Mempertanyakan Empati Bangsa



A life learner....Books, movies, and glorious foods lover. Have a big dreams... but wanna \\\"bigger\\\" than her dreams.  A life learner... Love books, glorious foods, and great movies. Proud to be a woman, daughter, sister, and best friend. A dreamer! I am the one who want to be bigger than my dreams. Future researcher and writer.


Karena kematian bukanlah bahan candaan…
Karena kematian bukanlah bahan tontontan…
Karena kesedihan bukanlah bahan lawakan…
Karena kesedihan bukanlah bahan yang perlu diumbar…
Karena manusia seharusnya tahu ini semua,
Jika manusia tidak bisa memadukan hati, ego, dan pemikirannya,
Maka masih layakan dia dinamakan “manusia” yang kepada mereka dipercayakannya perawatan alam semesta.

Agustus, 2017
—————————-
Sejak beberapa waktu yang lalu saya merasa sedih dan kecewa dengan beberapa kelompok yang terlalu mudah terbakar oleh isu. Dari kasus pengeroyokan supporter bola hingga pembakaran hidup-hidup seseorang yang diduga mencuri amplifier mushalla. Sebelumnya saya sudah mempertanyakan dimana rasa empati masyarakat, karena ketika ada kasus wanita yang secara tidak sadar bugil mengunjungin sebuah apotek di kawasan Jakarta…. tidak ada satu pun yang berusaha menutupi aurat wanita ini. Yang ada, sibuk memvideokan!

Video itu kemudian cukup “berguna” juga pada kasus tragis pembakaran hidup-hidup pria malang yang sepertinya hanya sekadar sedang berteduh di mushala. Namun, is that make sense ketika ada hal sebejat itu di depan mata… orang-orang yang mungkin merasa itu salah kemudian bungkam dan tidak berani mengambil tindakan.
Apakah masyarakat kita sudah “se-batu” itu hatinya?
Apakah masyarakat kita memang sudah segila dan seirasional itu?
Apakah masyarakat kita sudah membuang jauh-jauh hal yang bernama nurani dan empati?

Atau ada yang salah saja dengan, entahlah, pendidikan kita… atau cara berpikir kita… atau apalah…

“Ah, Mon… yang kayak begitu kan gak semuanya. Orang-orang yang pendidikannya kurang aja”

Saya berusaha untuk menerima logika itu. Ok! Pendidikan adalah kunci.
Namun, apakah pendidikan yang tinggi bisa membuat seseorang semakin “berhati”?
Saya kemudian tertawa miris sendiri.
Tidak… empati dan nurani rupanya lebih mahal dibandingkan beasiswa S3. Karena seseorang bisa saja meraih jenjang pendidikan tertinggi, namun masalah mereka punya hati nurani yang berkilau… oh itu belum tentu. That’s totally a different case.

Contoh?
Boleh….
Di Tokyo misalnya, seringkali terjadi kasus bunuh diri. Berdasarkan jurnal klimatologi, puncak “bunuh diri” (bunuh diri di sini konteksnya bisa sengaja dan tidak sengaja… yang tidak sengaja itu misalnya jatuh karena mabok dan kebanyakan minum alkohol) adalah ketika musim panas dan musim dingin. Musim dingin itu stressful kawan, dingin… dan waktu jalannya cepat karena hari pun cepat gelap, orang dengan banyak deadline akan tend to stress more di saat musim dingin. Sedangkan di musim panas, konon karena panas… jadi konsumsi bir dingin meningkat. Ada juga teori, ketika terlalu panas, kita dehidrasi, maka kita lebih mudah stress. Jadi mohon pahami, ada banyak faktor-faktor yang menyebabkan “bunuh diri” ini.

Maka jangan heran jika pada dua musim ini, kereta seringkali terlambat. Kemungkinannya ada gangguan teknis (yang agak jarang di Jepang), atau ada yang terjatuh di rel… yang bikin heboh itu jika pengumumannya karena “passenger injury”.

