If I never come back, the reason is….
A life learner....Books, movies, and glorious foods lover. Have a big dreams... but wanna \\\"bigger\\\" than her dreams. A life learner... Love books, glorious foods, and great movies. Proud to be a woman, daughter, sister, and best friend. A dreamer! I am the one who want to be bigger than my dreams. Future researcher and writer.
Jika saya harus memilih Indonesia dengan seluruh hidup saya, saya akan memilih Indonesia. I love Indonesia, the art, the culture, the beauty, everything…
Namun, jika kemudian saya tidak kembali ke tanah air, itu bukan berarti saya tidak cinta dengan negeri ini. Tapi lebih karena saya terlalu kecewa dengan beberapa hal. Saya tidak marah kepada Indonesia, again, I really love Indonesia. Walau banyak hal “meh” yang mesti diperbaiki, but who will able to forget the beauty of Indonesia? Namun, selalu ada yang membuat saya geram. Yang membuat saya terlalu marah sebagai seseorang yang terlalu fanatik mencintai negeri saya sendiri. And hei! Indonesian people, here… here… I told you why! Dan saya percaya ada banyak orang-orang yang sama seperti saya… mungkin orang-orang dengan kualitas intelektual yang lebih baik dibandingkan saya, dan jika mereka sepemikiran dengan saya, then Boom! You’ll lose tones of awesome people, Indonesia. You will!
Politik di Institusi yang seharusnya netral: A big no!
Saya percaya, bagi beberapa orang setelah membaca tulisan ini akan bilang “Marissa, you will enter the hell in no time, in Jahannam maybe” oh good, I don’t care! But I need to say this, to show you that there always a clear border between religion, education, and f***in’ politics.
Saya mendengar selentingan bahwa di salah satu kampus di Indonesia, terdapat soal ujian agama “Sebagai Muslim kita harus memilih pemimpin yang?” konon katanya jika Anda memilih “non-muslim” maka nilai Anda langsung akan drop dan terancam tidak lulus. Saya pikir ini hanya hoax. Lagipula, masa’ sih? Jadi saya pikir, yo wis lah… gosip.
Namun, lama kelamaan saya jengah juga ketika beberapa dosen yang luar biasa saya yakini intelektualitasnya, saya hormati luar biasa, saya kagumi dengan sepenuh hati, mulai berkoar masalah politik. Yang lebih saya sayangkan “Ini bukan politik, ini masalah religius, masalah agama, masalah membela Tuhan” Tuhan di posisi yang Mahaagung, maka Dia tidak perlu di bela, kita yang butuh dilindungi Tuhan, salah satunya dilindungi dari pemikiran yang sempit.
Saya kecewa karena sebagai muslim saya merasa Islam itu begitu mulia, maka saya tidak ingin masalah agama dioplos dengan politik. Saya, sebagai pecinta ilmu pengetahuan meyakini bahwa ilmu itu susah! Perlu hati yang tenang, perlu pemikiran yang jernih, ketika kemudian itu di”cemari” dengan something little things called politic… which is, I should tell you, not even your business! Except you are a political student of course…
then how you can absorb all of those precious knowledge? How? tell me how? Belajar itu tidak semudah menghapal judul FTV! Butuh konsentrasi luar biasa untuk itu. Bismillah dan sekadar shalat komplit 5 waktu plus sunnah tidak cukup untuk meyakinkan Allah untuk menjadikan kalian cerdas dan pintar dan berilmu. Nope! you need a constant commitment to keep studying. To stay away from every unimportant stuff in your life.
Pada buku Sanshiro, Natsume Soseki menjelaskan mengenai kehidupan mahasiswa di era restorasi meiji. Di bawah kondisi politik yang kental, para mahasiswa tidak serta merta concern pada kondisi perpolitikan mereka, begitu pula para professor mereka. Mereka lebih concern dalam menyerap seluruh pengetahuan barat dan kemudian menkonversi itu semua kedalam konsep yang lebih “Japaniyah.” Karena itu “jihad” para akademisi! Dan hingga hari ini, universitas adalah tempat bersih dari politik. Professor here doing research, updating their publication, thinking about gaining a nobel prize after their retire. Mahasiswa di sini, jika perlu menginap seharian di lab untuk menyelesaikan penelitan mereka. Tidak ada poster selain yang terkait dengan hal-hal ilmiah atau ehmmm free concert. Laah, kita apa? Politik juga gitu-gitu aja, ekonomi segitu-segitu aja, IPTEK yaaaa tidak ada yang signifikan banget.
Saya sampai tertawa getir ketika ada sebuah pertanyaan, “Eh, jadi kalau mau jadi petinggi kampus X salah satu syaratnya harus jadi simpatisan partai ABC ya?” can you believe that? Itu hal yang maha memalukan ketika ada pertanyaan seperti itu menodai suatu institusi pendidikan.
