Fenomena “Afi” dan minimnya budaya literasi Indonesia 


Sebenernya gw males komentar hal ini, tapi gw  merasa baik yang mengidolakan dan mengkritisi Afi keduanya sudah kelewatan…. yo wis lah kali ini saatnya emonikova menyampaikan pendapatnya. 

Checkidot! 

1. Tanggapan tentang fenomena Afi?
 “Well… gimana ya? Menurut gw sih untuk anak daerah mulai berani menyuarakan suaranya, then it is good ? Inget loh, dia itu anak daerah, anak SMA, dan dari keluarga yang kondisi ekonominya tidak begitu baik. Jadi, dari sisi gw waaaah keren hahahha. Waktu gw seusia dia, gw kayaknya sibuk nonton doraemon sama spongebob ?

Tapi yaaaa gw sih gak ngefans, biasa-biasa aja. Masih banyak kekurangan di tulisan-tulisan doi… apalagi sekarang ada dugaan plagiarism dsb. Tapi ya namanya juga remaja, masih banyak ilmu yang perlu diraih, masih perlu banyak pengalaman dan pengetahuan untuk menstabilkan pola pemikiran dan sikap. Namun, terlepas dari segala kekurangan itu… mari kita apresiasi bakat dik afi ini.  

Gw selalu merasa bahwa beberapa orang di negeri kita terlalu nyinyir dalam menanggapi potensi, dan menurut gw itu yang lebih bahaya dari sekadar status-status yang beredar di social media. Afi, she made some mistakes… tapi apa susahnya sih mengapresiasi keberanian dia dalam menyampaikan opini, she just need a good teacher yang kelak bisa mengajari dia how write, how to deliver opinion. Hey Indonesia! What’s your problem? Belum minum aq*a? 

2. Tanggapan yang beredar tentang Afi: fans+haters?

Dari haters dulu deh, bukan haters sih lebih ke para kontraers.

Gw iseng sih baca2 yang kontra… salah satu yang paling viral itu tulisan mas-mas yang kuliah di Jepang juga. Karena saya gak gaul, jadi saya gak kenal mas ini. Tapi saya mah ketawa aja… tanggapan doi sih cerdas, kritis, subhanallah, tapi lupa kalau lawan bicaranya anak baru lulus SMA. Dengan pola diksi yang super pedas seperti mak icih level 100, yaaaa… keren, keren sih. Bener, mmm… okay! Tapi klo gw jadi Afi sih gw merasa “meh”. Mas ini menurut gw (maaf loh, Mas) kayak nembak nyamuk dengan rudal…hit the point sih, tapi yaaa too much! Bahasa anak gaulnya nih: Lebay.

Mungkin Masnya terlalu banyak berkutat dengan jurnal, jadi lupa beberapa detil salah satunya sisi psikologis manusia. Klo semua orang mengkrtitisi kayak Mas ini, kayak om Felix, dsb dsb…. Anak-anak remaja yang lagi “labil-labilnya” dan lagi “membangkang-membangkangnya” bakal males mengkaji lebih jauh permasalahan. Gitu sih.

Yaaaa okelah kalian mau kontra, tapi kalian punya kakak dong? Punya adik dong? Atau punya keluarga yang usianya lebih muda dari kita kan? Mau keluarga kita dikritisi seperti itu? Karena adik saya kira-kira seumuran afi, saya sih ngamuk kalau ada yang tiba-tiba membully adik saya although dia melakukan kesalahan… kan bisa menasehati baik baik dan berdikusi terlebih dahulu. Saya pikir, bully yang muncul buat dik afi ini udah too much, saya aja yang gak kenal dan gak ngefans sama nih anak jadi ikutan sebel. ERRGHHHHHH… 

3. Terus buat fans?

Nah ini juga menarik, menurut gw orang Indonesia itu suka maen like and share tanpa “mikir” dulu. Banyak kekurangan yang ada pada tulisan Afi ini, apalagi (inget) sourcenya social media. Bisa bener, bisa salah, bisa ngawur, bisa macem-macem, belum jelas lagi sourcenya. Saya sih lebih senang jadi orang yang baca, terus “oh ya bagus…bagus” tapi boleh dong gak setuju dengan beberapa hal. Ya udah… gitu aja, kemudian hidup berjalan sebagaimana adanya. Gak usah maen share… share…share…

jadi menurut gw lebay juga mengagung-agungkan tulisannya afi. Memang seluruh paragraph dan opini doi sepenuhnya shahih? Apa benar itu 100% pemikiran doi? Jika tidak dan rupanya dapat dari google… she will get trouble karena masih kurang dalam mencantumkan sumber (dan sekarang udah liat kan masalah itu). Lagian socmed! Helow! Kalau jurnal ilmiah mending ya di share karena sudah melalui tahapan review dsb. Status socmed? Oh D*mN!

4. Jadi menurut lo, Mon… permasalahannya dimana? 

Menurut gw, ini bukan masalah afi dan seluruh fenomena yang terjadi setelahnya. Menurut gw hal yang lebih memprihatinkan adalah, betapa masih dangkalnya pemahaman kita. Betapa masih ceteknya pola prilaku kita. Bahan bacaan kita adalah status-status di social media… hal-hal yang meng-gerak-an kita adalah hal-hal yang menarik di facebook, twitter, dsb. Kita ini miskin! Miskin daya nalar, miskin budaya literasi. Di muka bumi ini tersebar banyak riset yang lebih menarik dan lebih penting… misalnya how to builda good farmer’s market untuk memotong rantai distribusi pangan dan mensejahterakan petani sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Tau gimana caranya? Gak kan… krn gak ada di status fb. Temen social media kita kebanyakan sibuk share something yang menarik tapi gak krusial2 banget dalam kehidupan. Masih mending yang share resep masakan sih :’D that’s really help!

Ada juga yang share BPJS itu haram, asuransi itu haram… well ok! Good… tau mekanisme BPJS seperti apa? Mekanisme asuransi seperti apa? Lalu pembedanya dengan (misalnya) mekanisme penyaluran ZIQWAF seperti apa? Jika kemudian ada asuransi super mikro yang diberikan oleh BMT itu gimana? Pembangunan system finansial yang baik seperti apa? Tau jawaban untuk itu? Ya belum tentu…. Wong kitabnya Al-facebukniyyah dkk.

Diskusi kita lebih banyak pada debat cap pepesan kosong di social media. Berdebat tanpa mencari jalan tengah, kalau opini gw benar maka gw benar yang lain salah. Persetan dengan opini orang lain dan jalan tengah. Dan lempar-lemparan botol, sandal, kaleng, itu semua terjadi di kolom komentar yutub, tercipta pada twitwar, and bajir komentar di facebook. Itu keren? Itu namanya: alay!  

Dan kalau kalian gak percaya sama omongan gw, nih sesekali gw kasih data! Dalam publikasi “World’s Most Literate Nations”, dari 61 negara yang disurvey berdasarkan tingkat literasi (tingkat literasi itu bukan berapa banyak yang bisa baca ya, tapi lebih ke literate behaviours kayak berkunjung ke perpustakaan, baca buku yang berkualitas, baca koran, dsb cekidot at http://www.ccsu.edu/wmln/) . Indonesia ada di peringkat 60! HANYA SATU LEVEL DI ATAS BOTSWANA. Kalau adik saya bilang “Itu sih syukur cuman 61 negara yang disurvey, kalau 100 kayaknya tetep 99 dan jauh juga dari Thailand, laen kali mending gak usah ikut survey.” 

