Mahasiswa ikut demo? Salahkan?: Mengkritisi kematangan emosional dan Politik “Kidz zaman now”


Entah mengapa sedang muncul kisruh baru di dunia persilatan mahasiswa. Adik saya geram sekali karena dia dinilai sebagai mahasiswa apatis yang setelah kuliah langsung pulang dan hanya ikut satu kepanitiaan. Kalian tidak tahu kan, adik saya cepat-cepat pulang karena harus merawat Mama kami yang baru saja menjalani operasi bedah kecil karena luka yang tidak kunjung sembuh terkait penyakit diabetes Beliau. Sama seperti adik saya, saya juga gak terlalu gila dengan organisasi… walau dulu pernah masuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), kalau saatnya pulang yaaaa saya pulang. Demo? Aduh gak deh. Bagi orang-orang seperti saya… demo itu hukumnya “makruh”, yo wis lah kalau mau pada demo, tapi gw sih ogah.

Saya tidak pernah bermasalah dengan anak-anak yang demo, itu keren juga loh semangat muda yang berkobar-kobar. Dan memang, sesekali pemerintah memang harus didemo, disentil dan diingatkan. Lagian era demokrasi loh.

Yang membuat saya kecewa…. sebagai seorang “kakak”, bukan hanya bagi adik kandung saya tapi juga bagi mahasiswa-mahasiswa zaman now, kok kesannya malah mahasiswa yang “aktivis” dan “apatis” ini jadi dua kutub yang betul-betul bersebrangan dan saling tunjuk hidung dan merasa “Gue loh yang paling bener, lo…lo…lo…salah”. Zaman saya sih, saya berteman baik dengan anak-anak yang semangat berdemonstrasi, dan yang demo pun gak pernah tuh semena-mena “Lo itu, Mon… super apatis. Lo gak peduli sama masyarakat”. Kami mengkritik kajian-kajian BEM yang menurut kami ngawur, dan BEM juga nerimo-nerimo aja sebagai masukan. Lha! beda kan biasa~ justru perbedaan pola pikir memperluas perspektif kita.

Baru-baru ini ada kasus yang melibatkan kampus saya dan mungkin beberapa kampus lainnya. Ada kisah tentang beberapa mahasiswa yang ditangkap polisi karena berdemonstrasi menuntut kebijakan Jokowi-JK yang rasa-rasanya belum berjalan baik menurut mereka. Singkatnya, ada dua kubu: Kubu pro demo, dan kubu anti demo. Yang Pro-demo ini menuntut teman-temannya segera dibebaskan “ini orba model baru, krisis demokrasi”. Yang anti-demo jadi merasa bodo amat karena merasa “Ya rasain aja, salah sendiri lo gak ikut aturan main… harusnya bubar jam 6 sore, kok jam 11 malem masih stay. Mamam tuh di kantor polisi”.

Dan namanya juga “kidz zaman now” yang menurut saya kematangan emosional, sosial, dan politiknya masih belum stabil, yaaaaa…. gontok-gontokan aja di social media.

Well, mumpung masih jadi mahasiswa S1… masih ada banyak kesempatan untuk melakukan kesalahan dan juga belajar memperbaiki itu. Lalu, dengan cara itulah kalian akan menjadi lebih dewasa.

Kepada para mahasiswa yang demo (atau mendukung yang demo)
Mulai dari para demonstran yang semangat-semangat ini ya. Yang energi mudanya luar biasa.
Adik saya men-share sebuah pernyataan unofficial yang mewakili teriakan kubu pembela demo. Untuk menghormati adik ini, saya blur yaaaa namanya ๐Ÿ™‚ kalau kamu tahu siapa, biar hanya aku dan kamu yang sama-sama tahu (apa sih… hahahahaha).

Oh iya… disclaimer dulu. Saya mah udah ‘senior’ dibilang mahasiswa apatis yang know nothing. Yah atuh saya mah apa lah dibanding mahasiswa aktipis mah… hanya mahasiswa uzur yang lagi penelitian dan kuliah di luar negeri aja. Tau apa, tentang gini-ginian mah lah~ pret. Hahahhaa… jadi saya kebal loh kalau kalian gak setuju sama saya. Tapi saya ini seorang kakak, dan saya merasa I need to criticize this one.

