Berani tidak sempurna…


Saya punya tekad untuk menjadi emon yang produktif. Bukannya apa-apa, tapi karena sebagai manusia… sungguh sebuah hal lumrah kalau saya galau, sedih, stress, dan hal-hal manusiawi lainnya. Bagi saya, tidak ada hal yang paling baik untuk melupakan hal-hal yang pedih, selain dengan cara move on, being busy….

Kalian tidak tahu kan betapa penatnya jadi peneliti. Deg-deg-an nunggu keputusan reviewer jurnal, pusing analisis data, terus baca hal yang serupa berjuta-juta kali, belum lagi kehidupan sosial yang agak-agak terombang-ambing. Banyak banget suka dan dukanya. Yang semoga aja, terbayar tunai sama Yang Mahakuasa. Kalo gak, kayaknya bakalan saya tagih terus deh. I am doing everything more than what people can imagine.

Nah, di penghujung bulan Mei ini, saya yang nyambi jadi pengajar online sebuah univ harus mulai menyelesaikan tugas memeriksa PR mahasiswa. Saya tidak bisa membayangkan betapa luas jiwa dan hati para guru dan dosen di saat pandemi seperti ini. Pintar akademis saja gak cukup loh gengs! Harus pandai dengan komputer, aneka software, dan yang harus lebih lihai lagi “MEMBACA MAHASISWA” yang bagi saya sih “Wah…. drama sekaleeeee…”

Ada yang tidak mengumpulkan tugas yang deadlinennya sudah sebulan yang lalu terus tiba-tiba kontak “Bu, waktu itu internet saya mati.” Laaaah kan bisa di hari selanjutnya :’)
Ada lagi yang salah upload tugas, dan setelah dikontak berjuta-juta kali, gak ada balesan.
Belum lagi banyak jawaban yang kopas plak-plek-plak-plek-plak. Yang kayaknya pas dikopas, otaknya lagi pada diistirahatkan di kulkas. Wallahu’alam.
Sungguh begitu banyak hal ajaib, yang kalau saya tatap muka sama mereka sih, mungkin saya udah banting microphone.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya….
Ada sebuah tugas yang sebenarnya begitu sederhana sih. Mahasiswa diminta untuk menuliskan dampak negatif dan positif dari globalisasi.

Yang dampak positif sih yaaaa standar lah ya….
Nah yang dampak negatif ini MENARIK!

Lebih dari 50% jawaban mahasiswa, pasti menuliskan “Globalisasi akan membuat tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.” bahkan ada yang langsung to the point “… akan membuat tenaga kerja dari Cina semakin banyak.” Loh, kenapa emangnya sama tenaga kerja dari Cina. Moon maaph, kalo etnis Cina, toh yang WNI juga sudah banyaaaaaaaaak, dan mereka orang-orang yang baik. Mana masakannya enak-enak pula, ya Allah~~terima kasih, karena ada akulturasi Tionghoa, masakan Indonesia jadi makin beragam dan enak-enak ya Allah~~~~~~ m(T^T)m

Belum lagi jawaban, “Tenaga kerja Indonesia akan semakin sulit bersaing baik secara nasional maupun global.”

Ada lagi “Membawa kultur yang buruk”, versi religius “Bisa berdampak buruk pada kultur dan iman masyarakat Indonesia, karena tidak sama dengan budaya dan agama mayoritas.”

Saya tentu misuh-misuh, namun apa gunanya misuh-misuh di dunia onlen-onlen yang rasa-rasanya kurang greget, kurang dramatis, dan mungkin kurang mantap kalau kepala belum pada dikeramas dan diberi pijatan-pijatan microphone.

Terlepas itu karena kasus “kopas” yang…yang…. yang tadi itu, yang pas dipake kopas, otaknya lagi hibernate mode di dalam freezer.

Tapi saya kemudian jadi berpikir, kenapa setakut itu sih? KENAPA?

Mari kita mulai dari perkara budaya dan keyakinan. Se-insecure apa, selemah apa, dan sebodoh apa kita hingga kita harus khawatir akan langsung, secara serta merta, terpengaruh kebudayaan dan keyakinan orang lain.

Jadi belajar ngaji dari level iqra sampai ubanan ini, apa faedahnya, kalau kemudian luntur karena, misalnya globalisasi.
Masa iya ada bule, kiclik-kiclik-kiclik, datang sebagai turis misalnya… terus gaya hidup kita langsung jadi sok-sok bule gitu. Kayaknya temen-temen kita yang orang Bali tetep dengan harkat dan martabatnya sebagai orang Bali. Itulah kemudian Tuhan menganugerahkan tempat mereka jadi obyek wisata laris…. dan jangan lupa, dulu setiap UN, nilai UN tertinggi itu pasti punya anak Bali. Mama saya tuh dulu sampai bilang “Ini jangan-jangan Allah pun jadi sayang sama Bali, abis orang-orangnya gak ribet.”

Tapi well, baiklah….
Sebagai suku dan penganut agama mayoritas, saya emang ngerasa beberapa oknum dari kita mmmmm memang secemen itu sih. Lah, puasa aja manja sampe harus tutup-tutup warung. Kenapa? Liat orang haus terus jadi pengen buka gitu? Ish~ yaaaaa ampuuuuun anak TK nol kecil banget.

Tapi ya sudahlah ya… mau gimana lagi coba. Konon, kita cuman bakalan naek kolestrol darah kalau mikirin orang-orang yang ignorant. Karena lagi koronce gini kan kesehatan mahal yang bok, mending kalem-kalem aja.

Tapi saya lagi-lagi terganggu dengan jawaban takut pada tenaga kerja asing, warga negara asing, dan produk impor. Kenapa?

Tanpa menampik bahwa, memang…. dan seringkali, pemerintah kita kurang bijak dalam memperhitungkan kesiapan sumber daya manusia dan industri dalam negeri (ini emang greget sih)
Tapi… apa jangan jangan kita juga merasa bahwa kualitas kita memang masih “meh” aja. Atau akhlak kita yang memang masih harus ditadaburi dulu :’D

Bayangkan jika kalian di dalam suatu kelas, terus kedatangan murid baru, dari luar negeri. Atmosfer sekolah dan kelas yang baik tentunya akan penuh dengan antusiasme. Semua murid veteran akan mencoba membuat si murid baru nyaman, kemudian saling ngobrol, rumpi, kenalan, dan tanya-tanya.

Tapi bisa juga, si anak baru ini kemudian kena bully habis! Tidak ada yang berteman dengan si anak baru.
Setidaknya ada 3 alasan.
1. si anak baru ini memang nyebelin, gak mau kerja-sama. Yaaaaa…. kita-kita kan jadi males juga ya nemenin yang model gini.
2. anak-anak di kelas memang pada dasarnya badung-badung, dan gak suka aja sama orang yang “bukan golongan kami.”
3. si anak baru ini rupanya pintar, lalu menarik perhatian bapak ibu guru! Anak-anak lama mulai geram dan iri “Cih, anak baru…. bisanya cuman cari perhatian aja!”

