapun dia, tapi bagi aku wanita adalah pondasi keluarga. Dia mengajarkan anak-anak, mengurus rumah tangga, mengatur gizi, bayangkan jika dia harus menghabiskan waktu lebih banyak di luar dibandingkan di dalam rumahnya sendiri. Kamu pernah dengar kan suami yang selingkuh, anak yang kurang cerdas, anak yang kurang perhatian…
S: Ram, kamu angkuh sama seperti dulu. Sama seperti sejak pertama kita bertemu.
R: Aku bukan angkuh, aku berpegang teguh pada pendirianku.
S: Ram, untuk hal ini kita berbeda. Ram, aku juga anak seorang wanita yang bekerja… yang kata kamu lebih lama di luar rumah dibandingkan di dalam rumah itu loh.
R: Aku juga, aku lihat ibuku kelelahan setiap kali Beliau pulang dari kantor, dan aku tidak tega. Aku tidak mau Ibu seperti itu, dan aku mencintai istriku kelak maka aku tidak akan memperbolehkannya bekerja dan lelah. Biar aku mati tapi keluargaku tetap adalah tanggung jawabku.
S: Jika kamu meninggal di tengah masa-masa indahmu dengan istri kamu, apa yang akan kamu lakukan? Bangkit dari kubur? Ram, kamu tahu kenapa Mamaku bekerja… karena Papaku meninggal karena kecelakaan kerja. Kami butuh uang… untuk bertahan hidup…untuk makan…. untuk sekolah… untuk segalanya. Aku dan Mama, kami wanita yang harus bisa menghadapi permasalahan kami dengan kepala tegak, tanpa air mata lagi. Seberapa hebat pria, Ram? Apakah mereka bisa hidup selamanya?
R: Tuhan bisa selesaikan segala masalah.
S: Tapi Tuhan tidak mengurus aku saja di planet ini, Ram… Aku sudah terlalu banyak memohon… sudah. Aku harus bersikap lebih santun kepada-Nya dengan menunjukan segala usaha yang bisa aku lakukan.
Kali ini Rama terdiam.
S: Ram, okay… kamu pasti akan bilang bahwa aku terjebak pada histeria dan ketakutan berlebihan. Tapi mungkin ya, aku sedikit trauma masalah ini. Jika aku menikah, aku harap suamiku bisa memahami hal ini. Aku ingin bekerja, mendapat penghasilanku sendiri, membagi diriku dan gagasanku pada setiap bagian planet ini.
R: Lalu bagaimana dengan keluarga kamu? Anak kamu misalnya?
S: Aku bisa titipkan ke Mamaku saat aku kerja, Mamaku sudah berhasil mendidik aku menjadi wanita yang tegar. Aku ingin anakku cukup beruntung bisa diajari Beliau juga kelak. Aku juga bukan wanita berhati batu, Ram. Aku punya tekad aku tidak mau bekerja terlalu sibuk, aku akan pulang tepat waktu dan kemudian mengurus anakku. Wanita itu bisa multitasking, Ram. Kamu tahu kan aku bahkan bisa bekerja sambil kuliah selama ini.
R: Ini berbeda, kamu paham tidak? Ini lebih rumit. Kamu tahu betapa lelahnya seseorang sehabis bekerja
S: Aku tidak pernah lelah untuk semua pekerjaanku, Ram… termasuk untuk anakku nanti. Dan oiya, aku ingin selesaikan semua permasalahan finansial keluargaku dan ingin memastikan bahwa itu tidak akan terjadi lagi. Sama seperti kamu, aku juga sayang Mamaku dan itu alasan kenapa aku sekarang bekerja. Dan oiya, sama seperti kamu aku juga sangat mencintai suamiku nanti, aku tidak mau menambah masalahnya dengan masalahku. Jika kamu punya gengsi untuk membangun keluargamu dengan idealisme ala kamu itu, aku juga punya gengsi sebagai anak sulung yang ingin membahagiakan keluargaku setelah bertahun-tahun aku melihat betapa sulitnya kehidupan kami. Ini harga diriku sebagai wanita dan sebagai seorang anak.
R: Hahahaha….kamu tetap keras kepala seperti sejak pertama kali kita bertemu. Logika kamu sudah mengalahkan apapun.
S: Dan aku jadi paham kalau kita hanya bisa sampai pada level sahabat, tidak kurang dan tidak lebih. Kamu juga masih seperti dulu, ketika kamu mempercayai suatu hal kamu pasti tidak akan mengubah itu.
R: Kamu terkukung pada seluruh obsesi-obsesi kamu itu.
S: hahahahahahaha… Obsesi kata kamu? Iya mungkin. Tapi Ram, aku mengenal obsesiku, impianku, cita-citaku, lama sebelum aku mengenal kamu. Begitu lamanya, sehingga mereka lebih layak diperjuangkan daripada kamu.
