Memilah dan Memilih Kebahagiaan…


Tiga hari lagi, tepat saya satu bulan di Jepang. Suhu semakin dingin… beberapa hari ini Tokyo hanya berkisar antara 19-13 derajat Celcius, itupun hujan sehingga real feel-nya bisa mencapai hanya 8 derajat Celcius. Bagi manusia yang menghabiskan lebih dari dua puluh tahun hidupnya di sebuah negara kepulauan di sekitar khatulistiwa suhu itu sudah terlalu dingin, setidaknya untuk saya yang tidak suka dingin sejak dulu. Tapi itu semua dapat ditutupi karena rupanya menjadi saksi hidup perubahan warna daun adalah hal yang sangat menyenangkan. Tempat baru, teman baru, budaya baru, pelajaran baru, semuanya luar biasa…ah tapi tidak semuanya berjalan begitu lancar.

Dari sad stories dulu, hal paling menyedihkan terjadi di bulan ini adalah saya diusir dengan hormat dari kelas statistika karena tidak bisa bahasa Jepang. That’s not that hurt, tapi si dosen bilang “You can see that everyone in this class are Japanese, you also must know that statistic is such basic knowledge and everyone here should have comprehensive understanding for it, moreover mathematics also a language. I can’t teach this class with english, because if I do majority students here will not gain comprehensive understanding and also the should learn another language again: english…, beside in this semester I don’t have time to provide any materials in english” jujur hati saya sebenarnya hancur hahhahaa…butuh satu minggu untuk kemudian totally happy lagi. Tapi sahabat saya datang dari Kyoto and we do sooooo many ridiculous things, bahkan ketemu sohib dari Tsukuba juga jadi happy lagi.

Tiada juga yang lebih menyedihkan selain kendala bahasa, oh yes… jadi di negeri secanggih dan semaju jepang orang-orang pada gak bisa ngomong bahasa inggris.Padahal tahun 2022 ini negara mau jadi tuan rumah olimpiade, hahahhaa selamat menikmati aja deh para turis kalau gak bisa boso jepang.  Bogor, gitu-gitu masyarakatnya lebih berani angkat bicara dalam bahasa Inggris walau belepotan. Hadeuuuh… rempong pokoknya. Lainnya… kangen Mama, kiki, pingku, mpus, semuanya di tanah air.  Tapi biarlah yang sedih-sedih itu berlalu.

Bahagianya… gak macet, transportasi di sini nyaman, masyarakat Jepang sangat rapi dan teratur jadi kayaknya gak ada masalah birokrasi yang belibet di sini, mmmm untuk muslim ikan juga banyak jadi buat saya sih gak masalah-masalah banget sama makanan, cuman kangen sama masakan mama. Oiya… jalan kaki di Jepang walau capek tapi nyaman, terus… taman-tamannya mungkin tidak seheterogen di Indonesia tapi semuanya tertata rapi dan bersih banget.

Bahkan taman deket dorm aja rapiiiii banget, gak ada sampah sama sekali, dan semua orang bisa secara leluasa menikmati secara graaaatissss

Walau udah maju banget, di jepang juga banyaaaaak banget festival budaya. Dari yang kecil-kecilan sampai yang besar-besaran. Pokoknya kalau kalian suka fotografi udah lah abis satu rol deh.

Kalo udah mau ada festival, semua kendaraan lain harus ngalah :p tapi itu gak terlalu masalah karena jumlah kendaraan pribadi sedikit jadi yo wis lah ya

Di sini, kuil-kuil juga dijaga dengan baik. Walau kata Sensei saya orang Jepang itu tidak jelas agamanya karena terlahir sebagai Shinto, menikah sebagai Kristiani, dan wafat dengan upacara keagamaan Budha. Tapi semua fasilitas keagamaan sejauh ini sangat dihargai. Bahkan pengalaman terakhir ke Masjid Camii Tokyo, ada beberapa orang Jepang yang datang ke dalam masjid untuk menghayati kesyahduan dan kekhusyuan di dalam masjid. Jadi TOP banget lah.