Masalahnya, kita ada di kasus yang mana? Apa jangan-jangan… jangan-jangan…. kita cuman iri dengki aja dengan orang-orang yang kayaknya kemampuannya lebih aduhai daripada kita.

Jujur saja, saya pribadi sering loh merasa iri AHAHAHHAHAHAHA.
Karena sejak sekolah saya bukan anak yang pintar, dan “B” aja, terus sering kena terapi “Jambak rambut kribo” sama Mama saya, saya tuh suka meratapi kebodohan-kebodohan saya. Saya kerapkali membandingkan diri saya dengan orang lain.

Nah… sejak saya SMA, saya selalu kagum dengan sebuah sekolah katolik yang tetanggaan dengan SMA saya dulu. Kok ya anak-anak di sekolah itu menang olimpiade sains terus ya. Ini apa harus pindah agama biar bisa pintar berhitung. Mereka makan apa ya kok bisa pada pinter, kayak pula. Ya Allah…. saya ini loh, itu 9+ 7 aja kadang mesti pake kalkulator.

Sampai S3 kelar, saya masih terperanjat dan suka sedih sendiri, “Ini kok saya gak pinter-pinter ya.” Kalian suka denger dong, Asian are so good in Math! Ini kayaknya “Asian”nya para East-Asian ya, soalnya… yang model-model kayak saya kayaknya gak masuk sample. Nah, riset saya ini kebetulan erat kaitannya dengan ekonomi, matematika, dan statistik. Dan tentu saja…. rasanya dikuasai oleh rekan-rekan saya yang dari Cina, Singapura, Malaysian Chinese, Korea, dan Jepang. Tinggalah tante emon yang bagaikan Timon di sarang hyena…

But they are so smart! Dan secara fair, dan kalau saya bisa… kayaknya saya mau standing applause. They are really really really really really smart. Dan saya berani untuk memuji mereka terang-terangan loh.
Dan itu titik dimana saya percaya bahwa perjalanan saya untuk belajar masih panjang. Kalau saya kebanyakan galau, sedih, menyalahkan diri sendiri, saya tetep disini-sini aja. Malah mental health yang kena. Sedangkan mereka moving forward, getting greater and awesome.

Saya selalu bilang “Okay Emon, jangan kalah. Suatu waktu, harus mencapai kualitas yang lebih baik dari mereka-mereka yang lo bilang keren.”

Bisa gak ya? Ya gak tau… tapi toh, harus dicoba kan ya. Karena iri, misuh-misuh, gamang, dan aneka toxic positivity itu rupanya…. rupanya gak bawa kita kemana-mana.

Dulu, salah seorang teman saya bilang “Mon, suatu hari kamu akan ‘ngeh’ dan bilang ‘Ooooooooh gini toh’ sama hal-hal yang ditakdirkan Allah buat kamu.”

Dan itu benar! Cuman terkadang kita tidak cukup sabar. Terkadang, menyalahkan itu memang lebih gampang aja.

Menyalahkan keadaan, sampai kemudian menyalahkan Tuhan, “kenapa harus gini sih? kenapa harus gitu sih?”

Kembali lagi ke topik kita semula.
Kenapa ya kita begitu phobia pada banyak hal.

In my personal case, mungkin karena memang banyak yang blurry aja kedepannya bakalan gimana sih? Duh ini aja udah seberliku-liku ini…. jangan-jangan kedepannya makin ribet.
Wajar kok, karena di muka bumi ini tidak ada yang pasti, selain ketidakpastian itu sendiri.

Eh… tapi…siapa tahu kita pun tidak seremeh yang selama ini kita duga. Siapa tahu, rupanya pemikiran kita, mental kita, fisik kita, lebih kuat dari yang siapapun tahu. Kata Mama, kalau masih sama-sama manusia, masih di planet yang sama, pasti sama-sama punya waktu 24 jam dan liat matahari yang sama.

Maka kita bisa melakukan apa yang orang lain bisa.
Maka kita bisa melakukan sesuatu di luar ekspektasi dan batas-batas yang kita buat sendiri.

Jangan meremehkan Tuhan dengan meremehkan kemampuan diri kita sendiri.

————-

Tsukuba, Akhir Mei 2021.

Catatan Akhir Ramadan


Ramadan tahun ini lagi-lagi masih kurang lengkap, karena lagi-lagi…. gara-gara pandemi… saya gagal kembali ke rumah. Untuk membuat saya terdistraksi, Allah menyibukan saya dengan komentar reviewer yang pedas, sepedas keripik Mak Icih level 100. Mungkin kalau kalian bukan peneliti, kalian tidak tahu betapa getirnya mendapat kritik reviewer. Dan kritik itu harus dibaca berkali-kali karena kalau kita mau karya kita publish, kita harus membuat komentar detil poin per poin. Membaca hal menyakitkan layiknya berzikir itu: Sakyiiiiiit!

Ramadan tahun ini, yang sulit bukan menahan lapar dan dahaga, tapi emosi yang naik dan turun.

Jangan tanya khatam Quran atau tidak, tarawih saja bolong-bolong.
Sahur saja tidak pernah, jadi modalnya Cuma minuman ion yang bisa mengganti ion tubuh dan kulit bening seperti adek-adek JKT48.
Jeleknya lagi, alih-alih ibadah yang khusyu’, kalau sudah capek saya malah marathon nonton drakor. Dari Vincenzo, Navillera, sampai Mouse. Gila! Yang kayak saya-saya gini nih yang bisa bikin drakor jadi “haram.” Bukan drakornya yang salah, saya yang dodol dan terlalu mudah luluh lantak dengan pesona Oppa Vin dan termakan penasaran gara-gara oppa Jung Ba-Reum. Tersesat oh tersesaaaaat~~~ astagfirullah!

Tapi dua minggu terakhir, saya bertekad “Gak bisa gini, Mon. Lo harus bisa merevisi sesuatu dari ibadah lo selain revisi paper lo.”
Dipikir-pikir, revisi paper, walau itu penting banget untuk karir dan tanggung jawab saya. Tapi pun ditolak (walau jangan dong please), masih bisa submit di jurnal lain. Tapi ibadah di bulan Ramadan, waduuuh… belum tentu umur sampai Ramadan tahun depan.

Tapi karena waktu sudah mepet, impian saya tidak muluk-muluk: Saya mau dengar bacaan shalat saya sendiri. Terutama saat shalat di rumah. Saya penasaran.