Listen to me, siapa pun presiden Indonesia, siapapun gubernur Jawa Barat, siapapun gubernur Jakarta, siapapun penjaga makam mbah priok, siapapun itu… Indonesia gak akan berubah jika perdebatan kita sempit dan hanya sekitar itu-itu aja. Ya! Bukankah Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah dirinya sendiri. KAUM, kaum itu a big group of people…. bukan perseorangan. Jadi saya merasa kok konyol sih harus ribut-ribut dan heboh masalah pilkada, dsb?
Ketika negara-negara G20 sudah berusaha untuk membuat 0 emission growth in 2030, kita masih repot mikir pilkada, KPU, bu mega, dan segala tetek bengek yang tidak jelas faedahnya.
So, please stop!
Masjid pun mulai berpolitik….
Sahabat saya pun ada yang melapor bahwa ceramah di sekitar apartementnya pun tidak menyejukan lagi. Ya Allah, untung yang Allah itu baik… dan untungnya Allah mendelegasikan beberapa tugas kepada Malaikat yang tidak punya hawa nafsu. Jika Allah mendelegasikan tugas mengatur alam semesta kepada Marissa Malahayati misalnya, “Wah… apa ini? Loh kok sekarang parpol jadi kualifikasi masuk surga, tenggelamkan!” maka niscaya planet bumi akan lebih dipenuhi kucing dibandingkan manusia.
Maka bersyukur deh Allah tuh baaaaaaiiiiiiiiikkkkk setengah mati…
Dan saya percaya teman-teman saya yang beragama lain pun sepakat “Iya sih, kayaknya kualifikasi dekat dengan Tuhan itu bukan pandangan politik deh”
Sepakat kan?
Then stop… dunia itu semakin complicated, ketika saya ke masjid saya ingin mendengar suara adzan, Quran yang mendayu, nasehat yang membangun… kalau bisa yang membuat saya menjadi lebih “adem” dan “bijak” setelah saya melangkahkan kaki keluar masjid.
Saya rasa ulama juga harus lebih bijaksana… tidak perlu terlalu “nyeleb” lah.
Saya sangat menghargai ulama, kyai, dsb. Tapi saya merasa kok jadi off-site ya membuat mereka menjadi mata tombak untuk politik?
Logika saya tuh pemuka agama itu justru harus jadi pihak yang paling netral sehingga bisa jadi tempat kita meminta pendapat tanpa perlu ada sorot kamera.
Something like that…
Sedikit tentang pilkada…
Pertemanan di negeri kita kita diuji oleh harta, tahta, pilkada.
Okay, kalian mau dengar pendapat saya?
Listen, both of the candidate are too crazy with the “position”!
Dua-duanya punya kelemahan dan kelebihan.
Yang satu… mmm…. while I environmental economist, saya merasa reklamasi itu somehow kurang tepat. Selalu ada cara yang lebih bijaksana untuk memperbaiki alam dan udah laaah pembangunan jangan diembat semua sama Jakarta.
Yang satu, DP rumah 0% saja konsepnya tidak jelas… menghalalkan segala cara untuk meraih simpati warga. Aduh apa banget deh.
So yeah, are you blind guys? Both are not perfect, maybe asholes.
But now you need to choose who is better between those candidates.
you need to choose an asholes you can work with better.
kriterianya? Yaaa itu masing-masing pribadi kalian yang menentukan.
Kalau kamu punya alergi dengan durian kamu tidak bisa memaksa semua orang untuk tidak makan durian.
Yo wis lah, kalau menurut kamu keyakinan, suku, dsb itu kriteria utama, yaaa udah pilih yang sesuai… tidak perlu nyinyir dengan yang tidak mempersoalkan itu.
kan bisa baik-baik “Mmm, bro gw berbeda pendapat deh kayaknya. Kayaknya X lebih ok”
“Iya ya, Bro? Waaah udah masalah hati sih jadi susah ahhahahha”
Lalu marilah nikmati es kelapa muda bersama-sama… jangan lupa dengan mie ayam pangsit. Abang tukang es dan mie ayam pun kecipratan rezeki. Itu lebih signifikan efeknya.
Hidup pun lebih mudah dan sepertinya lebih damai.
Tidak hanya untuk pilkada, tapi untuk next political leap in our country.
In short….
I want Indonesia back to the previous humble country with a sensible humor.
Dan jujur ketika saya di sini, ngobrol dengan teman-teman saya di kantor, saya lelah menjawab “Marissa-san, what’s wrong with your country?”
And I have no answer for that.
Saya pernah membaca “Banyak orang yang pintar, bertalenta, dan akademisi kini enggan berurusan dengan politik…”
Jika sekolah-sekolah
universitas
bahkan masjid-masjid sudah dipenuhi politik
maka masihkah ada tempat untuk mereka si orang yang pintar, bertalenta, dan para akademisi tersebut di tanah air yang pastinya sangat mereka cintai.
Padahal hanya ada satu kesalahan mereka, enggan berurusan dengan hal-hal yang bukan kemampuan dan keahlian mereka.
Saya meyakini… pasti di hati mereka terkesiap:
If I never come back, that’s not because I am not love this country.
But maybe because there is no place for me…
Indonesian, seriously… fix your self!