Bacanya pelan-pelan lah ya, biar puas hahahahaha ๐Ÿ˜€ eh pembaca yang lain juga boleh komen loh, tapi inget yang sopan dan kalau bisa penuh humor lah. Kalau penuh hujatan, saya bisa detect IP address kalian loh ya ๐Ÿ˜‰

Image and video hosting by TinyPic

Kok rada-rada politik ya, eh emang mahasiswa teh boleh ya popolitikan kieu? Beneran gak tau, soalnya kalau di Jepang sini, kampus adalah kawasan steril yang bener-bener bersih dari bau-bau politik. Selebarannya pilkada aja gak boleh terbang ke kampus. Kalau sampai ada, wah bisa heboh seantero kampus. Tapi kan saya mah apa atuh, pas kuliah S1 saya juga biasa-biasa aja, gak wow…

Dan hey! mari kita ikuti logika berpikir Sang Penulis yang luar biasa sangat berbakat ini.
Jadi masa baju kotak-kotak salah ya dengan melebihi batas demo? Banget dong!
Nah, okey… mereka salah. Jadi kalau mahasiswa melebihi batas waktu demo juga boleh dong, wong sudah ada “suri tauladan”nya. Bukan perkara hal salah atau benar…. tapi perkara sudah ada yang melakukan itu sebelumnya atau belum?

Nak! kalian itu… sorry… mahasiswa? Mahasiswa itu kaum intelektual loh, dan sebagai seorang intelektual bukankah kalian seharusnya sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah? Jika kalian paham bahwa melewati batas waktu demonstrasi itu SALAH, no matter how much success stories bahwa ada yang berhasil dengan aman lewat masa demonstrasi adalah tetap SALAH. Iya gak sih? Atau logika matematis seperti itu harus diajarkan secara lebih serius di bangku SMA supaya metode penarikan keputusan kalian logis.

Dengan demikian, walaupun saya bisa memahami kalian berusaha kritis dan membela beberapa kepentingan negeri. Namun, maaf… masyarakat mana yang kalian wakili? Karena saya kok malah kecewa dan merasa tidak terwakili? Dan teman-teman kalian juga ada banyaaaaak sekali yang bahkan jadi berkurang respectnya dengan kalian. Kalian tahu, siapa lagi yang merasa tidak terwakili oleh kalian? Keluarga dari para polisi yang tugas jaga ketika demonstrasi kalian.

Saya mencoba seobjektif mungkin dan semanusiawi mungkin. Mengapa polisi cenderung lebih anarkis saat ini dibandingkan ketika kasus ahok misalnya? Karena mereka lelah… lapar… dan probably ngantuk. Ketika kasus ahok, walau massanya lebih masif tapi tempatnya terbagi dua bukan? Jakarta dan Depok? It means yang jaga pun terbagi, ada yang di Jakarta dan kemudian di Depok. Ketika massa bergerak ke Depok, yaaah mayan lah yang di Jakarta bisa makan dulu… meanwhile di Depok udah siap-siap dengan makan makanan bergizi dan stretching.
kasus kalian beda dek, waktu bapak-bapak polisi ini istirahat lebih terbatas. Mereka harusnya sudah bisa sedikit melemaskan otot setelah jam 6 sore. Lha, kalian lanjut sampai jam 11 malam. Berisik, capek, pegel, ngantuk, lapar… belum lagi mereka yang di garis depan itu polisi-polisi bergaji rendah loh, Dek… ya ngaaaaamuuuuuk. Itu sih sabar, kalau saya polisinya udah dari jam 7 malem kali saya jadi “liar” hahahhaa.

Saya menyayangkan kalian… mahasiswa cerdas, yang antusias memperjuangkan hal-hal makro, melupakan hal mikro bernama “berpikir dan bersikap manusiawi”. Saya akui aparat salah… iya! Itu parah sih. Tapi saya paham…mereka lelah, Dek. Jika yang jaga itu adalah ayah saya, saya akan marah sekali… marah sekali dengan kalian mahasiswa-mahasiswa yang “menahan” ayah kami begitu lama. Kalian mungkin gak paham ya, tapi sebagai seseorang yang sudah tidak memiliki ayah… saya pikir kita waktu seorang anak dengan ayahnya itu begitu berharga. Happy merebut waktu itu dari anak-anak yang menunggu bapaknya pulang?

