Filosofi Soto dan Kebhinekaan Indonesia


Jadi begini ya saudara-saudara, jika pemahaman kalian misalnya tidak mendalam terhadap Pancasila…. jika kalian gak jago-jago banget politik…. jika kalian too lazy for difficult topic, daripada pusing dan makin gila dan kelihatan (sorry) sotoy dan antagonis, mari kita lakukan hal yang menyenangkan bernama: MAKAN. Ya! Makan… siapa tidak happy dengan makanan, dan menu kali ini: SOTO.

 

Image and video hosting by TinyPic

Sumber gambar: penabiru.com

Saya percaya sahabat-sahabat saya yang pecinta makanan akan melakukan protes luar biasa dan bilang “Ini penistaan pada makanan,Mon! Bagaimana mungkin lo bisa mencampur aduk makanan dengan masalah konstelasi politik” habis gimana lagi? Memang dijelaskan secara teoritis mempan? Toh tidak, malah makin lempar-lemparan batu. Ya mending kita ngomongin makanan lah.

Kalian tahu ada berapa jenis soto di Indonesia? Saya pun tidak tahu, tapi paling tidak kita bisa meyakini bahwa nyaris setiap daerah punya soto mereka masing-masing. Di Jawa Barat saja sudah ada soto mie Bogor dan soto Bandung. Walau sama-sama dari Jawa barat, toh rasa pun beda. Tak jauh dari Bogor, ada juga soto Betawi. Walau hanya butuh 2 jam naik kereta dari Bogor ke Jakarta, toh soto Bogor dengan Soto Betawi itu cita rasanya berbeda sekali.

Belum lagi ada soto lamongan, soto madura, soto medan, coto makassar. Ya ampun! Soto… mereka kan enak banget ya.
Tapi kalian tahu gak, kalau soto sendiri punya filosofi tersendiri. Tahukah?
Ada satu kesamaan dari seluruh soto di nusantara, dan itu adalah: Kebhinekaan a.k.a persatuan bangsa Indonesia.
“Hah…hah..hah…wow…wow…wow… tunggu dulu, Mon… masa’ segitunya sih?”
Iya… itulah mengapa prinsip dasar pembuatan soto adalah mixed every best ingredients. Soto, bukan hanya simbol kekayaan sumber daya alam suatu wilayah, tapi juga keanekaragaman kultur dan budaya di daerah yang bersangkutan.

Soto betawi kuah susu misalnya, tau dong soto betawi yang pakai susu dibandingkan santan. Konon itu karena pengaruh Belanda yang pernah membuat markas di Batavia. Masih dari Betawi, soto tangkar dulunya itu pakai iga dan tulang (sekarang banyak yang lebih sering ganti jadi daging sih daripada repot dengan tulang belulang), konon soto tangkar itu sendiri tercipta dari kreativitas masyarakat betawi di era VOC yang susah membeli daging jadi mereka mengumpulkan remah-remah tulang dan iga dari pasar.

Soto Bandung, kenapa sih kok pakai lobak? Karena Bandung itu dataran tinggi, lobak tumbuh dengan subur, cepat, dan lama-lama stok lobak pun menumpuk. Daripada pusing kan, nah… dengan kreativitas warga Bandung yang memang tidak perlu diragukan lagi, dibuatlah soto Bandung dengan aneka khas-nya sendiri.

Tidak hanya sampai situ, soto bukan hanya bicara ciri khas kewilayahan… tapi dengan sangat terbuka membuka pintu terhadap pengaruh-pengaruh positif dari luar Indonesia. Pernah dong makan soto yang ada bihunnya? Atau at least makan soto bogor dengan risoles. Nah! Nah! Bihun itu… asalnya darimana? Cina, gaes!

Pernah juga dong makan soto yang rempahnya nendang banget, pake kayu manis dsb. Lengkap dengan taburan bawang goreng. Itu mirip makanan mana sih? Yak! India… ingredient-nya nyerempet-nyerempet bumbu kari ala India.

Ada juga yang pakai perpaduan minyak samin, nyam…nyam…nyam… itu dari mana sih? Itu jelas pengaruh Arab!