Ramadan hari ke-17, nuzulul Quran. Untuk kalian yang non-Muslim, jadi Ramadan hari ke-17 itu adalah saat Al-Quran diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Pokoknya sakral banget deh.
Nah, kebetulan! Sebagai orang yang belajar music, saya tentu punya voice recorder dan clip on. Saya rekam bacaan shalat tarawih saya.

Dan setelah saya dengar lagi…. rasanya mau nangis!
Bacaannya terkesan terburu-buru, dan ayat-ayat yang dipanjatkan mandek di Al-Ikhlas dan An-Naas. Untuk Allah itu baik loh, kalau tidak! Rasanya saya sudah dapat komentar lebih pedas daripada komentar reviewer untuk paper saya.

“Gila lo, Mon… masa buat Tuhan eh lo kayak gini.”

Maka malam-malam selanjutnya saya bertekad, pokoknya pakai ayat-ayat lain dalam Quran. Pokoknya tiap rakaat shalat harus beda bacaannya.

Kalian tahu apa yang terjadi? Saya baru ngeh kalau saya sudah banyak lupa dengan ayat-ayat pendek pada Quran.

Saya loh! Saya berani diadu perkara etos kerja dan etos belajar. Pagi saya paksa diri diri saya mengerjakan riset. Malam saya belajar Bahasa. Akhir pekan? Saya belajar musik, masak, menggambar, membantuk koreksi tugas mahasiswa secara online. Saya bahkan lari dan kejar medali event-event lari!
Eh, tapi saya lupa kalau perkara ibadah itu harus dikejar juga.
Duuuuh… ayah saya penghapal Al-Quran loh, saya juga hampir sempat hapal juz 30. Tapi kemudian menunda-nunda untuk menuntaskan hapalan, eh akhirnya sampai sekarang deh.
Terlena itu rupanya memang memabukan loh.

Arghhhh…. Malu banget.
karena saya tipe yang sangat keras pada diri sendiri, saya sempat down. Saya merasa kok saya tidak pintar dunia akhirat ya. Kenapa sih, kenapa Allah harus menciptakan seorang emon dengan begitu banyak kekurangan yang meh banget. Saya sampai dengar kursus bahasa Arab online hanya karena saya merasa tengsin dengan kualitas ibadah saya sendiri.

Kalian pernah gak sih, berkontemplasi…. Terus kalian tiba-tiba sampai pada suatu poin dimana kalian tuh malu dengan kompetensi kalian sendiri. Kayak “Hei, kemana aja gue selama ini.”

Proses kontemplasi belum kelar, eh dunia heboh dengan banyak hal.
Ada feminis julid lah, ada roket jatuh lah, ada bipang lah, ada tsunami pandemi lah, kebijakan mudik gak jelas, ada pemuka agama yang sudah bagus-bagus mengayom anak muda eh tiba-tiba dihujat karena dianggap penganut aliran Islam yang berbeda.
Yang lebih panas lagi!  konflik yang kemudian meledak lagi di Palestina. Sudahlah panas, eeeeh… di negeri Nirmala masih ada yang heboh saling menyalahkan ketika ada public figure yang belum atau tidak bersuara terkait kasus ini. Mereka itu siapaaaaa? Duta perdamaian PBB? Lempar lembing cap tarkam di media sosial tidak akan menyelesaikan dan membantu apa-apa. Ada loh fund raiser-fund raiser resmi yang mengumpulkan dana untuk proyek-proyek kemanusiaan. Sisihkan sedikit tabungan kita untuk itu. Semoga semua bisa tenang di hari Idul Fitri, semoga semua manusia di muka bumi ini bisa merasakan khidmatnya hari raya.

Jujur saja, saya pribadi kayak…. “Ini manusia pada ngapain sih?”
Apa sih yang ada di benak umat manusia yang ada di planet ini sampai kemudian sibuk menciptakan konflik  dan menghujat orang lain. Yang model-model begitu, kalau muslim, apa pernah denger bacaan shalatnya sendiri? Shalat yang hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, bukan sebagai media kontemplasi, meditasi, dan memperbaiki diri. Yang jangan-jangan, arti dan maknanya apa saja tidak paham. Yang jangan-jangan kalau ditanya “Tadi baca apa pas shalat?” terus blank “Hah apa ya?”

Manusia yang sibuk merusak hubungan dengan manusia lain dan makhluk lain itu sadar gak sih kalau jangan-jangan, yang perlu dihujat itu yaaaa diri kita sendiri.

Setidaknya bagi saya, saya merasa seperti tangkai cabe rawit di bungkus gorengan. Masih begitu remeh. Jangankan energi untuk meladeni orang lain. Untuk mengurusi kekurangan diri sendiri aja masih repot. Duh ini umat manusia tuh sedang apa? Mau apa?

Perkara Idul Fitri bertepatan dengan hari kenaikan Isa Al-Masih saja heboh.

Apa sih… apa yang ada di benak manusia-manusia ribet seperti itu?

Saya jarang berbicara hal-hal terkait agama karena itu bukan kompetensi saya. Ayah saya yang hapal Quran saja selalu bilang “Ayah hanya hapal, untuk memahami dan membuat tafsir, itu ilmunya lebih tinggi lagi.” Jikalau antum-antum yang bacaannya hanya Qulhu sama An-Naas, itupun makhraj-nya blunder, percayalah bahwa kompetensi Anda begitu minim sehingga tidak sepantasnya menjustifikasi perkara dunia dan akhirat orang lain. Jangankan yang berbeda akidah, pemahaman untuk kepercayaan sendiri saja masih bobrok.

Apa jangan-jangan mengoyok-oyok orang lain itu adalah manifestasi dari ketidakpiawaan dalam berilmu dan beragama.

Saya punya teori, kenapa ada orang yang sedikit-sedikit marah meminta dihargai Ketika berpuasa, marah-marah Ketika ada warung yang buka, mengamuk Ketika ada yang beda dengan mereka.

Karena jangan-jangan keteguhan jiwa dan iman mereka ya segitu saja, namun enggan mengakui dan enggan memperbaiki diri. Kalau jiwa dan pendirian seseorang teguh, secara logika, harusnya tidak mudah goncang diterpa ujian apapun. Mengapa orang lain harus repot dengan ke-cemen-an diri kita? Kenapa?

Tapi iya sih, lagi-lagi mengeksternalkan kesalahan memang nikmat rasanya. Menjadi tidak tahu diri, memang terasa begitu ringan dan menenangkan -.-

Saya kemudian punya pertanyaan yang baru. Apa sih yang salah dengan beragam perbedaan yang ada di hadapan kita?

Kita punya impian-impian yang besar, bahkan perdamaian di muka bumi. Bahkan mimpi untuk melihat keadilan di bumi Palestina. Sebuah impian yang luar biasa mulia.
Saya pun ingin melihat suatu Ketika, kita bisa tenang berkunjung ke sana. Seluruh umat baik muslim dan non muslim bisa ibadah tenang tanpa khawatir perkara apapun.

