[Emonikova Investigasi] Mengulik Disertasi ‘Konsep Milk Al-Yamin’ dari sudut pandang metode ilmiah: Apakah cukup untuk meraih gelar doktoral?
A life learner....Books, movies, and glorious foods lover. Have a big dreams... but wanna \\\"bigger\\\" than her dreams. A life learner... Love books, glorious foods, and great movies. Proud to be a woman, daughter, sister, and best friend. A dreamer! I am the one who want to be bigger than my dreams. Future researcher and writer.
Kali ini blog emonikova, lagi-lagi, melakukan investigasi khusus demi memperjuangkan kekepoan para netizen. Saya berupaya untuk membahas habis metode penulisan untuk disertasi Bapak AA yang beberapa pekan terakhir sempat viral serta mengguncang baik dunia nyata maupun dunia maya.
Saya dan beberapa teman saya menyepakati bahwa yang kurang dari disertasi Pak AA, setidaknya menurut kami loh ya, adalah minim serta lemahnya proses peer-review dan mungkin saja minim masukan dari para insan akademis lainnya baik yang satu keahlian dengan Beliau maupun diluar ekspertasi Beliau.
Oleh karena itu, saya Tante Emon, dibantu teman-teman yang lain, dengan sukarela, ikhlas, dan cuma-cuma, akan memberikan beberapa masukan yang mungkin bisa membantu Pak AA untuk merevisi disertasinya. Untuk diperhatikan: Pak AA berjanji bahwa Beliau akan merevisi disertasinya, sehingga yang saya review pada blog ini adalah disertasi Pak AA sebelum revisi serta dibandingkan dengan “Laporan Penelitian Individul Konsep Masadir al-Ahkam (studi komparasi antara pemikiran asy Syafii dan Muhammad Shahrur) yang bisa sempat saya temukan di web: http://eprints.iain-surakarta.ac.id/3609/1/Masadir%20al-Ahkam_LaporanLengkap_16-08-16.pdf untuk mengecek konsistensi serta kecenderungan penulisan Pak AA. Sekali lagi, tulisan ini saya buat sebagai bentuk kritik sekaligus untuk pembelajar bersama mengenai metode penelitian yang baik dan benar.
Apakah saya orang terbaik dan terpintar dan terwadaw di muka bumi ini sehingga layik untuk mengomentari karya tulis orang lain? Tentu tidak, sama seperti yang lain… saya pun sudah melalui ratusan purnama untuk merevisi disertasi saya. Jurnal internasional lebih dahsyat lagi, saya sudah kenyang ditolak sana sini :’D saya…. seperti kalian, sama sama masih belajar. Namun sebagai insan akademis, saya punya tanggung jawab untuk berbagi pengalaman dan sudut pandang terkait penulisan akademis sehingga kualitas karya tulis kita semakin baik. Apalagi Pak AA adalah mahasiswa doktoral, dosen pula, alangkah bijaksana jika Beliau lebih Teliti lagi dalam membuat karya tulis sehingga sesuai metode ilmiah. Dan untuk UIN pun begitu, kan salah satu universitas yang cukup ternama di tanah air, mau dooooong karya ilmiah civitas academicanya lebih baik lagi. Pembaca blog emonikova juga pasti pernah tau, ketika skripsi saya dijiplak habis professor dari Algeria, itu pun karena minimnya proses peer review dan plagiarism check di sana, nah saya tidak mau ini terjadi di negara kita.
Lagi lagi dan lagi, saya tidak mau terseret UU ITE, karena tiket PP Jepang-Indonesia itu mahaaaaaal! Saya tegaskan bahwa opini ini tidak bermaksud memojokan siapapun. Dan saya, hanya akan menyinggung hal hal yang menyangkut teknis metode penelitian. Klo hal substantifnya sih waduuuuh, bukan bidang saya kawan! Makanya, saya hanya membahas disertasi ini dan kaitannya terhadap metode penulisan ilmiah
1. Judul
Saya dengar sih judulnya memang akan diganti ya. Tapi mari kita lihat sebenarnya blunder apa yang terjadi pada “judul” disertasi ini?