Betapa luar biasanya soto karena semangkuk soto bisa dengan akur bersatu-padu, meleburkan seluruh pengaruh budaya, sampai akhirnya menonjolkan cita rasa khasnya tersendiri. Sampai kapanpun kita tetap bisa membedakan cita rasa soto setiap daerah…

Kalau mau bodoh-bodohan lagi nih, soto pun tidak pernah memaksa soto lainnya untuk meniru cita rasa mereka. Tidak ada soto yang saling berantem masalah copyright. Toh soto betawi yang punyanya ibukota tidak pernah mendikte soto lainnya untuk menjadikan cita rasanya sebagai patokan rasa soto.

Kita patut bangga pada soto, soto nusantara tidak bermasalah sama sekali.
Yang bermasalah kini adalah para penikmat soto: Kita!

Saya heran loh, kok bisa-bisanya masih adaaaaaaaaa sajaaaaaa diantara kita yang ribut-ribut lebih berkonsentrasi pada perpedaan.

“Ih dia kan China”
“Weeeeh… Arab sih gitu”
“Dia nonis sih”
bla… bla…bla…. bahkan yang “sama” aja sama “Ih ukhti yang itu kan masih belum bener Islamnya” DAMN!

Saya tahu sih pelajaran Pancasila dihapuskan bertahun-tahun yang lalu, tapi kan menjadi toleran tidak perlu jadi pintar-pintar banget ya… hanya perlu punya nurani.
Kalau teman dan tetangga kamu beda dengan kamu, then what’s the problem? Dulu… sewaktu saya masih SD, salah satu sahabat saya adalah seorang etnis Tioghoa. Keyakinan beda… suku beda… ras beda… warna kulit apa lagi kan langsung kalah flawless. Tapi no problem tuh, kadang saya masih dapat dodol maha enak handmade yang sudah dipastikan ingredientnya pasti aman dikonsumsi muslim. Ketika lebaran, kami pun makan masakan lebaran rame-rame tuh. Kami belajar bareng, main bersama, ya aman-aman aja.

Bagaimana kita bisa maju, bisa merangsek menghadapi dunia global, kalau pemikiran kita saja sempit. Iya sempit! Terbatasi stigma-stigma tentang perbedaan satu sama lain. Hello! Sehat? Udah minum Aq*a?

Jadi denger, mau kalian etnis apapun, ras apapun, mau NU, Muhammadiyah, PKS, bahkan HTI… I DON’T CARE!
Sok ajalah kalian mau berdiskusi dengan saya. Mau menyampaikan pandangan kalian kepada saya, menyampaikan bahwa sight kalian tuh yang paling wah! Well, go ahead! Why not? Kan ada kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat.
Tapi saya sudah nyaman dengan diri saya hari ini, dengan keyakinan saya, dengan kebenaran-kebenaran yang sudah saya temukan sendiri.
Saya pikir orang lain pun sependapat dengan saya.
Maka jangan paksakan pandangan kalian pada orang lain!

Jika menurut kalian pakai jilbab lebar dan burqa itu yang benar, tidak perlu ngotot menjudge yang masih pakai jilbab seadanya atau jilbabnya penuh tutorial dan memaksa mereka menjadi seperti kalian. Yang jilbabnya masih standar dan yang modis, gak usah lambe nyinyir ke yang berjilbab lebar. 

Jika kalian Nasrani maka tidak perlu jor-jor-an memaksa saudara yang Muslim ganti agama, begitu pula sebaliknya.

Kalau kalian pernah kecopetan sama ibu-ibu berjilbab, maka jangan pukul rata semua yang berjilbab itu copet. Yang paling benar yang tidak berjilbab. Heloow! 

Jika kalian berpikir Pancasila itu omong kosong, ya itu sih ente aja kali… kami sih oke-oke aja tuh. Maka tidak perlu mendoktrin orang lain untuk ikut-ikutan perspektif ente. Urusan nanti ente (yang kalau misalnya benar) masuk surga sendiri, ya udah itu kan pemahaman ente… ane sih berpikir jalan ke surga itu banyak dan gak cuman nurutin ente.

