Mahasiswa ikut demo? Salahkan?: Mengkritisi kematangan emosional dan Politik “Kidz zaman now”


Entah mengapa sedang muncul kisruh baru di dunia persilatan mahasiswa. Adik saya geram sekali karena dia dinilai sebagai mahasiswa apatis yang setelah kuliah langsung pulang dan hanya ikut satu kepanitiaan. Kalian tidak tahu kan, adik saya cepat-cepat pulang karena harus merawat Mama kami yang baru saja menjalani operasi bedah kecil karena luka yang tidak kunjung sembuh terkait penyakit diabetes Beliau. Sama seperti adik saya, saya juga gak terlalu gila dengan organisasi… walau dulu pernah masuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), kalau saatnya pulang yaaaa saya pulang. Demo? Aduh gak deh. Bagi orang-orang seperti saya… demo itu hukumnya “makruh”, yo wis lah kalau mau pada demo, tapi gw sih ogah.

Saya tidak pernah bermasalah dengan anak-anak yang demo, itu keren juga loh semangat muda yang berkobar-kobar. Dan memang, sesekali pemerintah memang harus didemo, disentil dan diingatkan. Lagian era demokrasi loh.

Yang membuat saya kecewa…. sebagai seorang “kakak”, bukan hanya bagi adik kandung saya tapi juga bagi mahasiswa-mahasiswa zaman now, kok kesannya malah mahasiswa yang “aktivis” dan “apatis” ini jadi dua kutub yang betul-betul bersebrangan dan saling tunjuk hidung dan merasa “Gue loh yang paling bener, lo…lo…lo…salah”. Zaman saya sih, saya berteman baik dengan anak-anak yang semangat berdemonstrasi, dan yang demo pun gak pernah tuh semena-mena “Lo itu, Mon… super apatis. Lo gak peduli sama masyarakat”. Kami mengkritik kajian-kajian BEM yang menurut kami ngawur, dan BEM juga nerimo-nerimo aja sebagai masukan. Lha! beda kan biasa~ justru perbedaan pola pikir memperluas perspektif kita.

Baru-baru ini ada kasus yang melibatkan kampus saya dan mungkin beberapa kampus lainnya. Ada kisah tentang beberapa mahasiswa yang ditangkap polisi karena berdemonstrasi menuntut kebijakan Jokowi-JK yang rasa-rasanya belum berjalan baik menurut mereka. Singkatnya, ada dua kubu: Kubu pro demo, dan kubu anti demo. Yang Pro-demo ini menuntut teman-temannya segera dibebaskan “ini orba model baru, krisis demokrasi”. Yang anti-demo jadi merasa bodo amat karena merasa “Ya rasain aja, salah sendiri lo gak ikut aturan main… harusnya bubar jam 6 sore, kok jam 11 malem masih stay. Mamam tuh di kantor polisi”.

Dan namanya juga “kidz zaman now” yang menurut saya kematangan emosional, sosial, dan politiknya masih belum stabil, yaaaaa…. gontok-gontokan aja di social media.

Well, mumpung masih jadi mahasiswa S1… masih ada banyak kesempatan untuk melakukan kesalahan dan juga belajar memperbaiki itu. Lalu, dengan cara itulah kalian akan menjadi lebih dewasa.

Kepada para mahasiswa yang demo (atau mendukung yang demo)
Mulai dari para demonstran yang semangat-semangat ini ya. Yang energi mudanya luar biasa.
Adik saya men-share sebuah pernyataan unofficial yang mewakili teriakan kubu pembela demo. Untuk menghormati adik ini, saya blur yaaaa namanya 🙂 kalau kamu tahu siapa, biar hanya aku dan kamu yang sama-sama tahu (apa sih… hahahahaha).

Oh iya… disclaimer dulu. Saya mah udah ‘senior’ dibilang mahasiswa apatis yang know nothing. Yah atuh saya mah apa lah dibanding mahasiswa aktipis mah… hanya mahasiswa uzur yang lagi penelitian dan kuliah di luar negeri aja. Tau apa, tentang gini-ginian mah lah~ pret. Hahahhaa… jadi saya kebal loh kalau kalian gak setuju sama saya. Tapi saya ini seorang kakak, dan saya merasa I need to criticize this one.

Bacanya pelan-pelan lah ya, biar puas hahahahaha 😀 eh pembaca yang lain juga boleh komen loh, tapi inget yang sopan dan kalau bisa penuh humor lah. Kalau penuh hujatan, saya bisa detect IP address kalian loh ya 😉

Image and video hosting by TinyPic

Kok rada-rada politik ya, eh emang mahasiswa teh boleh ya popolitikan kieu? Beneran gak tau, soalnya kalau di Jepang sini, kampus adalah kawasan steril yang bener-bener bersih dari bau-bau politik. Selebarannya pilkada aja gak boleh terbang ke kampus. Kalau sampai ada, wah bisa heboh seantero kampus. Tapi kan saya mah apa atuh, pas kuliah S1 saya juga biasa-biasa aja, gak wow…

Dan hey! mari kita ikuti logika berpikir Sang Penulis yang luar biasa sangat berbakat ini.
Jadi masa baju kotak-kotak salah ya dengan melebihi batas demo? Banget dong!
Nah, okey… mereka salah. Jadi kalau mahasiswa melebihi batas waktu demo juga boleh dong, wong sudah ada “suri tauladan”nya. Bukan perkara hal salah atau benar…. tapi perkara sudah ada yang melakukan itu sebelumnya atau belum?

Nak! kalian itu… sorry… mahasiswa? Mahasiswa itu kaum intelektual loh, dan sebagai seorang intelektual bukankah kalian seharusnya sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah? Jika kalian paham bahwa melewati batas waktu demonstrasi itu SALAH, no matter how much success stories bahwa ada yang berhasil dengan aman lewat masa demonstrasi adalah tetap SALAH. Iya gak sih? Atau logika matematis seperti itu harus diajarkan secara lebih serius di bangku SMA supaya metode penarikan keputusan kalian logis.

Dengan demikian, walaupun saya bisa memahami kalian berusaha kritis dan membela beberapa kepentingan negeri. Namun, maaf… masyarakat mana yang kalian wakili? Karena saya kok malah kecewa dan merasa tidak terwakili? Dan teman-teman kalian juga ada banyaaaaak sekali yang bahkan jadi berkurang respectnya dengan kalian. Kalian tahu, siapa lagi yang merasa tidak terwakili oleh kalian? Keluarga dari para polisi yang tugas jaga ketika demonstrasi kalian.