KONSEP MILK AL-YAMĪN MUḤAMMAD SYAḤRŪR SEBAGAI KEABSAHAN HUBUNGAN SEKSUAL NON MARITAL
Saya nyaris meragukan kemampuan bahasa Indonesia saya karena saya benar-benar tidak tahu subjek, predikat, dan objek pada penelitian ini. Nyaris saya mengira yamin dan shahrour adalah dua orang yang berbeda!
Saya meratapi kebodohan saya ketika teman saya akhirnya buka bicara “Mon, itu yg yamin-yamin konsepnya. Bukan nama orang apalagi nama makanan.” Owalaaaaaah… andaikan yamin yg dimaksud adalah mie yamin yg ditambah kriuk pangsit, rakyat Indonesia tentu tidak akan marah, namun gempar karena lapar.
Perkara SPOK ini rupanya bisa mengecoh kewarasan para pembaca. Saya yakin, saya tidak sendiri. Sehingga semua langsung meloncat pada “objek” penelitian ini yaitu ” keabsahan hubungan seksual non marital” ya wajar! Wong ndak ngerti subjek dan predikat sebelumnya apa. Jika saja kakek saya ditunjukan judul ini di pusaranya, saya khawatir Beliau minta izin pada Allah untuk bangkit sejenak karena begitu marah dengan ambiguitas pada judul tersebut.
Mungkin Pak AA juga fans berat Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama?” Hingga meyakini pula “Apalah arti sebuah judul?”
Eits! Berarti dong!
Karena tidak semua orang punya waktu untuk mengkaji karya tulis yg ratusan halaman. Maka impresi pertama adalah JUDUL! Judul adalah identitas, maka judul haruslah jelas. Apalagi menulis di Indonesia, dan orang Indonesia cenderung hanya membaca judul saja.
- Tujuan Penelitian
sejatinya tujuan penelitian haruslah jelas dan terarah. Nah, saya mencoba memahami tujuan penelitian Pak AA pada disertasi Beliau.
Pada abstrak tertulis MENEMUKAN TEORI BARU!
siapa tak terkejut! Konteks menemukan teori baru sesungguhnya adalah hal yang sangat serius dan WOW dalam dunia akademis. Sungguh, jika suatu penelitian bisa menelurkan teori baru, maka penulisnya mungkin sudah layik untuk menerima undangan untuk ngopi ngopi dengan calon penerima nobel.
Bukan menganggap remeh, tapi saya bertanya-tanya “Masa sih?”
Lalu saya pun scrolling menuju rumusan permasalahan, tidak ada sama sekali kalimat yang mengutarakan akan membuat teori baru, namun hanya sekadar yaaaaah mereview dan menelaah pemikiran Pak Shahrour saja. Tidak lebih dan tidak kurang.
Mungkin literasi saya yang minim atau apa, tapi saya cukup jengah melihat rumusan tujuan penelitian ini. Penulis rasa-rasanya hardcore fans dari Pak Mohammad Shahrour, yang kita semua di Indonesia banyak yang awam mengenai tokoh tsb (dan pas liat sosmednya, doski juga gak hits-hits banget gimanaaaaa gitu), mengapa kita…. makhluk di muka bumi ini perlu menelaah pemikiran Shahrour tanpa ada pembanding dengan tokoh-tokoh lain? Apa unsur kebaruannya? Jika memang ingin melegitimasi hukum baru misalnya, maka permasalahan perlu dilihat dari berbagai sudut pandang dan pemikiran para tokoh. Entah jika standar penelitian di universitas yang bersangkutan memang “cukup segitu saja” untuk meraih gelar doktor.
Saya paham, bahwa harus ada unsur “novelty” pada penelitian S3, namun…. ya… ya apa? Kebaruannya apa? mengapa hal itu kemudian krusial?
Sampai situ saya sudah cukup lelah, dan cukup kecewa. Karena jika judul dan rumusan permasalahan saja perlu dibenahi…. maka pasti perjalanan investigasi ini masih panjaaaaaaaaaaaaang.
- Terlalu banyak catatan kaki yang sepertinya, gak perlu perlu banget.
