Saya… Menara Eiffel… dan Sepotong Pesan tentang Impian…


On se connaît depuis l’enfance
On allait au cours de piano à côté
En face du grand marché
On jouait au square du quartier
À la marelle et au ballon prisonnier
Puis c’était le goûter

C’était bien là nos plus belles années
Qu’aucun souci ne pouvait altérer
Tokyo et Paris
Paris et Tokyo
Et puis toujours la musique
Tokyo et Paris
Paris et Tokyo
Et puis toujours la musique,
À Paris, nous étudierons
Ensemble

(Paris et Tokyo—- OST Nodame Cantabille)

Setiap saya merasa sedih atau galau….yang saya lakukan asking Allah for everything dan sesekali agak nyolot dan protes juga *hadeuuh tetep* dan satu lagi…. saya mengingat tentang Menara Eiffel.

Saya punya satu impian terbesar…. salah satu negara yang wajib saya kunjungi sebelum mati adalah Perancis, setidaknya untuk bertemu menara Eiffel hahahaha. Semua orang hanya bilang “waaaah keren..keren…” tapi tidak pernah bertanya “Kenapa harus menara Eiffel?”

Ada beberapa alasan… selain karena ulang tahun menara Eiffel sama dengan ulang tahun saya… yaitu karena Eiffel seperti sebuah surat cinta Gustave Eiffel kepada dunia yang tidak pernah terbaca secara detil. Izinkan saya menceritakannya sejenak…sebuah cerita yang pernah diceritakan kakek saya kepada saya.

Gustave Eiffel adalah seorang insinyur yang luar biasa… setidaknya bagi saya. Selain membangun menara Eiffel, dia juga yang mendesain kerangka patung liberty (Patung Liberty itu hadiah Perancis untuk Amerika Serikat, makanya namanya Liberty, itu sebenarnya dari Liberte :p setahu saya ya…). Tapi ada banyak hal yang belum diketahui dari Gustave Eiffel… dia adalah seorang penderita disleksia dan phobia pada ketinggian.

Walau penderita disleksia dan takut ketinggian… dia punya satu impian terbesar… Dia ingin bisa meraih bulan dan ingin orang-orang yang punya impian yang sama untuk bisa meraih bulan. Seems crazy and impossible, right?

Tapi impian membuat segala yang mustahil menjadi mungkin…
Maka tergagaslah ide membuat menara Eiffel… sebuah menara yang sangaaaaat tinggi dan jika dilihat dari kejauhan puncaknya akan mencapai bulan.

karena idenya gila… maka proyek itu awalnya yaaaa ditolak sana-sini. Oiya, pada awalnya Eiffel ingin membangun menaranya di Barcelona, bukan Paris. Tapi ditendang karena terlalu mahal dan gak jelas gunanya apa. Kasihan kan? Pun akhirnya diterima di Paris itu pun tidak mudah karena proyek itu dikritik sebagai proyek mercusuar yang mengganggu pemandangan.

Tapi setelah 2 tahun, 2 bulan, dan 3 hari menara Eiffel selesai dibangun… lalu diresmikan tanggal 31 Maret 1889 dan seperti impian Eiffel… ujung dari menara Eiffel menjulang ke langit dan seakan-akan seperti menjangkau bulan. Kalian tahu apa perkataan Eiffel setelah menara itu selesai dibangun? Entahlah… saya juga tidak tahu. Tapi kakek saya bilang terdapat salah satu tulisan Eiffel yang menyatakan

“Lihatlah, menara Eiffel telah berhasil meraih impiannya untuk meraih bulan. Biarkan ia terus berdiri agar kelak dia bisa menjadi simbol bagi orang-orang di Paris dan di dunia bahwa mereka bisa meraih impian mereka, walau itu setinggi bulan sekalipun”

Seperti Eiffel… saya ingin bisa meraih bulan dan melihat orang lain meraih bulan mereka masihg masing.

———————–

Ketika menulis ini saya sedang memikirkan sebuah hal maharumit yang rasanya sudah nyaris saya tidak bisa pecahkan lagi.

Ketika saya memperoleh beasiswa yang full dan flexible (karena kita bisa ganti universitas dimanapun asal 500 besar dunia dan terlist di dikti), tawaran-tawaran lainnya muncul dan sebuah hal yang luar biasa ketika saya ditawari untuk bersekolah di sebuah universitas di Jepang, universitas impian saya, universitas yang sudah banyak mencetak peraih nobel, dan dengan calon sensei seorang peraih nobel di bidang ekonomi energi. Nobel kawan! nobel! dalam setiap detik kehidupan saya, saya tidak pernah menyangka akan ada tawaran untuk belajar dengan seorang peraih nobel! Orang-orang teknik atau orang-orang di bidang energi pasti iri setengah mati kepada saya. Mimpi apa… manusia seperti saya yang untuk mengerti ekonometrika saja sampai nangis-nangis mau diajari ekonomi energi huwaaaaaa…. keren!