Jika kalian liat Kim Jong Un kok keliatan nyebelin, terus semua yang sipit jadi terlihat seperti doi. Dan kita langsung mikir “Wah pasti jahat nih”

dsb
dsb
dsb
Hingga akhirnya kalian mulai membatasi lingkup pergaulan kalian.
Hingga akhirnya kalian membatasi pemikiran kalian sendiri.
Hingga akhirnya kita, bareng-bareng menjadi bangsa tertinggal karena kebanyakan “suudzan”, kebanyakan fokus pada hal-hal yang tidak krusial. Terlalu banyak menekankan pada perbedaan.
yah met lamet aja deh.

Kok usil banget sih ngurus hal yang kayak ginian? Paham gak bahwa kita diciptakan Tuhan kan gak bisa milih mau lahir dimana, keluarga apa, suku apa. Paham juga gak kalau semua orang itu punya proses pendewasaan dan pencarian jati diri mereka masing-masing, maka yang perlu kita lakukan itu cuman ngasih saran jika dia butuh (klo doi gak minta mah gak usah sok iye!) dan senyum. Finish… life even getting easier.
Lagian kan kita semua udah sama-sama gede, masa bodoh-bodoh banget sih sampai tidak bisa berkontemplasi mana yang terbaik untuk hidup kita dan orang-orang di sekitar kita?

Di tempat saya melakukan riset saya sekarang, saya punya seorang teman yang sempat bilang “Di Indonesia banyak suku bangsanya ya? Seru ya rich of diversity. Kelak saya mau ajak anak-anak saya untuk jalan-jalan ke sana, mungkin kalau bisa tinggal di sana supaya anak-anak saya bisa belajar masalah keragaman.” Mbak ini berasal dari Cina.

Jujur, saya sih bangga… Indonesia di mata negara lain itu seindah itu ya. Saya bangga banget loh promoting everything tentang Indonesia. 

Tapi, lihat kondisi sekarang kok saya malah ragu ya ajak teman saya ke Indonesia.

Lihat kondisi negeri ini yang malah saling gontok-gontokan sendiri, rasanya saya malu… bahkan pada semangkok soto.
Apa susahnya sih work together seperti soto… saling bekerja sama dan saling melengkapi untuk menciptakan cita rasa yang khas. Mungkin cita rasa khas itu yang selama ini kita kenal dengan istilah: Kebhinekaan.

Udahlah jangan banyak misuh-misuh, makan aja! :p Jangan mau diadu domba, domba itu enaknya dipiara, dibarbeque, disop, digule…. bukan diadu. 

Meratapi Literasi Indonesia: Karena Rakyat Indonesia berhak Mendapat Buku-Buku yang Lebih Baik


Pernah suatu hari saya geram dengan orang-orang Indonesia yang tidak gemar membaca, apalagi dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bukannya apa-apa, Karena adik saya pun pernah seperti itu. Itu terlalu aneh Karena setahu saya sewaktu masih bocah dia cukup suka membaca dan rasanya semua orang di keluarga saya memang suka baca. Lha kok ini males banget. Untung kami belum sampai pada mufakat untuk melakukan tes DNA untuk memastikan bahwa adik saya ini tidak tertukar di rumah sakit.

Adik saya itu biasanya kalau jalan-jalan pasti berkunjung ke gram***a yang notabenenya toko buku paling kawakan di  tanah air. Sekarang? Nope
“Ki, ke gram** yuk cari buku”
“Aduuuh… gak deh kak. Bobok aja deh di rumah”
Ini kan serius, kalau anak yang suka baca saja tiba-tiba malas ke toko buku, pasti ada yang salah.

Saya pun iseng-iseng melakukan riset kecil. Ini pasti ada yang salah… pasti ada yang salah…. entah itu apa.
Saya berkali-kali mendapat isu dari sahabat dan teman saya yang suka berburu buku.
“Iya, Mon… jadi secara kuantitas sih bertambah, tapi kualitas… aduuuuh, jauh menurun”
“Aduh, Mon… lo pasti sedih lah liat buku di sini sekarang. Kurang beragam”

Saya tentu percaya teman-teman saya itu, they are limited edition in this planet dan sejauh yang saya tahu opini mereka selalu objektif dan kritis. Tapi kan penasaran dong jika kita belum liat sendiri. Saya pun memutuskan, saat kunjungan super singkat saya ke tanah air (yang pada akhirnya hanya bikin sakit punggung walau I am super duper happy to meet my family and my cats) saya bertekad untuk ke TOKO BUKU.