Lanjooooot!

Image and video hosting by TinyPic

Saya sebenarnya setuju dengan paparan di paragraf selanjutnya. Mengenai keresahan mengenai ketimpangan dsb. INI KEREN! Saya tulus mengakui ini, dan itu pula yang membuat saya bilang “I have no problem sih kalau ada yang memilib berdemo”. Tapi, pemerintah itu orang-orang yang sibuk, including Pak Jokowi yang pada esensinya kalian demo…. sebelum koar-koar, bikin lah kajian yang jelas dengan data scientific dan permodelan yang jelas. Jangan demo dulu… cari kawan “apatis”
kalian yang jago nulis, buat karya tulis misalnya, sampaikan di conference, dengar masukan expert di bidang itu, dan kalau lebih hoki lagi siapa tahu kan dapat hadiah dari lomba karya tulis. Sebagai ekonom lingkungan, saya juga menentang reklamasi misalnya. Lebih ektrim dibandingkan kalian, saya juga tidak setuju dengan pembangunan pabrik semen di Kendeng, saya juga tidak setuju dengan perluasan lahan kelapa sawit. Tapi lawan kita ini juga orang-orang yang pintar! mungkin juga licin… maka kita harus lebih cerdik. Itulah alasan mengapa saya memutuskan terus belajar. Somehow, walau saya tahu kalian akan berpendapat bahwa jalan perjuangan kita yang beda, kita harus lebih pintar dibandingkan “lawan-lawan” kita itu. And have you, guys? Not yet? Then go back to the school… Seriously!

Lalu, saat kalian memiliki kajian yang kuat, kalian bisa deh datang dengan PD kepada para pemegang kebijakan. Datang baik-baik ke Ibu Sri Mulyani kek, atau ke Ibu Susi kek. Diskusi “Bu, jadi berdasarkan hasil penelitian kami dengan data time series tahun xxxx hingga xxxx, kita bisa lihat nih masalah kita A, B,C, D, etc”. Nah! Pertanyaannya, sudah berani belum jika intelejensi dan mental akademis kalian diadu dengan para ahli di pemerintahan? Saya sih gak, saya kan bodoh hahhahahaa… makanya sampai sekarang masih sekolah, itupun masih banyak salahnya. Entahlah jika ilmu kalian sudah sampai ke level itu. Kalau level kalian kira-kira masih cuman bisa complain dosen pembimbing kalian killer hingga kalia gak lulus-lulus dan penuh revisi, terus curhat di socmed…. yang perlu direformasi terlebih dahulu mungkin mental kalian.

Jika langkah-langkah tersebut sudah dijalani, DAAAAAN mentok…. hayu lah, saya dukung demo sampai kapanpun. Karena dibandingkan demonstrasi, saya merasa metode pendekatan lewat kajian, terutama untuk para akademisi (btw inget2 loh, mahasiswa itu masuk CIVITAS ACADEMICA), lebih efektif dibandingkan demonstrasi berjam-jam. Kalian juga bisa bertemu para “kunci” pemegang kebijakan. Sekarang aja kalian idealis gila-gila, tapi sebagai yang juga pernah bekerja di pemerintahan, internal pemerintahan itu juga stressful, banyak permasalahan yang menumpuk dan perlu diselesaikan satu per satu. Saya yakin, kita nyoba jadi tukang fotokopinya kementerian aja belum tentu sanggup, karena pekerjaannya sangat sulit dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan.

Saya kemudian mengkonfirmasi dan melihat media sosial BEM univ-univ terkait yang mengklaim mereka tidak bubar karena Pak Jokowi batal menemui mereka padahal dari yang mereka dapatkan “Pak Jokowi akan dapat menemui massa”
Rupanya……….. Bapaknya ada di NTB :p
Kecawi lah para pendemo.