Jujur gw setuju pas pak Jokowi bilang “Negara lain sudah mikir gimana ke luar angkasa”, and that’s true! Kita terbiasa mencari short-cut dalam berpikir, gak mau capek.

Yang harus diperbuat?

Yaaah jangan gampang panasan lah menanggapi suatu isu. Apalagi kalau lo udah berpendidikan punya karir bagus, harusnya pola pikir lo juga naek beberapa level. Kalau lo punya keluarga, punya adik, punya kakak, lo juga tau dong gimana cara memposisikan diri lo terhadap mereka, dan jika lo baik dalam itu lo juga harusnya bisa memperlakukan orang lain dengan baik. Inget kawan, klo bawa-bawa agama nih, tugas kita itu habluminannas, hubungan sesama MANUSIA. Lo tau kan definisi manusia? Maka berbuat baiklah kepada sesama manusia.

Lo belum tentu selalu benar maka jangan paksakan opini lo. Orang lain juga tidak selalu benar, maka kaji setiap opini melalui berbagai perspektif. Kalau lo gak bisa memilah mana yang baik, lo gak bisa bijak dalam bersikap, lo gak bisa melihat masalah dari berbagai perspektif, terus kualitas apa yang bisa lo banggakan dalam hidup lo?

Sabar, Mon… jadi pesan lo? 

Pesan gw, udah lah gak usah ribut hal-hal yang remeh. Berhenti mendewakan seluruh mahzab Al-Facebukniyah. Lihat masalah dari berbagai perspektif. Bijak… dan stop nyinyir-nyinyir.

Dan untuk Afi, untuk anak-anak Indonesia lainnya. Tetep berkarya, berusaha memberikan yang terbaik, belajarlah dari aneka kesalahan. Saya berdoa semoga kalian mendapat pengajar yang baik, yang berilmu. Semoga kelak kalian bertemu kakak-kakak dan teman-teman yang asik diajak diskusi. Kita selalu melakukan kesalahan, dan bersamaan dengan itu kita selalu punya kesempatan untuk memberbaikinya, and ssssttt… this is a secret: itu yang akan membuat kita menjadi orang yang lebih baik.  

Eh btw, gak semua juga yang bereda di dunia maya itu benar, namanya juga dunia maya… termasuk tulisan gw ? gak usah misuh-misuh ye, gw juga gak minta lo setuju sama gw fufufufufu.  

Lots of love,

Marissa 

Filosofi Soto dan Kebhinekaan Indonesia


Jadi begini ya saudara-saudara, jika pemahaman kalian misalnya tidak mendalam terhadap Pancasila…. jika kalian gak jago-jago banget politik…. jika kalian too lazy for difficult topic, daripada pusing dan makin gila dan kelihatan (sorry) sotoy dan antagonis, mari kita lakukan hal yang menyenangkan bernama: MAKAN. Ya! Makan… siapa tidak happy dengan makanan, dan menu kali ini: SOTO.

 

Image and video hosting by TinyPic

Sumber gambar: penabiru.com

Saya percaya sahabat-sahabat saya yang pecinta makanan akan melakukan protes luar biasa dan bilang “Ini penistaan pada makanan,Mon! Bagaimana mungkin lo bisa mencampur aduk makanan dengan masalah konstelasi politik” habis gimana lagi? Memang dijelaskan secara teoritis mempan? Toh tidak, malah makin lempar-lemparan batu. Ya mending kita ngomongin makanan lah.

Kalian tahu ada berapa jenis soto di Indonesia? Saya pun tidak tahu, tapi paling tidak kita bisa meyakini bahwa nyaris setiap daerah punya soto mereka masing-masing. Di Jawa Barat saja sudah ada soto mie Bogor dan soto Bandung. Walau sama-sama dari Jawa barat, toh rasa pun beda. Tak jauh dari Bogor, ada juga soto Betawi. Walau hanya butuh 2 jam naik kereta dari Bogor ke Jakarta, toh soto Bogor dengan Soto Betawi itu cita rasanya berbeda sekali.

Belum lagi ada soto lamongan, soto madura, soto medan, coto makassar. Ya ampun! Soto… mereka kan enak banget ya.
Tapi kalian tahu gak, kalau soto sendiri punya filosofi tersendiri. Tahukah?
Ada satu kesamaan dari seluruh soto di nusantara, dan itu adalah: Kebhinekaan a.k.a persatuan bangsa Indonesia.
“Hah…hah..hah…wow…wow…wow… tunggu dulu, Mon… masa’ segitunya sih?”
Iya… itulah mengapa prinsip dasar pembuatan soto adalah mixed every best ingredients. Soto, bukan hanya simbol kekayaan sumber daya alam suatu wilayah, tapi juga keanekaragaman kultur dan budaya di daerah yang bersangkutan.

Soto betawi kuah susu misalnya, tau dong soto betawi yang pakai susu dibandingkan santan. Konon itu karena pengaruh Belanda yang pernah membuat markas di Batavia. Masih dari Betawi, soto tangkar dulunya itu pakai iga dan tulang (sekarang banyak yang lebih sering ganti jadi daging sih daripada repot dengan tulang belulang), konon soto tangkar itu sendiri tercipta dari kreativitas masyarakat betawi di era VOC yang susah membeli daging jadi mereka mengumpulkan remah-remah tulang dan iga dari pasar.

Soto Bandung, kenapa sih kok pakai lobak? Karena Bandung itu dataran tinggi, lobak tumbuh dengan subur, cepat, dan lama-lama stok lobak pun menumpuk. Daripada pusing kan, nah… dengan kreativitas warga Bandung yang memang tidak perlu diragukan lagi, dibuatlah soto Bandung dengan aneka khas-nya sendiri.

Tidak hanya sampai situ, soto bukan hanya bicara ciri khas kewilayahan… tapi dengan sangat terbuka membuka pintu terhadap pengaruh-pengaruh positif dari luar Indonesia. Pernah dong makan soto yang ada bihunnya? Atau at least makan soto bogor dengan risoles. Nah! Nah! Bihun itu… asalnya darimana? Cina, gaes!

Pernah juga dong makan soto yang rempahnya nendang banget, pake kayu manis dsb. Lengkap dengan taburan bawang goreng. Itu mirip makanan mana sih? Yak! India… ingredient-nya nyerempet-nyerempet bumbu kari ala India.

Ada juga yang pakai perpaduan minyak samin, nyam…nyam…nyam… itu dari mana sih? Itu jelas pengaruh Arab!

Betapa luar biasanya soto karena semangkuk soto bisa dengan akur bersatu-padu, meleburkan seluruh pengaruh budaya, sampai akhirnya menonjolkan cita rasa khasnya tersendiri. Sampai kapanpun kita tetap bisa membedakan cita rasa soto setiap daerah…

Kalau mau bodoh-bodohan lagi nih, soto pun tidak pernah memaksa soto lainnya untuk meniru cita rasa mereka. Tidak ada soto yang saling berantem masalah copyright. Toh soto betawi yang punyanya ibukota tidak pernah mendikte soto lainnya untuk menjadikan cita rasanya sebagai patokan rasa soto.