Saya memang penasaran betul dan iseng untuk mengkaji…mengapa sebuah penelitian butuh begitu banyak footnotes. pasti kompleksitasnya melebihi batas logika kita semua.
saya turut prihatin karena rupanya, Pak AA sudah gamang bahkan sejak perkara menentukan transliterasi. Tentu saya pahami kegamangannya, saya maafkan kesalahannya, namun sayangnya… saya (dan mungkin banyak orang) tidak peduli perkara transliterasi yang harus dijelaskan panjang lebar.
Background saya adalah ekonomi, sebagaimana yang mungkin beberapa orang tahu… ekonomi itu “nanggung” karena merupakan irisan matematika, statistika, dan ilmu sosial. Siapa tahu kan diluar keilmuan saya, pada beberapa ilmu sosial, footnotes memang boleh-boleh saja bisa lebih panjang dari konteks penelitiannya sendiri. Siapa tahu? Saya merasa tidak kompeten dalam membahas ilmu sosial, sehingga saya mencoba menghubungi kawan yang murni orang sosial. Pertanyaan saya singkat “Apa perlu footnote sampai curhat segala.”
Jawabannya?
“Pas gue skripsi sih, Mon. Pembimbing gue bilang secukupnya aja.”
“Kalau panjang bukannya sekalian aja cantumkan sebagai sumber terus simpen aja di dapus ya?”
“Hah? footnote seinget gue sih secukupnya aja, Mon”
Jelas sudah, dimanapun itu, aturan footnote rasa2nya seragam.
Karena saya memang husnudzan, anak yang baik, dan rendah hati…
Saya kembali optimis, mungkin… mungkin…… penulisan di masa kini berbeda dengan di era saya yang sudah hampir kepala 3 ini. saya pun bertanya pada adik saya yang masih duduk di bangku S1, belum lulus! Tapi udah dapat lah matkul metode penelitian. Komentarnya:
Yes! Saya dan adik saya pernah di SMA yang sama di SMAN 1 Bogor, dan kebetulan kami punya guru bahasa Indonesia yang super fenomenal yang super hebat karena mengecek tugas karya tulis dan PR kami satu persatu (yang kalian tau dong, level anak SMA kan masih sampah ya tugas-tugas kartulnya), dan tiap kami salah, walau hanya koma, kami akan dapat surat cinta “ulangi lagi ya sayang” dan kami WAJIB harus mengulang PR kami dari awal. Dan itu membuat kami ngelotok jasmani rohani perkara dasar penulisan ilmiah. Berbekal pengalaman sejak SMA saja kami sudah bisa meyakini bahwa ada yang ganjil dengan metode penulisan footnote Pak AA. Masa’ penguji Pak AA kalah teliti dengan Ibu Guru saya di SMA? Harusnya lebih mata elang dong, kan penguji calon Doktor 🙂
Di bidang saya, footnote sebisa mungkin diminimalisir kecuali untuk info yang singkat… jelas… padat. Misal, untuk konversi mata uang. Pembaca perlu tahu kira-kira 1USD itu berapa ya pada tahun X? Naaaah footnote bisa membantu. Sudah segitu saja, jika ada yang perlu dijelaskan maka jelaskan pada badan manuskrip.
Selain itu banyak footnote yang sebaiknya ditulis saja pada daftar pustaka. Saya jadi merasa gundah dan gamang, jangan-jangan Pak AA belum mengenal sebuah software luar biasa yang sangat membantu para mahasiswa bernama MENDELEY.
Maka, teriring rasa hormat kami…. saya melampirkan link untuk mengunduh software mendeley. Bisa pakai end note dan zotero juga sih. Tapi ini yang paling gampang 🙂
https://www.mendeley.com/download-desktop/Windows/
monggo monggo dicoba. Tinggal klak klik klak klik, nanti daftar pustaka jadi dengan baik sesuai format yang kita inginkan. Oh iya! Ada web importer juga loh! Sehingga tidak sulit untuk mengutip website di internet.
Tidak suka Mendeley? Tidak apa pak, ini loh saya ada softwara lain bernama zotero. Gratis kok… gratis! 🙂
Iya, sama-sama 🙂 kan kita akademisi, boleh dong saling membantu.
- Referensi…..wikipedia? WordPress? Bahkan grup Milis?
