Mengapa kita tidak bersatu saja ???



A life learner....Books, movies, and glorious foods lover. Have a big dreams... but wanna \\\"bigger\\\" than her dreams.  A life learner... Love books, glorious foods, and great movies. Proud to be a woman, daughter, sister, and best friend. A dreamer! I am the one who want to be bigger than my dreams. Future researcher and writer.


Jika Anda follower saya di twitter maka beberapa dari Anda akan merasa geram atau sekadar bertanya-tanya kenapa saya berkali-kali menyebut nama “Dewa Ilmu Pengetahuan” lalu memaki-maki beberapa orang yang terlalu memuja-muja si Dewa tersebut. Beberapa kali teman saya yang tipe ikhwan-ikhwan kemudian mempertanyakan “Mooon… Dewa itu gak ada!” *kalau yang akhwat mah udah gak kuat kali ya menghandle saya hahahahha jadi gak komentar*, hahahahahha…. makanya dengarkan penjelasan saya terlebih dahulu.Mohon maaf, kebanyakan baca sastra melayu tahun ini gara2 ngajarin adik sebelum UN, jadi gaya bahasanya suka aneh-aneh.

Dewa Ilmu Pengetahuan yang saya maksud adalah lambang-lambang Universitas yang ada di muka bumi… well ada yang bentuk gajah megang pentungan, ada yang kayak penggebuk kasur, ada yang bentuk tameng dan bunga tratai, ada yang bentuk burung garuda, daaaaaan sebagaaaaainya… Saya mulai geram karena seperti ada chauvinisme masalah ini. Setiap orang membangga-banggakan almamater mereka secara “lebay” lalu terkesan mendewakannya. Sejujurnya bagi saya hal seperti amatlah tidak krusial dan tidak penting.

Sungguh bukan maksud saya atau menjadi kewenangan saya untuk mengganggu tiap kubik rasa bangga Anda pada almamater Anda. Tidak! Tidak sama sekali! Tapi ketika rasa bangga itu menuntun Anda pada keangkuhan… ini lain cerita! Saya mencintai dunia akademik dan penelitian, saya tidak mau dunia tersebut dikotori sifat tidak bermutu seperti itu! Kini ini menjadi urusan saya… Anda suka, atau tidak suka.

Pernahkah kalian? kita semua…. melakukan hal yang paling pertama diperintahkan Tuhan, IQRA! membaca! Baca filosofi setiap lambang kampus di muka bumi ini, jika Anda jeli… Anda akan menemukan satu kesamaan, semuanya akan merujuk pada KEBIJAKSANAAN dan KERENDAHHATIAN! Ketika Anda tidak bisa memupuk itu pada tindak tanduk Anda sebagai insan akademis, maka sebenarnya Anda telah mencederai “Dewa Ilmu Pengetahuan” yang Anda banggakan.

Pembaca yang budiman…
Mata, hati, serta pikiran saya kemudian mulai lelah dengan beberapa kenyataan yang ada. Dalam instansi pemerintah, banyak orang yang membanggakan almaternya, beberapa diantara mereka bahkan hanya ada yang mengambil jenjang akademis yang lebih tinggi hanya untuk menaikan jabatan mereka lalu menyombongkan almamaternya secara luar biasa. Bahkan ada joke yang beredar… kalau ingin melihat proporsi lulusan mana yang paling banyak diterima di suatu perusahaan, maka lihatlah susunan bos besar di institusi tersebut dan lihat mereka lulusan mana, nepotisme terselubungkah? Aaaah… ilmu saya belum cukup untuk menjawab itu. Tapi jika saya adalah “Dewa Ilmu Pengetahuan” maka saya akan menangis sedih memandang kenyataan ini.

Di dunia penelitian, kadang ego institusi juga masih begitu dominan. Institusi X kadang anti bekerjasama dengan institusi Y hanya karena beda institusi, bahkan kadang dalam satu institusi saja ada juga kasus Manusia X tidak mau bekerja sama dengan Manusia Y karena beda almamater. Tidak semua memang, tapi ada! dan itu membuat saya tidak habis pikir!

Mengapa ada… diantara kita, yang secara halus menyatakan bahwa, orang dari institusi X lebih “kurang kompeten” dibandingkan orang dari institusi Y?
Sungguh itu picik sekali!
Ingat! Anda bukanlah lebih pintar daripada orang lain, Anda mungkin hanya lebih dulu belajar dibandingkan orang lain. Satu lagi! Anda mungkin hanya lebih beruntung.

Saya harus mengakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia memang tidak merata, hal ini mengakibatkan ada ketidakmerataan kualitas pendidikan. Oke! Kita menyepakati itu. Lalu apakah jika kita berada di institusi dengan kualitas yang baik, kita pantas pongah? apa kita pantas merasa lebih eksklusif dari orang lain? Saya rasa tidak… ini tidak ada dalam konsep ilmu pengetahuan yang ingin mengajarkan kita menjadi bijaksana!

Pengetahuan akan berkembang ketika ia menjadi interdisiplin, catat ya…bukan hanya multidisiplin tapi juga interdisiplin, artinya setiap ilmu bersatu padu untuk memecahkan suatu permasalahan. Untuk menjadikan ilmu itu menjadi interdisiplin dan komprehensif serta terus berkembang, maka diperlukan kerjasama yang baik dari semua stakeholder. Dengan demikian semua bisa saling melengkapi kekurangan masing-masing. Ketika saya misalnya, seorang lulusan ilmu ekonomi, di sebuah institut pertanian, apa saya hanya boleh meneliti dengan orang-orang dari institusi yang sama dengan topik yang itu-itu saja pula? Apa salahnya jika ada masa ketika saya ingin belajar fisika, kimia, teknik, geografi, dsb untuk kemudian memperluas pengetahuan saya… apa salahnya jika saya kemudian bekerja sama dengan orang-orang dari bidang keilmuan yang berbeda dan dari institusi yang berbeda untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada? Salah? Apa karena saya minoritas yang berpikir demikian maka semuanya menjadi salah?