Saya mencoba seobjektif mungkin dan semanusiawi mungkin. Mengapa polisi cenderung lebih anarkis saat ini dibandingkan ketika kasus ahok misalnya? Karena mereka lelah… lapar… dan probably ngantuk. Ketika kasus ahok, walau massanya lebih masif tapi tempatnya terbagi dua bukan? Jakarta dan Depok? It means yang jaga pun terbagi, ada yang di Jakarta dan kemudian di Depok. Ketika massa bergerak ke Depok, yaaah mayan lah yang di Jakarta bisa makan dulu… meanwhile di Depok udah siap-siap dengan makan makanan bergizi dan stretching.
kasus kalian beda dek, waktu bapak-bapak polisi ini istirahat lebih terbatas. Mereka harusnya sudah bisa sedikit melemaskan otot setelah jam 6 sore. Lha, kalian lanjut sampai jam 11 malam. Berisik, capek, pegel, ngantuk, lapar… belum lagi mereka yang di garis depan itu polisi-polisi bergaji rendah loh, Dek… ya ngaaaaamuuuuuk. Itu sih sabar, kalau saya polisinya udah dari jam 7 malem kali saya jadi “liar” hahahhaa.

Saya menyayangkan kalian… mahasiswa cerdas, yang antusias memperjuangkan hal-hal makro, melupakan hal mikro bernama “berpikir dan bersikap manusiawi”. Saya akui aparat salah… iya! Itu parah sih. Tapi saya paham…mereka lelah, Dek. Jika yang jaga itu adalah ayah saya, saya akan marah sekali… marah sekali dengan kalian mahasiswa-mahasiswa yang “menahan” ayah kami begitu lama. Kalian mungkin gak paham ya, tapi sebagai seseorang yang sudah tidak memiliki ayah… saya pikir kita waktu seorang anak dengan ayahnya itu begitu berharga. Happy merebut waktu itu dari anak-anak yang menunggu bapaknya pulang?

Lanjooooot!

Image and video hosting by TinyPic

Saya sebenarnya setuju dengan paparan di paragraf selanjutnya. Mengenai keresahan mengenai ketimpangan dsb. INI KEREN! Saya tulus mengakui ini, dan itu pula yang membuat saya bilang “I have no problem sih kalau ada yang memilib berdemo”. Tapi, pemerintah itu orang-orang yang sibuk, including Pak Jokowi yang pada esensinya kalian demo…. sebelum koar-koar, bikin lah kajian yang jelas dengan data scientific dan permodelan yang jelas. Jangan demo dulu… cari kawan “apatis”
kalian yang jago nulis, buat karya tulis misalnya, sampaikan di conference, dengar masukan expert di bidang itu, dan kalau lebih hoki lagi siapa tahu kan dapat hadiah dari lomba karya tulis. Sebagai ekonom lingkungan, saya juga menentang reklamasi misalnya. Lebih ektrim dibandingkan kalian, saya juga tidak setuju dengan pembangunan pabrik semen di Kendeng, saya juga tidak setuju dengan perluasan lahan kelapa sawit. Tapi lawan kita ini juga orang-orang yang pintar! mungkin juga licin… maka kita harus lebih cerdik. Itulah alasan mengapa saya memutuskan terus belajar. Somehow, walau saya tahu kalian akan berpendapat bahwa jalan perjuangan kita yang beda, kita harus lebih pintar dibandingkan “lawan-lawan” kita itu. And have you, guys? Not yet? Then go back to the school… Seriously!

Lalu, saat kalian memiliki kajian yang kuat, kalian bisa deh datang dengan PD kepada para pemegang kebijakan. Datang baik-baik ke Ibu Sri Mulyani kek, atau ke Ibu Susi kek. Diskusi “Bu, jadi berdasarkan hasil penelitian kami dengan data time series tahun xxxx hingga xxxx, kita bisa lihat nih masalah kita A, B,C, D, etc”. Nah! Pertanyaannya, sudah berani belum jika intelejensi dan mental akademis kalian diadu dengan para ahli di pemerintahan? Saya sih gak, saya kan bodoh hahhahahaa… makanya sampai sekarang masih sekolah, itupun masih banyak salahnya. Entahlah jika ilmu kalian sudah sampai ke level itu. Kalau level kalian kira-kira masih cuman bisa complain dosen pembimbing kalian killer hingga kalia gak lulus-lulus dan penuh revisi, terus curhat di socmed…. yang perlu direformasi terlebih dahulu mungkin mental kalian.

Jika langkah-langkah tersebut sudah dijalani, DAAAAAN mentok…. hayu lah, saya dukung demo sampai kapanpun. Karena dibandingkan demonstrasi, saya merasa metode pendekatan lewat kajian, terutama untuk para akademisi (btw inget2 loh, mahasiswa itu masuk CIVITAS ACADEMICA), lebih efektif dibandingkan demonstrasi berjam-jam. Kalian juga bisa bertemu para “kunci” pemegang kebijakan. Sekarang aja kalian idealis gila-gila, tapi sebagai yang juga pernah bekerja di pemerintahan, internal pemerintahan itu juga stressful, banyak permasalahan yang menumpuk dan perlu diselesaikan satu per satu. Saya yakin, kita nyoba jadi tukang fotokopinya kementerian aja belum tentu sanggup, karena pekerjaannya sangat sulit dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan.

Saya kemudian mengkonfirmasi dan melihat media sosial BEM univ-univ terkait yang mengklaim mereka tidak bubar karena Pak Jokowi batal menemui mereka padahal dari yang mereka dapatkan “Pak Jokowi akan dapat menemui massa”
Rupanya……….. Bapaknya ada di NTB :p
Kecawi lah para pendemo.

Paham juga sih kenapa yang demo kecewa, tapi… ya mau bagaimana, toh Pak Jokowinya ke NTB juga melakukan hal yang (I am so sorry to say this, Dek) lebih berguna daripada mendengarkan massa demonstrasi. Karena, bagi saya yang mengamati dari luar, mana kajian ilmiah yang kalian gadang-gadang merupakan alasan kalian berdemonstrasi? Jangankan Pak Jokowi, kami saja menunggu loh. Kalau memang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan, gak usah panas-panasan juga dibantuin deh menemui pihak-pihak terkait. Ya, ini sih malah opportunity cost pada akhirnya… pergi ke NTB mengurus masalah perizinan tanah lebih jelas outputnya. Kalau Beliau tidak menyelesaikan ini juga kalian marah bukan?

Well… topik demonya pun menjadi blunder, ini beneran membela rakyat?
Image and video hosting by TinyPic

Jadi ini teh demo masalah ketimpangan? Atau UU Ormas? Wow…wow…wow… mind blowing wooooow….
Pantesan Pak Jokowinya memilih ke NTB, Dek.

kalian teh paham gak fasis itu apa? Nih, lah saya kasih. Karena saya yakin kalian lebih fresh dan lebih cerdas daripada saya yang sudah aging dan bodoh ini, saya asumsikan level bahasa Inggris kalian lebih baik dari saya… ini loh ya definisinya:

fascism

noun

1.(sometimes initial capital letter) a governmental system led by a dictator having complete power, forcibly suppressing opposition and criticism, regimenting all industry, commerce, etc., and emphasizing an aggressive nationalism and often racism.

2.(sometimes initial capital letter) the philosophy, principles, or methods of fascism.

3.(initial capital letter) a political movement that employs the principles and methods of fascism, especially the one established by Mussolini in Italy 1922–43.
Saya pikir presiden kita jauh lah ya dari “Fasism”. Fasisme itu kata yang serius loh, kalau kalian ngomong ini di Jerman mungkin bisa digelepak sandal sama orang sana.