Paham juga sih kenapa yang demo kecewa, tapi… ya mau bagaimana, toh Pak Jokowinya ke NTB juga melakukan hal yang (I am so sorry to say this, Dek) lebih berguna daripada mendengarkan massa demonstrasi. Karena, bagi saya yang mengamati dari luar, mana kajian ilmiah yang kalian gadang-gadang merupakan alasan kalian berdemonstrasi? Jangankan Pak Jokowi, kami saja menunggu loh. Kalau memang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan, gak usah panas-panasan juga dibantuin deh menemui pihak-pihak terkait. Ya, ini sih malah opportunity cost pada akhirnya… pergi ke NTB mengurus masalah perizinan tanah lebih jelas outputnya. Kalau Beliau tidak menyelesaikan ini juga kalian marah bukan?

Well… topik demonya pun menjadi blunder, ini beneran membela rakyat?
Image and video hosting by TinyPic

Jadi ini teh demo masalah ketimpangan? Atau UU Ormas? Wow…wow…wow… mind blowing wooooow….
Pantesan Pak Jokowinya memilih ke NTB, Dek.

kalian teh paham gak fasis itu apa? Nih, lah saya kasih. Karena saya yakin kalian lebih fresh dan lebih cerdas daripada saya yang sudah aging dan bodoh ini, saya asumsikan level bahasa Inggris kalian lebih baik dari saya… ini loh ya definisinya:

fascism

noun

1.(sometimes initial capital letter) a governmental system led by a dictator having complete power, forcibly suppressing opposition and criticism, regimenting all industry, commerce, etc., and emphasizing an aggressive nationalism and often racism.

2.(sometimes initial capital letter) the philosophy, principles, or methods of fascism.

3.(initial capital letter) a political movement that employs the principles and methods of fascism, especially the one established by Mussolini in Italy 1922โ€“43.
Saya pikir presiden kita jauh lah ya dari “Fasism”. Fasisme itu kata yang serius loh, kalau kalian ngomong ini di Jerman mungkin bisa digelepak sandal sama orang sana.

Fasis itu bukan hanya otoriter tapi menguasai seluruh sektor dan cenderung rasis. Kayaknya saya merasa tidak ada rasisme di Indonesia (yaaaa belum tahu kalau sudah ganti). Saya juga merasa kalau gak ada halangan untuk seluruh lapisan berkarya. Ketika kebebasan berinteraksi dan berekspresi itu masih ada maka itu bukan FASIS. Otoriter saja rasanya belum sampai.

Bukan saya ini pembela Jokowi, tapi bagi saya jika ingin berjuangโ€ฆ ingin berperangโ€ฆ maka elegan dan cerdas lah, apalagi membawa bendera AKADEMISI sebagai mahasiswa.
Sebagai bagian dari civitas academica, jujur saya malu dan menyayangkan ketika hal seperti ini terjadi pada mahasiswa. Dan maafkan sayaโ€ฆ ketika saya kecewa melihat argumen-argumen pembelaan yang menurut saya lebih berbau politis daripada akademis.

Dan UU Ormasโ€ฆ what happened with UU ormas? Saya sampai baca loh itu si Perpu Ormas. Yang belum baca silakan deh baca di sini
Saya kan bodoh politik ya, jadi saya nanya deh, yang salah apa? Ya wajar lah, pemerintah tidak mau ormas membuat keributan dsb. Yang salah itu apaaaaaa? Ohhhhh, kalian bagian dari ormas yang kemarin dibubarkan? Ya kalau gitu jangan pakai panji-panji mahasiswa lah, silakan gunakan embel-embel ormas.

Ya udah blak-blak-an saja, saya akui masalah pembubaran HTI itu agak blunder sih, kalau mau dibubarkan kenapa gak dari dulu. Iya kaaaan? Lhaโ€ฆ pemerintah baru menyadari pelanggaran yang dilakukan sekarang, yo wisโ€ฆ dibubarkan. Tidak setuju? Ya pasti ada pro dan kontra. Tapi saya sih termasuk yang setuju-setuju saja jika ormas ini dibubarkan, karena saya sudah terlalu kecewa dan marah melihat video ikrar mahasiswa untuk mendirikan negara khilafah. KE-CE-WA! Dan sempat kampus saya dahulu, citranya sedikit terganggu karena diusung-usung sentra ormas-ormas HTI. Sudah berusaha memperbaiki citra dan perlahan membaik, eeeeeh…. muncul kasus mahasiswa yang tertangkap. Jackpot!

