Sepenggal kecemasan: Festival Buku dan Rendahnya Minat Baca Masyarakat


Oh hai! Saya kembali, tadinya mau bergunjing banyak mengenai sabab musabab hilangnya tulisan di blog ini selama nyaris 2 tahun! Serta kepulangan saya kembali ke tanah air. Tapi nanti saja… ada hal yang lebih krusial, dan itu adalah tentang: Buku!

Langsung saja, jadi kemarin saya mengunjungi IIBF, atau Indonesia International Book Fair. Terakhir kali saya ke book fair di Indonesia hmmm… sepertinya 10 tahun lalu, sebelum saya berangkat ke Jepang. Seingat saya, book fair itu begitu menyenangkan. Walau banyak buku tua, tapi menyambangi book fair tetaplah sebuah oase. Saya ingat, terakhir kali saya ke book fair adalah setelah saya selesai tes TOEFL untuk syarat beasiswa. Mendung, hujan, dan ketika tes…performa busuk. Maka munculah ide jalan dulu ke book fair untuk menghibur hati yang gundah.

Kala itu, kegundahan terobati. Kala itu loh ya.

Saat ini, 10 tahun kemudian.

Takdir membawa saya berkantor tidak jauh dari kawasan Gelora Bung Karno dan hanya butuh 15 menit berjalan untuk sampai ke JCC, tempat book fair biasanya diadakan. Ekspektasi saya sungguh tinggi, “Setelah 10 tahun, pasti kualitas buku makin ketje cetar membahana dong.”
Melawan polusi, radikal bebas, terik matahari, serta beban ekonomi kelas menengah, dengan gagah berani, saya melangkah ke JCC.

Dalam hati, tekad sudah membuncah “Buku! Tunggu aku… aku akan hamburkan hartaku yang tidak seberapa itu untukmu.”

Terlihatlah banner

IMG_1422

“Hmmm…kok kurang meyakinkan ya ?” ujar saya dalam hati. Tapi abaikan saja, karena memang selain bibir, hati dan pikiran saya memang kejam. Oke… positif, tetap berapi-api, Mon! Tetap berapi-api.

Masuk…
Keliling 2 rit…
Balik lagi…
Berputar… berputar…
dan

ZONK!

Oke! Ini murni memang Emon kejam. I am being mean here! Tapi kalau kalian tanya saya, “Worth gak sih ke international book fair?” Jawaban saya singkat, jelas, padat : Gak.
Goler-goler aja deh di rumah, panas… dan inget, Jabodetabek lagi banyak hujan angin tiap sore. Boboks udah paling benar. Jadikan istirahat sebagai salah satu agenda penting dalam hidup Anda.

Walau kejam, tapi saya punya argumentasi. Hal pertama adalah: SEPI! KOSHONG SODARA-SODARA!

IMG_1424

Ok! Kalian bisa menangkis argumentasi saya “Lah Mon, lo dateng hari kerja, siang-siang, maaph-maaph nih, Mon… ya cuman lo aja.”
Dan saya menerima argumentasi itu. Baiklah, kalian benar… Anda benar netijen!
Yang banyak datang adalah anak SMA, yang sepertinya berkunjung atas inisiasi dan undangan penerbit erlangga. Di booth mereka, mereka ada beberapa workshop untuk anak-anak sekolah dan cukup seru. Ada juga seminar mengenai hak cipta kepenulisan dan penerbitan, yang menurut saya sih pasti penting untuk para penulis. Itupun masih bisa dikritisi lagi oleh tante Emon yang hobi berceloteh ini, ruangan seminarnya seuprit banget di pojokan.

Tapi ya sudahlah… itu masih bisa ditolerir. Tapi yang ini, kalian pasti gak bisa mengelak.
Acara ini garing, kriuk-kriuk, karena minimnya variasi pada buku yang tersedia.
Setidaknya, buat saya, tidak banyak buku yang menarik di event yang dengan jelas menuliskan “International” pada judul acaranya.
Yang paling fatal, saya tidak merasakan kesan “internasional” pada acara ini.

Oke, ada perpustakaan Cina, perusahaan percetakan korea, dan dua perusahaan dari Timur Tengah yang jujur aja saya gak paham mereka tuh perusahaan apa karena semua judul di boothnya pake bahasa Arab. Tapi so what ???? Mereka tidak menjual buku, buku yang mereka pajang juga… ya permisi… saya gak bisa baca.

Jadi, ini event, internasionalnya itu sebelah mana ??? bukan karena ada booth pake bahasa wallahu’alam terus acara itu dikategorikan internasional. Saya berekspektasi ada sebuah booth toko buku yang menyajikan buku terbitan dari berbagai negara, dan please pake bahasa inggris.

Mungkin ada ya, entah di booth mana.

Tapi jiwa saya sudah geram dan kadung kecewa. Apalagi cuaca panas, lembab, dan saya lelah sekali karena dalam minggu ini dihajar rapat beruntun. Ekspektasi sudah besar, eh… koleksi buku sih, ini bukan mau sombong ya… sama perpustakaan mini saya di rumah juga lebih menarik perpustakaan di rumah saya sih.

Udahlah, bilang aja Indonesian Book Fair, gak usah sok-sok bilang “internasional”.

Kegeraman saya bertambah lagi karena saya tidak bisa menemukan buku-buku dengan topik yang saya suka: Sains populer.
Ini juga bukan jumawa, kalian yang kenal saya pasti tahu betapa saya ini penuh amarah dan julid. Jadi kalau baca buku fiksi, apalagi romance, chicklit, teenlit, sudah pasti baca 10 menit, ngomel-ngomel 10 hari. Hanya buku non-fiksi yang bisa membuat saya diam karena saya harus berpikir dan kadang bulak-balik bukunya dan bahkan ambil sticky notes buat catetan.
Busuknya lagi, saya pernah juga jadi ilustrator sewaktu masih muda belia dan saya punya skill yang amat terkutuk bernama : my visual long term memory is so excellent. Jadi, saya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang judge book from its cover. Saya sudah sampai pada taraf “Hah, ini kok illustrator covernya niru gambar luna dan artemis di covernya, yaaah… illustratornya aja gak kreatif, apalagi penulisnya.”

Gila gak!? Itu kan pribadi yang menyebalkan. Tapi memang saya semudah itu terdistraksi.
Tapi… jika kalian mau sedikit mengikuti sudut pandang dan perspektif saya, kalian coba… coba ke toko buku di Indonesia, sadar gak sih kalau untuk buku fiksi aja, tema dan bahkan desain covernya ya gitu-gitu aja.

Tidak bervariasi.

Teenlit, checklit, dkk-nya berkisar dari mas-mas, mbak-mbak, long distance, atau kantor beda, ketemuan. Kalo mau yang sedih, salah satu meninggoy.
non-fiksi, yaaaah paling temanya dua: membangun bisnis dan manajemen keuangan sama motivasi diri (yang menurut saya sih, no one can motivate yourself except your own self). Sisanya ? Kalo gak buku resep, ya tips lolos BUMN, CPNS, sama masuk PTN. Oh ya! Satu lagi yang cukup dominan. Buku agama.

Udah itu aja, jadi hidup itu zikir, lolos PTN, lolos BUMN/CPNS, terus menemukan cinta, dan meninggoy.

Terus manusia Indonesia tuh pada gak ada yang tertarik gitu dengan, apa kek, fisika kuantum, kimia pangan, fisiologi musang, camping di tepi niagara, pembangunan rumah di lempeng tektonik, membuat roket untuk pindah planet, apakah benar Isaac Newton pintar karena kepalanya kejedot apel. Banyak!

Kita, makhluk-makhluk FOMO ini, tahu tentang sesuatu. Apa ya, lari misalkan. Kita ikut event-event lari, beli aneka pernak pernik untuk lari, latihan menguatkan otot kaki.
Tapi kita tidak punya akses untuk mengetahui bagaimana sih lari ditinjau dari sisi matematika, fisika, biologi, kimia, sosial, psikologi, ekonomi.
Atau yah, mungkin kurang kali ya.
Hal-hal yang bagi kita yang hanya insan kepo yang gak ada niatan menjadi atlet atau peneliti untuk hal itu, sebenarnya bisa mengetahui hal tersebut dari buku. Iya gak sih? Masa’ gak ada yang sependapat sama saya sih ?

Banyak hal yang masih misterius di muka bumi ini. Dan dengan harga tiket pesawat yang keparat mahalnya, maka opsi yang lebih ramah kantong untuk mempelajari itu semua adalah dengan membaca buku.

Bukan mau meremehkan penulis atau penerbit di tanah air ya, tapi jika kita masuk ke toko buku di luar negeri, gak usah jauh-jauh deh, di Thailand aja atau di Singapura, kalian bisa lihat topik dan variasi buku yang mereka tawarkan lebih bervariasi.
Gak itu lagi, itu lagi.
Dan bentuknya juga bermacam-macam, dari full text, buku bergambar, hingga komik. Jangan lupa juga, untuk kalian yang belajar bahasa asing, sudah banyak penerbit di luar negeri yang menyediakan buku-buku novel berbahasa asing dengan judul bervariasi yang ketebalan dan pemilihan bahasanya disesuaikan dengan level kemampuan bahasa pembaca.


Dulu, sewaktu saya kuliah, salah satu sensei reviewer disertasi saya pernah berkata, “Good writer comes from good reader.” Pemilihan topik, diksi, hingga cara penyampaian dalam sebuah karya tulis hanya bisa dilakukan oleh orang yang, bukan hanya banyak membaca, namun juga bisa menyerap, mengolah, dan mengkombinasikan intisari dari berbagai sumber. Tulisan seperti itu yang kemudian menjadi tunas gagasan-gagasan baru.