Kuil sekecil apapun…. dijaga selaras dengan alam… gak tau kenapa, tapi sejauh ini kalau saya perhatiin di sekitar kuil pasti selalu ada pohon-pohon rimbun. Ada kakek-kakek yang cerita, tapi sayang saya gak paham nihongo

Komunitas muslim di Jepang juga makin berkembang, jadi muncul beberapa masjid di beberapa daerah. Dan itu menyenangkan banget. Walau masih jadi minoritas [banget] tapi insya Allah muslim dan Islam sudah semakin familiar bagi masyarakat Jepang. Hopefully, semua muslim bisa bertindak dan berlaku baik biar semakin mengangkat nama Islam ke posisi yang lebih baik 🙂

Pokoknya kalau masalah public facility, aman tenteram dan nyaman banget deh. Oiya sebagai penggemar kereta, hidup di Tokyo sebenarnya lumayan asyik karena semua spot-spot seru terhubung dengan kereta. Keretanya juga nyaman, yaaaaah kalau udah kegencet di kereta jabodetabek mah mau masuk kereta api di Jepang pas rush hour juga sepele banget lah.

Dengan kenikmatan public facility ini, tiba-tiba Sensei saya kemarin bertanya “Japan is very nice isn’t it? Which one do you like Japan or Indonesia” That’s simple question… tapi otak saya yang memang dari dulu agak tumpul ini mikir juga untuk pertanyaan sesedehana itu. Iya ya… apa coba enaknya Indonesia, kalau ke Bogor… macet, kotor, berantakan, mmmm…. yang diliat angkot lagi angkot lagi. Tapi terjadi konflik dan perdebatan yang sangat seru antara otak dan hati nurani. Secara logis saya mengakui pemerintah Jepang cukup memanjakan masyarakatnya dengan sistem yang ada dan yaaa… masyarakat Jepang sangat mudah diatur. Mungkin karena mayoritas masyarakatnya golongan darah A.

Kalau masalah ketertiban, Indonesia harus belajar mati-matian ke Jepang. Di sini orang gak ada yang nekad nerobos rel kalau udah ada suara sirine, bahkan lampu merah pun masih diturutin walaupun udah gak ada kendaraan di kiri kanan depan belakang…. such an amazing things buat saya hahahha.

Tapi hati ini…. hati ini yang paling gak bisa bohong, dan dengan tegas dan pasti dia menjawab “INDONESIA! karena aku lebih bahagia di Indonesia” Otak mengalah, ok fine… tapi karena sudah sifatnya yang selalu ingin tahu maka otak terus mencari alasan, alasan paling rasional yang menentukan level kebahagiaan.

Kini otak ini mulai menemukan jawabannya…
Setidaknya menurut pengamatan saya, Jepang khususnya Tokyo, mungkin memang kota yang megah, semua ada, semua lengkap, cantik, rapi, for me… almost perfect selain jumlah tangganya yang kebanyakan di beberapa stasiun dan jujur kadang bikin kaki kayak mau copot. Tapi bahagia bukan hanya masalah kesempurnaan rupanya. Di kota sebesar ini, ramai… tapi sepi. Setiap orang menjadi sangat mandiri dan sangat sibuk dengan urusan mereka masing-masing, kadang bertegur sapa tapi hanya sekenanya, setelah itu semua berlalu. Di Jepang, komposisi penduduknya adalah piramida terbali, jadi jumlah orang tua lebih banyak dibandingkan generasi mudanya. No wonder, di sini orang sehat-sehat karena pada rajin olah raga, dan kalo gak suka olah raga karena gak ada angkot jadi kemana-mana pakai sepeda atau jalan kaki. Makanan di sini juga bersih dan sehat-sehat, susu murah, jus murah, teh hijau dan minuman sehari-hari…. yaaaa jarang lah ya yang mati muda kecuali sakit parah atau bunuh diri. Tapi di masa tua mereka, mereka sendiri… melakukan hobi sendiri, jalan-jalan sendiri, kadang nyasar di suatu tempat dan gak ada yang nganter mereka, ada juga yang udah sepuh banget dan tinggal sendiri untuk jalan pun susaaaaaah banget dan saya amaze karena tidak ada satu orang pun yang seakan-akan melihat hal itu!

Jepang itu indah… sempurna… tapi kurang hangat. Setidaknya menurut saya.

