Mama dan Metode Parenting yang Beliau tidak sadari


“Marissa, you don’t have any idea about how much I adore your mom. She treats everyone nicely no matter who are they? Where they come from? She is a very sweet person, that’s it.”

Setidaknya itu perkataan Mamas Smiley saat tante emon complain tentang Mama yang kadang terlalu baik.
Tentang betapa marahnya saya karena merasa Mama terlalu cepat menghabiskan uang BUKAN untuk dirinya, tapi seringkali untuk orang lain.
Untuk asisten rumah tangga kami yang anaknya dipenjara karena kepergok menjual ganja.
Untuk tukang sayur langganan kami yang gagal panen.
Untuk tukang kebun kami yang sudah terlalu tua.
Untuk kebunnya yang mulai berantakan
Untuk kucing kami yang memang lidahnya terlatih untuk makanan dengan label harga yang lebih tinggi.

Untuk orang lain!!!!

Dan seringkali lupa untuk dirinya sendiri. Mama saya itu sakit loh, pemirsa. Mama saya tidak bisa berjalan dengan baik seperti dahulu karena stroke yang menyerang mama 3x! dan juga diabetesnya!
Kadang… saya merasa “Udah deh, Ma. Gak usah mikirin yang laen-laen lagi. Yang penting Mama sehat.”
Tapi Mama tetap Mama.

Kalian yang mengenal saya, pasti tahu betul betapa logis kepala saya dan betapa meletup-letupnya emosi saya. Bahkan kepada Mama. Saya akui, bahkan jika dibandingkan dengan adik saya (yang memang pria idaman para tante saking sweetnya sama Mama), saya cukup keras dan sering ngomel ke Mama.

“She needs to think about herself before anyone else!!!!!” jawab saya pada Smiley. Tentu! Saya merasa saya benar.

Mama… Selalu begitu.
Hatinya baik tanpa Beliau sadari.

============

Ketika ayah meninggal dunia, adik saya masih kecil. Seperti yang  seringkali kita ketahui, lidak tetangga terkadang lebih tajam dari pisau jagal kurban. Banyak yang bilang, “Bu… biasanya, kalau anak hilang sosok bapaknya, suka jadi anak bandel kalau gak bodoh. Itu tuh liat tetangga kita.lalalalalalalalalala.” mungkin pada gak sengaja ya, tapi setelah saya menginjak usia “tante” seperti sekarang, saya membayangkan “Ya Allah, itu pasti sakit banget ya buat Mama. Pasti Mama khawatir banget.”

Hmmm… setelah dipikir-pikir…..

Mama layik khawatir, karena dua anaknya: KERAS KEPALA.

Saya dan adik saya adalah orang-orang yang tidak sungkan mengatakan sesuatu to the point. Beberapa kali Mama kena “tegur” tetangga karena anak-anaknya terkesan “jutek” untuk banyak orang. Padahal? Gak… kami malas basa-basi saja.
Karena kebetulan SMA saya dan adik saya sama, dan kebetulan kami kebagian “wali kelas” yang sama, Mama saya harus sempat dengan komplain salah satu wali kelas kami.
“Marissa… ya gitu, tidak bisa berkomunikasi.”
“Muflih itu tertutup ya, yaaa tidak ada yang spesial… atlet sih.”

Sungguh, Mama sebenarnya bisa saja marah besar “Kalian!!! APA YANG TERJADI???”
Well, tentu… kalau perkara akademik, Mama akan ngomel untuk beberapa jam “Kamu itu, kan sudah Mama bilang, belajar!” tapi seingat kami, itu hanya yaaaaaaah… paling lama setengah hari.
Setelah itu Mama akan tanya “Jadi sebenarnya ada apa sih? Ada yang kamu gak sreg ya?”

Sebandel-bandelnya kami, kami tidak bisa bohong ke Mama. Mama biasanya tahu kalau ada yang salah dan “beda” pada kami.

Kadang kami males juga untuk jawab, jadi ya udah lah diem aja.
Jika itu yang terjadi, Mama akan tanya “Mau makan apa hari ini?” dan setelah itu Mama akan masak atau beli makanan yang kami mau.