Sensei saya yang paling baik hati di planet bumi mendidik saya untuk baca buku sampai kebawa mimpi. Dalam zemi (seminar) bulanan kami di lab, Beliau gak tanya langsung “Heh, gimana penelitian kalian yang busuk itu ?”, tapi selalu mengawali pertanyaan dengan “Bulan ini kalian baca buku apa ? Buku apa yang kalian rekomendasikan ke temen-temen kalian?” Boleh komik, novel, sampai buku serius. Rupanya hal itu menyenangkan… kita jadi bisa tahu karakter teman-teman kita dari buku yang mereka rekomendasikan. Kita juga jadi punya perspektif yang lebih luas mengenai apa aja sih hal yang terjadi di muka bumi ini. Kita kemudian jadi ingin terus mencari tahu.

Saya mencoba berhipotesis untuk fenomena rendahnya variasi buku bacaan di Indonesia ini. Ada banyak hipotesis, tapi mungkin salah satunya adalah karena ya memang minat baca masyarakat rendah. Penerbit maupun penulis agaknya enggan mengambil risiko untuk menerbitkan buku yang terlalu keluar dari “pakem” buku yang tengah laris di pasaran.
Kalau di pasaran yang laku tentang bisnis peternakan, yang semua penerbit akan menerbitkan tentang ternak, dari ternak domba sampai ternak magot (yakin deh beberapa dari kalian setelah ini akan browsing apa itu magot).
Kalau di pasaran lagi hits tema-tema tentang pelakor, ya semua cerita tentang pelakor, dari yang pelakornya di kawasan urban maupun rural.

Lalu, itu semua menjadi lingkaran setan, dengan terbitnya buku yang itu-itu saja, pembaca pun hanya terpapar hal yang itu-itu saja. Begitu terus, hingga hari ditiupnya sangkakala.

Sudahlah rakyatnya malas membaca, dengar-dengar… akan dapat wakil presiden yang juga gak suka baca.

Ya harus gimana ?

Jujur, saya marah dengan adanya fenomena ini!

Asal kalian tau ya. Dulu, waktu SD, saya sekolah di desa. Buku itu suliiiiiiiiiit sekali. SD saya saat itu harus menunggu limpahan buku dari dikbud dan itu harus menunggu berbulan-bulan. Ketika buku-buku itu datang, baca covernya aja nih, baca kata “Jakarta” aja udah membuka mata saya sebagai seorang bocah ingusan bahwa ada loooh tempat lain di muka bumi ini selain Leuwiliang, dan tempat itu namanya “Jakarta.”
Saya ingat, betapa kala itu, saya bertanya pada guru saya bagaimana bentuk Jakarta, apa itu ibu kota? mengapa ibu kota itu ramai?

Satu hal baru pada sebuah buku bisa menjadi jalan untuk ribuan pengetahuan baru.
Maka bagi saya, menjadi penting bagi buku-buku yang ada di Indonesia untuk menawarkan topik dan pilihan yang lebih beragam. Karena siapa tahu, hal-hal baru yang diberikan itu akan membuka jalan untuk pembaca, entah siapa dan kapan, pada jalan hidup dan pengalaman yang lebih menarik. Yang pasti, eksplorasi pengetahuan dari buku sejatinya menjadi langkah pertama seseorang untuk mengeksplorasi dunia.

Saya bahkan mencoba bertanya ke teman satu ruangan saya yang baik hati, Mbak Ikum… yang rupanya setelah 1 tahun kami seruangan, kami baru tahu satu sama lain bahwa kami adalah pemerhati toko buku! Jadi, kemanapun kami pergi di belahan dunia manapun, satu tempat yang wajib kami datangi adalah toko buku. Saya bertanya, “Mbak, kenapa sih minat baca masyarakat kita rendah ?”

Beliau menjawab setidaknya ada 3 faktor: 1.) Harga buku di Indonesia itu MAHAL (dan ini saya amini sih, ini beneran amin yang paling serius), 2.) Variasi buku di Indonesia itu kurang, yang tanpa masyarakat kita sadari, mungkin mereka juga jenuh karena yang itu lagi – itu lagi, kurang banyak kebaruan, dan formatnya yang itu-itu aja, gak kayak di Jepang yang bahkan buku itu ada yang bisa disakuin (see ? apa saya bilang!), 3.) Budaya dan lingkungan, pada dasarnya memang kultur Indonesia itu adalah kultur tutur bukan kultur literasi. Budaya kita sampai turun menurun kebanyakan dari perkataan, bukan dari catatan sejarah seperti pada di Eropa. Yang agak mending itu ya kawasan pantura jawa, mereka ada punya banyak catatan sejarah yang beneran ditulis, seperti misalnya babad tanah jawi hingga hal kayak serat centhini. Makanya, provinsi dengan minat baca tertinggi itu kalo gak salah di Yogyakarta.

Dan rupanya bener dong kata Mbak Ikum, emang harus sungkem ke Beliau

Untitled

Udah ah, kita tinggalkan Mbak Ikum (makasih ya, Mbak) takut kalian semua ngefans.

—-

Saya sudah puas ngomel-ngomelnya.
Apakah saya pulang dengan tangan kosong?
Oh tidak, untungnya ada booth kompas yang menawarkan buku-buku yang cukup menarik perhatian saya. Saya beli dua buku ini. Keduanya menawarkan hal-hal “baru” yang saya belum ketahui banyak.

IMG_1425

Goresan Malam; merupakan sebuah catatan apik dari wartawan kompas yang merangkum sejarah dan filosofi batik-batik yang ada di Indonesia. Sebuah buku yang menurut saya langka, dan akan menjadi sebuah “aset” untuk pecinta buku yang juga merupakan pecinta seni. Kita, sebagai orang Indonesia, seringkali tidak mengetahui banyak terkait budaya Indonesia, dan buku ini membawa kita pada kesadaran betapa kayanya budaya Indonesia bahkan jika ditilik hanya dari batik. Saya yang sudah menyambangi banyak toko buku, merasa buku ini akan menjadi koleksi menarik. Dan jika kalian ‘FOMO’, hey! Percayalah, setelah membaca buku ini kalian bisa memulai percakapan dengan “Eh, tau gak sih beda batik pesisiran Cirebon sama Madura ?”
Bagaimana, menambah level ketampanan/kecantikan Anda satu strip kan ?

Bioetika; jujur ini hal yang cukup baru sih, setidaknya untuk saya. Jika kalian dokter atau peneliti di bidang biologi dan kimia mungkin hal ini lebih familiar. Namun, oh tidak untuk saya. Saya selalu ingin tahu, perkara-perkara seperti suntik mati, donor sperma, donor organ, pembekuan sel telur, itu tuh boleh gak sih? Kita gak bicara hukum agama aja di sini, ini kan permasalahannya adalah kebutuhan untuk hal-hal itu ada, dan makin meningkat. Masa’ hal seperti itu harus dianggap tabu terus menerus, gak mungkin kan. Cepat atau lambat, kita akan sampai pada masa ketika hal-hal seperti ini akan menjadi hal yang cukup lumrah pada komunitas kita. Buku ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana dinamika bioetika tersebut di Indonesia. Namun sayang, penulisannya masih terlalu “ilmiah”, padahal akan lebih menarik jika dikemas dalam penulisan yang lebih populer dengan lebih banyak studi kasus.

Gimana, menarik kan? I told you. Dan saya menunggu lebih banyak buku dengan pembahasan yang bisa memberikan efek “Oh… gitu!” kepada saya dan kita semua.

Dan untungnya lagi, pulang masih ketemu nasi rawon. Lumayan lah, daripada gigit sandal.

IMG_1427

Ngomong-ngomong….Konon, kalau kita punya impian, harusnya sih gak boleh bilang-bilang ke orang lain. Tapi jiwa ini sudah terlalu geram.
Melihat hal ini semua, saya ingin kembali mendalami kemampuan bahasa asing saya, termasuk bahasa Perancis dan Jepang. I want to be a translator.
Bukan karena saya jumawa ya dengan kemampuan saya yang gitu-gitu aja. Tapi, ada beberapa bagian dari jiwa saya ingin memperkenalkan bacaan yang menarik dan menyenangkan dari berbagai belahan dunia. Saya ingin banyak orang memahami mengapa membaca sangat menyenangkan.

Saya mencintai buku dan membaca, jauh sebelum saya mencintai musik dan seni. Dan buku yang membawa saya jatuh cinta dengan banyak hal.

Semoga Tuhan mengizinkan ya. Maaf loh, Ya Allah kalau hamba mintanya macem-macem. Gak apa ya ? Pleasseeeeeee….

Oh bentar, sebelum pamit undur diri…Ini pesan saya untuk kalian book lover yang sekarang masih kuliah atau tinggal di LN : GOTONG BUKU KALIAN PULANG KE TANAH AIR!
Jangan hiraukan bea cukai, mereka tidak tahu kalau tumpukan buku kalian itu, belum tentu bisa kalian temukan di Indonesia.
Catat petuah saya ini dengan tinta emas, kalau perlu print, figura, gantung di tembok!!! Camkan itu!!!