Jadi kalau di Indonesia itu masih boleh cite wikipedia dan wordpress untuk kartul sekelas disertasi? Atau hanya UIN Sunan Kalijaga yang memang punya syarat penulisan ilmiah yang “dinamis” dan “kontemporer.” Waduuuuh! Kenapa saya tidak masuk UIN SuKa saja kalau begitu, setidaknya lebih “enteng” lah perkara format penulisan karya tulis.
Seingat saya, bahkan saat saya S1, pembimbing saya akan marah bueeeesssaaaaaaaaaarrrrr jika tahu saya melakukan hal tersebut. “Emon! Kamu cite wordpress? Carilah pembimbing lain.”
Skripsi saya memang tidak sempurna, namun saya ingat betul karena pembimbing saya mencoret hampir semua lembaran draft skripsi saya termasuk daftar pustaka. Saya kaget betul karena Beliau cek dapus satu per satu “Mon, ini gak ada kok ditulis? Mon… ini salah dong! Mon, ini tidak valid sumbernya.” Itu untuk karya tulis anak ingusan loh, level S1, kalau doktoral harus lebih mantap terasa dan lebih ilmiah bukan?
bukankah begitu?
bukankah begitu?
bukankah begitu?
Saya pun sengaja kopipaste beberapa paragraf pada disertasi ybs dan mari kita lihat hasilnya! Anda akan terkesima!
Menemukan kalimat yang sama persis…Klik blognya…
Lihat sumbernya! Sama persis cara penulisannya.
Nah pada kasus sebuah buku ada editor, maka seharusnya sihhhhh…. seharusnyaaaaa kalau mau menuliskan pada daftar pustaka (bukan di footnote ya, karena itu kan udah kopi paste abis -.-)…. maka nama editor harus dicantumkan, plus ISBN karena kodenya ada. ISBN itu penting loh untuk membedakan satu karya dengan yang lain. Dan memudahkan penelitian susulan karena jelas referensi apa yang digunakan. Memang ribet, tapi maksudnya baik kok! Bener deh 🙂
Entah siapa yang kopi paste, namun sepengetahuan saya…. PUN….PUN….PUN…. mengutip karya orang lain dan dicantumkan sumbernya, maka perlu ada proses parafrase (eh EYD gimana sih, gini kan ya? pokoknya paraphrase. Atau memang tidak ada yang punya bukunya saja :’) )
Siapa yang kopi paste?
Duh siapa ya?
Keduanya sama-sama kopipaste dari bukunya, habis blas! Tapi siapa yang duluan menuliskannya? blog? atau disertasi? rute kopi pastenya seperti apa? buku-blog-disertasi? Atau buku-disertasi-blog?
Duh sungguh misterius! Saya menyerahkan semuanya kepada kalian 😉
Eh sampai sini saya terlalu keras dan kejam tidak? Masih kuat? Kalau iya lanjuuuuuuut!
5. Data dan Metodologi Penelitian? Apa? Bagaimana? Dimana? Arghhhhh~~~
Saya jadi tertarik mengkaji metode penelitian Beliau. Dan lagi-lagi saya takjub, karena metodenya lebih plot twist dibandingkan kisah De La Cruz pada film Coco!
Jadi ada sumber primer, sekunder, dan tersier. Okay…. yang primer buku yang ditulis sendiri oleh pak Shahrour. Yang sekunder dan tersier apa? yang ditulis orang lain?
terus udah gitu aja? Saya butuh penjelasan, namun apa daya saya malah mendapat penjelasan mengenai apa definisi “tokoh” kayaknya itu gak krusial krusial amat untuk audience pembaca disertasi
Memang ini cara dan metode yang benar ya dalam menulis kajian pemikiran seseorang? Saya gak tau loh, karena penelitian saya lebih bersifat kuantitatif. Tapi emang begitu? Ah kok rasanya tidak begitu ya.
Pembaca yang terhormat, izinkan tante emon menunjukan Anda bagaimana menulis “review paper” dengan lebih baik 🙂 memang gak sepenuhnya sama dengan cara menulis disertasi kualitatif, tapi metodologinya akan serupa karena terkait dengan “mereview” pemikiran/ penelitian pihak lain serta membandingkan beberapa pustaka.