Fasis itu bukan hanya otoriter tapi menguasai seluruh sektor dan cenderung rasis. Kayaknya saya merasa tidak ada rasisme di Indonesia (yaaaa belum tahu kalau sudah ganti). Saya juga merasa kalau gak ada halangan untuk seluruh lapisan berkarya. Ketika kebebasan berinteraksi dan berekspresi itu masih ada maka itu bukan FASIS. Otoriter saja rasanya belum sampai.

Bukan saya ini pembela Jokowi, tapi bagi saya jika ingin berjuang… ingin berperang… maka elegan dan cerdas lah, apalagi membawa bendera AKADEMISI sebagai mahasiswa.
Sebagai bagian dari civitas academica, jujur saya malu dan menyayangkan ketika hal seperti ini terjadi pada mahasiswa. Dan maafkan saya… ketika saya kecewa melihat argumen-argumen pembelaan yang menurut saya lebih berbau politis daripada akademis.

Dan UU Ormas… what happened with UU ormas? Saya sampai baca loh itu si Perpu Ormas. Yang belum baca silakan deh baca di sini
Saya kan bodoh politik ya, jadi saya nanya deh, yang salah apa? Ya wajar lah, pemerintah tidak mau ormas membuat keributan dsb. Yang salah itu apaaaaaa? Ohhhhh, kalian bagian dari ormas yang kemarin dibubarkan? Ya kalau gitu jangan pakai panji-panji mahasiswa lah, silakan gunakan embel-embel ormas.

Ya udah blak-blak-an saja, saya akui masalah pembubaran HTI itu agak blunder sih, kalau mau dibubarkan kenapa gak dari dulu. Iya kaaaan? Lha… pemerintah baru menyadari pelanggaran yang dilakukan sekarang, yo wis… dibubarkan. Tidak setuju? Ya pasti ada pro dan kontra. Tapi saya sih termasuk yang setuju-setuju saja jika ormas ini dibubarkan, karena saya sudah terlalu kecewa dan marah melihat video ikrar mahasiswa untuk mendirikan negara khilafah. KE-CE-WA! Dan sempat kampus saya dahulu, citranya sedikit terganggu karena diusung-usung sentra ormas-ormas HTI. Sudah berusaha memperbaiki citra dan perlahan membaik, eeeeeh…. muncul kasus mahasiswa yang tertangkap. Jackpot!

Jika kalian mau berdebat masalah ini, saya malas lah… tapi jika dibutuhkan saya akan wawancara EKSKLUSIF ke Mas-Mas dari timur tengah mengenai konstelasi di Timur tengah dan apa kaitannya dengan ormas seperti HT? Apa pandangan mereka? Selain itu, Masnya ganteng-ganteng juga jadi bisa sekalian modus, siapa tau jodoh. Lagipula tidak semua ormas dibubarkan, bukan? Kayaknya yang adem-adem mah gak dibubarkan tuh.

Jangan sampai kalian teriak-teriak, terus eeeeh rupanya pas ditanya Fasis apa gak tau… ditanya Perpu isinya apa,eh belum baca juga. Jangan ngaku mahasiswa lah klo gitu.

Untuk Para Anti-demo

Saya gak kasih skrinsut komen-komen netijen lah ya…. alasannya karena ada beberapa yang terlalu… terlalu… wah pokoknya terlalu bukan mahasiswa lah. Yang baik dan cuman humor aja sih ada banyak juga. Tapi, yang too much juga banyak, dan capek menyensor plus malu sendiri karena jadi mikir “Damn! Ini beneran mahasiswa yang ngomong?”

Ya sudahlah yaaaa…. Di Quran untuk masalah agama saja tidak boleh ikut campur, padahal itu masalah yang paling mendasar dan krusial. Apalagi masalah demo! Mengutip pernyataan di atas “Semua orang punya jalan perjuangan masing-masing”

Ya sudah, biarkan saja. Kalau kemudian berakhir adu mulut… yang tinggalkan. Sesungguhnya hapalan rumus kalkulus lebih membutuhkan perhatian khusus dan spesial daripada debat kusir. Menkritisi aktifis dan pendemo, menurut kakak sih…. Seperti mempermasalahkan “keimanan”. Sekuat apapun argumen kita, ya sudah “iman” kok, ndak bisa ditawar-tawar.

Namun, alangkah eloknya jika semuanya bisa tetap saling berteman 🙂 ya beda pendapat kan biasa. Tapi semoga kalian bisa tetap menyebut orang yang berbeda pendapat dengan kalian sebagai “Oh! Mereka teman saya. Yaaaa beda mahzab sih, tapi temen kok” karena kelak kalian akan saling membutuhkan.
Semoga tidak perlu ada lagi hujan hujatan di media sosial… karena lagi-lagi, kalian adalah bagian dari dunia akademisi. Harapan negeri itu di tangan kita semua loh.

Kalau cuman nulis di socmed sih, yaaaah…. ya gak guna juga sih HAHHAHAHA. Iya gak sih?
Sebenarnya teman-teman yang demo itu ada kerennya juga, awareness mereka terhadap isu itu bagus. Kita-kita yang gampang encok untuk turun ke jalan, harapannya bisa menyampaikan aspirasi kita dengan cara lain yang lebih persuasif dan akademis.
yang suka ngegitar… angkat gitar kalian!
yang suka futsal… berfutsal lah sampai ke lapangan tingkat nasional!
yang suka belajar… hayuk lah, masa’ kementerian bikin lomba… mau gelontoring uang berjuta-juta bayar ide kalian, kok ya gak ada yang minat?
Ayo semuanya sibuklah dan berjuang dengan cara masing-masing.

Saya juga menyayaaaangkan sekali karena diantara kalian yang anti-demo, kata-kata yang kalian lempar juga malah kayak lempar bensin ke lokasi kebakaran di pabrik petasan. BOOOOOOM! DHUAAAAAR DHUAAAAAR! BOOOOOM!

In the end….
Di era saya, permasalahan yang saya hadapi adalah antara politisi dan akademisi seringkali sulit akur masalah penentuan kebijakan. Kadang suka diam-diam berdoa, “semoga generasi setelah gue gak usah kayak gini lah, akur-akur aja….”

Melihat kenyataan seperti ini, kok kayaknya saya meragukan kapasitas kalian untuk mewujudkan kerja sama yang baik antara akademisi dan politisi. Kayaknya malah makin jauh.

Dari negeri jauh, saya selalu promosi “Iya loh, orang Indonesia itu toleran abis lah pokoknya. Makanya dateng dong!”
rupanya? Masalah baju kotak-kotak atau tidak saja bisa mengkotak-kotakan negeri.

Terima kasih telah membuat saya kecewa (and I know you don’t care about it, karena kalian juga gak kenal sama saya kan).
Namun, kalian masih muda… masih punya banyak waktu untuk berbuat kesalahan dan memperbaikinya, dan saya masih punya harapan yang masih tinggi dan luas untuk melihat kalian semakin dewasa dan semakin baik.