Ramadan dan Ibadah-Ibadah Setengah Hati : Sebuah Refleksi


Aku menghaturkan jutaan permintaan kepada-Mu.
Mempertanyakan mengapa enggan Kau segera menjawab pertanyaanku.
Tiba saat Kau memintaku untuk mengingat-Mu di tiga puluh hari,
Ah… rupanya lidahku saja kelu menyebut nama lengkap-Mu,
Rupanya aku lupa membaca ratusan lembar surat cinta-Mu padaku

Di balik setiap doaku, tersimpan banyak ego yang semoga bisa termaafkan.

– Ramadan dan Ibadah-Ibadah Setengah Hati (2022)

Halo sobat santanku yang super, yang pastinya berhasil menurunkan 2 kg selama puasa dan bertambah 3-5 kg selama lebaran. Sungguh makanan bersantan itu gokil sih. Tapi tidak apa-apa lah, wong lebaran kan cuman 2 kali setahun: Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Idul Adha. Paham juga sih, kerena setelah si covid yang bikin banyak jiwa sepi dan terjebak gak bisa ketemu keluarga, akhirnya bisa mudik… merasakan ketupat dan sidangan santan buatan Mama. Apalagi kalau kalian seperti saya, Mama saya punya tangan ajaib yang bisa membuat makanan jadi enaaaaaak banget. Kadang kalau pulang, cuman makan sop sama sambal goreng aja udah hangat banget, berasa hangat sampai ke hati. Ini terbukti secara sah dan meyakinkan karena adik saya yang selalu tinggal sama Mama sekarang badannya gede banget karena sudah beralih fungsi menjadi sous-chef dan tim icip masakan. Apalagi lebaran, masakan bersantan itu memang gurih dan kalau jago masaknya, bisa bikin kita semua ketagihan. Jadi well… mari kita pasrahkan saja berat badan kita gara-gara aneka santan yang aduhai itu. Tidak apa—- tidak apaaaaa apaaaaaa…. (sambil nangis di atas timbangan).

Tapi ada hal yang membuat saya, yang sudah semakin tua ini, sedih dan miris. Puasa tahun ini berasa cepet banget, iya gak sih? Apa cuman saya aja….
Tahun ini, kalau beberapa orang di medsos bisa bangga menunjukkan achievement ibadah mereka, maka buat saya sih… duuuuh tengsin men! Tengsin!

Bagaimana tidak? Mari kita telisik satu per satu, yang jelek-jeleknya aja ya. Mulai dari baca Quran yang, tentu saja, tidak intense. Dan shalat tarawih pun, semua di rumah sendiri. Yaaa seperti hari biasa aja, sibuk dengan rutinitas duniawi.

Nah jangan kalian pikir manusia-manusia duniawi seperti saya ini gak sadar kalau intensitas iman kami tuh ‘meh’ banget. Saya yakin kok, dalam hati kecil tuh ada rasa “Gak boleh, harus ada yang gw perbaiki nih.” Dan percayalah podcast dan acara-acara religi yang tipis-tipis bahas atau diskusi terkait agama itu membantu banget buat manusia modelan begini. Hingga kemudian saya sampai ke sebuah konten di youtube, yang sebenarnya untuk kemasanan komedi, tapi cukup menarik. Judulnya “Pindah Arah”, sebuah acara yang disiarkan oleh Comedy Sunday dan menceritakan perjalanan spiritual orang-orang yang mengubah kepercayaannya. Nah! Yang menarik, ada yang pindah dari agama minoritas ke mayoritas, dan ada juga yang sebaliknya. Dan acara ini, secara mengejutkan, sangat menarik dan memotivasi. Loh?

Iya… karena rupanya hati itu begitu mudah aja dibolak-balik. Rupanya gak ada yang terlalu kecil atau terlalu besar ketika itu perkara keyakinan. Ada loh yang berpindah keyakinan, hanya karena pas parkir di depan gereja, eh loh kok gereja ini bikin tenang ya. Ada yang kemudian liat orang-orang tarawih, eh kok seneng ya ada masa ketika terus komunikasi sama Tuhan. Ada yang merasa shalat, rupanya adalah metode meditasi yang paling efektif, simple, dan menenangkan.

Sungguh, saya sebagai Muslim veteran tidak henti-hentinya mempertanyakan “Ah masa sih?!”

Lalu tibalah satu episode yang benar-benar inspiring! Mari kita lihat.

Masnya punya permasalahan bahwa, “Kok pas shalat belum merasakan secara penuh kehadiran Allah ya?”
Mas, jangan khawatir… SAYA JUGA BEGITU. Jangankan pendatan baru, ini Muslim veteran loh, masih merasakan hal yang sama. ASTAGFIRULLAH.

Saya kemudian memutuskan mencoba apa yang Mas-nya coba: Shalat secara lebih perlahan.
Sesuatu yang kalau di kamus kami para Muslim disebut tuma’ninah. Tapi tekad saya adalah, lebih dalam dalam proses shalat ini. Ya plis aja, gengsi dong kalah sama pendatangan baru, yakan. Iman boleh naik turun, tapi gengsi terus on.

TEBAK APA YANG SAYA TEMUKAN?

Saya bahkan sadar bahwa bacaan shalat saya selama ini banyak yang tidak becus. Coba deh kalian yang Muslim, nanti suatu waktu, shalat…. konsentrasi dan dengarkan baik-baik bacaan kalian sendiri. Untuk saya? Saya menyadari begitu banyak bagian yang tabrak lari, tidak peduli makhraj, dan saya kok khawatir jangan-jangan ada baris-baris yang terlewat selama ini? Belum lagi perkara surat-surat pendek yang pas di-review ulang “Loh kok loh kok, kok makin sedikit ya hafalannya” Itupun saya ragu dengan kebenaran bacaannya.

Itulah malam dimana saya memutuskan, saya akan kembali ke Quran. Itulah malam ketika, saya bilang ke diri sendiri, “Oke, lo banyak salah, tapi setidaknya lo harus shalat yang bener.”
Dan di malam itu juga, saya memutuskan untuk kembali mencoba sekuat tenaga untuk menghafal Quran, tekad saya sederhana, Juz 30 + Ar-Rahman. Saya sadar diri kok kemampuan otak dan persistensi saya tidak bisa disamakan dengan ayah saya yang dulunya anak pesantren. Tapi kayaknya keterlaluan banget kalau shalat gak cantik dan all out, karena itu aja ibadah yang bisa diperjuangkan untuk terus dilakukan dengan sebaik mungkin di tengah hiruk pikuk dunia dan kesibukan berburu harta benda. Karena saya suka sekali menulis, saya sampai bikin jurnal untuk mencatat progress hapalan saya. Tidak usah kagum saudara-saudara, jika kalian sudah kepala 3, kapasitas otak kalian mulai berkurang aja karena sibuk memikirkan aneka keruwetan di planet bumi. I am so damn serious, Man! I am so damn serious!

IMG_9904

Entah apa indikator keberhasilan dari hal ini ya, tapi setelah itu, hati lebih tenang… tanpa perlu keluar uang untuk sesi yoga dan meditasi. Oh ya, untuk saya pribadi, I stopped scrolling around my social medias. Lebih memilih untuk kerja, baca buku, gambar, atau masak. Jangan-jangan, ini jangan-jangan loh, kita ini terus terpaku pada media sosial karena kita punya banyak keresahan dan gak ada media untuk menuntaskan, atau setidaknya mengurangi, rasa resah itu. Jangan-jangan kita itu kurang produktif karena, kualitas ibadah kita, terlepas dari apapun kepercayaan kita, memang busuk aja. Kita gak ngerasa aja….

Kali ini saya tulis ini semua di blog, supaya saya ingat atas kelalaian saya ini, dan supaya saya punya tanggung jawab untuk terus mempertahankan tekad untuk jadi sedikit lebih baik dalam beribadah.
Saya itu masih punya banyak ambisi dan keinginan, tentunya akan ada banyak doa-doa yang akan saya utarakan. Nah ya kok masa’ yang meminta kemudian tidak berusaha untuk mengenal dan mendekati Sang Maha Pemberi, kan gak etis 🙂 iya toh?

Terima kasih Mas-Mas pendatang baru dan Comedy Sunday, perjalanan spiritual setiap orang memang beda-beda, saya… rupanya harus lewat jalur youtube dulu.

Selamat hari raya Idul Fitri, dan moga kita cerita lagi di Ramadan selanjutnya.

Untuk versi podcast dapat didengarkan di sini 🙂

Toxic Masculinity: Sudahkah kita memperlakukan pria dengan baik?


Maaf-maaf-maaf, terjadi banyak kekacauan dan kesibukan di dunia nyata yang membuat tante harus undur diri sejenak dari dunia maya 😀

Baiklah, mari kita bahas hal-hal yang menarik dan agak-agak nampol di kepala. Jadi beberapa waktu yang lalu saya baru selesai membaca, eh denger deh, sebuah buku yang judulnya “For the Love of Men” tulisan seorang wartawan bernama Liz Plank. Cukup menarik sih, karena membantu kita untuk melihat dari berbagai perspektif.

Nah jika kalian para wanita suka merasa “Duh kok ini cowok-cowok kok sulit banget dipahami.” Mungkin emang benar, dan itu semua karena lingkungan membuat stigma bahwa share the feeling, berbagi perasaan, curhat, adalah hal yang lebih feminim dibandingkan maskulin. Padahal, kebutuhan akan validasi perasaan dan pemikiran itu adalah kebutuhan manusia, tidak peduli gendernya apa.

Nah, stigma-stigma yang seperti inilah yang kemudian disebut: Toxic Masculinty.