Tapi kita bahkan belum selesai menyelesaikan konflik pada diri kita sendiri, pada metode berpikir kita. Kita bahkan belum selesai berdamai dengan konflik yang ada di sekitar kita sendiri.
Kita bahkan belum selesai berdamai dengan aneka perbedaan yang ada.

Bisakah kita memecahkan soal limit trigonometri, jikalau perkara tambah-kurang-kali-bagi saja masih sering salah. Mampukah kita menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks, ketikda permasalahan remeh temeh saja kita gelagapan?

Bisakah? Waduh saya tidak tahu dan tidak punya kapasitas untuk menjawab hal tersebut.

Sebelum saya menutup podcast kali ini, kalian tahu keputusan saya berhijab sesungguhnya karena dukungan dan perkataan teman saya yang Nasrani? Begini ceritanya.

Saya sempat kesal luar biasa dengan beberapa oknum saudara seiman saya yang bagi saya, begitu merepotkan, ribet, dan bisa membuat frustasi.

Sedikit-sedikit kristenisasi… sedikit-sedikit kafir…. Sedikit-sedikit haram… sedikit-sedikit sunni, syiah. Woi, maen jauhan dikit. Mahzab dalam Islam aja ada macem-macem. Ilmu antum kalau masih baru sampai ngetik di google sebaiknya kalem saja lah. Bayangkan! Kesal gak sih, ada sekelompok orang yang begitu percaya diri dengan pengetahuan mereka yang cetek. Itu luar biasa loh, tingkat kepercayaan diri yang patut diacungi jempol.

Puncaknya, saya begitu marah karena saya yang dulu belum berhijab, berulang kali disindir dan dibilang “Duh kalau belum berhijab kan kasihan nanti ayahnya dimasukan ke neraka.”

Saya saat itu geram! Bagi saya “Lo boleh mencaci gue, tapi jangan sekali-kali hina orang tua gue.” Saya saat itu merasa, kalau saya busuk, brengsek, apapun itu… saya berani mempertanggungjawabkan itu, bahkan jika harus dipanggang di neraka sekali pun. Oke! Jika saya yang salah, maka saya yang harus bertanggung jawab. Main yang fair lah. Kalau tidak bisa beradu argumentasi, jangan permainkan psikologis seseorang dong.

Kesal dengan itu semua, dan merasa tidak “aman” untuk curhat dengan teman sesama Muslim, saya pun akhirnya menceritakan keluh kesah saya pada teman saya yang seorang Kristen. Kenapa bukan ke sesama Muslim?  Karena saat itu saya sempat berpikir…. siapa tahu saya sial, terus malah digosipin penodaan agama. Waduuuuh, masuk koran deh.

Dengan kondisi selabil itu, teman saya bisa saja loh… bisa saja… bilang “Yok Mon, gabung klub domba tersesat.” Tapi tidak kawan… tidak. Dengan bijaknya teman saya itu bilang

“Bukan agama lo yang salah. Bukan Tuhan lo yang salah. Yang salah adalah pemahaman beberapa orang terhadap seluruh konsep agama lo yang mulia.”

Saya ingat betul, itu jawaban paling bijak yang pernah saya dengar dan ingin saya dengar. Saya ingat betul dia juga tanya

“Mon, gw bisa liat loh, lo begitu bangga pada Tuhan lo, pada agama lo. Lo cuman keliatan sewotan aja, tapi hati lo penuh kasih. Semoga lo bisa menjalani keimanan lo dengan lebih baik ya. Islam butuh orang-orang seperti lo. Dunia, butuh orang seperti lo. Semoga Tuhan menuntun jalan lo ya.”

Hal itu cemen dan sederhana banget, tapi itu hal yang saya tunggu datang dari mulut temen-temen Rohis saya. Orang-orang yang malah sibuk mengurus metode berpikir saya, yang sering dibilang, terlalu liberal.

Saya kemudian berhijab sejak 25 Desember 2012. Dan kalau kalian tanya kenapa seorang Emon begitu ambisius untuk jadi peneliti yang Go internasional dan gak kalah sama tante Agnez-Mo… Itu karena saya ingin membuktikan apa yang teman saya bilang, kalau dunia ini butuh juga manusia saya seperti saya. Saya ingin sempat memperkenalkan diri pada dunia, sebagai wanita, sebagai Indonesia, sebagai Muslimah.

Gak tau kapan… tapi itu jalan ninja yang sudah kupilih AHAHHAHAHAHAHA.

Jika saja… jika saja saya terjebak pada pola pikir sempit yang terlalu berfokus pada perbedaan. Mungkin saya tidak pernah bertemu dengan teman saya tersebut. Mungkin… saya bukanlah emon yang setangguh ini.

Semoga kalian, lebih beruntung dari saya. Menemukan hal-hal ajaib yang mengubah kita jadi lebih baik.

Saya tante emon, selama hari raya Idul Fitri. Semoga kita bertemu dengan aneka cerita di lain hari.

Sedikit cerita dari Tsukuba: ketika orang Jepang lebih mengimplementasikan hadist rasul dibandingkan kita semua.


“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
 
kalau tahu himbauan itu berasal dari hadist, dalam bayangan saya seharusnya orang-orang di negara Muslim gak sulit untuk diminta diam di rumah dan tidak mudik terlebih dahulu.
 
Fun fact: Rupanya masyarakat Jepang lebih aware dalam “menerapkan hadist” ini. Setidaknya ini yang saya lihat di Tsukuba.
 

beberapa minggu terakhir, kasus Covid19 di Tsukuba meningkat cukup cepat. Sampai saat ini, setidaknya ada 7 orang yang terserang di Tsukuba. 5 orang sekeluarga, 1 orang guru dansa dari Italia, 1 orang yang bekerja di Tokyo. Pemkot Tsukuba langsung mengeluarkan imbauan untuk kami yang tinggal di Tsukuba agar tidak bepergian keluar Tsukuba dan yang tinggal di luar Tsukuba untuk tinggal di rumah hingga 2 minggu ke depan alasannya:

1. Kita tidak tahu seberapa luas virus ini sudah menyebar di Tsukuba,
2. Kita perlu khawatir jika ada yang commute dari Tokyo dan sekitarnya menuju Tsukuba malah akan menambah kasus baru.