Lampaui pencapaian yang telah saya raih, kalian perlu lebih hebat dari saya dan orang-orang di era saya karena masa yang akan kalian tempuh juga akan lebih menantang dibandingkan masa yang kami hadapi. Dan sebagai kakak, saya peduli pada kalian.

Maka saya tantang kalian untuk mewujudkan impian-impian baik negeri ini….
Saya tantang kalian untuk menjadi orang-orang berkualitas yang dikenal di planet bumi ini, yang ketika ditanya bisa dengan bangga bilang “Saya orang Indonesia loh”…. yaaa boleh lah narsis dan bawa pesan sponsor sedikit “Eh, dulu saya mahasiswa univ. xxxxx loh.”

Saya menantang kalian, karena begitu lah cara saya peduli kepada kalian.
Semoga kalian berbaik hati untuk tidak mengecewakan saya sekali lagi.

Semoga….

Jokowi Bertanya, Marissa Menjawab: Kenapa lulusan IPB banyak yang kerja di Perbankan? Yang jadi petani siapa?


Ketika acara orasi terbuka Dies Natalis IPB, rupanya Pak Presiden resah, gelisah, gulana, dan galau karena mahasiswa Institut Pertanian Bogor, rupanya lebih banyak yang meniti karir di bidang non-pertanian. Begitu galaunya Beliau hingga pertanyaan ini muncul pada pidatonya ck…ck…ckkkk…. :’) sabar ya, Pak… biar saya bantu jawab deh, Pak sebagai alumni. Dan gak mau kalah dong sama Pak Presiden, kali ini saya juga bikin vlog! FUFUFUFUUFUFUUFUFU… biar gak kalah gaul. Tapi vlognya buru-buru jadi butut gitu :’D yo wis lah ya, yang penting niat 🙂

Saya tidak akan sesumbar ini karena kemampuan matematis alumni IPB yang aduhai, kemampuan kamu yang mudah menyelesaikan masalah, bla bla bla… aduuuh, pas sampe sekolah ke luar negeri sih kita akan sadar, alumni dari manapun kita, dengan catata kita rendah hati dan gak besar kepala, kemampuan kita itu STANDAR…. :p (sorry for being honest). Yah selalu ada sih yang over PD “Gila gw keren abis karena gw alumni X” pffft… itu hanya menunjukan orang-orang seperti itu kurang jauh pikniknya (piknik, Mas…Mbak…. yang jauhan dikit).

kapan-kapan kalau saya gak ada deadline yang mendesak, saya wawancara teman yang lain yang lebih dahsyat daripada saya atau kalau lebih luang lagi kita tanya-tanya aja langsung ke dosen2 IPB 😀 mereka kan gaul dan baik-baik. Tapi nanti yaaaa kalau saya tidak dikejar-kejar deadline-deadline yang mematikan ini.

Oke, gitu aja ^^/
Tetep bangga lah jadi mahasiswa pertanian, dan yang bukan mahasiswa pertanian… yaaah mari saling menghargai, inget loh kalau gak ada pertanian gak ada makanan fufufufufu and who doesn’t love food? 😀

Mempertanyakan Empati Bangsa


Karena kematian bukanlah bahan candaan…
Karena kematian bukanlah bahan tontontan…
Karena kesedihan bukanlah bahan lawakan…
Karena kesedihan bukanlah bahan yang perlu diumbar…
Karena manusia seharusnya tahu ini semua,
Jika manusia tidak bisa memadukan hati, ego, dan pemikirannya,
Maka masih layakan dia dinamakan “manusia” yang kepada mereka dipercayakannya perawatan alam semesta.

Agustus, 2017
—————————-
Sejak beberapa waktu yang lalu saya merasa sedih dan kecewa dengan beberapa kelompok yang terlalu mudah terbakar oleh isu. Dari kasus pengeroyokan supporter bola hingga pembakaran hidup-hidup seseorang yang diduga mencuri amplifier mushalla. Sebelumnya saya sudah mempertanyakan dimana rasa empati masyarakat, karena ketika ada kasus wanita yang secara tidak sadar bugil mengunjungin sebuah apotek di kawasan Jakarta…. tidak ada satu pun yang berusaha menutupi aurat wanita ini. Yang ada, sibuk memvideokan!

Video itu kemudian cukup “berguna” juga pada kasus tragis pembakaran hidup-hidup pria malang yang sepertinya hanya sekadar sedang berteduh di mushala. Namun, is that make sense ketika ada hal sebejat itu di depan mata… orang-orang yang mungkin merasa itu salah kemudian bungkam dan tidak berani mengambil tindakan.
Apakah masyarakat kita sudah “se-batu” itu hatinya?
Apakah masyarakat kita memang sudah segila dan seirasional itu?
Apakah masyarakat kita sudah membuang jauh-jauh hal yang bernama nurani dan empati?

Atau ada yang salah saja dengan, entahlah, pendidikan kita… atau cara berpikir kita… atau apalah…

“Ah, Mon… yang kayak begitu kan gak semuanya. Orang-orang yang pendidikannya kurang aja”

Saya berusaha untuk menerima logika itu. Ok! Pendidikan adalah kunci.
Namun, apakah pendidikan yang tinggi bisa membuat seseorang semakin “berhati”?
Saya kemudian tertawa miris sendiri.
Tidak… empati dan nurani rupanya lebih mahal dibandingkan beasiswa S3. Karena seseorang bisa saja meraih jenjang pendidikan tertinggi, namun masalah mereka punya hati nurani yang berkilau… oh itu belum tentu. That’s totally a different case.

Contoh?
Boleh….
Di Tokyo misalnya, seringkali terjadi kasus bunuh diri. Berdasarkan jurnal klimatologi, puncak “bunuh diri” (bunuh diri di sini konteksnya bisa sengaja dan tidak sengaja… yang tidak sengaja itu misalnya jatuh karena mabok dan kebanyakan minum alkohol) adalah ketika musim panas dan musim dingin. Musim dingin itu stressful kawan, dingin… dan waktu jalannya cepat karena hari pun cepat gelap, orang dengan banyak deadline akan tend to stress more di saat musim dingin. Sedangkan di musim panas, konon karena panas… jadi konsumsi bir dingin meningkat. Ada juga teori, ketika terlalu panas, kita dehidrasi, maka kita lebih mudah stress. Jadi mohon pahami, ada banyak faktor-faktor yang menyebabkan “bunuh diri” ini.

Maka jangan heran jika pada dua musim ini, kereta seringkali terlambat. Kemungkinannya ada gangguan teknis (yang agak jarang di Jepang), atau ada yang terjatuh di rel… yang bikin heboh itu jika pengumumannya karena “passenger injury”.