Disinilah cerita dimulai.
Entah mengapa di salah satu grup yang berisi mahasiswa Indonesia, ada saja yang iseng-iseng komentar.
“Aduh, kalo mau bunuh diri gak usah pas di jam sibuk kali”
“Wah kali ini bunuh dirinya di shinkansen, kreatif”
“Ih itu dendanya berapa ya?”
“Eh itu pasti badannya berceceran gitu ya”
“Eh katanya yang bunuh diri itu mahasiswa X loh”
dsb…

Apakah itu etis dan biasa saja?
Saya pikir tidak! Saya tahu, mungkin kita pun terkadang mengejar waktu dan terlalu lelah sehingga geram jika kereta terlambat. But if that’s true! Someone just died! Bukankah kematian itu sendiri sudah terlalu tragis sehingga rasa-rasanya tidak layik untuk diperbincangkan lebih jauh.
Kematian, apapun penyebabnya bukanlah sebuah joke. Jika pun itu kemudian menjadi joke, maka saya klasifikasikan itu menjadi joke picisan yang seharusnya keluar hanya dari manusia-manusia dengan mental dan nurani yang (maaf) picisan juga.

Saya, dengan teman-teman saya di kantor saya saat ini (dan saya hanya the only one Indonesian here)… terkadang kami pun berbincang masalah ini. Have we ever laugh about it? Tidak! Bahkan ketika membayangkan yang bunuh diri harus membayar denda saja sudah membuat kami miris. Itu hal yang penuh duka, kawan!

Seseorang yang melakukan bunuh diri saja, kondisinya sudah terlalu “apes” secara psikologi. I mean… orang dengan kondisi psikologis yang sehat tidak akan seputus asa itu untuk membunuh dirinya sendiri. Sampai situ saja, segala sesuatunya sudah begitu menyedihkan. Lalu, pongah sekali kita jika kemudian harus sampai komentar macam-macam mengenai kasus ini. Kenal dengan korbannya tidak, membantu juga tidak, hanya bisa komentar dan membuat joke murahan yang tidak lucu. Lalu bangga dengan kualitas diri yang seperti itu?

Dan dalam grup itu… diisi oleh orang-orang mahacerdas dengan pendidikan tinggi. Orang-orang yang kalau dibandingkan dengan saya sih, yaaaah apa sih seorang emon, hanya remah rawit di bungkus gorengan.

I am not smart, nor beautiful, nor popular, I am nothing… but at least I never make any death as my joke. I never make people sadness become my laugh.
Dan saya cukup bangga untuk itu.

Dan itu bisa menjadi bukti bahwa rupanya menjadi orang dengan empati rupanya butuh effort yang lebih tinggi dari sekadar menempuh pendidikan lanjut.

“Yah, mon… selow ae! gak bisa diajak bercanda banget sih loh”
Yuph! Karena saya punya level joke saya sendiri. Dan saya sudah cukup bahagia dengan itu.

Jika contoh itu terasa begitu berat, maka oh baiklah… bagaimana dengan contoh-contoh yang sederhana saja?
Jika kalian berada di bidang akademik seperti saya, maka kalian akan sering melihat orang yang bilang “Ih riset kamu susahnya apa sih, kan cuman tinggal gini gini gini gini”
atau “Ya riset ku sih lebih dahsyat ya, kalau kamu kan cuman persamaan linear aja tuh”
Yes! I would like to introduce you, narrow minded people!
Ketahuilah bahwa setiap bidang memiliki kesulitannya masing-masing. Riset di bidang teknologi dan science murni itu tidak mudah! Kalian harus paham betapa rumitnya kawan-kawan mafia (matematika, fisika, dan kimia) belum lagi kawan-kawan yang biologi… beberapa dari mereka pada akhirnya lulus karena bantuan doa dan dzikir kepada Allah SWT. Itu susaaaaah sekali!
Namun apa kalian pikir riset di bidang sosial itu mudah? Dealing with human itu SULIT! Kalian pikir membuat kuesioner itu mudah… itu pun butuh kesabaran dan ketelitian tingkat tinggi.
Kalian pikir ilmu pertanian itu kasta terendah ilmu pengetahuan? Kalian tidak tahu kan betapa peneliti di bidang ini harus bertapa dalam jangka waktu lama di lapang. “Pasien” mereka bahkan tidak bisa bicara… mereka harus menentukan faktor-faktor eksternal apa yang mempengaruhi objek penelitian mereka, dan alam itu tidak mudah diprediski.
Bahkan untuk berempati dengan riset orang yang berlain bidang saja kadang masih belum mampu…
untuk hal kecil dan remeh temeh saja masih goyah…
bagaimana berempati dengan hal yang besar…?