Jika kalian mau berdebat masalah ini, saya malas lahโ€ฆ tapi jika dibutuhkan saya akan wawancara EKSKLUSIF ke Mas-Mas dari timur tengah mengenai konstelasi di Timur tengah dan apa kaitannya dengan ormas seperti HT? Apa pandangan mereka? Selain itu, Masnya ganteng-ganteng juga jadi bisa sekalian modus, siapa tau jodoh. Lagipula tidak semua ormas dibubarkan, bukan? Kayaknya yang adem-adem mah gak dibubarkan tuh.

Jangan sampai kalian teriak-teriak, terus eeeeh rupanya pas ditanya Fasis apa gak tauโ€ฆ ditanya Perpu isinya apa,eh belum baca juga. Jangan ngaku mahasiswa lah klo gitu.

Untuk Para Anti-demo

Saya gak kasih skrinsut komen-komen netijen lah ya…. alasannya karena ada beberapa yang terlalu… terlalu… wah pokoknya terlalu bukan mahasiswa lah. Yang baik dan cuman humor aja sih ada banyak juga. Tapi, yang too much juga banyak, dan capek menyensor plus malu sendiri karena jadi mikir “Damn! Ini beneran mahasiswa yang ngomong?”

Ya sudahlah yaaaaโ€ฆ. Di Quran untuk masalah agama saja tidak boleh ikut campur, padahal itu masalah yang paling mendasar dan krusial. Apalagi masalah demo! Mengutip pernyataan di atas โ€œSemua orang punya jalan perjuangan masing-masingโ€

Ya sudah, biarkan saja. Kalau kemudian berakhir adu mulutโ€ฆ yang tinggalkan. Sesungguhnya hapalan rumus kalkulus lebih membutuhkan perhatian khusus dan spesial daripada debat kusir. Menkritisi aktifis dan pendemo, menurut kakak sihโ€ฆ. Seperti mempermasalahkan โ€œkeimananโ€. Sekuat apapun argumen kita, ya sudah โ€œimanโ€ kok, ndak bisa ditawar-tawar.

Namun, alangkah eloknya jika semuanya bisa tetap saling berteman ๐Ÿ™‚ ya beda pendapat kan biasa. Tapi semoga kalian bisa tetap menyebut orang yang berbeda pendapat dengan kalian sebagai โ€œOh! Mereka teman saya. Yaaaa beda mahzab sih, tapi temen kokโ€ karena kelak kalian akan saling membutuhkan.
Semoga tidak perlu ada lagi hujan hujatan di media sosial… karena lagi-lagi, kalian adalah bagian dari dunia akademisi. Harapan negeri itu di tangan kita semua loh.

Kalau cuman nulis di socmed sih, yaaaah…. ya gak guna juga sih HAHHAHAHA. Iya gak sih?
Sebenarnya teman-teman yang demo itu ada kerennya juga, awareness mereka terhadap isu itu bagus. Kita-kita yang gampang encok untuk turun ke jalan, harapannya bisa menyampaikan aspirasi kita dengan cara lain yang lebih persuasif dan akademis.
yang suka ngegitar… angkat gitar kalian!
yang suka futsal… berfutsal lah sampai ke lapangan tingkat nasional!
yang suka belajar… hayuk lah, masa’ kementerian bikin lomba… mau gelontoring uang berjuta-juta bayar ide kalian, kok ya gak ada yang minat?
Ayo semuanya sibuklah dan berjuang dengan cara masing-masing.

Saya juga menyayaaaangkan sekali karena diantara kalian yang anti-demo, kata-kata yang kalian lempar juga malah kayak lempar bensin ke lokasi kebakaran di pabrik petasan. BOOOOOOM! DHUAAAAAR DHUAAAAAR! BOOOOOM!

In the end….
Di era saya, permasalahan yang saya hadapi adalah antara politisi dan akademisi seringkali sulit akur masalah penentuan kebijakan. Kadang suka diam-diam berdoa, “semoga generasi setelah gue gak usah kayak gini lah, akur-akur aja….”

Melihat kenyataan seperti ini, kok kayaknya saya meragukan kapasitas kalian untuk mewujudkan kerja sama yang baik antara akademisi dan politisi. Kayaknya malah makin jauh.