Disinilah cerita dimulai.
Entah mengapa di salah satu grup yang berisi mahasiswa Indonesia, ada saja yang iseng-iseng komentar.
“Aduh, kalo mau bunuh diri gak usah pas di jam sibuk kali”
“Wah kali ini bunuh dirinya di shinkansen, kreatif”
“Ih itu dendanya berapa ya?”
“Eh itu pasti badannya berceceran gitu ya”
“Eh katanya yang bunuh diri itu mahasiswa X loh”
dsb…

Apakah itu etis dan biasa saja?
Saya pikir tidak! Saya tahu, mungkin kita pun terkadang mengejar waktu dan terlalu lelah sehingga geram jika kereta terlambat. But if that’s true! Someone just died! Bukankah kematian itu sendiri sudah terlalu tragis sehingga rasa-rasanya tidak layik untuk diperbincangkan lebih jauh.
Kematian, apapun penyebabnya bukanlah sebuah joke. Jika pun itu kemudian menjadi joke, maka saya klasifikasikan itu menjadi joke picisan yang seharusnya keluar hanya dari manusia-manusia dengan mental dan nurani yang (maaf) picisan juga.

Saya, dengan teman-teman saya di kantor saya saat ini (dan saya hanya the only one Indonesian here)… terkadang kami pun berbincang masalah ini. Have we ever laugh about it? Tidak! Bahkan ketika membayangkan yang bunuh diri harus membayar denda saja sudah membuat kami miris. Itu hal yang penuh duka, kawan!

Seseorang yang melakukan bunuh diri saja, kondisinya sudah terlalu “apes” secara psikologi. I mean… orang dengan kondisi psikologis yang sehat tidak akan seputus asa itu untuk membunuh dirinya sendiri. Sampai situ saja, segala sesuatunya sudah begitu menyedihkan. Lalu, pongah sekali kita jika kemudian harus sampai komentar macam-macam mengenai kasus ini. Kenal dengan korbannya tidak, membantu juga tidak, hanya bisa komentar dan membuat joke murahan yang tidak lucu. Lalu bangga dengan kualitas diri yang seperti itu?

Dan dalam grup itu… diisi oleh orang-orang mahacerdas dengan pendidikan tinggi. Orang-orang yang kalau dibandingkan dengan saya sih, yaaaah apa sih seorang emon, hanya remah rawit di bungkus gorengan.

I am not smart, nor beautiful, nor popular, I am nothing… but at least I never make any death as my joke. I never make people sadness become my laugh.
Dan saya cukup bangga untuk itu.

Dan itu bisa menjadi bukti bahwa rupanya menjadi orang dengan empati rupanya butuh effort yang lebih tinggi dari sekadar menempuh pendidikan lanjut.

“Yah, mon… selow ae! gak bisa diajak bercanda banget sih loh”
Yuph! Karena saya punya level joke saya sendiri. Dan saya sudah cukup bahagia dengan itu.

Jika contoh itu terasa begitu berat, maka oh baiklah… bagaimana dengan contoh-contoh yang sederhana saja?
Jika kalian berada di bidang akademik seperti saya, maka kalian akan sering melihat orang yang bilang “Ih riset kamu susahnya apa sih, kan cuman tinggal gini gini gini gini”
atau “Ya riset ku sih lebih dahsyat ya, kalau kamu kan cuman persamaan linear aja tuh”
Yes! I would like to introduce you, narrow minded people!
Ketahuilah bahwa setiap bidang memiliki kesulitannya masing-masing. Riset di bidang teknologi dan science murni itu tidak mudah! Kalian harus paham betapa rumitnya kawan-kawan mafia (matematika, fisika, dan kimia) belum lagi kawan-kawan yang biologi… beberapa dari mereka pada akhirnya lulus karena bantuan doa dan dzikir kepada Allah SWT. Itu susaaaaah sekali!
Namun apa kalian pikir riset di bidang sosial itu mudah? Dealing with human itu SULIT! Kalian pikir membuat kuesioner itu mudah… itu pun butuh kesabaran dan ketelitian tingkat tinggi.
Kalian pikir ilmu pertanian itu kasta terendah ilmu pengetahuan? Kalian tidak tahu kan betapa peneliti di bidang ini harus bertapa dalam jangka waktu lama di lapang. “Pasien” mereka bahkan tidak bisa bicara… mereka harus menentukan faktor-faktor eksternal apa yang mempengaruhi objek penelitian mereka, dan alam itu tidak mudah diprediski.
Bahkan untuk berempati dengan riset orang yang berlain bidang saja kadang masih belum mampu…
untuk hal kecil dan remeh temeh saja masih goyah…
bagaimana berempati dengan hal yang besar…?

Jika itu yang terjadi dengan orang-orang dengan strata sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Maka jangan heran ketika tingkat “bully” di kalangan grassroots ya lebih gila lagi.
Ketika mantan dari awk*rin meninggal dunia saja, bullian dari netizen kepada mbak aw-aw ini luar biasa bertubi-tubinya, padahal… padahal… pada saat itu suasana masih penuh duka. Saya saja yang memang sejak dari awal tidak suka dengan mbak aw-aw ini, merasa geram dengan kelakuan netizen yang malah terlihat kurang ajar dan tidak ada empati.

Artis x keguguran, artis y meninggal dunia… eh! masih ada yang komentar alat pembesar payudara dan obat pelangsing di kolom komentar (walau mungkin itu pun bot tapi ya please lah yaaaa).

Kemudian “kegilaan-kegilaan” kecil ini yang kemudian dibiarkan… terus menjadi-jadi… lalu semakin parah.

Bukankah sudah saatnya kita mengoreksi diri?

Apa yang salah?
Pagi ini saya mencoba mendengarkan liputan CNN Indonesia mengenai mengapa masyarakat Indonesia banyak yang “bersumbu pendek”.
Ada beberapa poin yang kemudian saya catat…

  1. Karena masyarakat sudah terlanjur sangat marah dengan hal-hal yang besar (e.g korupsi dsb), namun tidak mampu ikut campur dan tidak berdaya. Akhirnya, dilampiaskan pada hal yang kecil-kecil.
  2. Lemahnya hukum yang mengatur kasus-kasus kekerasan “kroyokan”
  3. Secara sosiologis orang Indonesia itu mudah untuk “memaklumi”… misalnya saja jika ada orang yang dikenal bertamu tengah malam, masyarakat kita akan cenderung memaklumi hal tersebut padahal secara budaya itu jelas kurang sopan. Parahnya, kita pun mulai memaklumi hal-hal yang sebenarnya tidak etis.

Untuk lebih jelasnya silakan intip di sini:

Bagi saya, pasti ada hal yang lebih dari itu…. lebih….
Karena menurut saya lack of empaty itu sudah ada di berbagai level komunitas masyarakat.

Jika generasi saya seburuk ini, jika komunitas di era saya sebobrok ini, maka mari kita akhirnya cukup hingga sampai sini saja.
Jika kalian memiliki anggota keluarga yang lebih muda, adik, anak, keponakan, maka didik mereka dengan tegas. Jelaskan yang baik itu baik, yang buruk itu buruk! Marahlah jika mereka melakukan hal yang buruk, let them cry but cry for good.