Jika itu yang terjadi dengan orang-orang dengan strata sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Maka jangan heran ketika tingkat “bully” di kalangan grassroots ya lebih gila lagi.
Ketika mantan dari awk*rin meninggal dunia saja, bullian dari netizen kepada mbak aw-aw ini luar biasa bertubi-tubinya, padahal… padahal… pada saat itu suasana masih penuh duka. Saya saja yang memang sejak dari awal tidak suka dengan mbak aw-aw ini, merasa geram dengan kelakuan netizen yang malah terlihat kurang ajar dan tidak ada empati.

Artis x keguguran, artis y meninggal dunia… eh! masih ada yang komentar alat pembesar payudara dan obat pelangsing di kolom komentar (walau mungkin itu pun bot tapi ya please lah yaaaa).

Kemudian “kegilaan-kegilaan” kecil ini yang kemudian dibiarkan… terus menjadi-jadi… lalu semakin parah.

Bukankah sudah saatnya kita mengoreksi diri?

Apa yang salah?
Pagi ini saya mencoba mendengarkan liputan CNN Indonesia mengenai mengapa masyarakat Indonesia banyak yang “bersumbu pendek”.
Ada beberapa poin yang kemudian saya catat…

  1. Karena masyarakat sudah terlanjur sangat marah dengan hal-hal yang besar (e.g korupsi dsb), namun tidak mampu ikut campur dan tidak berdaya. Akhirnya, dilampiaskan pada hal yang kecil-kecil.
  2. Lemahnya hukum yang mengatur kasus-kasus kekerasan “kroyokan”
  3. Secara sosiologis orang Indonesia itu mudah untuk “memaklumi”… misalnya saja jika ada orang yang dikenal bertamu tengah malam, masyarakat kita akan cenderung memaklumi hal tersebut padahal secara budaya itu jelas kurang sopan. Parahnya, kita pun mulai memaklumi hal-hal yang sebenarnya tidak etis.

Untuk lebih jelasnya silakan intip di sini:

Bagi saya, pasti ada hal yang lebih dari itu…. lebih….
Karena menurut saya lack of empaty itu sudah ada di berbagai level komunitas masyarakat.

Jika generasi saya seburuk ini, jika komunitas di era saya sebobrok ini, maka mari kita akhirnya cukup hingga sampai sini saja.
Jika kalian memiliki anggota keluarga yang lebih muda, adik, anak, keponakan, maka didik mereka dengan tegas. Jelaskan yang baik itu baik, yang buruk itu buruk! Marahlah jika mereka melakukan hal yang buruk, let them cry but cry for good.

Dan kita, yuk… mari yuk jadi lebih baik lagi. Jika kita tidak bisa membantu orang lain maka setidaknya jangan merepotkan orang lain. Jika kita tidak bisa membantu orang lain, yuk mari berusaha put ourself in someone else’s shoes.
Karena, setiap orang punya pergulatan dan pertarungan batin dan psikis mereka masing-masing. Semua sedang sama-sama berjuang, mari kita saling lempar senyum dan siap mendengarkan atau mendukung satu sama lain. Jika tidak mampu, diam mungkin lebih mulia…

Di muka bumi ini, sudah banyak orang yang berotak… mungkin dunia butuh lebih banyak orang yang memiliki nurani. Namun, betapa bangganya Tuhan yang menciptakan kita ketika manusia berusaha untuk berotak dan bernurani. Membuktikan bahwa keputusan Tuhan menjadikan manusia menjadi khalifah di muka bumi itu tidaklah salah.

Surat Terbuka untuk Dek Asa Firda Inayah (Afi)
Jokowi Bertanya, Marissa Menjawab: Kenapa lulusan IPB banyak yang kerja di Perbankan? Yang jadi petani siapa?

Leave a Reply

Your email address will not be published / Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.