Kita patut bangga pada soto, soto nusantara tidak bermasalah sama sekali.
Yang bermasalah kini adalah para penikmat soto: Kita!

Saya heran loh, kok bisa-bisanya masih adaaaaaaaaa sajaaaaaa diantara kita yang ribut-ribut lebih berkonsentrasi pada perpedaan.

“Ih dia kan China”
“Weeeeh… Arab sih gitu”
“Dia nonis sih”
bla… bla…bla…. bahkan yang “sama” aja sama “Ih ukhti yang itu kan masih belum bener Islamnya” DAMN!

Saya tahu sih pelajaran Pancasila dihapuskan bertahun-tahun yang lalu, tapi kan menjadi toleran tidak perlu jadi pintar-pintar banget ya… hanya perlu punya nurani.
Kalau teman dan tetangga kamu beda dengan kamu, then what’s the problem? Dulu… sewaktu saya masih SD, salah satu sahabat saya adalah seorang etnis Tioghoa. Keyakinan beda… suku beda… ras beda… warna kulit apa lagi kan langsung kalah flawless. Tapi no problem tuh, kadang saya masih dapat dodol maha enak handmade yang sudah dipastikan ingredientnya pasti aman dikonsumsi muslim. Ketika lebaran, kami pun makan masakan lebaran rame-rame tuh. Kami belajar bareng, main bersama, ya aman-aman aja.

Bagaimana kita bisa maju, bisa merangsek menghadapi dunia global, kalau pemikiran kita saja sempit. Iya sempit! Terbatasi stigma-stigma tentang perbedaan satu sama lain. Hello! Sehat? Udah minum Aq*a?

Jadi denger, mau kalian etnis apapun, ras apapun, mau NU, Muhammadiyah, PKS, bahkan HTI… I DON’T CARE!
Sok ajalah kalian mau berdiskusi dengan saya. Mau menyampaikan pandangan kalian kepada saya, menyampaikan bahwa sight kalian tuh yang paling wah! Well, go ahead! Why not? Kan ada kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat.
Tapi saya sudah nyaman dengan diri saya hari ini, dengan keyakinan saya, dengan kebenaran-kebenaran yang sudah saya temukan sendiri.
Saya pikir orang lain pun sependapat dengan saya.
Maka jangan paksakan pandangan kalian pada orang lain!

Jika menurut kalian pakai jilbab lebar dan burqa itu yang benar, tidak perlu ngotot menjudge yang masih pakai jilbab seadanya atau jilbabnya penuh tutorial dan memaksa mereka menjadi seperti kalian. Yang jilbabnya masih standar dan yang modis, gak usah lambe nyinyir ke yang berjilbab lebar. 

Jika kalian Nasrani maka tidak perlu jor-jor-an memaksa saudara yang Muslim ganti agama, begitu pula sebaliknya.

Kalau kalian pernah kecopetan sama ibu-ibu berjilbab, maka jangan pukul rata semua yang berjilbab itu copet. Yang paling benar yang tidak berjilbab. Heloow! 

Jika kalian berpikir Pancasila itu omong kosong, ya itu sih ente aja kali… kami sih oke-oke aja tuh. Maka tidak perlu mendoktrin orang lain untuk ikut-ikutan perspektif ente. Urusan nanti ente (yang kalau misalnya benar) masuk surga sendiri, ya udah itu kan pemahaman ente… ane sih berpikir jalan ke surga itu banyak dan gak cuman nurutin ente.

Jika kalian liat Kim Jong Un kok keliatan nyebelin, terus semua yang sipit jadi terlihat seperti doi. Dan kita langsung mikir “Wah pasti jahat nih”

dsb
dsb
dsb
Hingga akhirnya kalian mulai membatasi lingkup pergaulan kalian.
Hingga akhirnya kalian membatasi pemikiran kalian sendiri.
Hingga akhirnya kita, bareng-bareng menjadi bangsa tertinggal karena kebanyakan “suudzan”, kebanyakan fokus pada hal-hal yang tidak krusial. Terlalu banyak menekankan pada perbedaan.
yah met lamet aja deh.

Kok usil banget sih ngurus hal yang kayak ginian? Paham gak bahwa kita diciptakan Tuhan kan gak bisa milih mau lahir dimana, keluarga apa, suku apa. Paham juga gak kalau semua orang itu punya proses pendewasaan dan pencarian jati diri mereka masing-masing, maka yang perlu kita lakukan itu cuman ngasih saran jika dia butuh (klo doi gak minta mah gak usah sok iye!) dan senyum. Finish… life even getting easier.
Lagian kan kita semua udah sama-sama gede, masa bodoh-bodoh banget sih sampai tidak bisa berkontemplasi mana yang terbaik untuk hidup kita dan orang-orang di sekitar kita?

Di tempat saya melakukan riset saya sekarang, saya punya seorang teman yang sempat bilang “Di Indonesia banyak suku bangsanya ya? Seru ya rich of diversity. Kelak saya mau ajak anak-anak saya untuk jalan-jalan ke sana, mungkin kalau bisa tinggal di sana supaya anak-anak saya bisa belajar masalah keragaman.” Mbak ini berasal dari Cina.

Jujur, saya sih bangga… Indonesia di mata negara lain itu seindah itu ya. Saya bangga banget loh promoting everything tentang Indonesia. 

Tapi, lihat kondisi sekarang kok saya malah ragu ya ajak teman saya ke Indonesia.

Lihat kondisi negeri ini yang malah saling gontok-gontokan sendiri, rasanya saya malu… bahkan pada semangkok soto.
Apa susahnya sih work together seperti soto… saling bekerja sama dan saling melengkapi untuk menciptakan cita rasa yang khas. Mungkin cita rasa khas itu yang selama ini kita kenal dengan istilah: Kebhinekaan.

Udahlah jangan banyak misuh-misuh, makan aja! :p Jangan mau diadu domba, domba itu enaknya dipiara, dibarbeque, disop, digule…. bukan diadu. 

Meratapi Literasi Indonesia: Karena Rakyat Indonesia berhak Mendapat Buku-Buku yang Lebih Baik


Pernah suatu hari saya geram dengan orang-orang Indonesia yang tidak gemar membaca, apalagi dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bukannya apa-apa, Karena adik saya pun pernah seperti itu. Itu terlalu aneh Karena setahu saya sewaktu masih bocah dia cukup suka membaca dan rasanya semua orang di keluarga saya memang suka baca. Lha kok ini males banget. Untung kami belum sampai pada mufakat untuk melakukan tes DNA untuk memastikan bahwa adik saya ini tidak tertukar di rumah sakit.

Adik saya itu biasanya kalau jalan-jalan pasti berkunjung ke gram***a yang notabenenya toko buku paling kawakan di  tanah air. Sekarang? Nope
“Ki, ke gram** yuk cari buku”
“Aduuuh… gak deh kak. Bobok aja deh di rumah”
Ini kan serius, kalau anak yang suka baca saja tiba-tiba malas ke toko buku, pasti ada yang salah.