Dan kita, yuk… mari yuk jadi lebih baik lagi. Jika kita tidak bisa membantu orang lain maka setidaknya jangan merepotkan orang lain. Jika kita tidak bisa membantu orang lain, yuk mari berusaha put ourself in someone else’s shoes.
Karena, setiap orang punya pergulatan dan pertarungan batin dan psikis mereka masing-masing. Semua sedang sama-sama berjuang, mari kita saling lempar senyum dan siap mendengarkan atau mendukung satu sama lain. Jika tidak mampu, diam mungkin lebih mulia…

Di muka bumi ini, sudah banyak orang yang berotak… mungkin dunia butuh lebih banyak orang yang memiliki nurani. Namun, betapa bangganya Tuhan yang menciptakan kita ketika manusia berusaha untuk berotak dan bernurani. Membuktikan bahwa keputusan Tuhan menjadikan manusia menjadi khalifah di muka bumi itu tidaklah salah.

Surat Terbuka untuk Dek Asa Firda Inayah (Afi)


—————————–

Prolog

Pada akhirnya saya terpaksa menulis surat terbuka juga. 

Tidak! Sejak awal saya katakan saya tidak akan membully anak yang baru lulus SMA seperti Afi. Namun kakak yang baik pun kadang harus memarahi adiknya, dengan menegur, dengan sedikit nada tinggi. Saya prihatin dengan Afi karena saya punya adik yang seusia dia. 

Saya menulis ini karena saya sudah ada di titik dimana saya menempuh jenjang pendidikan tertinggi, dimana menulis menjadi hal yang begitu rumit, dimana plagiarisme menjadi tidak ada celah sedikit pun. Untuk Afi, adik saya, dan adik-adik lainnya, semoga kalian akan menyadari apa makna berjuang dan menempa diri yang sesungguhnya… dan betapa pentingnya menerima kritik. 

——————————————-

Dear, Afi

Andai kamu membaca postingan saya beberapa minggu yang lalu mengenai betapa saya berharap kamu bisa menjadi lebih baik dan menyadari kesalahan kamu begitu besar. Saya prihatin dengan aneka bully yang saya anggap terlalu keras untuk kamu. Saya tahu kamu salah! Namun remaja seringkali melakukan kesalahan dan jika kamu ingin menjadi remaja yang baik, ingin menjadi orang dewasa yang baik, maka kamu akan belajar memperbaiki kesalahan yang kamu perbuat. 

Mbak Rosiana Silalahi pun mungkin demikian hingga kamu diundang di acara TV. 

Mas Addie MS pun demikian hingga kamu di sebut dalam cuitannya

Bahkan Pak Jokowi pun hingga mengundang kamu ke Istana… padahal di saat yang sama adik kita di Aceh menemukan cara bagaimana menghasilkan listrik dari kedondong. Penelitian yang bagi  beberapa “kakak-kakaknya” dinilai cemen dan tidak applicable, tapi that’s a genius step for a young scientist. Tapi Pak Jokowi mengundang kamu, Fi! Maka logikanya kamu bisa mewakili anak-anak dan remaja berprestasi di Indonesia saat itu. 

Kamu harusnya bahagia bahwa di balik orang-orang yang mencaci kamu, beberapa warga Indonesia menyimpan harapan kepada kamu. Kami… bangga dengan keberanian kamu… bangga dengan anak daerah yang mulai mau buka suara… kami memaklumi dan memaafkan kesalahan kamu pada saat itu. Pikirkan betapa sayangnya kami pada kamu, Fi? Jika kamu di dunia Barat, cemoohan yang kamu dapat mungkin lebih tajam lagi dan tak ada maaf untuk plagiarisme dalam bentuk apapun. 

Sayangnya, rupanya kamu yang tidak sayang pada kami semua. 

Kamu yang kemudian kian menjadi dan mengubur harapan kami-kami yang tadinya berusaha memahami usaha kamu. 

Kamu terus melakukan plagiarisme… 

terus mencatut karya-karya orang lain dan menggunakan nama kamu seakan-akan itu murni hasil tulisan kamu. 

Bahkan terakhir, video kamu yang rupanya tiru habis perkataan Catherine Olek. Catherine lalu berusaha membantu kamu, tapi argh kamu kemudian mengecewakannya lagi. Padahal mbak Catherine ini foto model panas, Fi… pemikiran dia berkarakter sih, tapi ya beberapa pilihan katanya kan jadi kurang sreg dengan budaya ketimuran kita. Dan ya ampun! Itu pun kamu tiru habis. 

Kamu lalu pacaran, dan sedikit demi sedikit memperlihatkan public display affection dengan pacar kamu. Aduh makin gemas rasanya! 

Apakah itu contoh yang baik untuk remaja seusia kamu, Fi? No! A big no! 

Baiklah jika kamu tidak peduli dengan kami bangsa Indonesia, jika kamu tidak sayang dengan orang orang yang diam-diam mulai mendoakan kamu. Jika kamu tidak peduli dengan perkembangan mental remaja Indonesia yang sudah kenal mbak awka**n eh terus kenal kamu yang sayangnya belum membuktikan apa prestasi terbesar kamu untuk negeri ini. Ok! Jikapun demikian kamu harusnya sayang dengan orang tua kamu, bukan? 

Maaf saya membawa-bawa tentang keluarga kamu, namun kamu tahu persis kondisi ekonomi keluarga kamu tidak begitu baik. Ibu kamu pun tidak terlalu sehat bukan? Tapi mereka membesarkan kamu dengan luar biasa, menyekolahkan kamu, dan semunya inshaallah berkah. Kamu tahu apa harapan mereka? Agar kamu lebih baik dari mereka. 

Saya yakin mereka tidak berharap kamu sampai terkenal luar biasa, mereka berharap kamu sukses dengan karya dan usaha kamu, mereka berharap kamu terus belajar lalu menjadi orang yang baik, benar, dan semoga lebih berhasil dari mereka. 

Dan jika kamu meraih “prestasi” dengan memakai hasil karya orang lain… dengan jerih payah orang lain yang kamu aku sebagai jerih payah kamu sendiri, maka kamu tahu siapa yang paling kamu khianati dan sakiti? Yes! Your parent. Congratulation if that’s what you want in your life. Tapi ah masa’ kamu gak punya nurani sampai ke situ? 

Kamu depresi? Kamu kena bully? Saya pun pernah! Saya yang dulu mungkin berada di posisi yang lebih menyedihkan dari kamu, Fi. Ayah saya sudah meninggal dunia sejak saya SMP, mama saya sakit stroke dan diabetes. Apalagi? Bully? Saya sudah pernah merasa verbal bullying dari dibilang gendut, jelek, hingga bodoh. Tapi apa kemudian saya mencatut karya orang lain agar saya diakui? Apa saya bertindak playing victim agar orang iba kepada saya? Tidak, Fi….Saya ingin membuat orang tua saya bangga maka saya belajar giat, saya terima semua kritik dari guru dan teman saya. I cried a lot! Tapi kemudian bangun lagi, dan berjuang lebih keras lagi. Saya ingin menjadi contoh untuk adik saya. Saya ingin meraih impian saya… dan saya paham itu semua butuh proses yang sangat lama. Butuh jatuh berkali-kali, butuh gagal berkali kali, butuh sakit hati berkali-kali. Tapi itu semua menempa saya menjadi saya hari ini, dan saya merasa damai dengan diri saya sendiri karena saya merasa “Wow, I did it! Pasti bisa melanjutkan segala hal dengan lebih baik lagi.” Itu semua yang melatih saya untuk bangkit setiap kali jatuh, menjadi pribadi yang tidak lembek ketika menghadapi sesuatu. Dan menjadi peneliti yang bukan hanya kritis, namun juga bermoral dan berkarakter. 