Nah, sebelum kita tersesat lebih jauh, apa sih toxic masculinity? Dilansir dari healtline.com, …“toxic masculinity is an adherence to the limiting and potentially dangerous societal standards set for men and masculine-identifying people.” Intinya, standar-standar sosial yang mendefinisikan maskulinitas. Gak boleh nangis, gak boleh terlalu warm, gak boleh terlalu ramah, gak boleh curhat, gak boleh suka warna pink, gak usah masak ato belajar masak, dan sebagainya. Pokoknya, pria, diharuskan untuk selalu kuat secara mental dan fisik. Kalau kemudian capek dan nangis langsung dijudge “waaah lemah lo!” padahal kan sedih, dan aneka pergolakan emosi lainnya, bisa dirasakan oleh siapa aja.

Hal itulah yang membuat WHO sampai turun tangan dan bilang bahwa angka harapan hidup pria lebih rendah dibandingkan wanita. Saya kemudian membaca blog tulisan Dr. Robert H. Shmerling, MD, Senior Faculty Editor, Harvard Health Publishing, dan Beliau udah bilang ke istrinya kalau dia kayaknya bakal mangkat lebih duluan dari istrinya:

“I knew that, on average, women live longer than men. In fact, 57% of all those ages 65 and older are female. By age 85, 67% are women. The average lifespan is about 5 years longer for women than men in the U.S., and about 7 years longer worldwide.”

Pertanyaannya kenapa? Karena pria lebih mudah terserang stress, lalu akhirnya ada yang sakit, ada yang cari pelarian dari hal-hal ekstrim, dan ada juga yang bunuh diri. Sound stupid, apalagi bagi saya, karena saya sih tau banget hidup ini sulit dan gila ya. Tapi when life gives you lemon…. yaaaa udah nangis dulu sehari-dua hari, curhat ke random friends, atau main sama kucing, lalu kemudian maju jalan lagi! Apakah curhat dan nangis-nangis sampe ingusan itu menyelesaikan masalah? tidak! Tapi itu rupanya membuat mental kita lebih siap aja menghadapi realita. Dan ketika kita lebih siap, kita menjadi lebih kuat. That’s how strong women could be.

Nah ini yang seringkali tidak dinikmati oleh para pria yang boro-boro curhat, untuk nangis aja kadang gengsi. Nah seketikanya harus curhat, sukur-sukur ada yang mendengarkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Kebanyakan malah “Ah elo…. gitu doang aja. Cupu ah.”

Hal itu rupanya semakin merembet ke hal-hal yang lebih besar. Dalam buku “For the Love of Men”, si penulis bilang bahwa selama proses dia menulis buku, dia mewawancara beberap orang pria dan para pria ini banyak sekali yang menyembunyikan fakta ketika mereka merasa dilecehkan secara seksual. Mengapa? Karena ketika mereka kemudian curhat tentang ketidaknyamanan yang mereka rasakan, termasuk pelecehan seksual yang mereka alami, mayoritas respon yang mereka dapatkan adalah “Ah gitu aja, kamu kan cowok, lawan lah.”, “Masa’ gak bisa lawan?”

Padahal sih harusnya speak up, biar yang melakukan tuh sadar yang mereka lakukan itu busuk. Jadi inget kasus “rahim anget”, yang mohon maaf, menurut saya kok jijik ya. Kita sebagai wanita kan lebih bangga ketika dilihat secara pemikiran, secara kecerdasan emosional dan intelektual. Saya sih males banget kalau saya achieve sesuatu, terus penghargaan yang saya dapatkan menjurus ke hal-hal seksual. Naaaah…. dulu pernah nih ada pebulu tangkis yang kece sih emang, dan staminanya emang kuda. Namun alih-alih penghargaan pada kekuatan fisik dan kecerdasan strateginya, yang banyak muncul malah kaum-kaum “rahim anget.” Dan pada gak terima kalau kemudian ditegur.

Oh ya, kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah instansi baru-baru ini juga, sama….
Ketika melapor malah kembali dipertanyakan “Loh kenapa gak bilang dari dulu-dulu?” dan malah kemudian diancam untuk dirumahkan.

Hal ini kemudian semakin rumit, karena, kalau kata buku ini, pria cenderung punya ekspektasi dan pengharapan yang tinggi pada dirinya. Nah, ketika kemudian dia gagal, maka orang yang pertama kali menyalahkan mereka adalah…. siapa lagi kalau bukan… diri mereka sendiri. Jika kemudian orang lain ikutan menyudutkan dan menyalahkan si Mas-Mas malang ini, maka itu akan jadi semacam validasi “Tuh kan gw salah.”

Hmmmm…. pendek kata, selain keras kepala… kayaknya para pria ini juga keras hati :’)

Hal ini yang mungkin menjelaskan kenapa sosok “ayah” di dalam keluarga selalu menjadi salah satu yang bikin kita suka naik darah. Berulang kali saya selalu dapat curhatan
“Bapak gue udah sakit-sakitan, Mon… udah gue suruh berhenti kerja aja. Diem deh diem di rumah. Apa susahnya sih?”
“Ya ampun Mon, ya masuk rumah sakit lah, wong maksain diri. Pake acara gak bilang-bilang kalo ada penyakit pula.”

Dan berulang kali juga saya bilang “Udah…. sabar, biarin aja Beliau mau nyobain apa. Tapi lebih dijagain aja.”
Dan berulang kali juga itu menjadi boomerang, dan mereka pasti akan bilang “Mon, gak gitu… lo gak ngerti…..”

Mungkin iya, tapi jangan lupa juga kalau pride seorang ayah adalah menjaga keluarganya sebaik mungkin.
Dan percayalah, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika dulu ayah saya sakit.

Saya sedih, laki-laki yang paling saya sayangi di muka bumi ini terkesan memaksakan diri. Padahal saat itu, di kepala saya “udah…udah…. hidup aja, selama mungkin.” Saya kesal juga karena saya merasa ayah saya tidak memahami rasa khawatir dan sedih saya. Yang saya belum pahami saat itu, mungkin orang yang paling sedih adalah Beliau, karena merasa tidak berdaya dan malah membuat orang-orang disekitarnya sedih dan khawatir.

Semua orang bersedih, dan tidak ada gunanya untuk saling keras kepala memperdebatkan siapa yang paling terluka.

Nah, jadi, untuk kalian yang masih punya ayah, biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Support them. Ingatkan untuk hati-hati dan jaga diri. Puji mereka ketika mereka bikin sesuatu, seremeh temeh apapun itu.

Dan buat kalian yang mau jadi atau udah jadi ayah, jangan biarkan keras hati dan kepala kalian menyakiti orang-orang yang sayang kalian. Di muka bumi yang kejam ini, ada manusia yang kemudian memilih kalian jadi kepala keluarga. Maka mereka, sudah pasti, orang-orang yang siap mendengar dan berjuang bersama ketika ada suatu permasalahan. Jangan dipendam sendiri.

Kembali lagi ke topik kita. Saya sungguh mendukung kesetaraan gender, namun kesetaraan gender itu apa? Feminisme itu apa? Mengagung-agungkan wanita namun kemudian mengesampingkan keadilan dan perasaan para pria? Kan lucu dan blunder jika mencap diri sebagai feminis, namun malah lupa tentang hak asasi manusia. Dulu pernah, di sebuah grup yang saya ikuti, ada perdebatan panjang maha tidak berguna tentang sebuah lowongan pekerjaan yang hanya meminta satu orang pria untuk posisi tersebut. Pengirim lowongan sudah menjelaskan, bahwa di divisinya, hampir semua anggotanya wanita, sedangkan ada beberapa pekerjaan yang mungkin lebih efisien jika dibantu pria. Yang namanya emak-emak kan sore mungkin harus pulang cepet untuk masak, jemput anak, dsb. Sesuatu yang saya rasa bisa dipahami.
Dan kemudian perkara itu diperdebatkan sampai mati antara feminis vs non-feminis.
Pertarungan silat lidah dan argumentasi itu hanya berputar-putar di perkara “Kok gak boleh perempuan.” yang bagi kami yang malas “Lah, kan sudah dijelaskan.”
Dibalas dengan jawaban jitu “Memangnya wanita tidak layik bekerja.”
Kalau mau adu bodoh-bodohan, maka bisa saja kita balik pertanyaan tersebut “Memangnya pria tidak layik bekerja?”

Bukankah beban sosiologis dan antropologis pria, setidaknya pada masyarakat kita, lebih berat karena dituntut untuk membiayai keluarga, punya pekerjaan tetap, dsb dsb dsb dsb dsb. Dan jika mau sedikit berbaik sangka, bagaimana jika pria yang diterima untuk posisi tersebut adalah anak baik, yang uang gajinya diberikan untuk ibunya di rumah…. atau untuk keluarga kecil barunya?

Mengapa, sungguh sulit, bagi manusia untuk berbaik hati dan berbaik sangka?

Tidak ada yang tahu akhir pertarungan tersebut, karena pada akhirnya mayoritas keluar grup atau ganti e-mail. Jadi mohon maaf, memang ceritanya berakhir di situ saja.

Akhirul kalam, Mama saya selalu bilang “Orang itu bisa jahat mungkin karena pernah diperlakukan tidak adil atau tidak menyenangkan. Hati mereka luka, terus mereka jadi tidak percaya pada orang lain dan tidak peduli ketika menyakiti orang lain. Jadi, ketika kita ketemu orang yang baru, senyum aja…. berbuat baik aja…. karena siapa tau itu bisa melembutkan hati mereka.”