Namun, di muka bumi ini pintar saja tidak cukup, harus menjadi orang yang beruntung
Beruntung saja tidak cukup… harus mega super combo beruntung.
Ada beberapa yang tidak bisa saya ceritakan di sini.
Terlalu menyedihkan untuk saya hahaha…
tapi intinya, saya hanya belum sampai taraf mega super combo beruntung. Terkadang saya ingin marah untuk beberapa hal yang terjadi pada saya. But, well… peperangan besar hanya untuk prajurit-prajurit yang hebat bukan?

Akan tetapi, sejujurnya saya cukup lelah ketika setiap detik ada saja orang-orang yang seenaknya menjudge saya.
Sejujurnya saat ini saya mulai muak dengan anggapan dan penilaian beberapa orang bahwa saya tidak memikirkan segala hal dengan baik dan serius. Dunia tidak tahu bahwa untuk bersekolah saja saya dan adik saya sudah berjuang sangat keras… Saya sudah berlari sangat jauh dengan segenap jiwa raga saya.

Saya bahagia….
Bolehkah sekali saja saya meminta kepada dunia agar tidak melihat saya dengan tatapan penuh belas kasihan?
atau dengan tatapan penuh tanda tanya?
atau dengan tatapan merendahkan?

Saya bahagia, namun kebahagian saya tidak memiliki skala… Ia begitu abstrak dan dinamis. Mencari bentuk dan posisi ekuilibriumnya sendiri.
Saya bahagia… namun bukan berarti indikator kebahagiaan saya sama dengan kebahagiaan orang lain.

Sejujurnya saya ingin dihargai eksistensinya sebagai manusia dengan berbagai gagasan dan pilihannya.

Apa kalian pernah menonton film Ratatoille? Di akhir cerita Anton Ego si kritikus makanan menulis sebuah esai yang sangat indah tentang masakan di restoran Gusteau… mungkin esai terindah juga di dalam hidup saya:

In many ways, the work of a critic is easy. We risk very little, yet enjoy a position over those who offer up their work and their selves to our judgment. We thrive on negative criticism, which is fun to write and to read. But the bitter truth we critics must face, is that in the grand scheme of things, the average piece of junk is probably more meaningful than our criticism designating it so.

But there are times when a critic truly risks something, and that is in the discovery and defense of the new. The world is often unkind to new talent, new creations. The new needs friends. Last night, I experienced something new: an extraordinary meal from a singularly unexpected source. To say that both the meal and its maker have challenged my preconceptions about fine cooking is a gross understatement. They have rocked me to my core. In the past, I have made no secret of my disdain for Chef Gusteau’s famous motto, “Anyone can cook.” But I realize, only now do I truly understand what he meant. Not everyone can become a great artist; but a great artist can come from anywhere.

Percayalah mengkritik itu mudah, yang sulit adalah ketika tetap berjalan dengan kepala tegak dan senyuman ketika dilempari berbagai kritik.

Saya ada Remy… sebuah tikus got di selokan jalanan Paris.
Melihat menara Eiffel dari balik jeruji penutup got.
Diam-diam mengejar impiannya yang nyaris terlihat mustahil dan berharap setelah lelah berjuang bisa menatap mera Eiffel dari dekat.

Mungkin kakek saya benar….
Menara Eiffel bukanlah simbol cinta seperti yang selama ini orang pikirkan, menara ini adalah simbol impian. Jutaan orang menggantungkan impiannya di atas puncak menara Eiffel… berusaha meraih bulan mereka masih-masing.

Jika misi Jepang gagal, lalu saya patah hati… tidak apa. Menara Eiffel menanti.
Entah kapan, tapi saya harus kesana…
Menghabiskan waktu saya seperti Hemingway yang menghabiskan waktunya menulis berbagai buku untuk kemudian membaca dunia.
Mendedikasikan impian seperti Eiffel… untuk membangkitkan impian orang lain.

So… here is my next destination…. mungkin akan sedikit membutuhkan waktu lama. Please Perancis… jangan kelamaan kena krisisnya 🙁


Biar galau galau bisa langsung lari ke menara Eiffel atau menceburkan diri ke Sungai Seine hahahahaha :’D Lagipula saya benar-benar ingin menjadi penulis esai profesional… dan rasanya harus ada kesempatan di mana saya datang ke negara tempat esa lahir, Perancis.

But everything can be happen! Jalan hidup saya akan terkuat di bulan Oktober… apapun itu, akan saya hadapi dengan kepala tegak.
Indahnya hidup kalau benar-benar bisa seperti lagu Paris et Tokyo… selesaikan impian di Jepang dan Perancis. Somehow… memang tidak semudah itu. Biar Allah yang memilihkan saya jalan di perempatan ini. Entah Jepang… entah pelosok dalam negeri… entah Jakarta… entah negara lain… entahlah!

Apapun itu… saya harap dunia akan menghargai segenap keputusan saya.

Please 🙂