seharusnya hashtag itu #KamiBernurani


Indonesia itu unik…
Negeri cantik yang punya masalah super kompleks
Dipenuhi banyak kisah penuh motivasi dan juga kisah misteri…
Sebagai orang yang “jauh”dari tanah air saat ini, saya merasa berita di Indonesia kok ya aneh-aneh semua.

Mulai dari kasus seorang wanita cantik yang tiba-tiba meninggal dunia setelah “ngopi” yang menurut saya yang cuman liat aja (dan udah menghabiskan puluhan tahun dengan novel detektif) terlalu gak masuk akal kalau itu bukan kasus pembunuhan… lalu tiba-tiba ada pegawai resto yang nyicip kopi petaka itu. Kalau saya jadi manajer resto saya akan amankan barang bukti, dan jika saya pegawai dibanding saya sibuk icip-icip mending saya heboh nelpon ambulance atau ambil segelas air putih. Useless sih tapi namanya juga usaha. Yaaaaah tau lah… pokoknya terlalu banyak yang misterius dalam satu frame cerita. Yang pasti jika itu benar kasus “pembunuhan”pelakunya sudah pasti orang pinter dan cerdas… bisa mengelabui kamera CCTV dsb! Woowww~~~plok plok plok plok….
lalu terusssssssss cerita yang aneh-aneh muncul, ada istri yang baru sadar suaminya juga “wanita”setelah menikah beberapa bulan…. which is “huh”? kok bisa gitu… entah lah ini obrolan dewasa hahahhaa. Terus kasus malpraktik…. hingga akhirnya muncul berita paling klimaks bulan ini: Ledakan dan Penembakan di Sarinah.
Lalu muncul hastag #kamitidaktakut
Bukan masalah hastag yang keren ini… namun cara Indonesia menunjukan ketidaktakutannya yang  menurut saya “What? Seriously?

Dari yang pada selfie

Ah cemen aja lo, Mon! Suka-suka orang aja lageeee….
Iya saya memang cemen… tapi waspada dan ceroboh itu dua hal yang berbeda.
Dan selfie! I love selfie, everybody loves selfie… namun sebuah hal yang bijaksana jika kita tahu tempat dan waktu kapan harus selfie. Lah Indonesia… ada taman bagus dikit, selfie… ada jembatan baru, selfie… ada kecelakaan, selfie… hingga ada teroris, selfie!!! Come on! nanti ketika malaikat pencabut nyawa mau dateng mampir juga selfie?
Berikan saya satu penjelasan paling ilmiah, paling akurat, paling bijaksana untuk menjelaskan fenomena ini.

lalu ramai juga di twitter dsb, pedagang sate dan pedagang asongan yang stay cool aja gitu…

Subhanallah banget sih…
Tapi, saya punya sudut pandang lain. Ketika kondisi kritis dan kematian tidak menakutkan seseorang, maka mungkin mereka selama ini dekat dengan kondisi tersebut. Guys, bagaimana jika yang sebenarnya di benak mereka adalah “I am poor, if I am not sell anything today… my family can’t eat anything today!” atau “WTH with terrorist, with my condition I will be die later or soon
Saya merasa bahwa ini malah sebuah capture bisu betapa indeks gini di kota Jakarta sangat besar… rakyat kecil sudah tidak takut mati demi sesuap nasi. Hal luar biasa, namun bukan hal yang harus dibanggakan terlalu berlebihan…namun sebuah bahan renungan untuk kita semua.

Dan alih-alih peduli ada berapa korban jiwa…
Trending topic di twitter lebih ke #polisiganteng :”D yang memang polsinya ganteng…

namun entah lah… jika tetangga saya rumahnya kebakaran, lalu datang pemadam kebakaran yang rupanya guanteng buanget, tetap ganjil rasanya jika saya kemudian malah heboh “Gyaaaa, pak pemadam kebakarannya guaaanteeeengggg”  jika menurut kalian itu biasa aja ya monggo, menurut saya… mmm gak.

Dalam bertindak, kita mengenal suatu hal bernama Etika.
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etika adalah:

etika/eti·ka/ /étika/ n ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)

mari garis bawahi hak dan kewajiban moral. Semuanya hak kita, selfie, berpendapat, naksir cowok ganteng, main enggrang, minum kopi, guling guling, jugkir balik… semuanya! Namun apa kewajiban moral sudah terlaksana dengan baik? Itu loh yang seharusnya dipikirkan terlebih dahulu.

Mungkin saya bukan marissa yang dulu, mungkin kini saya marissa yang kolot, menyebalkan, susah diajak ngeguyon…
Namun melihat foto-foto yang bersebaran di social media, memang kata Joker “why so serious?” dan kita memang butuh guyon… namun lama kelamaan saya bertanya “Apakah nurani bangsa sudah membeku?”