Saya pun iseng-iseng melakukan riset kecil. Ini pasti ada yang salah… pasti ada yang salah…. entah itu apa.
Saya berkali-kali mendapat isu dari sahabat dan teman saya yang suka berburu buku.
“Iya, Mon… jadi secara kuantitas sih bertambah, tapi kualitas… aduuuuh, jauh menurun”
“Aduh, Mon… lo pasti sedih lah liat buku di sini sekarang. Kurang beragam”

Saya tentu percaya teman-teman saya itu, they are limited edition in this planet dan sejauh yang saya tahu opini mereka selalu objektif dan kritis. Tapi kan penasaran dong jika kita belum liat sendiri. Saya pun memutuskan, saat kunjungan super singkat saya ke tanah air (yang pada akhirnya hanya bikin sakit punggung walau I am super duper happy to meet my family and my cats) saya bertekad untuk ke TOKO BUKU.

Sudah habis dilahap polusi dan panas matahari, kepala saya langsung pusing karena lapar karena sesampainya di toko buku saya paham kenapa orang seperti adik saya saja bisa jadi malas bertandang ke toko buku. Wanna see the reason?
“BUKUNYA TIDAK BERAGAM” and sorry to say (dan maaf jika ini menampar para penulis di tanah air) “KUALITASNYA Pfffffffftttttt…..”

Indonesia! Seriously! Are you lose your mind or what?

Mau lihat… okay! no pic= HOAX, so check this out.

Penulisnya beda-beda tapi semuanya selalu diawali “Love in…”
Image and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic
Saya pikir ini diawali Mbak Illana Tan sih (eh bener gak sih, gak pernah baca soalnya)
kayaknya semuanya hanya latah ikut-ikutan, dan metode penulisannya? Entahlah mungkin gelar peta lalu lempar panah “Aha! Dapet Stockholm” lalu ditulislah “Love in Stockholm”,
Tertancap di Ottawa, tulis saja love in Ottawa
dst…
Masalah apakah alur cerita dan latar masuk akal atau tidak, oh itu belakangan… toh sekarang lagi trend pembaca-pembaca remaja dibodohi dengan angan-angan romansa walaupun itu tolol sekalipun!!!!
Pernah sahabat saya mengkritik “Ya ampun, Mon… ada loh yang nulis ‘salju menumpuk di Tokyo'” buat para pembaca blog ini, saya kasih tau ya… it is rare salju menumpuk di Tokyo. Seringnya, turun salju pun langsung cair. Mungkin kalau di utara Jepang oke lah ya.

Tapi itu sih belum seberapa, mari positif thinking, mungkin penulisnya datang ke Tokyo ketika badai salju. Who knows! Jakarta dan Bandung aja bisa hujan es kok.
Ada juga loh yang bisa-bisanya menulis, ini latarnya di Eropa utara ya… “Matahari bersinar terang dan menghangati Januari di hari itu”
Ketika membaca frase itu, saya sempat berpikir itu novel science fiction dan kejadiannya ketika global warming sudah melelehkan kutub utara. Kawan… Januari itu: MUSIM DINGIN, dan please kalau kalian ambil latar utara bumi apalagi di kawasan Eropa Utara, jangankan hangat…. matahari aja bersinarnya cuman beberapa jam.

Kalian paham “ketololan” yang terjadi? (Maaf saya terlalu kasar kali ini).  Bahkan saya bisa pastikan bahwa penulisnya, minim membaca. Mungkin terlalu sibuk dengan social media.

Saya berpikir, hmmm… okay fail with young adult mungkin mereka punya alternatif hiburan yang lain. Saya merangsek ke rak entertaiment.

Dan… tebak yang saya temukan:
Image and video hosting by TinyPic

Oh God! Damn it! What’s the point kalian khatam masalah k-pop? APAAAAAAA?
Ya ampun gila apa ya.

Saya mencoba positive thinking. Wah gimana dengan buku biografi. Mungkin ada tokoh-tokoh inspiratif yang bisa mengobati rasa sakit hati saya dengan buku-buku novel young adult. Saya merayap ke sisi buku biografi dan sejarah, yang saya temukan konspirasi ahok lah, konspirasi jokowi lah… Ya Allah, apa sih kok rasa-rasanya kepala saya penat ya melihat itu semua.

Saya berpikir lagi, saya terlalu emosional mungkin karena kurang dekat dengan Tuhan. Saya lalu mendekati buku untuk Muslim. Dan bahkan kali itu saya langsung ingin melakukan taubatan nasuha kepada Allah SWT karena this one really kill me!
Image and video hosting by TinyPic

Jadi manusia itu sibuk ibadah ke Tuhan hanya untuk masalah romance? Jika ibadah itu hanya mengurusi masalah percintaan antar lawan jenis, udah deh… bareng-bareng masuk neraka lah sekalian. Oh come on! Bisa kan ada buku Harun Yahya tentang science and Quran, Answers for daily life kayak ‘Boleh gak sih kita meluk-meluk anjing?’, ‘gimana sih cara thaharah yang baik dan benar?’, ‘Perihal alkohol pada makanan’, yang pertanyaan-pertanyaan sehari-hari seperti itu kan lebih bermutu dan berkualitas jika diserahkan kepada ahlinya dan dijawab dengan bahasa yang remaja banget, dan dijadiin buku. Saya yakin itu akan membantu sekali untuk banyak orang (nih, gw kasih ide! Biar ada yang bisa bikin buku rada bermutu)

Saya lelah marah-marah, karena saya pecinta buku non-fiksi saya menyeret bada saya ke rak buku-buku non fiksi. Well… cukup menarik. Tapi covernya suram (apa salahnya men-judge book from its cover, cover yang bagus toh salah satu cara memanjakan dan menarik pembaca), topiknya sempit, dan saya yang sudah tua ini saja agak enggan membacanya apalagi anak muda.
Image and video hosting by TinyPic

In short, pilihan buku yang cerdas, mencerahkan, menarik, dan dengan tema beragam itu sangat-sangat TERBATAS.
Dan ini: MENYEDIHKAN.

Indonesia yang tertinggal masalah literasi

Dengan lunglai, Mama saya menyambut dengan rendang andalannya dan bilang “Nah, liat kan sekarang. Bagaimana anak Indonesia bisa pintar jika ‘jendela dunianya’ saja cuman jendela yang ditutup kertas kado warna pink”

Ya! Jendela itu ada, tapi yang terlihat dari dalam hanya pink pucat, bukan dunia yang ada di luar sana. In short: FANA!

Adik saya pulang dari kuliah hanya tertawa, “Kenapa Kak? Sekarang tau kan kenapa Kiki males ke toko buku? Kiki ke perpustakaan di kampus kak sekarang karena buku jaman dulu masih jauh lebih bagus daripada yang muncul akhir-akhir ini”

Adik saya yang kini agak lebih bijak setelah masuk kuliah kemudian mengakatan “Jangan negative thinking kak,  masyarakat kita gak suka baca, mugkin bacaan yang menariknya aja yang terbatas. Orang Indonesia suka kok baca dan belajar hal-hal baru” Dengan teliti saya mendengarkan adik saya yang selalu membaca buku yang saya berikan ke kampus dan dia mengaku antrian panjang untuk ikut membaca buku-buku yang saya hadiahkan pada adik saya cukup panjang.

Miris loh, sewaktu saya masih kecil saya masih dibelikan buku-buku seri ilmu pengetahuan oleh Mama dan Ayah saya. Saya juga membaca dongeng dari seluruh dunia. Ketika saya sudah lebih mahir membaca, buku-buku novel saya naik kasta ke serial-serial misteri dan petualangan. Sebelum saya berangkat ke Jepang, saya masih bangga karena ada novel sekelas Laskar Pelangi yang ceritanya manis dan menyemangati anak-anak Indonesia. Saya percaya pada saat itu litarasi di Indonesia akan naik kelas, dan kualitasnya akan semakin baik.