Sudah habis dilahap polusi dan panas matahari, kepala saya langsung pusing karena lapar karena sesampainya di toko buku saya paham kenapa orang seperti adik saya saja bisa jadi malas bertandang ke toko buku. Wanna see the reason?
“BUKUNYA TIDAK BERAGAM” and sorry to say (dan maaf jika ini menampar para penulis di tanah air) “KUALITASNYA Pfffffffftttttt…..”

Indonesia! Seriously! Are you lose your mind or what?

Mau lihat… okay! no pic= HOAX, so check this out.

Penulisnya beda-beda tapi semuanya selalu diawali “Love in…”
Image and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic
Saya pikir ini diawali Mbak Illana Tan sih (eh bener gak sih, gak pernah baca soalnya)
kayaknya semuanya hanya latah ikut-ikutan, dan metode penulisannya? Entahlah mungkin gelar peta lalu lempar panah “Aha! Dapet Stockholm” lalu ditulislah “Love in Stockholm”,
Tertancap di Ottawa, tulis saja love in Ottawa
dst…
Masalah apakah alur cerita dan latar masuk akal atau tidak, oh itu belakangan… toh sekarang lagi trend pembaca-pembaca remaja dibodohi dengan angan-angan romansa walaupun itu tolol sekalipun!!!!
Pernah sahabat saya mengkritik “Ya ampun, Mon… ada loh yang nulis ‘salju menumpuk di Tokyo'” buat para pembaca blog ini, saya kasih tau ya… it is rare salju menumpuk di Tokyo. Seringnya, turun salju pun langsung cair. Mungkin kalau di utara Jepang oke lah ya.

Tapi itu sih belum seberapa, mari positif thinking, mungkin penulisnya datang ke Tokyo ketika badai salju. Who knows! Jakarta dan Bandung aja bisa hujan es kok.
Ada juga loh yang bisa-bisanya menulis, ini latarnya di Eropa utara ya… “Matahari bersinar terang dan menghangati Januari di hari itu”
Ketika membaca frase itu, saya sempat berpikir itu novel science fiction dan kejadiannya ketika global warming sudah melelehkan kutub utara. Kawan… Januari itu: MUSIM DINGIN, dan please kalau kalian ambil latar utara bumi apalagi di kawasan Eropa Utara, jangankan hangat…. matahari aja bersinarnya cuman beberapa jam.

Kalian paham “ketololan” yang terjadi? (Maaf saya terlalu kasar kali ini).  Bahkan saya bisa pastikan bahwa penulisnya, minim membaca. Mungkin terlalu sibuk dengan social media.

Saya berpikir, hmmm… okay fail with young adult mungkin mereka punya alternatif hiburan yang lain. Saya merangsek ke rak entertaiment.

Dan… tebak yang saya temukan:
Image and video hosting by TinyPic

Oh God! Damn it! What’s the point kalian khatam masalah k-pop? APAAAAAAA?
Ya ampun gila apa ya.

Saya mencoba positive thinking. Wah gimana dengan buku biografi. Mungkin ada tokoh-tokoh inspiratif yang bisa mengobati rasa sakit hati saya dengan buku-buku novel young adult. Saya merayap ke sisi buku biografi dan sejarah, yang saya temukan konspirasi ahok lah, konspirasi jokowi lah… Ya Allah, apa sih kok rasa-rasanya kepala saya penat ya melihat itu semua.