 
Pemkot tidak melakukan lockdown, masih hanya imbauan. Tapi beberapa minggu ini, semua presiden di setiap research center langsung mengeluarkan SK tentang “karantina wilayah.” Tentunya “japanese style” jadi diperlembut dengan “Imbauan untuk tidak berpergian” (suatu yang gak akan mempan kalau di pake di Indonesia). Dan imbauan itu dikirim bisa 3x sehari ke e-mail kami masing-masing. Kenyang-kenyang deh baca si imbauan itu. Saya yang bahasa Jepang level kore-kore aja sampai mulai hapal kanji-kanji yang dipake apa!
Mantap bukan!

photo6334697361825180143

Ada yang boso Inggris juga sih, tapi langsung capek bacanya…. ada puluhan lembar wejangan dari Pemkot dsb

semua pegawai langsung dibuat sibuk dengan uji coba sistem online dsb.
Tes koneksi berkali-kali (sampai bosen dan garing).
tes koneksi ini bener-bener bikin kering loh, karena banyak peneliti yang sudah sepuh juga kan. Walhasil mereka masih gaptek, dan kadang jadi terlalu zoom mukanya…..dsb
Belum lagi di rumah mereka ada pet ada anak-anak yang masih liburan, jadi kadang “rame” karena pada gak ngeh mute suara mereka.
Banyak lah suka dukanya. Kami yang biasanya peneliti tulen tiba-tiba disuruh cobain macem-macam peranti remote meeting kan heboh juga. Jadi belajar bareng sama sekretaris dan teman-teman yang lain.Sensei saya lebih heboh lagi. Perkuliahan mulai awal april, dan tiba-tiba semua perkuliahan Beliau HARUS dilakukan secara online! Beliau tinggal di Tsukuba, dan kampus di Tokyo. Inget rulenya? Dari Tsukuba gak boleh keluar!Walhasil harus nyiapin materi kuliah online.
Sudah sip sistemnya….

Eh~~~~ banyak mahasiswa baru yang perlu self-isolate selama 2 minggu karena banyak yang baru pulang jalan-jalan selama spring break.  Akhirnya harus bikin sistem kuliah online-nya lebih mantap lagi agar bisa diakses banyak orang dari banyak tempat. Itu pun masih ada drama karena banyak mahasiswa baru yang gak punya wifi di kosan-nya m(T^T)m kalau pake kuota hp kan mahaaaal cin. Akhirnya kelas offline juga dibikin tapi tata ruangnya.

Kasian juga liat para sensei heboh ngecekin sistem kuliah online satu-satu m(T^T)m
dan please gengs, jurusan ekonomi… banyak persamaan sama kurva yang harus diturunin satu-satu.
Tapi kayaknya para sensei mulai enjoy dengan “mainan” baru mereka :’D yo wis lah.

Dan kerennya, dengan segala suka duka, semuanya nurut dan oke-oke aja demi kebaikan bersama.

 Mulai hari ini, hingga dua pekan ke depan, yang tinggal di luar tsukuba akan kerja di rumah.
KRL tsukuba express pun refund tiket langganan untuk para pejuang kereta ini.
Gak ada yang ngeyel “Loh kan belum lockdown.” semuanya lebih bilang “Yah… daripada kita menyebarkan virus kemana-mana dan gak tau. Virus kan gak keliatan.”
Masker dan hand sanitizer memang sulit, tapi makanan dsb tetap ada dan masih harga normal. Farmers market agak sepi memang karena para petani (yang pada sepuh) diminta untuk gak keluar rumah terlebih dahulu. Tapi semua patuh dengan mahzab yang sama “Khawatir tertular atau menularkan orang.”
Kadang jadi mikir, apa ekspektasi Rasulullah apa semua umat Islam bakal kayak orang Jepang, gak akan ngedablek kalau dikasih arahan atau saran?
Subhanallah, Rasul pasti baik banget sih jadi gak negative thinking…. tapi kayaknya untuk orang Indonesia, mmmm…mmm….mmm…. harus pake cara polisi India yang maeh gebug pake rotan apa ya? Hmmmm… gimana menurut kalian?

Gimana nih masyarakat yang katanya religius?  Atau memang butuh rotan untuk “efek kejut” 😀

 

Yang lebih berbahaya daripada Covid19: Kehilangan nurani kala krisis


 “Iya, tapi kan gak semua peduli. Gak semua berpikir bawa hati nurani. Kadang-kadang harus ikutan jahat gitu gak sih biar survive?”

Emon memang orang yang keliahatan super ceria dan gampang ketawa…
yang orang gak tau, seorang Emon juga gampang panik. Gampang banget.. terutama ketika kepikiran tentang Mama dan adik. Mereka adalah dua orang yang paling berharga bagi gw saat ini. Kalau tiba-tiba gw khawatir, gw bisa langsung moody dan panik. Dan saat ini, media sosial berhasil membangunkan kembali kepanikan gw yang udah hibernasi sejak gw belajar musik, dan itu semua gara-gara the most viral topic of the year: COVID-19.

Gw sesungguhnya tidak terlalu panik awalnya, karena di Jepang… walau kasusnya besar dan gw sudah mengira akan besaaaaaar banget karena ketika wabah mendera Cina, banyak turis Cina berlibur sesaat ke Jepang. Itupun karena Jepang dianggap lebih bersih, aman, stabil, dan steril (well… dan juga deket kan). Lalu BOOM! wabah merebak di negeri Sakura. Jangan kira di negara maju dan se-well prepared kayak Jepang gak ada panic buying! Ada dongs!

Masker hilang dari pasaran, tissue toilet entah mengapa makin menipis stoknya, wowowowowowo~ cukup kaget juga. Pertemuan publik di-cancel, sekolah diliburkan, banyak plan hancur berantakan. Bahkan airport pun sepi. Pesawat menuju Jepang kayak kapalnya kapten Flying Dutchman di Spongebob. Hati gw pun ambyar!

photo6296462270171032090

Narita Airport sunyi….

 

Namun setidaknya, teman-teman dan supervisor gw baik. Kami saling mengecek satu sama lain. Dan mungkin karena gw tinggal di kota yang mayoritas penduduknya peneliti, tidak ada kepanikan berarti…. “Hmmm, ini kan virus ya, pasti sudah nyebar kemana-mana ya, wong kecil gitu kok. Sekarang kita yang harus tanggung jawab menjaga diri dan orang-orang terdekat kita. Ja! Ganbarimashou!”

Sungguh, awalnya gw tidak panik. Gw memang jadi lebih waspada, tapi hidup berjalan menyenangkan… seperti biasanya.

Sampai kemudian, wabah menyebar di Indonesia. Lengkap dengan pemerintah yang terlihat sekali gelagapan mengambil keputusan dengan cepat. Jangan lupa! Semakin gurih dengan “topping” beberapa paket netijen bawel di media sosial, beberapa media yang masih hobi bikin judul clickbait,  dan beberapa paket masyarakat yang emmmm…gimana bilangnya ya… norak? alay? sungguh harus ada padanan kata yang lebih dari itu semua.

Yak! Sebuah kombinasi yang luar biasa…
luar biasa membuat panik!