Nyatanya? Saya bahkan tidak bisa menumukan buku non-fiksi populer di toko buku dengan retail terbesar di tanah air. Tidak ada buku buku seperti “what if” atau “naked statistics” atau jika memang belum ada penulis Indonesia yang cukup sakti membuat buku seperti itu, setidaknya mbok ya terjemahannya.

Ada? Tidak!

Jangan pikir saya ini tidak minder, berteman dengan orang-orang dari negeri lain seperi Jepang dan China saja sudah membuat saya “jiper”. Mereka bertanya mengapa saya tidak membawa buku teks dari Indonesia sedangkan mereka? Rak mereka penuh dengan buku-buku teks asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Saya? Saya haru membeli buku-buku itu dengan uang saya sendiri… mencari di toko buku… dan mau tidak mau harus membeli versi bahasa Inggris.

Kalian pikir saya jago-jago amat, saya bahkan masih mengggunakan google translate dan kamus untuk menerjemahkan beberapa kata dan kalimat, dan itu… itu makan waktu!

Negara lain pada umumnya menerjemahkan beberapa buku teks dan karya literatur penting dan terkenal lainnya (seperti novel dsb) kedalam bahasa mereka. Alasannya? Agak mudah dipelajari dan memperluas perspektif mereka mengenai perkembangan dan sudut pandang di negara lain.

Di banyak seminar ESQ sering terdengar: lihat, tiru, modifikasi…
Apa yang dilihat?
Apa yang mau kita tiru?
Apa yang mau kita modifikasi?
Novel-novel picisan yang hanya menjual mimpi cinderalla story?

Saya ini bukan pembaca buku teenlit atau young adult loh, tapi saya bisa memastikan bahwa buku young adult asing banyak yang ceritanya menarik… bukan hanya masalah cinta kadang juga tentang persahabatan , keluarga, pokoknya lebih beragam.

Karena saya pecinta non-fiksi populer, saya masih mendapatkan buku-buku seperti itu di sini.
Image and video hosting by TinyPic

dan masih ada juga novel-novel klasik yang menurut saya kisahnya penuh makna
Image and video hosting by TinyPic

As a book lover and an avid reader, jelas negara lain lebih menarik bagi saya. Bahkan India saja bukunya lebih beragam dari kita loh! Trust me!

Sebuah Pembodohan

Jika saya begitu jahat, dan punya ambisi untuk menguasai suatu negara, saya akan menggunakan suatu ide brilian: Buat saja seluruh masyarakat di negara tersebut jadi BODOH.
Jadi punya pemikiran sumbu pendek.
Kenapa? Karena dengan itu saya bisa dengan mudah mendoktrin dan membodohi orang-orang di negara tersebut. Yah! diadu domba sedikit juga nanti perang sendiri, mulai dari perang mulut hingga ke perang otot… yang pasti tidak ada perang otak, karena otak mereka sudah kosong melompong!

Karena saya cukup “strategis” dalam berpikir maka saya terlalu gegabah jika membom negara tersebut, bom sekolah… bom perpustakaan…. aduuuh, cemen banget sih. Belum tentu berhasil masih bisa kena gugat PBB pula.

Bagaimana jika, saya susupi dengan trend?
Racuni dengan sinetron dan infotaiment tidak mutu yang hanya membahas artis dan aneka berita tidak mutu lainnya.
Jangan lupa, agar lebih mantap “kebegoan” yang akan tercipta…. di negeri ini artis harus jadi segala-galanya. Ketika ada bom nuklir di Korea Utara, tanyalah artis dangdut.
Ketika ada penemuan teknologi yang baru, jangan lupa wawancara artis sinetron striping (ssst… sinetronnya pun tiru habis drama di luar negeri, kalau ratingnya bagus… diperpanjang hingga 1 juta episode, sssttt ini rahasia kita aja ya, jagan bagi-bagi strategi ini loh).

Okay, sekarang seluruh media dari media cetak hingga online pokoknya harus sibuk memberitakan hal-hal yang gak penting tapi seru, misalnya jambak-jambakan antar dua artis ibukota dan isu nikah siri sampai tayangan langsung artis yang sedang ngeden melahirkan.
Agar lebih “cerdas” jangan lupa #sharedisocialmedia.

Lalu trend tercipta, dunia masyrakat negeri ini menjadi sempit.
Piramida penduduk negeri ini yang didominasi oleh anak muda membuat saya sadar “Well, target utama: Anak muda”
Maka, buat juga buku yang ada (in case masih ada yang mau baca buku) mendoktrin anak muda untuk trapped in the nutshell.

And yeah! Perfect! Makan waktu sih, tapi efeknya dahsyat dan dijamin anti gagal.

Karena masyarakat kemudian diperlihatkan bahwa “cinta” itu hanya sebatas dimabuk kepayang oleh lawan jenis. Maka mereka akan lupa cinta pada sesama, cinta pada orang tua, cinta pada orang yang berbeda keyakinan, cinta pada alam.
Yaaaah… biarkan saja, toh mereka nanti akan gontok-gontokan sendiri ketika ada kawannya yang beda keyakinan atau suku.
Diamkan saja, toh nanti mereka juga akan mati sendiri terkena banjir dan longsor (atau dimakan anakonda lapar) wong mereka yang rusak lingkungannya sendiri kok.

Oiya! Jangan ajarkan hubungan science dan agama, agung-agungkan saja masalah virus merah muda dan keutamaan nikah muda. Semuanya nikah muda, biar si perempuan segera hamil dan punya anak banyak…
Paling nanti sibuk mengurus anak dan akan lupa dengan pendidikan dan karirnya.
Jangan tunjukan jalan ke surga itu beragam… pokoknya jangan!
Ini juga metode yang efektif untuk membuat peperangan antara wanita karir dan Ibu rumah tangga. Padahal mereka punya keutamaan masing-masing ya, eh biarkan saja! Kalau kaum wanita sudah perang dunia, negeri ini makin mudah dikuasai.

Oiya! Karena di negeri ini sudah terlanjur “bodoh”
Sebar juga isu kalau wanita yang masih single hingga after 25 itu bakalan mandul, perawan tua, pokoknya yang jelek-jelek. Selipkan juga isu wanita yang sekolah tinggi dan berkarir itu seringkali tidak mau menurut pada pria.
So, genius women will never get married! Dan kalau wanita-wanita cerdas tidak menikah… maka tidak ada bayi-bayi yang genius pula. Ya ampuuuuuun sempurna!

Karena negeri ini sudah terlanjur “bodoh”, maka katakan juga bahwa kualitas manusia itu bisa dilihat dari fisiknya. Kalau dia gendut, hitam, pokoknya jauh dari standar artis-artis kurus tinggi langsing, itu hina banget deh!
Jangan lupa! Di bully juga… buat mereka tidak pede! Efek paling ringan:trauma dan minim percaya diri, paling berat: BUNUH DIRI.

Dan bukankah itu sempurna?
Semoga misi “pembodohan” di atas tidak terjadi di Indoenesia.