- Untuk beberapa jurnal yang memang benar-benar membahas literatur review, maka penulis WAJIB mencantumkan berapa jurnal/ literatur yang mereka teliti? Keyword yang digunakan? range tahun dari kapan hingga kapan? Bagaimana metode pemilahan literatur?
- karena tante emon juga pernah menulis review paper. Pun jika ingin mereview hasil penelitian orang lain atau diri sendiri (misal, pada suatu paper secara idealnya sih hasilnya a,b,c,d, tapi akan ada kendalanya nih di dunia nyata, sedangkan jurnal sebelumnya terlalu teknis. nah ini perlu di review), kita perlu mencantumkan paper apa yang kita review beserta metode yang digunakan pada paper yang kita review. Ini contoh paper saya yang ‘elek sih. Tapi yaaaa kira-kira begini. Intinya kita harus paparkan kenapa kita mereview? menelaah? penelitian apa yang ditelaah? Sumbernya mana? ini penting untuk memastikan pembaca tidak hilang arah dan tujuan dan menyamakan persepsi serta memperkaya pengetahuan pembaca. Jadi pembaca punya informasi yang lengkap: lagi ngomongin apa? dan mengapa perlu diomongin? pada kasus disertasi Pak AA, kita tidak tahu karya Pak Shahrour yang Beliau kaji itu apa? dimana? Sumber jurnalnya ada tidak? Kalau rupanya pemikiran Pak Shahrour rupanya OPINI PRIBADI ybs dan tidak bersifat ilmiah, yaaaaaaaa buat apa dibahas! Buang-buang waktu dan kertas.
Bikin review paper itu sulit loh, dan biasanya KALAU melalui proses peer review, maka reviewer akan mengatakan “berikan pembanding terkait teori ini.” atau meminta literatur yang baaaaaaaaanyyyyyyyaaaaaaaaaak sekali. Sedangkan yang saya temukan, pada disertasi pak AA, literatur pada daftar pustaka pun minim sekali 🙁 jadi gimana dong? Mau dibilang review pemikiran saja sepertinya masih butuh lebih banyak literatur, daftar pustakanya bahkan lebih sedikit dibandingkan skripsi S1 saya :'(
Lebih jauh lagi.
Saya juga tidak bisa menjawab pertanyaan pada rumusah masalah ini, bahkan setelah baca habis disertasi ini, kenapa tiba-tiba milk al yamin itu jadi hubungan antara pria wanita. Hah?
Saya sudah 5 rit loh bulak balik membaca disertasi ini? Heran? Tidak lagi, karena metodenya pun tidak jelas. Jadi wajar saja. Kita semua, termasuk saya, sudah diajak tersesat sejak awal…. mungkin sekarang sudah sampai di desa penari.
6. Kritik pada shahrour? Ada… tapiii
Tapi hanya 17 halaman! Dari total disertasi 421 halaman! saya mencatat hanya ada dari halaman 280-297
Karena saya tahu kalian malas menghitung, saya berinisiatif menggunakan metode teknologi bernama KALKULATOR untuk menghitung 17/421 itu berapa persen.
Hanya sekitar 4%!
Bukan kata saya, namun kata kalkulator. Jika Anda tidak dapat menerima fakta ini, silakan gunakan kalkulator Anda masing masing, bandingkan dengan sempoa, serta Ms. Excel.
Ya pantaaaaaasssss saaaaajaaaaaaaa masyaaaaaraaaakat hebooooooooh! Dari 400++ halaman, judul fenomenal, kritik yang harusnya jadi inti penelitian hanya 4%-nya saja. Setidaknya dari disertasi versi awal. Semoga setelah direvisi jadi lebih baik ya.