Gimana gak?

Panic buying dimana-mana, harga semakin merangkak naik, belum lagi jumlah penderita yang masih saja simpang siur.
Eh masih sempat pula ada kisah “FTV” dimana seorang pasien positif yang terjangkit virus masih sempat “kabur” dari ruang isolasi.
Butuh waktu untuk mencerna informasi-informasi yang berseliweran dan bisa membuat siapapun yang baca jadi GILA!

Lalu, gw inget Mama dan adik di rumah. Oh bagaimana kabar mereka kala gw kembali ke Jepang.
Gw cek harga barang-barang macam masker, hand sanitizer, dsb. Gak lupa gw pun cek harga-harga bahan sembako.
It doesn’t make sense… harganya mulai sama bahkan lebih mahal dibandingkan di Jepang. “No, my family will be not okay under this situation.”
Padahal, kalau gw boleh jujur, Jepang pun tengah resesi. Gw juga merasa uang gw lebih cepat habis akhir-akhir ini. Tapi… kalau kemudian harga di Indonesia bisa hampir sama bahkan lebih tinggi dari di Jepang? Geng… sori buat bilang hal ini….ini jelas-jelas:  Harga barang di Indonesia melonjak jadi MAHAL BANGET!

Gw bertekad, apapun yang terjadi… semahal apapun barang yang harus dibeli… kalau memang itu buat Mama, gw jabanin deh.

Gw pun kemudian tanya baik-baik ke Mama.

Me:   Ma, liat deh… orang-orang kan pada panic buying tuh, nanti harga makin mahal loh. Yakin gak mau beli sembako, sama masker, dsb? Beneran nih?

Mom: Mmmm… gak usah kak. Mama kan gak kemana-mana. Eh paling check up ke RS, tapi kayaknya sekarang lagi gak kondusif ya. Serem ah.

Me: Iya, jangan ke RS dulu sementara. Tapi jaga makan baik-baik ya.

Mom: Iya… obat rajin diminum, sama mama puasa tiap minggu. Makannya juga sekarang udah pinter abis ditongkrongin terus sama Kiki

Me: Ma, beneran nih, gak butuh printilan-printilan yang pada lagi dibeli orang-orang? Klo perlu, beli nih walau mahal juga.

Mom: Gak usah kak, kita punya cukup kok stok buat kita aja. Jangan beli lebih dari yang kita butuhin, ikut-ikut panik, nanti harganya makin naik.

Me: Ya makanya… sebelum makin naik lagi.

Mom: Eh kok gitu. Kalau buat kita aja harga segini udah berat banget, yang ekonominya lebih sulit dari kita pasti nangis-nangis. Duh kasian, udah kita jangan ikut-ikutan dzhalim. Gak tega ah!

Me: Ya udah, masker deh… butuh gak?

Mom: Kan Kiki udah beli sabun cuci tangan, yang penting rajin cuci tangan kan? Toh kita juga wudhu sebelum shalat. Insha Allah aman. Kita juga jarang keluar rumah kalau gak penting-penting banget. Udah jangan nambah-nambahin deh, kasian nanti yang butuh masker beneran. Nanti yang sakitnya parah banget gimana? Terus yang mobilitasnya padet gimana? Mereka-mereka itu tuh yang lebih butuh dari kita. Jangan suka ambil hal yang bukan hak kita ah. Mama sama Kiki anteng di rumah main sama kucing kok, gak kemana-mana.

Dan dari semua hal brengsek yang terjadi sepanjang 2020 serta komen-komen netijen yang terkadang terlalu ajaib, perkataan Mama seperti siraman air zamzam di komplek perumahan di tengah klaster neraka jahannam! Adem banget!

Tapi… itu membuat gw sedih karena pada akhirnya gw bilang, “Iya, tapi kan gak semua peduli. Gak semua berpikir bawa hati nurani. Yeeee… emang semuanya kayak Mama? Sori la yaw”

Lalu adik gw yang memang mulutnya berbisa itu pun angkat bicara, “Loh iya, memang Kak… memang! Kalau ada apa-apa, misal Mama nih yang kena si virus, pertama-tama… orang akan jauhin kita, rumah kita akan dipasang police line. Kakak akan dihujat, kok ya anak perempuan egois, sekolah lama-lama di LN, bawa virus. Kiki juga, anak cowok gak guna… gak bisa jaga Mamanya. Kita tamat kok kalau ada apa-apa. It’s predictable”

YES! THAT’S THE POINT! Jadi gak salah dong kita berpikir strategis sebelum kita dijahatin orang. Sedih banget kalau nanti kita sakit eh masih di bully dan dikucilin. God! Sudah jatuh dilindes traktor.

Tapi Kak, kalau orang lain kehilangan akal sehat bukan berarti kita ikut-ikutan kan? Gak gitu cara mainnya. Kita harus kuat, harus sehat, harus bertahan, agar kita bisa buktikan bahwa jadi orang baik pun masih bisa loh bertahan hidup di planet ini. Action speaks more than words, Man!

Gw jadi tau sih kenapa gw agak cemen dan cengeng kalau baca dan liat hal-hal yang penuh kebencian di dunia nyata dan dunia mayaa. Karena di dalam rumah, keluarga gw gak punya hal-hal jahat sedikit pun di benak mereka. Terlalu naif, tapi… bersama mereka gw merasa sangat nyaman.
Dan emang… mereka adalah oksigen gw. Oksigen saat “polutan-polutan” menyerbu benak gw.

Saat gw menulis ini, gw baru baca berita…
Ada masa suatu aksi berdoa agar India diserang virus Korona…
Ada berita tentang ibu-ibu sosialita yang pamer belanjaannya (yang jelas2 membeli banyak sekali sembako dari supermarket).
Ada status seorang netizen yang bilang “Inilah tanda mengapa wanita harus menggunakan cadar/burqa.”
Ada tablig akbar “Syiah lebih berbahaya dari virus Korona.”
Ada aneka persepsi”Oh pemerintah lambat luar biasa.”
Ada yang antipati “Cih, pasti kebijakan ini cuma untuk cari muka.”
Ada caci maki “Hish, Cina memang cuman menolong negara-negara Syiah dan Kristen… komunis!”
Masih ada berita “Banyak yang memakai sanitizer di tempat publik untuk isi ulang.”

In short:
Bahkan di saat yang genting, rupanya ada… rupanya banyak… yang masih sempat membenci.

Padahal ini wabah karena virus loh, makhluk super kweciiiiil yang bisa menyerang siapa saja.
Apapun agama kita…
Apapun suku kita…
dan karena tidak mudah dideteksi, maka siapapun bisa terserang. Bisa saja keluarga kita.
Bisa saja diri kita sendiri.
Dan jika kita yang dapat “jackpot” tersebut, tentu kita ingin mendapat banyak dukungan. Ingin mendapat banyak pertolongan. DARI SIAPAPUN.
Secara logika, bukankah seharusnya kita peduli untuk melakukan hal serupa pada sesama? Saling dukung… saling tenggang rasa… tepa salira kalau kata buku PPKN jaman SD dulu.