Saya berpikir lagi, saya terlalu emosional mungkin karena kurang dekat dengan Tuhan. Saya lalu mendekati buku untuk Muslim. Dan bahkan kali itu saya langsung ingin melakukan taubatan nasuha kepada Allah SWT karena this one really kill me!
Image and video hosting by TinyPic

Jadi manusia itu sibuk ibadah ke Tuhan hanya untuk masalah romance? Jika ibadah itu hanya mengurusi masalah percintaan antar lawan jenis, udah deh… bareng-bareng masuk neraka lah sekalian. Oh come on! Bisa kan ada buku Harun Yahya tentang science and Quran, Answers for daily life kayak ‘Boleh gak sih kita meluk-meluk anjing?’, ‘gimana sih cara thaharah yang baik dan benar?’, ‘Perihal alkohol pada makanan’, yang pertanyaan-pertanyaan sehari-hari seperti itu kan lebih bermutu dan berkualitas jika diserahkan kepada ahlinya dan dijawab dengan bahasa yang remaja banget, dan dijadiin buku. Saya yakin itu akan membantu sekali untuk banyak orang (nih, gw kasih ide! Biar ada yang bisa bikin buku rada bermutu)

Saya lelah marah-marah, karena saya pecinta buku non-fiksi saya menyeret bada saya ke rak buku-buku non fiksi. Well… cukup menarik. Tapi covernya suram (apa salahnya men-judge book from its cover, cover yang bagus toh salah satu cara memanjakan dan menarik pembaca), topiknya sempit, dan saya yang sudah tua ini saja agak enggan membacanya apalagi anak muda.
Image and video hosting by TinyPic

In short, pilihan buku yang cerdas, mencerahkan, menarik, dan dengan tema beragam itu sangat-sangat TERBATAS.
Dan ini: MENYEDIHKAN.

Indonesia yang tertinggal masalah literasi

Dengan lunglai, Mama saya menyambut dengan rendang andalannya dan bilang “Nah, liat kan sekarang. Bagaimana anak Indonesia bisa pintar jika ‘jendela dunianya’ saja cuman jendela yang ditutup kertas kado warna pink”

Ya! Jendela itu ada, tapi yang terlihat dari dalam hanya pink pucat, bukan dunia yang ada di luar sana. In short: FANA!

Adik saya pulang dari kuliah hanya tertawa, “Kenapa Kak? Sekarang tau kan kenapa Kiki males ke toko buku? Kiki ke perpustakaan di kampus kak sekarang karena buku jaman dulu masih jauh lebih bagus daripada yang muncul akhir-akhir ini”

Adik saya yang kini agak lebih bijak setelah masuk kuliah kemudian mengakatan “Jangan negative thinking kak,  masyarakat kita gak suka baca, mugkin bacaan yang menariknya aja yang terbatas. Orang Indonesia suka kok baca dan belajar hal-hal baru” Dengan teliti saya mendengarkan adik saya yang selalu membaca buku yang saya berikan ke kampus dan dia mengaku antrian panjang untuk ikut membaca buku-buku yang saya hadiahkan pada adik saya cukup panjang.

Miris loh, sewaktu saya masih kecil saya masih dibelikan buku-buku seri ilmu pengetahuan oleh Mama dan Ayah saya. Saya juga membaca dongeng dari seluruh dunia. Ketika saya sudah lebih mahir membaca, buku-buku novel saya naik kasta ke serial-serial misteri dan petualangan. Sebelum saya berangkat ke Jepang, saya masih bangga karena ada novel sekelas Laskar Pelangi yang ceritanya manis dan menyemangati anak-anak Indonesia. Saya percaya pada saat itu litarasi di Indonesia akan naik kelas, dan kualitasnya akan semakin baik.

Nyatanya? Saya bahkan tidak bisa menumukan buku non-fiksi populer di toko buku dengan retail terbesar di tanah air. Tidak ada buku buku seperti “what if” atau “naked statistics” atau jika memang belum ada penulis Indonesia yang cukup sakti membuat buku seperti itu, setidaknya mbok ya terjemahannya.

Ada? Tidak!

Jangan pikir saya ini tidak minder, berteman dengan orang-orang dari negeri lain seperi Jepang dan China saja sudah membuat saya “jiper”. Mereka bertanya mengapa saya tidak membawa buku teks dari Indonesia sedangkan mereka? Rak mereka penuh dengan buku-buku teks asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Saya? Saya haru membeli buku-buku itu dengan uang saya sendiri… mencari di toko buku… dan mau tidak mau harus membeli versi bahasa Inggris.