Kawan, saya tidak menjudge jika kalian nikah muda, tidak membaca buku, tidak sekolah tinggi, kalian salah. Oh no! Mana mungkin saya berani melakukan itu.
Namun saya hanya ingin mengatakan we should do more!

Jika kalian ibu-ibu muda, didik anak kalian sebaik mungkin. Carikan buku yang baik, ceritakan cerita-cerita yang berkualitas, angkat impian mereka.
Jika kalian wanita atau pria yang masih single, fokus ke pekerjaan dan pendidikan kalian
Jika kalian pelajar, maka belajar dengan giat dan konfirmasi seluruh informasi yang kalian terima.
Dan lebih dari itu semua: read a good materials.
Jika kalian tahun bahwa tontonan TV tidak bermutu… turn it off!
Bijaklah dalam menggunakan social media dan selalu konfirmasi seluruh berita yang kalian dapat, amati, dan sortir. Kalian ini sudah besar… bisa bedakan mana yang baik dan buruk.
Investasikan tabungan kalian untuk membeli buku yang bagus berdasarkan hobi dan minat kalian. Baca!
Jika kalian tidak suka buku, beli majalah yang “berbobot”… national geographic misalnya jika kalian tertarik dengan alam.
Pelajari! dan Dalami! Lalu sadarlah bahwa dunia ini luas, dan dunia ini membutuhkan kita… manusia dengan kualitas yang lebih baik.

Saya tahu, tulisan-tulisan saya banyak yang “kontroversial” dan banyak juga yang sudah terlalu sebal dengan saya. But really! I criticize for your good. Kita tidak bisa hidup dengan perspektif yang sempit.

Jika membaca buku yang berkualitas saja kita tidak tahan, bagaimana kita bertahan dalam konstelasi global?
Bagaimana? Beri saya jawaban.

Sekali lagi, kita berhak mendapat akses yang lebih baik pada hal-hal yang lebih berkualitas, salah satunya: BUKU dan bahan bacaan lainnya.

 

 

Maaf, Bicara Makanan Halal dengan alasan ilmiah saja tidak cukup….


halal-060715

To the point saja, kita sudah tidak bisa bilang di depan orang Jepang atau non-muslim manapun bahwa kita tidak makan babi karena babi itu tidak sehat, kotor, bla..bla…bla… Alasan seperti itu hanya menunjukan dua hal: 1. Kalian TIDAK mengikuti perkembangan ilmu pengetahun terbaru, 2. Kalian mungkin BELUM pernah (dan pastinya males) berkunjung ke peternakan babi terutama yang ada di Jepang.

“Mon, gaya hidup lo udah hancur… lo kok bisa ngomong kayak gini?”

Mata saya terbuka lebar ketika saya berkunjung ke salah satu peternakan di kawasan Chiba, Jepang. Saya menyadari bahwa bahkan Babi di Jepang mandi lebih sering dibandingkan saya. Kandang mereka dibersihkan secara rutin, dan saat saya berkunjung ke pusar penelitian pertanian di Tsukuba, saya mengetahui  bahwa karena ilmuwan kini tahu masalah cacing pita dan aneka parasit lainnya dan mungkin aneka “threat” lainnya. Proses quality control-nya pun kini sudah sangat modern, dan please kawan… saya bisa menjamin, at least di Jepang si pork dsb ini layak dan sehat untuk dikonsumsi. Why? Am I say something wrong?

index.jpg

Babinya bersih dan lucu kan :’)

Selain itu, semakin saya belajar masak memasak dan pada akhirnya membaca buku “The Science of cooking”, masakan Jepang banyak yang memakai alkohol dalam proses penyajiannya, yaaaa karena itu untuk mematikan bakteri. Orang sini kan sering makan yang mentah-mentah including ikan. Hal serupa untuk masakan eropa, kok steak aja harus disiram wine atau aneka minuman beralkohol lainnya? Ya karena mereka banyak yang makan setengah mateng dagingnya… jadi alkohol itu membantu membunuh para parasit dan semacamnya yang mungkin masih boboks di situ. Logika yang sama ketika kenapa masakan timur tengah dan asia selatan kok rempahnya terlalu strong ya…. Karena mereka banyak mengkonsumsi mutton, daging kambing….! Kolestrol brow, nah untuk meminimalisir itu… maka dimasukanlah seluruh spices and herbs. Semacam itu.

Untuk meyakinkan apa yang telah saya baca, saya langsung menanyakan kepada dua orang sahabat saya yang notabenenya satu orang berlatar belakang dokter hewan dan satu lagi pentolan teknologi pangan.

Apa yang saya dapatkan…
Dari kubu dokter hewan “Mon, lo mending cuman diri lo yang mempertanyakan. Gw di depan professor-professor ahli hewan ditanya kenapa Muslim gak makan babi. Gue gak bisa jawab macem-macem. Yah ini mah perkara komitmen sama Islam aja lah. Lo udah milih jadi Muslim ya udah, manut”

Dari kubu teknologi pangan “Mon, gue… gue… gue suka banget wangi wine, dan gue rasanya mau banget nyicip. Please, wine itu secara kandungan gizi menyehatkan ya, Mon. Gue mau minta minum wine di surga nanti.”

Dan setahu saya, sake, arak, dsb dsb dsb… dalam dosis yang terbatas mereka memang menyehatkan dan kalau kalian berada di negara yang dingin, bisa untuk menghangatkan badan. Cuman ya, kan khamr ya… Allah mungkin tahu kita probably ketagihan, terus mabuk, hilang kesadaran, dan bisa bikin macem-macem yang mungkin tidak hanya membahayakan kita tapi juga orang lain.

Begitu pula daging,  kandungan protein daging Babi itu bagus loh. Sumber protein, jika Muslim boleh mengkonsumsi babi, saya yakin peternakan Babi akan lebih banyak daripada ternak sapi dan kambing, bahkan mungkin ayam.

Jadi jika kalian mau bilang “Iyaaaa… ini diharamkan karena tidak sehat.” Errrr…. Mungkin alasan itu sudah tidak mutu lagi. Sorry to hurt you, guys.

Atau jika mau berdalih “Kalau kebanyakan itu bisa berbahaya buat kesehatan” yah kalau itu sih, kita kebanyakan minum air putih juga bisa mati karena Hiponatraemia. So many ways to sick and die, gak perlu capek dengan minum khamr atau olahan daging babi.

Maka kembali pada kesimpulan teman-teman saya: It is a matter of COMMITMENT. Sudah memilih Muslim maka turuti aturan mainnya. Dan untuk saat ini mungkin ini alasan paling masuk akal yang bisa kita lempar ketika ada yang bertanya.

 Dari Sudut Pandang Ekonomi
“Ok, jadi mon… daging halal itu lebih murah dari yang non-halal” kata seorang teman yang pernah berusahan menjelaskan hal ini di depan saya. Dia lupa, saya ini seorang: ekonom :’)

Kalau minuman, oke lah ya. Minuman beralkohol kan prosesnya lebih panjang dibandingkan yang non-alkohol. Jadi well… make sense.

Tapi daging?
Where? Where you bought your meat? Ya daging ayam halal memang lebih murah daripada yang non-halal, di INDONESIA. Kenapa? Karena supplynya lebih banyak. Ini kan perkara kasus supply demand aja. Di negara Muslim, semua slaughterhouse akan menyembelih hewannya dengan cara yang “halal” sedangkan yang non-halal mungkin dia punya metode pemotongan yang lebih cepat, mesin jagal atau bahkan yang kejam seperti di listrik dsb, itu akan butuh capital cost yang lebih mahal. Nah, iki bener iki!