Gw pernah membaca, saat ketika manusia paling jujur adalah ketika mereka ada di titik kritis, ketika mereka menduga bahwa hari akhirnya semakin dekat.
Jika wabah ini adalah titik kritis, dan jika gw merujuk kutipan tersebut…. maka apakah watak kita sebenarnya memang egois? Memang mau menang sendiri?

Ah, ya… gw pernah bilang, secara default manusia emang egois, oleh karena itu kalau di angkot yang hampir penuh,  kita yang baru naik pasti disuruh duduk di paling pojok yang paling panas.
Kita egois. Oke! Mari kita telan kenyataan ini.
Tapi yang tidak disangka-sangka, kita kurang bisa me-manage sifat egois itu. Jadi yaaaa begitu saja~
Jangan-jangan sejak era Pithecanthropus Erectus ?

Kalau saja, kalau…. semua orang bisa seperti Mama, bisa dengan ringan berkata, “… jangan ambil hal yang bukan hak kita.”
Mungkin dunia akan sedikit lebih tenteram.

Eits… Mom, wait! You are wrong, in this cruel world… people think in another direction “Grab any kind of opportunity! No matter what!”

Oh iya lupa! Konon katanya, sebelum hari akhir…. yang tertinggal memang orang-orang yang jahat 🙂 Aha! kini kita punya penjelasannya!

Mungkin memang banyak orang yang lebih memilih untuk survive hingga akhir apapun taruhannya. COVID19 memang mengguncang dunia, merubah banyak hal, kecuali satu: sifat serakah manusia.

Sedih…
Sayangnya, kenyataannya begitu.
Is it time to farewell with solidarity and humanity? Gak tau, gw sih masih punya harapan (dan doa) untuk itu. Kalau kamu?

 

Mama dan Metode Parenting yang Beliau tidak sadari


“Marissa, you don’t have any idea about how much I adore your mom. She treats everyone nicely no matter who are they? Where they come from? She is a very sweet person, that’s it.”

Setidaknya itu perkataan Mamas Smiley saat tante emon complain tentang Mama yang kadang terlalu baik.
Tentang betapa marahnya saya karena merasa Mama terlalu cepat menghabiskan uang BUKAN untuk dirinya, tapi seringkali untuk orang lain.
Untuk asisten rumah tangga kami yang anaknya dipenjara karena kepergok menjual ganja.
Untuk tukang sayur langganan kami yang gagal panen.
Untuk tukang kebun kami yang sudah terlalu tua.
Untuk kebunnya yang mulai berantakan
Untuk kucing kami yang memang lidahnya terlatih untuk makanan dengan label harga yang lebih tinggi.

Untuk orang lain!!!!

Dan seringkali lupa untuk dirinya sendiri. Mama saya itu sakit loh, pemirsa. Mama saya tidak bisa berjalan dengan baik seperti dahulu karena stroke yang menyerang mama 3x! dan juga diabetesnya!
Kadang… saya merasa “Udah deh, Ma. Gak usah mikirin yang laen-laen lagi. Yang penting Mama sehat.”
Tapi Mama tetap Mama.

Kalian yang mengenal saya, pasti tahu betul betapa logis kepala saya dan betapa meletup-letupnya emosi saya. Bahkan kepada Mama. Saya akui, bahkan jika dibandingkan dengan adik saya (yang memang pria idaman para tante saking sweetnya sama Mama), saya cukup keras dan sering ngomel ke Mama.

“She needs to think about herself before anyone else!!!!!” jawab saya pada Smiley. Tentu! Saya merasa saya benar.

Mama… Selalu begitu.
Hatinya baik tanpa Beliau sadari.

============

Ketika ayah meninggal dunia, adik saya masih kecil. Seperti yang  seringkali kita ketahui, lidak tetangga terkadang lebih tajam dari pisau jagal kurban. Banyak yang bilang, “Bu… biasanya, kalau anak hilang sosok bapaknya, suka jadi anak bandel kalau gak bodoh. Itu tuh liat tetangga kita.lalalalalalalalalala.” mungkin pada gak sengaja ya, tapi setelah saya menginjak usia “tante” seperti sekarang, saya membayangkan “Ya Allah, itu pasti sakit banget ya buat Mama. Pasti Mama khawatir banget.”

Hmmm… setelah dipikir-pikir…..

Mama layik khawatir, karena dua anaknya: KERAS KEPALA.

Saya dan adik saya adalah orang-orang yang tidak sungkan mengatakan sesuatu to the point. Beberapa kali Mama kena “tegur” tetangga karena anak-anaknya terkesan “jutek” untuk banyak orang. Padahal? Gak… kami malas basa-basi saja.
Karena kebetulan SMA saya dan adik saya sama, dan kebetulan kami kebagian “wali kelas” yang sama, Mama saya harus sempat dengan komplain salah satu wali kelas kami.
“Marissa… ya gitu, tidak bisa berkomunikasi.”
“Muflih itu tertutup ya, yaaa tidak ada yang spesial… atlet sih.”

Sungguh, Mama sebenarnya bisa saja marah besar “Kalian!!! APA YANG TERJADI???”
Well, tentu… kalau perkara akademik, Mama akan ngomel untuk beberapa jam “Kamu itu, kan sudah Mama bilang, belajar!” tapi seingat kami, itu hanya yaaaaaaah… paling lama setengah hari.
Setelah itu Mama akan tanya “Jadi sebenarnya ada apa sih? Ada yang kamu gak sreg ya?”

Sebandel-bandelnya kami, kami tidak bisa bohong ke Mama. Mama biasanya tahu kalau ada yang salah dan “beda” pada kami.

Kadang kami males juga untuk jawab, jadi ya udah lah diem aja.
Jika itu yang terjadi, Mama akan tanya “Mau makan apa hari ini?” dan setelah itu Mama akan masak atau beli makanan yang kami mau.

“Habis, anak-anak Mama itu sudah pada gak bisa mikir dan pusing kalau gak makan enak. Ya sama kayak kucing-kucingnya.” Biasanya Mama akan bilang seperti itu.

============

Mama layik khawatir, karena dua anaknya: BEDA 180 DERAJAT!!!

Teman-teman saya pasti bilang, “Adik lo tuh, ELO tapi versi cowok! Gila persis banget sifatnya!”
Sifat boleh lah mirip, bagaimanapun saya memonopoli adik saya sejak dia lahir. Sebagai orang yang susah dapat teman, adik saya adalah teman terbaik saya sejak hari pertama dia di dunia.
Tapi…… minat, bakat, hobi, dan banyak hal lainnya BEDA PARAH!!!