Kalian pikir saya jago-jago amat, saya bahkan masih mengggunakan google translate dan kamus untuk menerjemahkan beberapa kata dan kalimat, dan itu… itu makan waktu!

Negara lain pada umumnya menerjemahkan beberapa buku teks dan karya literatur penting dan terkenal lainnya (seperti novel dsb) kedalam bahasa mereka. Alasannya? Agak mudah dipelajari dan memperluas perspektif mereka mengenai perkembangan dan sudut pandang di negara lain.

Di banyak seminar ESQ sering terdengar: lihat, tiru, modifikasi…
Apa yang dilihat?
Apa yang mau kita tiru?
Apa yang mau kita modifikasi?
Novel-novel picisan yang hanya menjual mimpi cinderalla story?

Saya ini bukan pembaca buku teenlit atau young adult loh, tapi saya bisa memastikan bahwa buku young adult asing banyak yang ceritanya menarik… bukan hanya masalah cinta kadang juga tentang persahabatan , keluarga, pokoknya lebih beragam.

Karena saya pecinta non-fiksi populer, saya masih mendapatkan buku-buku seperti itu di sini.
Image and video hosting by TinyPic

dan masih ada juga novel-novel klasik yang menurut saya kisahnya penuh makna
Image and video hosting by TinyPic

As a book lover and an avid reader, jelas negara lain lebih menarik bagi saya. Bahkan India saja bukunya lebih beragam dari kita loh! Trust me!

Sebuah Pembodohan

Jika saya begitu jahat, dan punya ambisi untuk menguasai suatu negara, saya akan menggunakan suatu ide brilian: Buat saja seluruh masyarakat di negara tersebut jadi BODOH.
Jadi punya pemikiran sumbu pendek.
Kenapa? Karena dengan itu saya bisa dengan mudah mendoktrin dan membodohi orang-orang di negara tersebut. Yah! diadu domba sedikit juga nanti perang sendiri, mulai dari perang mulut hingga ke perang otot… yang pasti tidak ada perang otak, karena otak mereka sudah kosong melompong!

Karena saya cukup “strategis” dalam berpikir maka saya terlalu gegabah jika membom negara tersebut, bom sekolah… bom perpustakaan…. aduuuh, cemen banget sih. Belum tentu berhasil masih bisa kena gugat PBB pula.

Bagaimana jika, saya susupi dengan trend?
Racuni dengan sinetron dan infotaiment tidak mutu yang hanya membahas artis dan aneka berita tidak mutu lainnya.
Jangan lupa, agar lebih mantap “kebegoan” yang akan tercipta…. di negeri ini artis harus jadi segala-galanya. Ketika ada bom nuklir di Korea Utara, tanyalah artis dangdut.
Ketika ada penemuan teknologi yang baru, jangan lupa wawancara artis sinetron striping (ssst… sinetronnya pun tiru habis drama di luar negeri, kalau ratingnya bagus… diperpanjang hingga 1 juta episode, sssttt ini rahasia kita aja ya, jagan bagi-bagi strategi ini loh).

Okay, sekarang seluruh media dari media cetak hingga online pokoknya harus sibuk memberitakan hal-hal yang gak penting tapi seru, misalnya jambak-jambakan antar dua artis ibukota dan isu nikah siri sampai tayangan langsung artis yang sedang ngeden melahirkan.
Agar lebih “cerdas” jangan lupa #sharedisocialmedia.

Lalu trend tercipta, dunia masyrakat negeri ini menjadi sempit.
Piramida penduduk negeri ini yang didominasi oleh anak muda membuat saya sadar “Well, target utama: Anak muda”
Maka, buat juga buku yang ada (in case masih ada yang mau baca buku) mendoktrin anak muda untuk trapped in the nutshell.

And yeah! Perfect! Makan waktu sih, tapi efeknya dahsyat dan dijamin anti gagal.