Jika saya yang tergeletak di situ… dengan tertatih saya berharap ada yang menolong saya… jika harapan itu tidak ada, saya akan berdoa biarlah saya menjadi korban terakhir, saya akan berharap semoga semua orang bisa lari sejauh mungkin melarikan diri, menyelamatkan diri…. menyelamatkan nyawa yang berharga bagi dirinya dan keluarganya. Bukan blitz kamera, bukan tongkat tongsiss, bukan hashtag #Timsarganteng, bukan orang yang berseliweran di sekitar saya untuk menjajakan dagangan mereka, bukan orang-orang yang kemudian upload foto di instagram atau path “Di sini loh TKPnya, gilaaa tadi gw liat sendiri cewek berkerudung bercucuran darah”

Indonesia ini bukan panggung sandiwara…
Ini sebuah negeri dengan 200 juta lebih manusia yang punya nurani.

Untungnya dari sekian banyak berita seperti ini, ada juga berita yang cukup memberikan saya “harapan”, seorang mas tukang ojek suatu armada yang menyelamatkan seorang mbak-mbak

Mungkin masih banyak harapan berserakan di setiap sudut Jakarta, harapan mengenai manusia-manusia yang manusiawi, yang bernurani.

Dengan sejarah panjang sebagai negeri yang dilandasi gotong royong, saya mungkin akan lebih bahagia jika hashtag yang berseliweran itu adalah #kamibernurani

selfie…: aku, kamu, kita semua suka selfie


salah satu hal menarik yang terjadi bulan ini selain pergolakan geopolitik di dalam negeri [yang setelah gw nyampe Jepang, rasanya liat berita politik dan ribut2 di socmed itu semacam ‘yaelah moment’] adalah kecenderungan masyarakat yang semakin senang melakukan eng…ing…eng…. SELFIE.

What to say, I also love selfie.
Tapi ketika selfie punya arti-arti lain, maka selfie menjadi lebih dari sekadar selfie [Mon, naon…sih]
Yang paling gressssss saat ini adalah foto selfie pas hari ibu.
Tapi itu seremonial, ada juga selfie sama pacar setiap kali jadian per bulan [and surely it makes you remember other people boy/girl friends than your crush at all :p]
Selfie when  you have new make up stuff, or new haircut
dan yang tidak kalah panas tentu kecendrungan cowok yang juga makin kesini makin sering selfie
we have so many selfie! You do it good, Indonesia! Ah….really?

Ada hal menarik yang saya temukan.
Coba tebak ada berapa foto sefie di hari ibu pada hari ibu di Indonesia? Ayoooo tebaaaak…wallahu’alam tapi pasti ada ribuan karena ketika saya buka social media, wuuuusssssh… terpaan foto selfie menerjang. so happy to see it, but erghhhh buat gw anak mami yang tinggal jauh di rantau rasanya mT^Tm aaaaa kangen mama. Walau sama mama pasti ditanya “Kak… kakak boleh sekolah terus tapi inget ya mama mau cucu” Arrrrghhhh makjleb brow. Kadang yang ambil foto selfie itu suka gak tendeng aling-aling juga sih sama perasaan orang T^T huhuhuhuhu. But it almost ok and not such a big deal.

Dari seluruh foto selfie itu sodara-sodara sebangsa dan setanah air, ada berapa orang…. berapa orang, yang tepat pada hari itu keep their cellphone far far away and then come to their mom and said “Mom, I love you. thank you” lalu makan bareng sambil ketawa-ketawa dan minum teh anget bareng.

Image and video hosting by TinyPic

Thanks atas pencerahannya pada dunia bang juki…..

Mungkin gak sampai setengahnya. I found that’s fact 😉

Dan bukankah dunia yang lebih disibukan dengan foto selfie dibandingkan kontak langsung dengan orang yang dicintainya adalah dunia yang hambar dan terlalu menyedihkan?

Jadi… apakah hal baik yang kita lakukan kepada ibu kita, lebih banyak secara signifikan daripada foto selfie kita? THINK AGAIN!
Seberapa sering kita pulang dengan senyum lalu bilang, “Maaaaa… ini ada oleh-oleh.”
atau “Ma, masak dong….kita makan bareng-bareng ya”
atau sekadar bilang “Oke, Ma…. siap laksanakan” sesegera mungkin ketika Ibu kita menyuruh sesuatu.
Tapi itu kan momentum, Mon, what’s wrong with it? Tidak ada yang salah dengan momentum, apapun yang terkait dengan waktu maka itu gak salah, kawan…itu exogenous variable. Satu-satunya yang kurang sreg adalah apakah selfie kemudian bisa menjadi manifestasi yang tepat untuk menyatakan cinta, kasih sayang, dan semacamnya? hei hei hei…. tidak sedangkal itu kawan.