Dan itu membuat saya merasa nyaman dengan kehidupan saya saat ini. Saya tidak perlu memuaskan persepsi orang lain, saya hanya butuh melakukan sesuatu yang benar… dan baik. 

Maka Afi, mari kita sudahi permainan ini. 

Belum terlambat untuk memperbaiki diri, lalu menekan tombol “reset”. Minta maaflah dengan tulus, setulus-tulusnya, kepada seluruh warga Indonesia, akui seluruh kesalahan yang kamu perbuat. Beberapa akan mencaci kamu, tapi setidaknya kamu sudah bertindak ksatria dengan meminta maaf. Dunia sesaat akan membenci kamu, tapi bukankah kamu punya orang tua dan keluarga yang kamu banggakan? Mereka akan tetap bangga pada kamu, Fi. Keluarga akan selalu bersama kamu. 

Minta maaflah kepada orang-orang yang sudah kamu catut karyanya, akui bahwa kamu salah (and I am sure they will forgive you), tapi mereka pun menanti kesadaran kamu untuk secara fair mengakui kesalahan. 

Lalu jika kamu depresi dengan caci maki yang ada, tutup saja media sosial kamu. Jangan buka hingga kondisi mereda, fokus pada perbaikan diri kamu, perbaikan kualitas berpikir, perbaikan kualitas menulis. 

Kami akan memaafkan kamu, Fi… jika dan hanya jika kamu mau secara lapang dada mengakui kesalahan kamu. Dan percayalah kebencian kepada kamu akan meningkat jika kamu tidak kunjung menyadari dan mengakui kesalahan kamu. 

Dan… Saya gak terlalu peduli sih orang mau pacaran atau gak atau whatever. Jika “mamas” kamu orang yang benar2 baik, dia akan menjadi orang yang mensupport kamu bahkan ketika kamu tidak terkenal lagi sekalipun. Jika rupanya Mamasnya putus kontak dan menjauh, well… setidaknya kamu akan tahu mencari teman yang benar-benar baik dan tulus itu susah kan. Dan rasa-rasanya kami, warga Indonesia, tidak butuh kisah cinta kamu dengan Mamas kamu, itu sangat tidak penting… jadi kami pun tidak butuh pamer lemparan panggilan sayang yang kalian sebar di sosial media. Dan titip salam loh ke Mamas kamu, saya mengecek tulisan dia tentang anti pacaran dsb, lalu kemudian dia melanggarnya sendiri, kami tidak usil dengan kalian mau pacaran atau tidak… tapi inkonsistensi yang terjadi membuat kami super ilfil. 

Meminta maaf lah, Afi dengan segala kerendahan hati. 

Dan pergilah sejenak dari dunia maya, karena mungkin kamu perlu belajar lebih banyak hal dari dunia nyata. 

Kamu bisa lebih baik dan bijaksana, kamu bisa! Namun apa kamu mau? Kami menanti jawaban itu. 

Jangan-Jangan kita menciptakan phobia baru: Non-Moslem-phobia


CAUTION: Beberapa dari kalian mungkin tidak setuju dengan saya, but this is just my personal opinion. So, you no need to read nor agree for this one.

Sering gak sih kalian gabung komunitas-komunitas akhwat atau ikhwan atau apapun lah. Lalu ujung-ujungnya selalu ada cerita-cerita parno seperti
“Ya ampun, iya negara X tuh non-muslim semua sih. Mereka itu jahat sama Muslim”
“Ih, gak mau ke sana deh, negara kafir.”
“Oh mainly orang di negara itu kan Jewish, ya ampun pasti picik”

Jika kalian belum pernah, percayalah saya sudah berpengalaman perihal ini. Bukan hanya Indonesian loh, forum internasional pun begitu. Waaah, jangan kira semua orang itu “open minded”, kagaaaaak.

Jadi ceritanya, saya punya beberapa sahabat pena… dan ada yang menggagas “Eh bikin komunitas sahabat pena yang Muslimah yuk”, saya pikir well… why not. Saya pikir kami akan membicarakan hal-hal berfaedah semacam kalau puasa di UK tuh gimana sih? di Afrika gimana sih? In fact? Not really….
Saya mulai malas ketika mereka cerita tentang pengeboman yang terjadi di beberapa tempat di Eropa, dan mereka jadi parno dan merasa semua orang yang non-Muslim itu staring at them and pointed their nose. Well… mungkin, tapi saya pikir ya yang baik toh masih banyak. Kok gitu aja pusing. Hidup suudzan itu capek loh, kawan.

Puncaknya saya akhirnya “meledak” juga, karena saya kurang enak badan… banyak deadline, dan baca hal-hal kurang mutu kok jadi emosi ya. Beberapa orang dari grup tersebut berangkat jalan-jalan ke Jepang. Terus mereka mulai mengoceh “Ih kok kayaknya orang-orang ngeliatin karena saya pakai hijab ya?”, “Ih repot banget sih harus kemana-mana bawa botol air buat wudhu”, “Ih iya, waktu kesana anak kecil juga suka tanya-tanya kenapa saya pake hijab”

my question is, “THEN, SO WHAT?”

You couldn’t deal with that? Then, never go abroad! As simple as that.
Dan saya menyayangkan keparnoan mereka (dan banyak orang yang serupa), really?… really?… really they staring at you because you use hijab? really? because you are Moslem? So, what do you want… people close their eyes when looking at you?
Saya pikir untuk kasus di Jepang,  Japanese merasa grogi aja ketemu foreigners karena they simply can’t speak english well! Mereka bakal liatin kalian karena mikir “Aduuuh mampir ke sini gak ya? Aduuuuh nanti harus ngomong apa? Mereka ngerti nihongo gak ya?”

Lalu apa yang salah dengan anak kecil yang kepo? Saya selalu senang ketika ada anak kecil yang bertanya pada saya. Kenapa saya memakai hijab? I will tell them kalau di Islam memang diwajibkan. Kalau lanjut lagi kenapa, yaaaa apa susahnya sih ngejelasin ini semacam identitas kalau kita ini muslim. Dan mau tau gak yang gila itu apa? Hal-hal seperti ini sudah dijabarkan di dalam Quran dengan lugas dan baik. Masa’ harus ribet mikir mau jawab apa… dan mikir “Wah ini nanya pasti karena punya bad intention nih.” Then if you can’t explain this kind of thing kepada anak kecil dengan cara yang baik dan sederhana dan mudah dimengerti… wow! welcome to the club, mungkin kita sama-sama cuman baca Quran aja tapi gak ngerti artinya.