R: Baik, aku paham.
S: Terima kasih, Ram. Terima kasih.
R: Oke, aku pergi dulu ya.
Rama kemudian berdiri dari tempat duduknya, hujan yang mengguyur planet tersebut tidak mengurungkan niatnya untuk pergi dari cafe itu.
S: Ah yap, aku juga ada urusan. Ngomong-ngomong kenalin sama wanita yang akan menjadi istri kamu itu ya. Mentalnya hebat banget.
Rama tersenyum tipis.
R: Pasti, kamu akan jadi salah satu orang yang pertama tahu ketika saat itu tiba. Yang pasti dia gak sesulit kamu kalau diajak berdebat.
S: Hahahaha… jaga dia baik-baik ya, dan jangan mati terlalu cepat. Setidaknya bahagiakan keluarga kamu sebelum kamu mati.
R: Pasti! Itu kan gengsi aku sebagai pria. Kenalkan juga aku pada pria yang kelak jadi suami kamu ya, pasti pria dengan kesabaran tinggi karena cuman yang seperti itu yang bisa memahami kamu.
S: Pasti. Terima kasih.
Dan percakapan panjang di cafe itu pun berakhir.
NOTE!!!!: Kesamaan kisah, latar belakang, tokoh, dsb…dsb… hanyalah sekadar kebetulan belaka. Jangan diambil hati apalagi dibuat galau :p Cukup diambil esensi ceritanya aja.
——————————————————————————————————————
Mungkin diantara kita ada yang pernah menghadapi perbincangan seperti itu. Dalam masyarakat kita, perbedaan pandangan merupakan suatu hal yang lumrah, wanita memegang berbagai peran dan juga menghadapi pilihan. Jika saya harus jujur, maka setengah mati saya mengagumi wanita yang bisa memberikan sepenuh waktu, jiwa, dan raganya kepada suaminya ketika dia sudah menikah. Saya kagum melihat teman saya menikah dengan wanita yang rela meninggalkan pekerjaannya setelah menikah, saya terharu juga melihat teman saya yang dengan luar biasa “Insya Allah ini pilihan yang terbaik, gw tinggalkan pekerjaan gw karena suami gw dan anak gw” sambil dia kemudian mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit karena hamil. Saya takjub ketika teman saya dengan usia yang setara dengan saya sedang asik menyuapi anak-anaknya.
Saya, saya mungkin tidak sehebat itu. Saya mau jalan-jalan keliling dunia, mau beli rumah dengan nama saya sendiri, harta-harta duniawi, ngasih mama macem-macem…. bla..bla..bla… pokoknya duniawi banget deh.
Adik kelas saya pernah ada yang curhat pada saya mengenai masalah ini. Dan dia bilang “Pokoknya Kak, aku mau Mamaku di rumah aja titik gak usah ngejar-ngejar karir. Hidup biasa-biasa aja cukup kok”. Apakah dia salah? Tidak! Sama sekali tidak.
Seorang pria pernah menyatakan pada saya, bahwa wanita perlu di rumah saja. Apa dia salah? Tidak sama sekali.
Tapi jika saya tidak mau menyetujui hal itu sepenuhnya, apa saya salah?
Saya yang hari ini dididik dan juga dibantu banyak hal oleh wanita-wanita karir yang luar biasa.
Saya tahu rasanya financial unstability ketika suatu keluarga yang sepenuhnya menyandarkan sumber pedapatan kepada pria, dan pria itu lalu meninggal.
Saya mengenal beberapa pria yang berjuang siang malam, mengorbankan banyak hal, untuk menghidupi keluarganya dan adiknya yang banyak. Begitu luar biasa sehingga saya berdoa jika kelak mereka berkeluarga semoga mereka mendapatkan rizqi yang baik dan pasangan yang baik sehingga bisa menghidupi keluarganya tanpa menelantarkan adik-adik mereka.
Apa saya salah berkaca dengan hal tersebut dan menyatakan ada saat ketika seorang wanita boleh mengejar impian mereka, obsesi mereka, pekerjaan mereka, semuanya selama dia masih menyadari harkat dan tanggung jawabnya sebagai istri, anak, kakak, dan sebagai WANITA.
Menjadi wanita tidaklah mudah, mereka menghadapi pilihan-pilihan dan seperti layaknya teori ekonomi bahwa ketika ada pilihan mereka harus memilih pilihan yang bisa memberikan kepuasan terbesar bagi mereka dengan mempertimbangkan kondisi dan keterbatasan yang mereka miliki. Maka dari itu, setiap manusia, termasuk wanita, memiliki titik optimum mereka masing-masing untuk segala pilihan hidup mereka.
Maka segala pilihan itu harus dihargai.
Maka segala pilihan tidak perlu dipertanyakan karena dia sudah mengalami proses bernama: pemikiran.
Demikian! Selamat bekerja kembali besok hehehehe.
See you.