Dari negeri jauh, saya selalu promosi “Iya loh, orang Indonesia itu toleran abis lah pokoknya. Makanya dateng dong!”
rupanya? Masalah baju kotak-kotak atau tidak saja bisa mengkotak-kotakan negeri.

Terima kasih telah membuat saya kecewa (and I know you don’t care about it, karena kalian juga gak kenal sama saya kan).
Namun, kalian masih muda… masih punya banyak waktu untuk berbuat kesalahan dan memperbaikinya, dan saya masih punya harapan yang masih tinggi dan luas untuk melihat kalian semakin dewasa dan semakin baik.

Lampaui pencapaian yang telah saya raih, kalian perlu lebih hebat dari saya dan orang-orang di era saya karena masa yang akan kalian tempuh juga akan lebih menantang dibandingkan masa yang kami hadapi. Dan sebagai kakak, saya peduli pada kalian.

Maka saya tantang kalian untuk mewujudkan impian-impian baik negeri ini….
Saya tantang kalian untuk menjadi orang-orang berkualitas yang dikenal di planet bumi ini, yang ketika ditanya bisa dengan bangga bilang “Saya orang Indonesia loh”…. yaaa boleh lah narsis dan bawa pesan sponsor sedikit “Eh, dulu saya mahasiswa univ. xxxxx loh.”

Saya menantang kalian, karena begitu lah cara saya peduli kepada kalian.
Semoga kalian berbaik hati untuk tidak mengecewakan saya sekali lagi.

Semoga….

Sekilas kritik untuk Negeri “Cuitan”


Saya teringat salah satu tuitan Sudjiwo Tedjo (I should tell I really like his point of view)

13398994_1186105991433852_1525162985_n

“Lama-lama orang malas romantis, karena takut disebut galau. Malas peduli, takut disebut kepo. Malas mendetail, takut dibilang rempong.
Malas berpendapat, takut dibilang curhat. Malas mengubah point-of-view saat debat, takut dibilang labil”

Mungkin jika tuitan itu ditulis di masa-masa ini mungkin akan ada tambahan “Lama-lama malas mengkaji agama, karena takut dianggap menistakan agama. Lama-lama malas berpolitik karena takut masuk penjara” terus begitu hingga ladang gandum dipenuhi coklat.

Guys! Wake up… kok kita mulai memperumit segala aspek dalam kehidupan kita sih, segala aspek yang yaaaa kita-kita sendiri ini yang bikin. Bikin masalah sendiri, mengkritik sendiri, marah sendiri, loh… maunya apa?

Ratusan kilometer dari tanah air, saya merasa mengapa Indonesia kok “mumet”. Saya ingat sahabat saya sampai bilang “Ini sih, Mon…mungkin manusianya yang harus diganti.”
Maaf saja tapi menurut saya seluruh kasus yang sedang hangat di tanah air itu sebenarnya “Meh!”

Oke start from kasus penistaan agama dari pak Ahok. Sebagai muslim, well… saya harus bilang Ahok salah. Sungguh kasus keselimpet lidah Beliau sangat fatal. Apalagi di Indonesia. Loh Indonesia loh, beda “mahzab” atau “partai” antar dua keluaga saja dua sejoli bisa batal nikah kok. lha, ini bawa Al-Quran. yooo blas! Beliau salah, namun saya pribadi merasa yang terjadi kepada Beliau selanjutnya juga jadi tidak fair. Sudah diproses secara hukum kok, masih di demo, masih di caci, lah… kalau kita sibuk menyudutkan dan mengulang-ulang kesalahan Beliau, apakah itu membuat kita menjadi lebih baik dibandingkan Beliau?

Dan, mbok ya kalau tahu lawan itu cerdas maka berperanglah dengan taktik yang cerdas. Lhaaa… ini kesaksiannya cuman nonton youtube, buat laporan pun kompakan, piye? Salah pun kompakan. Lha… perang itu bukan hanya modal bismillah dan Allahuakbar, harus ada taktik, harus ada pemikiran, harus pengkajian… semua harus dilihat secara kaffah dan menyeluruh. Masih pakai demo segala. Ini logikanya dimana? Ya percayalah kepada para penegak hukum. Coba-coba-coba latihan….latihan HUSNUDZAN alias berbaik sangka.