Maka bukankah pria, sama halnya seperti wanita, adalah manusia? Maka bukankah kita perlu memperlakukan pria sebagaimana kita wanita ingin diperlakukan. Dilihat serta diperlakukan dengan penuh rasa hormat.

Saya Tante Emon, ketemu lagi di cerita lainnya.
terima kasih.

Melawan Radikalisme Sekte Covidiotism


Halo saya tante emon, dan saya ingin mengajak kalian semua untuk berghibah tentang para covidiots di Indonesia

Sebelum membedah perkara covidiots ini, saya mau cerita sedikit dulu deh. Jadi buat yang kalian belum tahu, saya saat ini menjadi peneliti di sebuah research center di Jepang. Nah presiden di reseach center ini adalah mantan epidemiologist. Jadi Beliau tau banget lah dunia persilatan ini. Ketika Tokyo dan sekitarnya punya 500 kasus dan langsung status darurat, Beliau langsung kirim pesan di milist dan isinya kira-kira

“….Kita tahu bahwa dengan teknologi saat ini, kita bisa dengan cepat membuat obat atau vaksin apapun. Sayangnya yang paling sulit bukanlah mengalahkan virus apapun, namun mengalahkan ego manusia. Saya paham betapa berat situasi ini. Namun ingat pula bahwa kebijaksanaan manusia diukur dari seberapa kita bisa kita menahan keegoisan kita, seberapa bisa kita berpikir jernih Ketika terdapat suata masalah.
Tidak ada diantara kita ingin sakit, terpisah atau bahkan kehilangan keluarga atau teman, maka mari kita percaya dan mematuhi segala anjuran yang diberikan oleh para petugas Kesehatan dan pemerintah. Mari kita bekerjasama. Semoga setelah ini,  kita menjadi manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.

Gilaaaa! Rasanya kayak dibasuh pakai air Zamzam gak lo!
Mungkin kata-katanya lebih dalam dari itu ya, soalnya saya kan level Bahasa Jepangnya kore-kore, dan ini semua hasil olah kata google translate. Tapi itu menggambarkan segalanya sih. Seluruh chaos ini, bukan serta merta karena virusnya sendiri, tapi karena keegoisan manusia.

Oh ada yang kurang, ke-sotoy-an manusia.

Saya rasa masyarakat Jepang layak lah “naik level” secara kualitas. Kalian harus tau ya, tingkat vaksinasi di Jepang itu busuk banget, bahkan kalau dibandingkan sama Indonesia. Tapi tingkat penularan mereka terjaga banget. Kenapa? Karena taat prokes! Karena semua orang bersih, pakai masker, cuci tangan, makan makanan sehat dan bergizi.

Sementara negara berflower, mohon maaf, beberapa boro-boro naik harkatnya sebagai manusia, naik kelas ke SMA aja saya ragu loh AHAHHAHAHAHAHA… ini loh, ini lah mengapa kalian wahai manusia Indonesia yang hebat, Ketika kalian di bangku sekolah menengah, jangan cuman kejar nilai tapi serap semua ilmu yang ada.

Saya mohon izin ya untuk teman-teman yang nakes, kalian kan baik, jadi kalian gak usah bikin konten-konten nge-gas. Biar saya yang wakilkan.


Gini ya, kalau kalian buka buku teks biologi kelas X, kalo Angkatan lama SMA kelas 1.  Tidak ada obat untuk  bunuh virus. Seinget tante, antiviral drugs itu tidak membunuh virus, tapi mengurangi daya replikasi si virus. Itu pun kalau virusnya udah ketahuan.

Makanya, kalau lawannya virus, cara paling ideal yang tubuh kita bisa lakukan adalah memperkuat antibody tubuh kita. Jadi defense kita nih yang harus sip. Nah, supaya antibody kita bisa menang melawan si virus, maka antibody kita harus sudah punya kisi-kisi lawan mereka siapa? Jadi mereka tahu, alat tempurnya apa saja.
Masalahnyaaaa~~~ covid ini virus baru, jadi antibody umat manusia di muka bumi ini masih kaget “Waduh ini apaan nih?”.Antibodi ini jadi bingung cara lawannya gimana.
 Sebagai ikhtiar agar antibody kita bisa mengenal virus baru ini, maka diberikanlah vaksin. Vaksin ini virus yang sudah dilemahkan. Harapannya, tubuh kita jadi lebih siap untuk menghadapi si virus ini. Jadi kebal? Ya gak! Gak gitu cara berpikirnya.

Kalau kalian lemah di kalkulus, terus kalian dikasih bimbel khusus kalkulus, apakah Ketika tes kalkulus selanjutkan kalian langsung dapet nilai 100? Ya gak~~~~tapi setidaknya gak dapet nol-nol banget.

Sama, sama, vaksin pun begitu. Apalagi, vaksin covid ini dibuat awal banget ya karena status darurat. Idealnya tidak begitu, karena virus itu akan terus bermutasi. Proses pembuatan vaksin biasanya cukup lama karena menunggu mutasi si virusnya stabil. Jadi bagian farmasi jelas nih, dia berubahnya sampe delta kah? Sampe gamma kah? Atau gimana? Nah, vaksin yang ada sekarang belum sepenuhnya diujikan untuk varian-varian yang mutasi. Jadi pun kalian sudah vaksin, tapi kemudian pongah tidak taat prokes lagi, lalu apes kena virus varian baru, terus kalian lagi gak fit. Ya kena juga.

Alhamdulillah kalau setelah itu kalian cuman mengetuk pintu rumah sakit, kalau kalian mengetuk pintu akhirat?Hayo? gimana?  Apakah amal perbuatan kalian cukup untuk menyelamatkan diri  dari azab menjadi BBQ di neraka Jahannam? Belum tentu.

Jadi kalian masih harus tuh pake masker dan cuci tangan pake sabun atau at least pake hand sanitizer. Apa sih susahnya pake masker? Kalian mati gitu setelah pake masker? Apa sih? Sesak? Kalau kalian jalan 3 langkah pakai masker lalu sesak nafas, itu bukan salah maskernya, itu mungkin kalian ada masalah jantung atau paru-paru. Mohon maaf, kalian harus ke spesialis penyakit dalam.

Yang lebih “blokgoblokgoblok” adalah yang bilang vaksin dipasang chip.

Itu bagaimanaaaaaaa ya Allah~~~~~~ ini benda cair ya, mau ditempelin chip gimana? Yang kayak gitu tuh tau bedanya zat cair, padat, dan gas gak sih?

Apalagi? Ah virus doang, masa’ gak percaya sama Allah. Permisi, ini kalau di kisah di agama saya, khalifah Umar bin Khattab, khalifah paling sangar sepanjang sejarah Islam, pas ada wabah Tha’un sekitar tahun 18 Hijriah, doi juga cabut bro! Ini khalifar Umar yang sehat, kuat, dan tidak terpapar fast food dan micin.
Maka Andaaaaaaa~~~ ya ahli kubuuuuuuur~ yang sudah dihajar tahu bulat, cimol, cireng, boba, dan aneka fastfood, dan bahkan untuk beli makanan aja pake order ojek. masa’ Anda PD banget sih. Gaya hidup kita itu sesungguhnya telah membuat kita lebih lemah dan lembek dari. Jadi ya sadar diri aja. Jangan gila deh.  Udah Lemot Lemah otot kan harus dijaga jangan sampai Lemot Lemah otak juga ya AHAHAHHAHAHAHAHAHAHA.

Atau kalian bersikukuh, virus ini gak ada, ya udah telan dan nikmati itu semua sendiri. Gak usah ngajak orang.

———

Duh kalau inget jadi emosi banget. Emosi gak sih kalian?
Saya sih emosi tingkat dewa dewi ya. Karena rasanya kita udah begitu patuh, patuh hingga banyak hal yang dikorbankan. Eh terus, stuck aja gitu karena banyak orang blokgolblokgoblok dan membuat situasi kayak reset seperti awal lagi. Gak ada proses belajar sama sekali. Gak ada! Sedih gak?

Oh kalian pikir saya tidak merasa kesal karena saya di Jepang. Wah kalian salah banget, saya korban psikologis dari covid di Indonesia. Satu, saya gak bisa pulang-pulang nih karena kalau saya pulang, Jepang enggan mempersilakan saya masuk lagi karena Indonesia dianggap berbahaya. Bukan hanya saya ya, banyak loh pelajar, peneliti, dan pekerja magang yang stuck di tanah air
 Dua, Mama saya yang diabetes sempat harus terhenti untuk check up karena RS penuh sama pasien covid dan covidiots yang gak ngaku klo mereka covid. Jadi ke RS bilang meriang biasa, eh padahal covid. Ya nular kemana-mana.
Tiga, ini personal sih, saya mau memperkenalkan seseorang ke Mama dan adik saya. Dan itu semua ambyaaaaaaar karena covid. OMG OMG I am getting old, I cannot make any kind of plan delayed anymore.

Jadi kalau saya mau kasar, hey covidiots, Anda BIADAAAAB!

Tapi sudahlah ya

Semua cerita dan complain ini saya ceritakan kepada seorang teman saya, dan dia malah ketawa “You know what, Marissa. You cannot fight ignorance. We can’t. Don’t waste your energy.”