Pembaca yang budiman….
Saya… saya mengecap pendidikan hingga S1 saja sudah Alhamdulillah sekali. Tidak banyak orang yang seberuntung saya di muka bumi ini, apalagi selain masalah finansial, otak saya juga agak pas-pas-an :'(
Saya… saya mungkin salah satu orang yang paling banyak dicaci di muka bumi ini karena pilihan-pilihan saya bersekolah dan keasikan melakukan penelitian padahal harusnya saya menjadi kepala keluarga yang baik karena merupakan anak pertama.
Sudah pengorbanannya segitu, masih ada yang iseng bilang “Aduuuh… kok penelitiannya ambil jatah bidang orang lain sih?”, “Aduuuh… Perguruan tinggi kamu siapa yang jadi menteri gak ada ya?”, “Aduuuuh ngapain sih belajar terus?” daaaaaan sebagaaaaaaiiiinyaaaaaa… belum tentu deh kalian kuat kalau jadi saya, udah banyak banget soalnya. Saya ini dicap sombong, brengsek, nyebelin, kampungan, dsb sudah pernaaaaaaah semua! dan sudah kebal!
Tapi apakah saya dendam untuk itu semua?
Tidak…! Tidak sama sekali!
Sejak saya menasbihkan diri mengabdikan diri saya untuk setiap orang disekitar saya lewat ilmu pengetahuan, saya bermimpi ada sebuah masa dimana setiap ilmuwan, akademisi, hingga penentu kebijakan bersatu padu merumuskan penelitian dan kebijakan untuk negeri secara bersama-sama. Tidak perlu melihat SARA, almamater, parpol, atau kecemburuan sosial lainnya.
Jika otak saya mampu, saya ingin belajar semua bidang. Okelah otak saya sudah diset belajar ilmu sosial sekelas ilmu ekonomi, tapi saya juga ingin belajar science, saya ingin belajar sastra, semuanya…. saya ingin bekerja sama dengan orang-orang yang menguasai dan mencintai bidang keilmuan mereka masing-masing dan memiliki ghirah yang sama dengan saya, membangun ilmu pengetahuan untuk kepentingan bersama.

Saya ingin ada sebuah masa, dimana saya kelak bisa menjadi sebuah role model bagi generasi-generasi setelah saya bahwa kehilangan atau kekurangan bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang, tapi sebuah alasan untuk menjadi jauh lebih baik dan bisa menjadi pribadi yang bisa memperbaiki banyak hal. Saya ingin menjadi sebuah simbol perjuangan, bahwa variabel endogen kesuksesan adalah sikap serta perjuangan kita sendiri, bukan masalah almamater, parpol, SARA, atau kecukupan materi.

Mengapa tidak banyak yang kemudian berpikir sama dengan saya?
Mengenyahkan ego-ego pribadi lalu bersatu padu saling membantu untuk kemashlahatan bersama. Sesulit itukah?

Saya pernah bertemu seorang teman yang belajar di jurusan teknik geologi dalam sebuah lomba tingkat nasional , dalam esainya yang luar biasa  dia berkata…

“……Bumi ini semakin tua dan beban yang ditanggung semakin berat, akan ada masa ketika bumi tidak kuat lagi menampung serta menahan beban yang ada. Kita yang hari ini, berjalan tanpa pernah menyadari itu, lalu terus membebani bumi hingga kelak melebihi kapasitasnya. Ahli-ahli akuntansi kemudian hanya membangun bangunan megah yang bisa menyeimbangkan neraca debet dan kredit mereka, ahli ekonomi hanya asik dengan pembangunan yang bisa membuat kurva indiferen dan garis anggaran mereka saling bersinggungan, para ahli-ahli teknik terus membangun bangunan megah tanpa memperhitungkan social cost deficit dari bangunan megah mereka, ahli statistik terlena dengan data-data pertumbuhan ekonomi tanpa melihat ketimpangan yang terjadi, semua orang pintar di muka bumi ini asik dengan pekerjaan mereka masing-masing, dengan diri mereka masing-masing, dengan institusi mereka masing-masing, mereka terlena lalu lupa… bumi yang tengah mereka pijak sedang berteriak, meminta mereka bersatu padu, mengulurkan tangan, untuk setidaknya sekali dalam hidup mereka memperdulikan kemashlahatan semesta.”

Jadi, masih ingin egois? Aaaah… apa daya? saya sudah berusaha menyadarkan Anda.
Saya sudah berusaha menyampaikan pemikiran saya.

 

 

 

 

Sebuah dialog dengan Saudara Galau…
Ini loh adik saya….

Comments

  1. Dewa Pengetahuan
    2013/07/30 - 4:09 am

    Sebutan dewa pengetahuan apakah tendensius ke satu universitas?
    Walaupun disebutkan makna dari dewa pengetahuan adalah lambang universitas, tetapi menurut gue ini cukup menjurus ke salah satu universitas, yang konon mengangung-agungkan dirinya sebagai kampus terbaik bangsa.
    Kampus yang ketika jaman dahulu kala, selalu membuat spanduk bertuliskan ‘Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa’ ketika masa penerimaan mahasiswa baru.
    Konon pula lulusannya terkenal sombong-sombong dan mengagung-agungkan almamaternya dan sederratan top nama alumninya.

    Bener ga?

    Soalnya gue curiga ini curhatan terhadap lulusan ITB dengan lambang Ganeca yaitu si ‘Dewa Pengetahuan’

    :cool

Leave a Reply

Your email address will not be published / Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.