Okay… mari kita biarkan penegak hukum bekerja secara optimal.
Eh tunggu! Memangnya bisa?

Ada yang bicara sedikit menyinggung agama, langsung dilaporkan ke polisi.. pasalnya tidak tanggung-tanggung “penistaan agama”
Ada yang update status kritik sedikit, itu juga dilaporkan ke polisi
Ada mantan pejabat iseng sedikit ngetwit, juga heboh dikomentari
Bahkan uang rupiah yang sudah didesain seindah mungkin oleh tim, dilaporkan ke polisi juga. Itu cetaknya aja udah susah. Masih baik hati BI mau mengomentari hal ini, kalau saya jadi gubernur BI sih “Yo wis lah… biarin aja mereka misuh-misuh ndak jelas.” mending ngurus harga cabe yang jelas-jelas lebih krusial dan terang inti masalahnya.

Besok-besok nasi basi pun jangan-jangan sampai ke polisi “Ini kasus penindasan rakyat oleh perusahaan rice cooker”
Besok-besok, saya yang sering salah melafakan ุด, ุต, ุฒ,ุฐ juga akan dilaporkan ke Polres Bogor karena kasus penistaan agama “Ini loh, mbak Marissa, baca Quran-nya salah… bahasa Arab itu salah makhraj salah arti, penistaan agamaaaaaaaaa, digoreng di nerakaaaaaaa” Arggghhhhhhhh~~~
Lha, ini polisinya pun jadi capek fisik dan psikologis.
Orang-orang yang cerdas, pintar, tapi malas ribet juga akhirnya jadi mulai searching “How to change your nationality”, mulai searching biaya visa, join global online dating, dan tentunya tiket pesawat.

Mungkin saya terlalu “cuek”, terlalu liberal, terlalu cetek, apapun lah yang ingin kalian bilang. Tapi di tengah konstelasi global, ketika orang-orang bersaing untuk bekerja lintas batas. Kita? Kita masih sibuk di masalah spekulasi cuitan dan saling salah menyalahkan dibandingkan fokus menyelesaikan masalah itu sendiri. Kalian tahu gak itu seperti apa? Seperti dalam perlombaan lari, peluit sudah ditiup, yang lain sudah lari… kita? Kita masih sibuk menyalahkan sepatu “Ini gara-gara sepatunya nih, terlalu murah! Terus stripnya terlalu terang jadi bikin silau, yang jahit sepatunya pasti ingin saya celaka. Siapa? Siapa? Siapa penjahit sepatunya?
Ya Allah…

Saya selalu bilang orang Indonesia itu luar biasa baik hatinya. Dimana lagi di sudut dunia orang bisa selalu melempar senyum dan tawa even to the stranger. Cuma di Indonesia! Tapi ya kita sering kali mudah tersulut…mudah percaya… mudah terprovokasi…
Sering banget sih.

Fenomena ini kan sudah terjadi sejak lama sebenarnya. Beberapa dari kita seringkali malas membaca detil berita, tidak mencari tahu lebih dalam dari informasi yang kita dapat dari grup Whatsapp, LINE, dsb… lalu Voila! Share ke seluruh social media yang ada. Awalnya sih range kecil-kecilan, lalu lama-lama ketagihan, dan jadi ketagihan nasional… dan Bom! Sekarang masalahnya jadi besar kan? Munculah Pak Buniyani yang diikuti kasus-kasus lainnya yang sebenarnya ya gitu-gitu aja.

Saya pun heran mengapa media juga terkadang mengambi “cuitan” di sosial media sebagai literature review. Jurnal aja, jurnal akademik… kalau tidak terakreditasi masih harus diuji lagi kebenarannya, lha iki kutipan dari social media, yo ngawur ndak karuan wis. Itu sangat tidak ilmiah.

Aduh jadi capek marah-marahnya. Tapi serius, kenapa sih… kenapa kita begitu usil mengkritisi tanpa memberi solusi, mencaci dan menyalahkan tanpa saling mengingatkan. Kerajaan di Nusantara itu mayoritas bubar karena perang saudara, lha mbok ya sesekali belajar dari sejarah. Kalau tidak setuju dengan orang lain kan bisa “Witsss…. sebentar cuy! Kita agak berbeda perspektif nih bla bla bla”paparkan, jelaskan, diskusikan… ra usah misuh-misuh dikit-dikit twit, dikit-dikit curhat di socmed, dikit-dikit lapor polisi. Kan lebih sejuk.