Kalau ditanya, “Panas dong kalau pas summer?” saya sih jawab aja “Iya…” apa susahnya jujur. Apa susahnya bilang “Tapi rule of the game-nya begini, jadi mau gimana”

Dan apa lagi? Masih ngeluh harus bawa botol aer kemana-mana buat wudhu, ya ampun… first, shalat itu KEWAJIBAN, second, kita harus menyadari kita ini MINORITAS! and Third, lo bisa tayamum kalau rupanya Jepang adalah daerah gurun tanpa air. Bisa shalat di taman dengan cuek aja udah subhanallah loh. Kalau kalian ke Paris, polisinya tuh bawa senjata semua, lo mau shalat di taman juga jiper. Jadi, bagi saya sih Alhamdulillah banget lah di Jepang, cukup nikmat untuk beribadah.

Sorry, guys! You might be really mad on me, blacklisted me from your “friend-to-be” list, but let me tell you: Bagaimana kita bisa berdakwah dengan teman-teman non-muslim kita jika kita sendiri REMPONG! Jika kita bahkan belum selesai dengan keresahan-keresahan yang kita buat sendiri? Ya! Saya tekankan di sini…. keresahan yang kita buat sendiri!

Selalu Ada Tempat di Bumi Allah untuk kita Muslim dan Non-Muslim
Merujuk kepada perjalanan saya ke Paris awal bulan ini… it was great. Hal paling menyebalkan adalah masalah copet dan karena banyak migran dan turis jadi kotanya agak kotor. Are they hate, Moslem? Ah kayaknya gak segitunya deh.

Beberapa yang tua memang agak “parno” dengan keberadaan Muslim, terutama yang berasal dari kawasan mediteran. Karena beberapa dari mereka migran, yang miskin, dan jadi homeless di Paris… when people get hungry they will get evil, dan beberapa juga ada yang menjadi pencopet dsb. Tapi sedengar saya sih kayaknya itu hanya terjadi pada generasi yang lebih tua dan lebih kolot.

I welcomed alot in Paris. Saya bahkan sering dapat croissant gratis dan beberapa kali dapat bonus di toko hahahahhaa (ini kok agaknya saya aja yang doyan makan dan belanja). But they really nice! Di tempat conference, saya bahkan banyak mendapat bantuan dari banyak peneliti dan berbagai negara. Mereka sangat helpful. No problem at all! At all!!!! Saya melihat ada masa depan yang cerah untuk toleransi antar suku, agama, dan ras kedepannya… at least from what I saw in Paris. Kini masalahnya, apa kita akan mengajarkan anak-cucu kita toleransi hingga ke level itu?

Jangan-jangan itu masih lama…..!

Di Paris, saya sengaja datang ke Notre-Dame Chatedral di hari minggu pagi…. duduk di pojokan dengar gimana sih misa mereka. Dan rupanya cantik banget, dengan gegap gempita saya hubungi teman-teman saya yang Nasrani dan bilang “Lo harus ke sini, gw gak ngerti sih senandung misa-nya apa artinya, but it might be something good… dan baguuuuus bgt!” dan mereka seneng-seneng aja… “Thank you, Mon” dan saya bahkan bilang hal ini ke teman-teman baru saya di Paris dan mereka seneng banget, “Really, you come there? Thank you so much”
Ketika saya iseng lempar ini ke teman saya yang Muslim, dan lupa mereka bukan sahabat dekat saya yang pasti tidak akan membully saya hanya untuk masalah ini (mereka sudah tahu betul I love everything related to art), saya malah diterkam komentar “Ya ampun, Mon… istigfar… semoga dijauhkan dari syirik” kan jadi ngeri. Bagaimana? bagaimana kalian bisa menasehati saya yang rebell ini jika kalian “mengerikan”. How? tell me?

Dan btw, there always a prayer space! Dan itu berarti… sebenarnya siapapun tidak dilarang beribadah, maupun berdoa. Permasalahan sebenarnya adalah, how we dealing with so many different situation, culture, knowledge.

Masalahnya apa kita mau berbagi? Apa kita mau toleran? Apa kita bisa berkompromi dengan perbedaan? Dengan ketidaktahuan orang lain? Dengan diri kita sendiri?

Memahami “Pencilan Minor”
Kalau kita belajar statistik, maka kita akan belajar ada sesuatu bernama “pencilan minor”, yaaaa di terpencil aja gitu beda dari trend yang terdistribusi normal. Dan itulah hidup! Yang sebel dan parno dengan Islam itu ada… mungkin banyak… tapi kawan yang baik itu LEBIH BANYAK!

Saya berbicara dengan teman saya dari Brazil, dan dia bilang “I was horrified with Moslem, really! And that’s because the media always… yeah! You know the news are. But then I started to meet Moslem in Indonesia and everyone are very friendly. Then I meet some Moslem in another countries, they also very nice. Then I realize Moslem are awesome and teach about peace. But, yeah… sometimes there also some Moslem who don’t even want to try to talk with us.”
See the problem? Beberapa hanya masalah lack of communication aja.

Kembali ke masalah pencilan minor lagi. Jika kalian benar dalam “mengaji” statistik, kalian akan paham bahwa yang namanya pencilan minor yaaaa abaikan saja. Gunakan populasi data yang terdistribusi normal. Then yes, no matter what… no matter where… orang yang bueeeeennnnciiiiii sama kalian dan juga Islam itu pasti ada, namun mungkin jumlah manusia yang bisa berpikir NORMAL lebih banyak daripada yang jahat-jahat itu.

Kita harus melawan para manusia-manusia jahat yang melabrak kebebasan kita beragama. Tapi percaya deh, kita tidak bisa sendiri. Dan jangan-jangan kita membutuhkan bantuan teman-teman non-Muslim kita untuk perjuangan besar semacam ini.

Kalau capek negative thinking dengan semua non-muslim di sekitat kita… repot menunjuk hidung orang lain dengan cap kafir dsb….
Maka, selamat deh… kayaknya perdamaian duni baru dicapai….mmmm… bentar itung dulu…. aha! Setelah ladang gandung dipenuhi coklat dan jadi C*co Crun*h, dan itu kayaknya setelah hari kiamat sih.

Ya, dibandingkan kalian mungkin ilmu agama saya mah remah rengginang di kaleng Kh*ng G*an…
I love music
I love art
I do drawing…
I do singing…
I have no problem with people who sing “despacito”, because they even can’t spell the lyric well -.-
I upload my selfie on social media…
I love cats, I scare of dogs… but I feel dogs are cute and I feel jealous with “dog-people”
I also think pig are so cute, especially Japan pig…
I also love to have deep conversation with my non-Moslem friend.

Dan saya tahu beberapa dari kalian sebel banget dengan those facts.
Maka jika saya boleh meminta satu permintaan terakhir, maka hal itu adalah: Please stop rempong, be positive!
Masa buat open minded dikit aja susah sih? dikit loh padahal… gak minta banyak-banyak. heu!