Saya sih ada saran, ini kalau mau didengar loh ya. Kan ceritanya mengkaji pemikiran. Maka alangkah baiknya membahas dari sisi psikologis, antropologis, sosiologis, kultural, hingga ekonomi. Dan itu bisa panjaaaaaaaang. Masalahnya, apakah pak AA punya kerendahan hati untuk berguru pada ahli ahli bidang bidang tsb? Akan makan waktu, yes! Tapi karya yang dihasilkan akan maknyus! Dan mengedukasi masyarakat. Lulus doang sih gak susah susah amat, Pak. Tapi integritas? Nah ini yang perlu ditingkatkan lagi. Bertanya dan berguru pada ahli ahli di bidang yang berbeda dengan kita kan bukan berarti kita bodoh atau hina, tapi itu karena ilmu Allah itu luaaaaaaaaaaaas. Dunia tidak selebar buku-buku pak shahrour. Iya gak?
7. Istilah istilah yang wadidaw, serta penerjemahan yang aduhai
Karena saya punya jam terbang untuk kasus friendzone.
Saya jadi tergeltik juga untuk membaca lalu sedikit mengomentari penerjaman dan pemahaman istilah istilah yang wadaaaaw!
Misalnya, nikah friend….(baru tau kan kalian semua ada nikah friend? ada rupanya istilah ini)
Apa salahnya kalau berteman terus nikah? Duh apa sih?
Wajar saya bingung karena istilah yang lain terdapat istilah bahasa arabnya, selain yang satu ini.
Rupanya nikah friend ini ceritanya, friendzone terus mereka wik wik wik karena sama sama suka. Mari kawan-kawan pejuang friendzone, kita rapatkan shaf mengkaji penulisan yang ngawur ini.
Karena cara penulisan yang astagfirullah, penulis jadi terkesan “Ini loh jalan dan solusi untuk kalian semua wahai budak friendzone yang dibuta cinta.”
Saya kaget ketika semakin scroll ke bawah saya menemukan tulisan ini
Jadi nikah friend juga biar gak inses?
Ini pemikiran pak shahrour? Pemikiran pak Sadawi? Atau pemikiran pak AA sendiri?
Apakah Pak AA juga pernah terjebak friendzone?
Apakah Pak AA pernah di ghosting gebetan?
Apa sih Pak? Induksi logika pemikiran Bapak itu bagaimana?
Entahlah, namun pasti ada alasan hingga nikah friend ini secara ajaib muncul dan perlu dibahas, dan perlu dipandang sebagai solusi.
8. Jadi kesimpulannya….
Iya jadi kesimpulannya, pak sharour ini teorinya subjektif! Bias!
Tapi ide bagus loh buat dicoba. INI APA BANGET SIH? Pemikiran filosofis apa yang terlewat oleh saya?
Ini saya yang memang bodoh, tidak sampai ilmunya, atau bagaimana?
Saya sudah terlalu lelah hingga tidak mampu berkata kata lagi.
9. Baiklah… tapi Bapak pasti sudah terbitkan jurnal dong? Mungkin kalau manuskripnya lebih pendek saya bisa lebih paham. Iya dong! Eh tapi….
Tapi kok tidak ketemu?
Saya membandingkan disertasi yag belum direvisi serta Laporan Penelitian Individual yang bisa saya dapatkan di internet, dan menemukan bahwa Beliau mengaku sudah publish banyak sekali paper. Kita mau baca dong ya 🙂
Maka saya lacak satu per satu.
Sayangnya saya tidak bisa menemukan tulisan Beliau.
Archive terawal jurnal yang diakui sebagai tempat menulis pak AA sekitar tahun 2016 dan 2008. Sedangkan Pak AA mengaku menulis di jurnal-jurnal itu sejak tahun 2000-an.
Apa saya salah jurnal? Atau jangan2 hanya submit saja tapi belum publish?
Saya tidak tahu. Tapi ini adalah hasil penelusuran saya.
Saya harap saya yang salah, saya yang terlewat dan kurang menggali google, dsb sehingga tidak menemukan tulisan Pak AA sama sekali.
Namun jika memang tidak ada….
Bukan Pak AA yang perlu meminta maaf, namun seluruh pihak terkait, termasuk promotor hingga pihak universitas sendiri.
Sangat tidak fair meloloskan disertasi yang bahkan belum teruji melalui tahap peer review.
Tahap peer review adalah tahap paling melelahkan, stress, menguras tenaga, namun itulah saat penulis belajar dan memahami apa sih kekurangan dari studi tersebut.