Lalu harus bagaimana?
Mungkin sesekali kita harus matikan handphone dan TV gak usah lama-lama, setiap weekend aja, take your backpack and umbrella… dan lakukan semua hobi kalian selain liat handphone.
Coba cafe baru bareng sahabat kalian,
cuci baju,
tanam cabe di pekarangan rumah atau kacang ijo di kapas dan seperti layaknya bocah lugu yang antusias menunggu mereka tumbuh, atas ketawa konyol sendiri karena mereka secara misterius gagal tumbuh.
Baca buku yang benar-benar kalian mau baca
Bantu mama nyapu rumah
Shopping… atau berburu barang vintage
Journaling
Gangguin keponakan atau anak orang yang masih cilik dan lucu-lucunya tanpa perlu sibuk ambil foto dan upload ke social media
Ke ATM, transfer some money ke yayasan
Surprise visit ke rumah kalau kalian jauh dari rumah, plus bawa oleh-oleh yang mereka suka.
There will be lots of things you can do dalam waktu 24 jam tanpa melihat TV dan handphone sementara. Bukan berarti TV dan handphone itu jelek ya, tapi terkadang kita hanya butuh sedikit detox sih dalam hidup. Go outside and see everything from another perspective.

Jalan dan ngobrol bareng lah sama orang yang wawasannya luas dan menyenangkan, berdebat secara sehat… lalu ketawa bareng. Belajar untuk saling menghargai pendapat bahwa beda pendapat itu oke loh, menambah alternatif sudut pandang, dan itu membijaksanakan kita karena kita jadi “ngeh” oh iya yaaa pandangan gw belum tentu sama dengan orang lain.

Dan yang lebih penting lagi… sebelum klak klik submit atau share berita/komen/opini/foto/dsb. Baca dan liat lagi, kenceng-kenceng kalau perlu… pikir dan renungkan dengan otak dan nurani yang udah Tuhan kasih kepada kita apakah hal tersebut baik untuk disampaikan atau tidak. Kalau rupanya jelek, yaaaaa udah… delete lagi. Seberapa penting sih memang “eksis” di dunia maya? Menurut saya sih itu sesuatu yang semu dan gak penting.
Lagipula ada hadist yang berbunyi

ุนูŽู†ู’ ุฃูŽุจููŠ ู‡ูุฑูŽูŠู’ุฑูŽุฉูŽ ุฑูŽุถููŠูŽ ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽู†ู’ู‡ู ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุฑูŽุณููˆู’ู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ : ู…ูŽู†ู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ูŠูุคู’ู…ูู†ู ุจูุงู„ู„ู‡ู ูˆูŽุงู„ู’ูŠูŽูˆู’ู…ู ุงู„ุขุฎูุฑู ููŽู„ู’ูŠูŽู‚ูู„ู’ ุฎูŽูŠู’ุฑุงู‹ ุฃู‹ูˆู’ ู„ููŠูŽุตู’ู…ูุชู’ุŒ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ูŠูุคู’ู…ูู†ู ุจูุงู„ู„ู‡ู ูˆูŽุงู’ู„ูŠูŽูˆู’ู…ู ุงู„ุขุฎูุฑู ููŽู„ู’ูŠููƒู’ุฑูู…ู’ ุฌูŽุงุฑูŽู‡ูุŒ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ูŠูุคู’ู…ูู†ู ุจูุงู„ู„ู‡ู ูˆูŽุงู„ู’ูŠูŽูˆู’ู…ู ุงู„ุขุฎูุฑู ููŽู„ู’ูŠููƒู’ุฑูู…ู’ ุถูŽูŠู’ููŽู‡ู

[ุฑูˆุงู‡ ุงู„ุจุฎุงุฑูŠ ูˆู…ุณู„ู…]

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahuโ€™alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunyaย (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Mengutip kata Alm. Gus Dur “Gitu aja kok repot” ๐Ÿ™‚ iya sih pilihannya kan cuman dua diam atau say something good.