Adik saya yang tinggi besar punya bakat yang bikin iri hati dan dengki di bidang olah raga, terutama beladiri. Menyebalkan banget, karena bagi dia… olahraga itu dikedipin juga dia bisa.
Saya? Dengar kata “Jogging”, baru dengar loh… BARU DENGAR… rasanya sudah encok. I hate any kind of exercise. GW TIDAK SUKA OLAHRAGA. Pencapaian terbesar saya dalam bidang olah raga adalah suka dan paham ketika nonton bulu tangkis. Udah deh, itu paling mentok.

Saya lebih senang seni, kecuali seni tari, sepertinya untuk bidang seni yang lain… yaaaa bisa ngerti lah. Bukan hal yang terlalu sulit untuk saya belajar seni. Apapun itu.
Adik saya? Ufufufuufufufufufufuufufufufuufufufufufufufufu…. gak tega sih ngeledekinnya. Nilai seni rupa doski emang tinggi ya pas sekolah dulu, tapi sedikit bocoran aja… itu karena bantuan dari jiwa seni saya yang melimpah ruah. UFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFU (mohon jangan ditiru).

Saya, sebenci-bencinya dengan suatu mata pelajaran, I will tried my best untuk mempelajari itu. Saya, mungkin tidak pernah jadi yang terbaik, tapi… saya bisa pastikan bukan yang terburuk.
Adik saya? gak suka sesuatu?… ya dia tinggal :’) Dia betul-betul excellent pada suatu hal dan bener-bener busuk di suatu hal pada saat yang bersamaan.  Dia bisa dapat nilai paling tinggi di suatu mata pelajaran, dan di saat yang sama dapat nilai paling dodols di mata pelajaran lain. Intinya, dia hanya ada di dua titik ekstrim.

Coba…coba…
Kalau kalian punya dua ekor anak yang model kami-kami ini gimana rasanya?
Pasti kalian akan bilang ke saya “Liat tuh adik kamu! Olah raga, biar sehat. Kan makanya kamu gampang gendut!”
Pasti kalian bisa bilang ke adik saya “Kamu itu gimana? Mbok ya dapat nilai yang paling tinggi di semua mata pelajaran!!!” Lalu menyuruh dia untuk les ke semua tempat yang ada di muka bumi ini.

Fun fact: Mama TIDAK PERNAH melakukan itu semua pada kami.

Saya yakin sih, pada awalnya Mama pusing juga karena kok yang dua anaknya tipe nyebelin kayak gini ya. Pasti lah sempat ngomel juga ke kami. Tapi lagi-lagi, paling lama hanya setengah hari. Setelah itu… diplomasi meja makan selalu berhasil.

Adik saya menolak untuk ikut les di banyak tempat “Gak Ma, pusing kalau terlalu banyak metode belajar.”
Saya pun mengakui kalau “Ma… kakak tuh gak suka olah raga, kakak sukanya ngegambar, denger musik, nonton…..baca….”

Ya sudah…

Mama, tidak pernah membandingkan saya dan adik saya satu sama lain.
Mama juga tidak pernah membandingkan kami dengan orang lain.

“Ya gak apa,  karena Mama juga gak suka dibandingkan sama orang lain. Bikin stress tau. Dan Mama percaya Allah pasti punya alasan kalian punya bakat dan hobi masing-masing. Terserah kalian lah, asal jangan lupa shalat.”

============
Kembali lagi pada sifat Mama yang menurut saya “terlalu baik” dan jujur saja… mulai menyebalkan. Untuk menghentikan sifat Mama itu, saya punya ide gila
“Ma, ke Jepang yuk, bareng Kakak.”

“….gak deh, Kak.”

Saya tentu marah, karena tidak sedikit yang berpikir bahwa saya anak durhaka. Mama saya ditinggal lama banget loh! Kalian jangan pikir saya tidak berbusa untuk ajak Mama ke sini ya. Sudah jutaan kali.

“Duh kenapa sih, Ma!???”
“Soalnya, ada banyak orang yang mau Mama temani di sini.” kata Mama suatu ketika

Lalu saya ingat, Mama seringkali me-“rekrut” orang-orang yang “bermasalah” di sekitar kami. Ada yang janda, ada yang anaknya dipenjara, ada petani, ada orang yang sudah sangat tua dan mulai pikun tapi kepala keluarga, dan masih banyak orang lainnya yang sengaja Mama izinkan untuk membantu pekerjaan kami di rumah. Mama juga selalu menyediakan air minum dan makanan kucing di depan rumah supaya kucing liar tidak kelaparan.

“Kalau tidak ada Mama, kamu yakin orang lain bisa memperlakukan mereka sebaik kita?” begitu kata Mama.

Saya lalu menyerah. Karena jangan-jangan, di muka bumi ini, mungkin tidak banyak yang setulus Beliau.

Adik saya pernah bilang, “Kalau kakak mau dapet cowok kayak ayah, mungkin kakak harus sebaik hati Mama sih. Dan itu… susah.”

====================

Sesederhana itu.

Mama tidak pernah berubah. Semenyebalkan apapun kami, Mama selalu sabar (walau sering over-panik juga dan bikin kami kesal).
Ketika kami gagal, lalu sedih, lalu ngerasa gak guna…. Mama pasti akan bilang “Pasti ada alasan kenapa Allah kali ini bikin kamu gagal. Pasti ada rencana Allah yang lebih baik dan kita belum tahu aja.”

Saat dunia runtuh, memiliki Mama yang selalu percaya bahwa kami “BISA” sangat membantu. SANGAT MEMBANTU.

====================
Dulu…. saya tidak merasa apa yang Mama lakukan itupenting. Tapi sekarang, saya berpikir kalau Mama tidak memperlakukan kami seperti itu, mungkin saya tidak akan “smooth” untuk lulus Ph.D hingga postdoc sekarang ini. Jika Mama tidak sebijak itu, mungkin saya sudah gila… mungkin saya sudah kerapkali terobsesi untuk membandingkan pencapaian saya dengan orang lain. Mungkin saya akan kerap ragu apakah keputusan saya yang terbaik.

Tanpa kebaikan hati Mama, mungkin Allah juga sungkan memberi saya begitu banyak kebahagiaan dan kemudahan.

Mungkin seluruh pencapaian yang saya dan adik saya dapat, adalah hadiah Tuhan agar Mama senang. Agar Mama, tidak perlu sakit dan masuk rumah sakit lagi.

Mungkin begitu ya…
Ya Allah, pastikan jalan hamba dan adik hamba adalah jalan yang terbaik bagi kami, untuk banyak orang, dan pastikan itu membawa kebahagiaan untuk Mama.

Aamiin.