Lagi-lagi ini masalah kredibilitas.
Lulus S3 saja sih, gak susah susah banget…. tapi menjaga kredibilitas dan tanggung jawab dari gelar yang kelak didapat, itu amanah dari Tuhan. Katanya ber-Tuhan. Orang yang ber-Tuhan harusnya tidak mengelabui manusia lain, dengan cara apapun…termasuk mengaku sudah menulis jurnal ilmiah namun tidak terbukti.
Andai saja, andai…. setidaknya ada prosiding yang dibuat oleh Pak AA terkait dengan disertasinya. Mungkin saya masih bisa menerima. Namun, itu pun tidak saya temukan.
Saya kemudian mencoba mencari berdasarkan judul. Ada yang sedikit mirip, tapi sayangnya bukan karya Beliau 🙁
10. Dan apakah kita perlu mencantumkan Karya Tulis yang BELUM/ TIDAK dipublikasikan
ini pun mengagetkan. Untuk apa mencantumkan karya ilmiah yang tidak dipublikasikan. Memang, pada CV… biasanya kita boleh mencantumkan beberapa karya yang masih dalam rencana/ masih dalam proses. Namun biasanya hanya 1-3 saja. Dan biasanya berkaitan erat dengan publikasi yang sudah diterbitkan. Itu pun bukan sebagai poin untuk lulus S3, namun hanya untuk menunjukan seseorang sedang dalam proyek penelitian dan dalam waktu dekat akan segera submit. Biasanya kalau dipresentasikan bisa ditulis “to be submitted.”
Namun yang ada di list Pak AA, adalah karya sejak tahun 1995! Untuk apa? Untuk menunjukan list soft skill? Atau hanya butuh pengakuan saja.
Saya mulai geram. Ada persamaan antara Pak AA dan Pak Shahrour idolanya: Sama-sama narsis. Lihat saja twitter Pak Mohammad Shahrour, harus repot mencantumkan DOKTOR pada akun twitternya. Padahal kalau karya Anda okesip sih, Pak, Anda mau cantumin gelar atau gak… orang akan paham dan tau.
Saya kecewa!
Patah hati!
Saya tonton betul klarifikasi dari seluruh pihak yang bersangkutan. Mengatakan bahwa seluruh metode ilmiah sudah dilalui. Namun mana buktinya? Mana? Mana wahai UIN Sunan Kalijaga??? Woi mana woi??? UIN itu Universitas Islam Negeri. Dalam Islam, kita harus bisa mempertanggungjawabkan perkataan dan perbuatan kita. Nah mana?
Saya sedih, meratapi kemampuan penyusunan karya ilmiah di dalam negeri.
Jika banyak dari kita yang tidak tahu konsep Milk al-Yamin atau tidak tahu siapa Mohammad Shahrour, mungkin wajar karena topik terkait hal ini sangat spesifik (lagian mendingan gak tau sih). Tapi, kalau sampai tidak ada yang mengkritisi metode ilmiah serta cara penulisan…? Ini baru menyedihkan karena hal ini sangat basic, dan sudah seharusnya dipelajari oleh mahasiswa setidaknya sejak S1. Jika tidak ada yang menyadari hal ini, maka… apakah kualitas penelitian ilmiah kita masih begitu rendahnya?
Saya tentu tidak bermasuksud memojokan siapapun. Saya pun tahu bahwa Pak AA berjanji akan merevisi disertasinya, namun saya harap revisi juga mencakup perbaikan metode penelitian serta pertanggungjawaban secara ilmiah terkait publikasi yang sudah ditelurkan. Publik berhak untuk mengetahui setiap komponen dari penelitian tersebut.
Semoga kita semua juga bisa belajar dari hal ini.
Namun, jika nanti Pak AA tidak mampu memperbaiki serta mempertanggungjawabkan seluruh komponen yang ia tulis pada disertasinya. Maka… tidak ada pertanyaan lain untuk Beliau, selain satu: Apakah Bapak memang sudah pantas meraih gelar doktoral?
Hingga tulisan ini saya akhiri, saya berharap Pak AA bisa melakukan revisi secara bijaksana dan cerdas.
Aamiin~~~~~