Di Indonesia, seruwet apapun Indonesia… seruweeeeet apapun itu… sebuah keluarga yang bahagia saling bercengkrama. Orang tua bisa melihat anaknya dari saat mereka lahir hingga kemudian menikah dan punya anak, menimang cucu mereka bahkan seringkali merawat cucu mereka karena anak mereka harus bekerja. Di suatu lingkungan, semua orang saling bercengkrama dari hal yang sebenarnya gak penting hingga pergulatan politik tanah air yang sebenarnya gak ngerti-ngerti banget juga sih. Bahkan di Indonesia, percakapan dalam sekelompok orang di sekitar tukang sayur pun bisa begitu menyenangkan.

Di Indonesia, semua orang mudah tertawa lepas. Kesal dengan tagihan listrik yang naik terus tapi tetap byar pret dan ketika mati listrik semua di rumah kemudian tertawa “Ya ampuuuun…. please deh nih Perusahaan Lilin Negara, udah abis stok lilin niiiih”. Bahkan kita bisa tertawa lepas ketika melihat ada kucing kampung yang kemudian jatuh cinta dengan kucing angora dan kemudian membuat aneka kebisingan sehingga membuat anjing di komplek jengkel dan terus menggonggong tapi tidak digubris oleh si kucing yang sedang kasmaran. Begitu hangatnya Indonesia, sehingga kita semua mudah tersenyum dan tertawa.

Dalam kelas filosofi ada yang bertanya seberapa penting agama dan Tuhan dalam pendidikan dan kehidupan. Ah… mereka belum bertandang ke Indonesia…Ketika ada seorang pria lusuh begitu lelah sepulang dari kantor, lalu bercerita kepada istrinya “Aku hari ini kacau banget di kantor”, lalu dengan senyum hangat si istri bilang “Ya udah, nanti aja ceritanya, makan dulu ya terus shalat biar Allah yang selesaikan semuanya”. Atau ketika seorang anak menangis “Maaaaa…. besok ujian, saya belum bisa deh kayaknya” lalu dengan senyum hangat Mamanya menjawab “Udah belajar kan? Ya udah sekarang shalat, terus istirahat…. nanti malam tahajud, biar Allah bantu ujiannya besok” dan seketika hati terasa lebih tenang. Tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, tapi menenangkan hati, dan ketenangan hati ada modal awal menyelesaikan masalah.

Maka wajar bukan, jika majalah TIME pernah menyebut bahwa Indonesia bukan salah satu negara yang paling makmur, tapi jelas salah satu negara yang paling bahagia.

Terpisah ruang dan waktu dengan orang-orang yang saya cintai sepenuhnya mengasah tiap lipatan otak saya semakin menemukan jawaban bahwa bahagia bukan masalah memperoleh kesempurnaan tapi masalah mensyukuri dan menikmati apa yang kita miliki.

Sulit dicerna maksud saya?
Ah… begini.
Mengapa kita mencintai seseorang? Karena dia sempurna? Oh tidak kawan…
Ada banyak alasan… tapi salah satu alasannya adalah karena orang tersebut bisa menerima kita apa adanya dan kita tetap bersyukur dalam menjalani berbagai kondisi bersamanya.
Saya tidak sempurna, saya gendut, pemalas, dan suka tidur… Nobody will love me kalau semua orang mencintai orang lain karena kesempurnaan. Saya ingin dihargai bukan karena fisik namun karena ada gagasan di balik timbunan lemak ini. Dan saya bersyukur ada orang-orang yang bisa menghargai dan menerima saya sebagaimana saya apa adanya. Accepted me as a whole package.
Saya juga tidak memilih bergaul atau menyukai seseorang karena dia sempurna, tapi lebih  karena saya menyukai orang-orang yang mengakui kekurangannya secara rendah hati, menyelipkan sedikit humor dalam setiap hal, namun kemudian dengan kepala tegak mengakui “Well, I’m not perfect… but life goes on, so I’m moving on” Ketika saya bertanya kepada ayah saya kenapa mau menikah dengan mama saya, he answered “Ayah menyukai mama dan menerima mama dari negatif tak hingga sampai positif tak hingga, Mama bukan yang paling sempurna, tapi mau menerima ayah dan menyempurnakan ayah”

I love my country…
I love my family…
I love my teachers…
I love my friends…
Not because they are perfect, but because they are perfect me.

Terima kasih, semuanya 🙂
Dari pelosok Tokyo yang makin dingin, 20.57 JST