Karena masyarakat kemudian diperlihatkan bahwa “cinta” itu hanya sebatas dimabuk kepayang oleh lawan jenis. Maka mereka akan lupa cinta pada sesama, cinta pada orang tua, cinta pada orang yang berbeda keyakinan, cinta pada alam.
Yaaaah… biarkan saja, toh mereka nanti akan gontok-gontokan sendiri ketika ada kawannya yang beda keyakinan atau suku.
Diamkan saja, toh nanti mereka juga akan mati sendiri terkena banjir dan longsor (atau dimakan anakonda lapar) wong mereka yang rusak lingkungannya sendiri kok.

Oiya! Jangan ajarkan hubungan science dan agama, agung-agungkan saja masalah virus merah muda dan keutamaan nikah muda. Semuanya nikah muda, biar si perempuan segera hamil dan punya anak banyak…
Paling nanti sibuk mengurus anak dan akan lupa dengan pendidikan dan karirnya.
Jangan tunjukan jalan ke surga itu beragam… pokoknya jangan!
Ini juga metode yang efektif untuk membuat peperangan antara wanita karir dan Ibu rumah tangga. Padahal mereka punya keutamaan masing-masing ya, eh biarkan saja! Kalau kaum wanita sudah perang dunia, negeri ini makin mudah dikuasai.

Oiya! Karena di negeri ini sudah terlanjur “bodoh”
Sebar juga isu kalau wanita yang masih single hingga after 25 itu bakalan mandul, perawan tua, pokoknya yang jelek-jelek. Selipkan juga isu wanita yang sekolah tinggi dan berkarir itu seringkali tidak mau menurut pada pria.
So, genius women will never get married! Dan kalau wanita-wanita cerdas tidak menikah… maka tidak ada bayi-bayi yang genius pula. Ya ampuuuuuun sempurna!

Karena negeri ini sudah terlanjur “bodoh”, maka katakan juga bahwa kualitas manusia itu bisa dilihat dari fisiknya. Kalau dia gendut, hitam, pokoknya jauh dari standar artis-artis kurus tinggi langsing, itu hina banget deh!
Jangan lupa! Di bully juga… buat mereka tidak pede! Efek paling ringan:trauma dan minim percaya diri, paling berat: BUNUH DIRI.

Dan bukankah itu sempurna?
Semoga misi “pembodohan” di atas tidak terjadi di Indoenesia.

Kawan, saya tidak menjudge jika kalian nikah muda, tidak membaca buku, tidak sekolah tinggi, kalian salah. Oh no! Mana mungkin saya berani melakukan itu.
Namun saya hanya ingin mengatakan we should do more!

Jika kalian ibu-ibu muda, didik anak kalian sebaik mungkin. Carikan buku yang baik, ceritakan cerita-cerita yang berkualitas, angkat impian mereka.
Jika kalian wanita atau pria yang masih single, fokus ke pekerjaan dan pendidikan kalian
Jika kalian pelajar, maka belajar dengan giat dan konfirmasi seluruh informasi yang kalian terima.
Dan lebih dari itu semua: read a good materials.
Jika kalian tahun bahwa tontonan TV tidak bermutu… turn it off!
Bijaklah dalam menggunakan social media dan selalu konfirmasi seluruh berita yang kalian dapat, amati, dan sortir. Kalian ini sudah besar… bisa bedakan mana yang baik dan buruk.
Investasikan tabungan kalian untuk membeli buku yang bagus berdasarkan hobi dan minat kalian. Baca!
Jika kalian tidak suka buku, beli majalah yang “berbobot”… national geographic misalnya jika kalian tertarik dengan alam.
Pelajari! dan Dalami! Lalu sadarlah bahwa dunia ini luas, dan dunia ini membutuhkan kita… manusia dengan kualitas yang lebih baik.

Saya tahu, tulisan-tulisan saya banyak yang “kontroversial” dan banyak juga yang sudah terlalu sebal dengan saya. But really! I criticize for your good. Kita tidak bisa hidup dengan perspektif yang sempit.

Jika membaca buku yang berkualitas saja kita tidak tahan, bagaimana kita bertahan dalam konstelasi global?
Bagaimana? Beri saya jawaban.

Sekali lagi, kita berhak mendapat akses yang lebih baik pada hal-hal yang lebih berkualitas, salah satunya: BUKU dan bahan bacaan lainnya.