Dan iya juga sih. Mungkin saya sudah harus mulai memaafkan para biadab-biadab ini.
Susah sih.
Tapi

Mengapa kita harus menuntut orang-orang yang sudah terlanjut covidiots ini untuk berubah?
Saya kemudian sampai pada suatu pemikiran bahwa, jangan-jangan para covidiot ini sudah mengimani loh. Mereka sudah bersyahadat, sudah membaptiskan diri, dengan seluruh kerangka pemikiran covidiotism dan secara sadar sudah membentuk sekte covidiotism. Kita kan gak bisa memaksa untuk mengubah “iman” seseorang. Mau gimana coba? Mereka pasti tidak rela untuk serta merta, dalam tanda kutip, murtad dari keimanan mereka sekarang. Di mata mereka,  kita nih yang mengimani keberadaan covid ini yang menjadikan prokes adalah bagian dari rukun iman kita, adalah orang-orang kafir.

Mereka kemudian mau mengajak kita semua untuk untuk menganut covidiotism. Mayoritas tidak mampu untuk bertarung secara logika dan pemikiran ilmiah, maka mereka menggencarkan terror! Ya! Mereka adalah teroris modern, yang secara sadar melakukan bom bunuh diri dengan cara menyebarkan virus, hoax, dan teori konspirasi terkait covid ini kepada kita semua. Mereka sebuah organisasi baru! ICIS: Ingin Covid Infeksi Semua.

Apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang seperti itu, apa? Kalian tunjukin video apa yang terjadi di India, di RS-RS yang penuh, apakah mempan? Tidaaaaak? karena penderitaan karena covid itu sepertinya mmmmm…. Tidak masuk ya ke aqidah mereka. Covidiotism adalah bentuk radikalisme baru, sehingga apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang yang radikal ini. Sekarang, perkara kita, apakah iman kita cukup kuat untuk menjaga diri dari sekte covidiotism ini?
Semoga kita kuat ya, semoga yang masih punya keluarga yang terjebak di sekte covidiotism, bisa diberi kesabaran dan kekuatan untuk membawa mereka hijrah. Kalau tidak, setidaknya semoga kita yang kuat dan bertahan. Dan inget, Ketika kondisi darurat, pasangkan masker oksigen ke diri sendiri dulu sebelum ke orang lain. Sehat-sehat ya semuanya.  Saling mendoakan.

[Emonikova Investigasi] Yang saru tentang Pasar Muamalah dinar-dirham: Kenapa salah? Kenapa kita perlu marah?


Minggu terakhir ini dunia persilatan sempat ramai dengan keberadaan Warung Muamalah di Depok. Gimana gak, transaksinya ceritanya pakai dinar-dirham. Konon biar lebih memudahkan dan syar’i gitu. Walaupun belakangan pihak pedagang warung ini, tentu, mengeluarkan jurus-jurus silatnya : Silat lidah !
“Gak kok ini pakai rupiah…Ini pake emas dan perak dan barter, biar lebih  flexible aja“

Tapi pokoknya, empunya pemilik ide warung ini kemudian diboyong untuk silaturahim ke kantor polisi.

Saya kira perkara selesai, dan masyarakat +62 tuh sudah cukup cerdas untuk memahami penjelasan Bank Indonesia, pihak kepolisian, dan sebagainya. Rupanya GAK! Malah rame banget. Banyak yang malah sok tahu, dan bilang pemerintah bodoh lah, tidak paham ekonomi Syariah lah, dan yang lebih parah ada yang bilang negeri ini semakin antipati pada agama tertentu. Ini bodoh, kejam, sekaligus mengerikan karena orang-orang yang beropini seperti itu lebih nyaring dibandingkan para ahli yang benar-benar ahli. Mana galak-galak lagi. Tidak memiliki kemawasan diri untuk menerima ketika dinasehati dan diperbaiki.
Itu adalah momen ketika saya sadar kalau tong kosong nyaring bunyinya itu benar, dan bunyinya senyaring speaker dangdut pantura!

Saya pikir komen-komen seperti itu hanya akan muncul pada netizen yang mungkin tidak menempuh Pendidikan tinggi. RUPANYA TIDAK SODARA-SODARA!

Namun yang mengejutkan, rupanya ada aja, ada…oknum orang-orang yang berpendidikan tinggi bahkan oknum pendidik (jadi bukan semua ya, yang beneran pinter juga banyak) yang mengeluarkan opini menyudutkan pihak pemerintah. Boleh sih mengkritik pemerintah kalau memang berisi, padahal kalau kita amati kualitas opininya, saya rasa yaaah paling baru belajar ekonomi dari kulit arinya aja. Yang mengagumkan adalah yang model begitu bisa begitu PD dan sok tahu menjudge pemerintah, khususnya Bank Indonesia, tidak paham ekonomi Syariah. Untuk yang model begitu, ANTUM BAIKNYA YANG BERMUHASABAH!  Sebaiknya antum-antum, publish dulu di jurnal Q1-Q2 INTERNASIONAL, baru deh setelah itu layak beropini. Kalau belum, diam lebih baik daripada mengatakan hal blunder. Gila ya, rupanya memang Dunning-Kruger effect itu nyata. Kalian tau Dunning-Kruger gak? Sebuah hipotesis yang menyatakan “…people with low ability at a task overestimate their ability”

Sebelum kita kupas masalah warung dinar-dirham, saya meluruskan dulu ya…. ekonomi Syariah itu tidak mudah. Memang asal baca dari google, terus langsung expert gitu? NO! Sebagai ekonom dan peneliti, saya merasa ekonomi Syariah itu, SEHARUSNYA, lebih rumit karena kita harus paham terlebih dahulu ekonomi konvensional, baru setelah itu belajar ekonomi Syariah. Dan konsep ekonomi konvensional saja sudah sangat rumit. Lha ini dobel belajarnya. Antum pikir belajar eksyar cuman bismillah, zakat, infak, shadaqah, alhamdulillah? gitu? Gak lah… gak begitu. Kalau pemahaman kalian cuman mentok di situ, maka ada baiknya coba kuliah lagi deh ya. Supaya jadi lebih humble “Oh iya… gw masih banyak belum tau ya..”

Saya juga mau mengkritik Bank Indonesia, komunikasi publiknya terlalu belibet. Terlalu Bahasa teknis. Dengan komunikasi publik yang dilakukan BI saat ini, ini mohon maaf loh… jadi ketangkepnya “Wah pemerintah gak bisa jelasin nih.“ Padahal tidak! Ini miskom aja. Memang kitanya aja belum sepintar ahli-ahli di BI. Sesederhana itu. Orang seperti saya mungkin bisa paham, wong saya sudah belajar ekonomi sampai 10 tahun lebih, and still counting ! Tapi kan tidak semua orang belajar ekonomi toh. Jika saya boleh memberi saran, bukan hanya BI tapi juga pemerintah secara umum, kedepannya mungkin bisa menerjemahkan dengan bahasa yang lebih familiar. Masyarakat tuh cuman butuh penjelasan sederhana, “Kenapa transaksi non-rupiah dilarang untuk aktivitas jual-beli sehari-hari kita?” Sesederhana itu

Karena saya juga sudah mulai jengah dan gerah melihat “kesoktahuan” beberapa oknum, dan saya tidak ikhlas orang macam itu membodohi masyarakat Indonesia. Maka saya, tante emon, akan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Mari kita jawab dulu pertanyaan inti kita ? “Mengapa transaksi non-rupiah dilarang untuk aktivitas jual-beli?”
Ada banyak jawaban, tapi  yang paling sederhana dan paling relevan untuk kasus warung muamalah ini adalah : Untuk melindungi konsumen.

HAH ? APA ? BAGAIMANA ?

Begini

Jual beli, yang baik dan benar sebenarnya berdasarkan prinsip sederhana: kelengkapan informasi antara penjual dan pembeli. Salah satu bentuk informasi yang penting adalah harga dan kualitas produk. Sebagai konsumen kita berhak untuk liat produknya dan menilai “Oh harga yang wajar untuk kualitas segini kira-kira segini.”  Nah cara kita menilai, secara default akan menggunakan tools alat tukar yang paling sering kita pakai, tentu saja dalam konteks ini:rupiah.

Mari kita ambil contoh dari kehidupan kita sehari-hari deh, ini pasti relate banget sama Ibuk-Ibuk dan anak kost.

Karena kita sudah terbiasa dengan transaksi menggunakan rupiah, kita bisa secara cepat menakar harga “Oh iya….harga telur ayam 1 kg kira-kira 25 ribuan lah….”, “Oh harga minyak satu liter biasanya 15 ribuan.”

Nah, jika suatu ketika kita lihat label harga di suatu pedagang dan merasa “Wah ini kemahalan banget nih. Gak wajar harganya”, “Loh ini ini murah banget? KW ya? Abal ya?” maka konsumen berhak untuk tidak jadi membeli atau mencari barang subsitusi. Dan itu adalah sebuah keputusan yang rasional.

Intinya! Semakin banyak informasi yang kita miliki terkait pasar, semakin rasional tindakan yang kita ambil.

Sekarang coba bayangkan kini label harganya BUKAN dalam rupiah. Tapi dengan embel-embel dinar dirham. Dinar dirhamnya tidak jelas lagi, apakah dinar-dirham yang dipakai sebagai mata uang di Timur Tengah? Atau dinar-dirham yang dikeluarkan oleh PT Aneka Tambang (ANTAM).

Belakangan diketahui bahwa dinar-dirhamnya adalah versi Antam. Okey! Let’s follow the game!