Jika pada kenyataannya kita toh lebih sibuk dengan urusan lain, mulai dari jalan bareng pacar tiap minggu sampai waktu kita ketemu ibu atau keluarga lebih sedikit daripada intensitas ketemu pacar, lalu lebih sibuk dengan pekerjaan dan hangout bareng temen daripada sekadar ngobrol bareng keluarga sendiri, atau lebih ramah dan manis di depan keluarga calon mertua daripada keluarga sendiri. Forget selfie! Fix yourself!

Itu belum cukup…
Yang lebih bikin badan ngilu-ngilu adalah, when someone take selfie with their boyfriend/girlfriend kalau secara annual atau monthly sih lumayan ya, tapi weekly? Saya dulu sempat jengah dan gara-gara itu saya unfollow beberapa teman yang melakukan hal itu, mungkin di belakang pada komat kamit “Dasar jomblo gak laku, gak bisa liat orang seneng” hahahahhaa bodo amet… tapi bayangkan….bayangkan….bayangkan…. tiap minggu kalian melihat foto orang yang I don’t even know who dan membanjiri timeline. Baru setelah sampai tokyo gw belajar tentang privasi…. Bukannya hal kayak gitu, I mean have a date with someone you love and maybe will have more serious relationship, itu semacam privasi ya? Kalau gw… gw kalau gw punya pacar maka pasti lebih seneng ngobrol dengan tenang berdua dan gak sibuk dengan ambil foto selfie. Waste time banget. Imagine a date when both of you, or at least you so busy with uploading your photograph or check in on socmed! Untuk apa…. untuk dapat pengakuan dunia bahwa kalian pasangan paling romantis di muka bumi? Oke… jika itu kalian dapat lalu untuk apa? Dijual ke pasar saham? Meaningless kan?
So please…. kalau mau selfie jangan over dosis lah. Sahabat gw bilang gw ini harus menahan komentar gw yang kadang terlalu pedas, but hey hey hey world look…look…look…. don’t you think that it just annoying?

Kemudian ini lagi-lagi menjadi pertanyaan paling krusial dalam per-selfie-an, “Apakah selfie, adalah perwujudan yang benar untuk cinta dan kasih sayang?”

Lalu di saat yang sama timeline pun dipenuhi juga foto selfie gw yang narsis pas kurang kerjaan dan penuh kegajean, selfie beberapa orang yang baru mencoba tatanan rambut baru, make up baru, dan bahkan pria-pria yang secara mengejutkan selfie juga tapi dengan gaya yang menurut gw sih kurang macho dan terlalu banyak efek kamera. Gw jadi merasa ikutan mainstream. Ahhhh…tapi ini penting ya…. in photography, kalau kalian ambil foto selfie, it’s okay! tapi kebanyakan efek itu GAK BANGET! buat cowok, itu bikin kalian keliatan kurang manly karena ‘woooow…. cowok sibuk main kamera 360’ and trust me ide kalian using sexy lips effect itu juga GAK BANGET. Man with red lips? Arghhhhh…. tenggelamkan aku di rawa-rawa deh. Terus buat kita para cewek, when take selfie dan overbright, terlalu putih, atau kebanyakan efek juga, gw baru sadar kalau it is nothing except we look like suzzana pas dia akting jadi pocong. Dan duck face… stupid face…cengo face… whatever! Kalian merasa gak sih foto itu mencatat momen yang mungkin gak balik lagi, and you use cengo face? Itulah kenapa kadang gw lebih suka ambil foto candid karena ambil muka kalian secara natural sekarang udah susah! Susaaaaaah banget!

Jadi selfie itu apa? sejenis pencitraan…
Memangnya yang kita lakukan sudah begitu luar biasa sehingga layak selfie?
Kalau masih ngerasa sebagai remah cabe rawit di bungkus gorengan sih, yaaaa…. jangan aneh-aneh banget lah.

Pesan gw: do selfie but in natural and ‘make sense’ way!
Let’s take sefie together, JEPREEEEET!

P.S: Ah sebuah rahasia lagi, kenapa gw juga selfie… karena gw biasanya lonely traveler, jadi kalau jalan2 pasti sendiri. Gw agak gak sabaran soalnya dan gak semua orang bisa jadi teman seperjalanan yang baik untuk gw  [errrrr gw sih yang gak baik], jadi sefie is one of the solution.   arrrr…. mblo….mblo….