Tapi di negara non-moslim? Paling banter adalah harganya sama dengan harga daging non-halal. Dengan metode pembuktian terbalik menggunakan cara berpikir pada paragraph sebelumnya. Harga yang sama dengan daging non-halal ini bisa terjadi jika slaughterhouse di suatu negara menyadari bahwa daging halal itu bisa dikonsumsi oleh semua orang, bukan hanya Moslim. Dan ini yang menjadi celah “bisnis” untuk negara-negara seperti Brazil dan Australia misalnya. Jika kalian berada di luar negeri, pasti bisa menemukan daging halal yang diimpor dari negara-negara non-Muslim.

Untuk kesehatan daging sendiri, dari yang saya baca dari berbagai jurnal dan buku, untuk negara Eropa yang semakin parno dengan kesehatan makanan dan hajat hidup para hewan, mereka juga secara prinsip cara memotongnya sama dengan cara memotong hewan ala kita. Bedanya hanya, tidak membaca Bismillah di awal menyembelihan. Ini yang membuat daging mereka jadi tidak halal untuk kita. Namun untuk sisi kesehatan, sama daging di Indonesia sih lebih sehat daging mereka ya HAHAHAHAHHAA. Ketika mereka mulai sadar bahwa mereka cuman tinggal menambah “Bismillah”, maka saya yakin beberapa tahun kedepan pasar daging dan makanan halal di dunia akan dikuasai yaaaaah setidaknya oleh negara-negara Eropa. Yes! Europe… plus Jepang lah karena mereka kan bersih banget.

Meanwhile in Indonesia, yang lebih sibuk mikir pilkada daripada memikirkan konstelasi global. Untuk lead pasar makanan halal aja kita belum mampu. Kenapa? Karena kalau kata teman saya “Kita itu lupa, Mon…. halal itu gak cukup, tapi harus halalan tayyiban. Kualitasnya juga harus baik”

Ternak kita masih belum aman dari aneka penyakit sih, belum lagi perlakuan off-farm yang seadanya :’) belum lagi lambung kita yang sudah terbiasa dengan pewarna tekstil dan borax plus MSG dalam jumlah tinggi, rasa-rasanya tidak terlalu peduli dengan kualitas makanan yang masuk ke tubuh kita. Untuk dikonsumsi oleh Muslim, daging kita cukup ok-lah yaaa daripada lapar. Namun untuk merebut hati pasar internasional, sayangnya belum.

Mengapa saya harus menjelaskan hal ini, karena jika kalian kelak ketemu bule atau siapapun yang apesnya lebih pintar dari kalian dan bertanya “Kenapa ini haram?” lalu jawaban kalian “Oh iya, karena gak sehat”, they will turn the table and say “Lha, emang makanan di Indonesia sehat?”

Lalu Apa Alasan yang Tepat?

Dengan ilmu agama saya yang cetek, saya tidak tahu. Saya dan teman-teman saya pun beda pendapat masalah ini. Yang pasti kami hanya sepakat, rule is a rule…

Mungkin Allah sengaja mengetes komitmen kita.

Sedangkan saya, hmmm…. Untuk khamr, saya memahaminya sebagai upaya preventif. Supaya otak kita tetap waras ketika menghadapi segala sesuatu. Walau kemudian masih bisa ditimpal juga dengan “Lah kalo wine dipake buat ngerendem daging kan gak akan bikin mabok” Iya sih… makin enak pula kan ya HAHAHAHAHA. Tapi yaaa, wis lah, rule is rule.

Sedangkan untuk daging… entahlah. Ini pun susah mencari celahnya.
Semakin saya belajar di bidang lingkungan hidup, saya memahaminya sebagai the way Allah menjaga keseimbangan ekosistem. Tanpa rule ini, eksploitasi terhadap Babi mungkin akan over (karena mereka juga bagus buat penelitian kedokteran), konsumsi daging juga pasti akan meningkat, peternakan akan semakin banyak seiring dengan meningkatnya deman ternak, itu berarti rumput dan tumbuhan lainnya juga akan over exploited karena herbivor-nya pun semakin banyak.

Yah, tapi masa selebay itu sih? Iya sih… walau saya percaya kita ini sebagai manusia by default memang “rakus” jadi tanpa aneka rule kita akan maen lahap semua sumber daya di muka bumi ini. Wong ada rule aja kita masih ngerusak planet ini kok.

Mungkin dengan aturan dari Allah “Ingatlah Aku sebelum makan dan minum” melalui mekanisme halal-haram ini, kita jadi bisa sedikit mengerem nafsu konsumtif kita. Mungkin.

Namun, wallahu’alam bi shawab

Ah, namun lagi-lagi…. Yang paling utama adalah ini masalah komitmen kita pada Yang Di atas.

If I never come back, the reason is….


Jika saya harus memilih Indonesia dengan seluruh hidup saya, saya akan memilih Indonesia. I love Indonesia, the art, the culture, the beauty, everything…
Namun, jika kemudian saya tidak kembali ke tanah air, itu bukan berarti saya tidak cinta dengan negeri ini. Tapi lebih karena saya terlalu kecewa dengan beberapa hal. Saya tidak marah kepada Indonesia, again, I really love Indonesia. Walau banyak hal “meh” yang mesti diperbaiki, but who will able to forget the beauty of Indonesia? Namun, selalu ada yang membuat saya geram. Yang membuat saya terlalu marah sebagai seseorang yang terlalu fanatik mencintai negeri saya sendiri. And hei! Indonesian people, here… here… I told you why! Dan saya percaya ada banyak orang-orang yang sama seperti saya… mungkin orang-orang dengan kualitas intelektual yang lebih baik dibandingkan saya, dan jika mereka sepemikiran dengan saya, then Boom! You’ll lose tones of awesome people, Indonesia. You will!

Politik di Institusi yang seharusnya netral: A big no!

Saya percaya, bagi beberapa orang setelah membaca tulisan ini akan bilang “Marissa, you will enter the hell in no time, in Jahannam maybe” oh good, I don’t care! But I need to say this, to show you that there always a clear border between religion, education, and f***in’ politics.

Saya mendengar selentingan bahwa di salah satu kampus di Indonesia, terdapat soal ujian agama “Sebagai Muslim kita harus memilih pemimpin yang?” konon katanya jika Anda memilih “non-muslim” maka nilai Anda langsung akan drop dan terancam tidak lulus. Saya pikir ini hanya hoax. Lagipula, masa’ sih? Jadi saya pikir, yo wis lah… gosip.

Namun, lama kelamaan saya jengah juga ketika beberapa dosen yang luar biasa saya yakini intelektualitasnya, saya hormati luar biasa, saya kagumi dengan sepenuh hati, mulai berkoar masalah politik. Yang lebih saya sayangkan “Ini bukan politik, ini masalah religius, masalah agama, masalah membela Tuhan” Tuhan di posisi yang Mahaagung, maka Dia tidak perlu di bela, kita yang butuh dilindungi Tuhan, salah satunya dilindungi dari pemikiran yang sempit.