Yang perlu diingat adalah, dinar-dirham Antam BUKANLAH alat tukar, tapi dibuat Antam sebagai alat diversifikasi investasi. Jadi kalau kita nih mau nabung, tapi kalau uang kan sering menggoda untuk dihambur-hamburkan karena sangat liquid, naaaah… disediakan nih sama pemerintah beberapa instrument investasi. salah satu instrumentnya dalam bentuk logam mulia. Ada yang bentuknya koin yang kemudian disebut dinar-dirham. BUKAN mata uang. Ingat…sekali lagi BUKAN mata uang.

Balik lagi ke label harga.
Pikiran kita kini “dikelabui” karena melihat label harga dengan nominal yang seakan-akan jauh lebih rendah “Wah murah nih…” Lalu ditambah embel-embel syariah “Wah berkah nih…” Padahal? Belum tentu! Kan pakai standar harga logam mulia. Ingat, harga logam mulia itu fluktuatif juga loh. Celakanya, kita kan selalu ngecek pergerakan harga logam mulia setiap detik. Iya toh? Nah, jadi….. bisa saja sebenarnya harga yang ditetapkan itu LEBIH  MAHAL dibandingkan harga pasar.  Dan karena banyak dari masyarakat kita yang begitu mudah sekali percaya sesuatu ketika diembel-embeli label “Syar’i”, yaaa rasionalitasnya mulai bergoyang.

Butuh bukti? Oke!

Karena saya tahu banyak yang malas membacaaaaaaaaa…… apalagi menghitung, maka saya hitung konversi rupiah dari beberapa produk yang dijual di warung ini. Saya akan buktikan betapa “trik psikologis” ini mengecoh kita semua.

Saya mengumpulkan beberapa list harga barang yang terekam di media masa. Kalau kalian mendengarkan versi audio, bisa langsung liat skrinsutnya di blog emonikova ya. Produk pertama yang saya cek adalah
Roti 6 pcs seharga 1 dirham. Kebetulan kameranya sempat shoot kalau rotinya adalah roti michelle. Masalahnya saya kurang tahu ini roti yang rasa mana. Tapi setelah  melakukan proses browsing panjang, ada michelle molen pisang isi 6 harganya Rp 40.000. Emang mau roti kayak gimana lagi sih yang ngelebihin harga ini. Tapi yo wis, kita bulatkan kasar ke atas saja ya jadi Rp 50.000 lah.

1

Lalu bagaimana dengan si warung muamalah? Pertama-tama kita harus cek harga dirhamnya dulu dong.

Saya kemudian mengecek harga koin antam 1 dirham di web LM (yang merupakan anak perusahaan PT Antam) per tanggal 6 Februari jam 8 malam WIB. Nilainya 1 dirham adalah sekitar 94.973 belum termasuk pajak. Buletin ke 95.000 aja lah ya.  Ini sudah saya kasih murah banget loh! Belum dihitung PPn dinar dirham yang 10%. Kalau kalian cek di e-commerce, satu koin bisa sekitar 120-150 ribuan ya.

Jika kita menuruti logika bisnisnya warung ini, ingat selain rate dinar dirham, dia masih tambah keuntungan 2.5%.

Maka harga roti tersebut yang satu dirham adalah:
Rp 95.000+ (2.5% x Rp 95.000)=  Rp 95.000 + Rp 2.375 = Rp 97.375

dirham

Yaaaaa 100 ribu lah ya….

Beli roti molen di bakerynya langsung bisa dapet 12 loh ! Kenyang. Saya sampa cek instagram Michele bakery  loh dan di April 2020 mereka bilang kalau dengan pembelian minimum 150 ribu, kita dapet hadiah canvas bag lucu. Dengan 150 ribu bisa beli molen sampe begah dan bagi-bagi ke tetangga, plus gratis canvas bag. Roti 20 udah bisa buat bagi-bagi ke tetangga, dapet hadiah lagi. Ya mending beli ke bakery-nya langsung lah.  

2

Rasional dong ? Ya toh… tapi karena si trik psikologis ini, ya menjebak !

Ayo lanjut lagi ! Kalian pikir saya selemah itu dalam browsing. Produk kedua yang saya cek adalah VCO, alias Virgin Coconut Oil. 2 Dirham coy !
Dengan metode yang sama maka kita bisa hitung
 VCO (2 dirham) = 2 x  97.375 = 194.750

3

Yah kurang lebih 195 ribuan ya, bok.
Okay… terkesan masuk akal ya, karena saya kan gak paham harga VCO ya. Maka saya kemudian cek harga di tokped. (Gila promosi tanpa henti nih… tolong lain kali e-commerce sponsorin saya lah).

Dan tadaaaaa berdasarkan hasil penelusuran saya~~~Paling mahal itu agaknya 100 ribuan/liter ya.

Atau gak tau deh, mungkin kalau yang 2 dirham minyaknya punya fungsi khusus atau gimana.

4

Duh capek, coba ya nanti hitung sendiri yang lainnya. Intinya, bisnis ini sebenarnya rentan sekali mengecoh konsumen. Kenapa ? Karena kita… sebagai konsumen, secara default punya pengetahuan tentang harga pasar yang lebih sedikit dibandingkan pihak produsen dan distributor. Ketika kemudian digoyang dengan “konversi” mata uang yang gak lazim. Ya makin pusing.

Kok ada sih, adaaaaa yang mau dipermainkan seperti ini.

Dan kalian tau gak sih, pajak pertambahan nilai (PPn) dinar dirham ANTAM itu lebih tinggi dibandingkan pajak logam mulia murni yang batangan. Jadi secara sederhana, sebenarnya harga beli dinar-dirham ANTAM lebih tinggi dibandingkan emas batangan biasa. PPn emas batangan itu 0.45% untuk investor dengan NPWP, kalau gak punya NPWP PPn-nya 0.9%. Sedangkan pajak dinar-dirham itu 10%.

Jadi hasil perhitungan saya sebenarnya masih under value karena saya belum menambahkan PPN 10%.

Itulah mengapa kemudian “pelakunya” dibawa ke kantor polisi. Karena kemungkinan besar mereka udah menipu konsumen yang naif dan polos-polos. Gak ngerasa kena tifu tifu.

Yang membuat semuanya semakin ambyar adalah, berdasarkan salah satu pengakuan pedagang warung tersebut,  seluruh transaksinya tidak berizin. Ini membuat konsumen sebenarnya dalam posisi yang lebih tersudut lagi.

Justru karena ada transaksi logam mulia, dan ini barang investasi, barang asset, BUKAN ALAT TUKAR. Sekali lagi, BUKAN ALAT TUKAR. Sekali lagi! BUKAN ALAT TUKAR! sekecil apapun usahanya, harus ada izin. Setidaknya lapor atau tanya-tanya dulu deh. Kemana? Coba kalian tanya dulu ke Lembaga yang Namanya Bappepti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Supaya dapet wejangan. Bappepti ini ada di bawah Kementerian Perdagangan, kantornya ada di Senen. Gak akan ditimpuk sendal kok kalau mau nanya dan niat baik. Toh Namanya mau belajar kan.

Loh kenapa? Ini kan usaha kecil-kecilan. Ribet amat.
Karena harus ada yang mengecek keaslian dan kualitas logam mulia, serta melindungi konsumen. Ini logam mulia loh, bukan daun kelor! Harus ada yang mengawasi. Kalian gak sayang sama uang kalian?

Hitunglah kita apes-pes-pes beli dinar-dirham di warung ini, dan setelah dibawa ke pegadaian misalnya, ketahuan bahwa barangnya palsu. Atau kualitasnya gak sesuai standar. Kalian mau complain? Atas dasar apa? Punya sertifikat keaslian dinar-dirhamnya? Gak? Mau balik ke warungnya, yeeee… mana mau dia balikin, kan Anda tidak punya bukti transaksi.
Sontoloyo kan? Terus marah… terus apa? Ke pegadaian? Ke Antam? Ke BI? Lah mereka kan gak paham, bingung juga mau nolonginnya gimana. Yok… perlakukan diri kita lebih baik, dengan lebih berhati-hati dalam bertransaksi.  

Maka itulah, itulah, itulah, itulah, dibuat peraturan UU No.7/2011 “Udah deh kalau mau transaksi jual beli ya pake rupiah aja. Yang pasti-pasti aja coy!”  Ada UU-nya loh. Lumayan, kalo langgar maksimal 1 tahun penjara coy.

5

Dan perkara logam mulia, udah lah beli di tempat-tempat yang pasti-pasti aja. Di pegadaian misalnya, toko perhiasan resmi, toko logam mulia, atau di e-commerce yang sudah mendapat izin jual beli logam mulia. Kemudian simpan yang rapi di kotak perhiasan, di safety box. Ini ada catatan penting lagi, pastikan kalian tuh dapet si sertifikat keaslian logam mulia dan jelas tempat dan waktu membelinya, sehingga kalau kelak mau dijual lagi kalian bisa tenang karena keaslian produk sudah dipastikan. Kalau misal mau complain dsb, bargaining position kalian pun kuat, karena ada bukti transaksinya kok.

Jadi sekali lagi, ini bukan perkara pemerintah gak pro dengan ekonomi syariah, atau anti agama tertentu.  Ini tentang kita loh… KITA… ini pemerintah lagi mau melindungi kita semua sebaik mungkin. Maksudnya tuh baik.


Silat lidah lainnya yang cukup menggelitik adalah salah satu pedagang di warung tersebut bilang, dirham yang dipakai untuk transaksi adalah dirham zakat ke para mustahik (objek zakat), naaah mereka kan perlu belanja, makanya nanti belanjanya di warung ini nih, pake si dirham zakat tadi. YA ALLAH PELIT BANGET GAK SIH ! GAK MAU RUGI ABIS !

Kalau saya sih, dapet dirham… waaah, saya cek ke pegadaian terus saya tuker disitu :p ngapain harus ke warung kecil random, repot lagi gak buka tiap hari.

Kok ya banyak dari kita yang kemudian pasrah aja diakal-akalin hanya dengan cover agama.
Jangan begitu… Allah itu menciptakan kita pake paket lengkap loh, punya hati dan pikiran. Maka hargai pemberian itu dengan cara dirawat dan dioptimalkan sebaik-baiknya…dipakai saudara-saudara.

Banyak loh ayat-ayat di dalam Al-Quran diakhiri dengan “… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir.” Berpikir… hal yang diciptakan Sang Mahakuasa saja harus diresapi melalui proses berpikir sampai kita bisa memahami tanda-tanda kebesaran-Nya. Apalagi hal-hal yang dibuat manusia? Termasuk perkara warung-warungan ini. Masa’ gak ada upaya berpikir kritis sama sekali sih?

—-

Saya rasa tidak perlu diperpanjang lagi ya.
Saya masih berbaik sangka loh, mungkin maksud tersangka ini baik.
Semoga mempan aja sih di edukasi pemerintah dan aparat.

Saya lebih khawatir netijen julid sotoy, yang makin hari makin galaaaaaaaak :’D
Ngeri…
Oh ya, dateng ke blog saya ya, masih ada tambahan Q&A netijuliden.

Terima kasih, saya tante emon,
Kita ketemu di emonikova investigasi di lain hari.

Sebagai bonus untuk kalian yang baca blog saya! Saya mencoba membuat Q & A dari celotehan-celotehan para netijen yang aduhai :’)

Nama dan foto saya sembunyikan ya, tapi kita perlu jawab pertanyaan-pertanyaan wadidaw yang ada :

Q : Loh kalau bitcoin gimana ?

yutub

A : Loh ya sama saja. Bitcoin ini kan aset digital ya, kategori crypto Currency.  Nah, ini info juga, transaksi investasinya legal JIKA DAN HANYA JIKA perusahaannya crupto currency ini masuk list yang dilegalkan oleh Bappepti. Dan itu ada macem-macem aturannya, mumet lah pokoknya. Bisa dibaca di Peraturan Bappepti no. 5/ Tahun 2019. Kalau gak salah, perusahaan penyedia jasa cryptocurrency  yang “legal” itu harus masuk list bursa Aset Kripto terbesar di dunia, harus register ke Bappepti, dan harus bayar pajak.

Jadi inget, gak bisa yang abal-abal ya. Kenapa? karena ini kan aset digital ya, barangnya tuh harus dipantau terus. Jangan sampai kayak berasa udah punya aset gedeeeeee banget, eh pas mau ditarik zonk! Itu hal yang suka disebut “bubble” dalam ekonomi.

Jadi hati-hati loh ya, cek dulu legalitasnya di Bappepti. Dan lagi-lagi! Udahlah mending rupiah aja.

Q: Loh di Bali turis boleh bayar pake dollar. Kenapa ini si dinar dirham gak boleh.
A: Eits, Anda yang kurang jeli.
Dollar ini mata uang loh, alat tukar. Jadi dia memang bisa dipakai untuk bertransaksi.
Di kawasan pariwisata, turis bayar pakai dollar itu sesungguhnya melibatkan dua transaksi. 1. Transaksi jual beli barang, dan 2. Transaksi menukar uang, Bahasa pasarnya money exchange.

Idealnya, Kawasan pariwisata itu sudah pajang rate nilai tukar mereka pada hari itu berapa. Ketika ada turis bayar nasi goreng pakai dollar, sebenarnya turis ini pertama-tama menukarkan mata uang mereka ke rupiah, lalu membayarkan nasi goreng yang mereka beli dengan rupiah. Tapi antrian kan panjang ya bok, kalo harus saklek begitu prosesnya, bisa-bisa kasirnya kena lempar piring nasgor.  Maka boleh deh mister bayar pake mata uang mister, nanti kembaliannya pakai rupiah/ rate rupiah.

Dan transaksi ini, sesungguhnya baik untuk ekonomi, karena semakin banyak turis yang belanja-belanji dan makan-makan, maka berarti semakin banyak yang membutuhkan rupiah. Permintaan terhadap rupiah akan naik. Ingat, permintaan itu berbanding lurus dengan harga, maka harga rupiah akan naik… sesuatu yang kalau di berita kita denger “Rupiah menguat.”

Itulah yang sering kita denger di berita “Sektor pariwisata dianggap mampu menggenjot nilai rupiah.” Gituuuuuuu!

Q: Padahal kan lebih baik transaksi pakai dinar dirham / emas ya. Kalau rupiah kan bisa turun.

chathahha

A: Duh ini dosa sih berghibah. Eh tapi semua identitas kan saya samarkan. Melihat ke-PD-annya sih mungkin gak akan sadar ya dighibahin. Ini untuk belajar aja ya. Oke… oke… oke…Saya prihatin komentar seperti ini justru tercetus dari orang berpendidikan dan pendidik loh. Belajar ekonomi lagi.
Loh, siapa bilang harga emas selalu konstan (maaf ya, konstan… bukan konstanta).

Untuk sekadar informasi aja, konstanta itu adalah kata benda ya, artinya nilai yang tetap, fixed. Kita benerin secara EYD, jadi “konstant” yang merupakan verb, alias kata kerja. Maknanya kalau dalam matematika itu adalah tidak bervariasi.

Lha emas tidak bervariasi di belah mananya coba?
Mari kita lihat harga logam mulia itu tiap jam berubah loh.

emas-1

Per-minggu juga.

emas-2

Jadi sebenarnya kalau mau investasi logam mulia dalam jangka pendek, ya tetep fluktuatif.
Kecuali… kalau ingin investasi jangka panjang, dan itu baru make sense.

2 tahun

emas-3

5 tahun

emas-4

Tapi seperti yang bisa kalian lihat, nilainya tetap fluktuatif. Risiko rugi ya tetap ada.
Mengapa demikian, karena harga emas juga juga punya acuan. Harga dollar dan bursa commodity exchange (COMEX). Ya… logikanya jadi sama saja, harga selalu berubah bergantung pada supply dan demand.


Selain itu,  ada logika yang keliru di sini. Nilai tukar rupiah kan memang bergantung pada jumlah permintaan dan penawaran rupiah. Namanya juga mata uang, namanya juga open economics. Kita kan terlibat perdagangan internasional.  Ya mau gak mau nilai mata uang kita akan berfluktuasi. Dan jangan khawatir, karena sementara ini rezim yang paling sesuai untuk kita sejauh ini.  Kan kita pakai rezim nilai tukar managed floating. Bank Indonesia membiarkan nilai rupiah berubah-ubah bergantung pada tingkat permintaan dan penawaran mata uang selama tidak melewati “batas aman” yang ditetapkan.  Ini otoritas moneter mantengin terus.

Terus mau pakai apa? Fixed exchange rate? Kan dulu belajar, ketika orde lama kita mengadopsi fixed exchange rate, tapi devisa kita tidak kuat untuk membayar seluruh permintaan mata uang asing (yang paling banyak dollar). Situ yang mau bayarin? Apa pakai dinar dirham? Yakin cadangan mineral kita cukup? Atau oke lah cukup, siap kena longsor? Jepang misalnya, menghentikan mayoritas tambang mineral mereka karena mereka lebih khawatir ekosistem mereka rusak. Udah kena Minamata, kena bom atom, radiasi nuklir, masa harus ngerusak alam lagi? Untung pada baik dan pinter-pinter. Jadi invest di teknologi untuk system daur ulang yang ciamik.

Kalu semua orang mikirnya kayak oknum mereka-mereka sih, wassalam… justru makin runyam ekonomi Indonesia.

Dan itu harusnya kalau anak ekonomi S1 sih belajarnya pas semester 1 tingkat 1 🙂 karena meh banget. Semoga ya, kalian semua dijauhkan dari pendidik yang ngajar asal ceplos :’) aamiin.

Ini juga bentuk kemarahan saya. Literasi masyarakat Indonesia itu masih rendah loh, jangan kemudian di-edukasi dengan ceplas-ceplos tidak berdasar. Apalagi, apalagi, kalau kita sudah menempuh bangku Pendidikan  di universitas. Kan sudah belajar toh untuk maju sidang harus kumpulin data dulu, harus dianalisis dulu, harus diuji dulu, harus berpikir dulu… baru bisa berargumentasi!

Masa’ hal sefilosofis itu gak diimplementasikan dalam kehidupan sih? Masa’gak sayang sih menempuh Pendidikan lalu tidak mencapai kualitas critical thinking yang tajam dan kritis?

Kalian mau mengemukakan pendapat apapun, saya sih terserah. Saya kan cuek-cuek aja selama ini.
Tapi tolong…tolong… terutama untuk para civitas akademika.
pikirkan apakah argumentasi kita benar, cukup bukti atau tidak.  Jangan sampai, tanpa sadar,  kita berpartisipasi membodohi masyarakat Indonesia dengan ucapan yang bahkan tidak melalui proses kontemplasi yang panjang, serius, dan mendalam.

Gitu aja sih. Itu kan hal yang konseptual banget ya.

Sekian dari tante, semoga membantu kalian memahami apa yang sebenarnya terjadi.