Saya kecewa karena sebagai muslim saya merasa Islam itu begitu mulia, maka saya tidak ingin masalah agama dioplos dengan politik. Saya, sebagai pecinta ilmu pengetahuan meyakini bahwa ilmu itu susah! Perlu hati yang tenang, perlu pemikiran yang jernih, ketika kemudian itu di”cemari” dengan something little things called politic… which is, I should tell you, not even your business! Except you are a political student of course…
then how you can absorb all of those precious knowledge? How? tell me how? Belajar itu tidak semudah menghapal judul FTV! Butuh konsentrasi luar biasa untuk itu. Bismillah dan sekadar shalat komplit 5 waktu plus sunnah tidak cukup untuk meyakinkan Allah untuk menjadikan kalian cerdas dan pintar dan berilmu. Nope! you need a constant commitment to keep studying. To stay away from every unimportant stuff in your life.

Pada buku Sanshiro, Natsume Soseki menjelaskan mengenai kehidupan mahasiswa di era restorasi meiji. Di bawah kondisi politik yang kental, para mahasiswa tidak serta merta concern pada kondisi perpolitikan mereka, begitu pula para professor mereka. Mereka lebih concern dalam menyerap seluruh pengetahuan barat dan kemudian menkonversi itu semua kedalam konsep yang lebih “Japaniyah.” Karena itu “jihad” para akademisi! Dan hingga hari ini, universitas adalah tempat bersih dari politik. Professor here doing research, updating their publication, thinking about gaining a nobel prize after their retire. Mahasiswa di sini, jika perlu menginap seharian di lab untuk menyelesaikan penelitan mereka. Tidak ada poster selain yang terkait dengan hal-hal ilmiah atau ehmmm free concert. Laah, kita apa? Politik juga gitu-gitu aja, ekonomi segitu-segitu aja, IPTEK yaaaa tidak ada yang signifikan banget.

Saya sampai tertawa getir ketika ada sebuah pertanyaan, “Eh, jadi kalau mau jadi petinggi kampus X salah satu syaratnya harus jadi simpatisan partai ABC ya?” can you believe that? Itu hal yang maha memalukan ketika ada pertanyaan seperti itu menodai suatu institusi pendidikan.

Listen to me, siapa pun presiden Indonesia, siapapun gubernur Jawa Barat, siapapun gubernur Jakarta, siapapun penjaga makam mbah priok, siapapun itu… Indonesia gak akan berubah jika perdebatan kita sempit dan hanya sekitar itu-itu aja. Ya! Bukankah Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah dirinya sendiri. KAUM, kaum itu a big group of people…. bukan perseorangan. Jadi saya merasa kok konyol sih harus ribut-ribut dan heboh masalah pilkada, dsb?
Ketika negara-negara G20 sudah berusaha untuk membuat 0 emission growth in 2030, kita masih repot mikir pilkada, KPU, bu mega, dan segala tetek bengek yang tidak jelas faedahnya.

So, please stop!

Masjid pun mulai berpolitik….

Sahabat saya pun ada yang melapor bahwa ceramah di sekitar apartementnya pun tidak menyejukan lagi. Ya Allah, untung yang Allah itu baik… dan untungnya Allah mendelegasikan beberapa tugas kepada Malaikat yang tidak punya hawa nafsu. Jika Allah mendelegasikan tugas mengatur alam semesta kepada Marissa Malahayati misalnya, “Wah… apa ini? Loh kok sekarang parpol jadi kualifikasi masuk surga, tenggelamkan!” maka niscaya planet bumi akan lebih dipenuhi kucing dibandingkan manusia.
Maka bersyukur deh Allah tuh baaaaaaiiiiiiiiikkkkk setengah mati…
Dan saya percaya teman-teman saya yang beragama lain pun sepakat “Iya sih, kayaknya kualifikasi dekat dengan Tuhan itu bukan pandangan politik deh”
Sepakat kan?

Then stop… dunia itu semakin complicated, ketika saya ke masjid saya ingin mendengar suara adzan, Quran yang mendayu, nasehat yang membangun… kalau bisa yang membuat saya menjadi lebih “adem” dan “bijak” setelah saya melangkahkan kaki keluar masjid.

Saya rasa ulama juga harus lebih bijaksana… tidak perlu terlalu “nyeleb” lah.
Saya sangat menghargai ulama, kyai, dsb. Tapi saya merasa kok jadi off-site ya membuat mereka menjadi mata tombak untuk politik?

Logika saya tuh pemuka agama itu justru harus jadi pihak yang paling netral sehingga bisa jadi tempat kita meminta pendapat tanpa perlu ada sorot kamera.
Something like that…

Sedikit tentang pilkada…

Pertemanan di negeri kita kita diuji oleh harta, tahta, pilkada.
Okay, kalian mau dengar pendapat saya?

Listen, both of the candidate are too crazy with the “position”!
Dua-duanya punya kelemahan dan kelebihan.
Yang satu… mmm…. while I environmental economist, saya merasa reklamasi itu somehow kurang tepat. Selalu ada cara yang lebih bijaksana untuk memperbaiki alam dan udah laaah pembangunan jangan diembat semua sama Jakarta.
Yang satu, DP rumah 0% saja konsepnya tidak jelas… menghalalkan segala cara untuk meraih simpati warga. Aduh apa banget deh.
So yeah, are you blind guys? Both are not perfect, maybe asholes.
But now you need to choose who is better between those candidates.
you need to choose an asholes you can work with better.

kriterianya? Yaaa itu masing-masing pribadi kalian yang menentukan.
Kalau kamu punya alergi dengan durian kamu tidak bisa memaksa semua orang untuk tidak makan durian.
Yo wis lah, kalau menurut kamu keyakinan, suku, dsb itu kriteria utama, yaaa udah pilih yang sesuai… tidak perlu nyinyir dengan yang tidak mempersoalkan itu.

kan bisa baik-baik “Mmm, bro gw berbeda pendapat deh kayaknya. Kayaknya X lebih ok”
“Iya ya, Bro? Waaah udah masalah hati sih jadi susah ahhahahha”
Lalu marilah nikmati es kelapa muda bersama-sama… jangan lupa dengan mie ayam pangsit. Abang tukang es dan mie ayam pun kecipratan rezeki. Itu lebih signifikan efeknya.
Hidup pun lebih mudah dan sepertinya lebih damai.
Tidak hanya untuk pilkada, tapi untuk next political leap in our country.

In short….

I want Indonesia back to the previous humble country with a sensible humor.
Dan jujur ketika saya di sini, ngobrol dengan teman-teman saya di kantor, saya lelah menjawab “Marissa-san, what’s wrong with your country?”
And I have no answer for that.

Saya pernah membaca “Banyak orang yang pintar, bertalenta, dan akademisi kini enggan berurusan dengan politik…”
Jika sekolah-sekolah
universitas
bahkan masjid-masjid  sudah dipenuhi politik
maka masihkah ada tempat untuk mereka si orang yang pintar, bertalenta, dan para akademisi tersebut di tanah air yang pastinya sangat mereka cintai.

Padahal hanya ada satu kesalahan mereka, enggan berurusan dengan hal-hal yang bukan kemampuan dan keahlian mereka.

Saya meyakini… pasti di hati mereka terkesiap:
If I never come back, that’s not because I am not love this country.
But maybe because there is no place for me…

Indonesian, seriously… fix your self!