“Habis, anak-anak Mama itu sudah pada gak bisa mikir dan pusing kalau gak makan enak. Ya sama kayak kucing-kucingnya.” Biasanya Mama akan bilang seperti itu.

============

Mama layik khawatir, karena dua anaknya: BEDA 180 DERAJAT!!!

Teman-teman saya pasti bilang, “Adik lo tuh, ELO tapi versi cowok! Gila persis banget sifatnya!”
Sifat boleh lah mirip, bagaimanapun saya memonopoli adik saya sejak dia lahir. Sebagai orang yang susah dapat teman, adik saya adalah teman terbaik saya sejak hari pertama dia di dunia.
Tapi…… minat, bakat, hobi, dan banyak hal lainnya BEDA PARAH!!!

Adik saya yang tinggi besar punya bakat yang bikin iri hati dan dengki di bidang olah raga, terutama beladiri. Menyebalkan banget, karena bagi dia… olahraga itu dikedipin juga dia bisa.
Saya? Dengar kata “Jogging”, baru dengar loh… BARU DENGAR… rasanya sudah encok. I hate any kind of exercise. GW TIDAK SUKA OLAHRAGA. Pencapaian terbesar saya dalam bidang olah raga adalah suka dan paham ketika nonton bulu tangkis. Udah deh, itu paling mentok.

Saya lebih senang seni, kecuali seni tari, sepertinya untuk bidang seni yang lain… yaaaa bisa ngerti lah. Bukan hal yang terlalu sulit untuk saya belajar seni. Apapun itu.
Adik saya? Ufufufuufufufufufufuufufufufuufufufufufufufufu…. gak tega sih ngeledekinnya. Nilai seni rupa doski emang tinggi ya pas sekolah dulu, tapi sedikit bocoran aja… itu karena bantuan dari jiwa seni saya yang melimpah ruah. UFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFUFU (mohon jangan ditiru).

Saya, sebenci-bencinya dengan suatu mata pelajaran, I will tried my best untuk mempelajari itu. Saya, mungkin tidak pernah jadi yang terbaik, tapi… saya bisa pastikan bukan yang terburuk.
Adik saya? gak suka sesuatu?… ya dia tinggal :’) Dia betul-betul excellent pada suatu hal dan bener-bener busuk di suatu hal pada saat yang bersamaan.  Dia bisa dapat nilai paling tinggi di suatu mata pelajaran, dan di saat yang sama dapat nilai paling dodols di mata pelajaran lain. Intinya, dia hanya ada di dua titik ekstrim.

Coba…coba…
Kalau kalian punya dua ekor anak yang model kami-kami ini gimana rasanya?
Pasti kalian akan bilang ke saya “Liat tuh adik kamu! Olah raga, biar sehat. Kan makanya kamu gampang gendut!”
Pasti kalian bisa bilang ke adik saya “Kamu itu gimana? Mbok ya dapat nilai yang paling tinggi di semua mata pelajaran!!!” Lalu menyuruh dia untuk les ke semua tempat yang ada di muka bumi ini.

Fun fact: Mama TIDAK PERNAH melakukan itu semua pada kami.

Saya yakin sih, pada awalnya Mama pusing juga karena kok yang dua anaknya tipe nyebelin kayak gini ya. Pasti lah sempat ngomel juga ke kami. Tapi lagi-lagi, paling lama hanya setengah hari. Setelah itu… diplomasi meja makan selalu berhasil.

Adik saya menolak untuk ikut les di banyak tempat “Gak Ma, pusing kalau terlalu banyak metode belajar.”
Saya pun mengakui kalau “Ma… kakak tuh gak suka olah raga, kakak sukanya ngegambar, denger musik, nonton…..baca….”

Ya sudah…

Mama, tidak pernah membandingkan saya dan adik saya satu sama lain.
Mama juga tidak pernah membandingkan kami dengan orang lain.

“Ya gak apa,  karena Mama juga gak suka dibandingkan sama orang lain. Bikin stress tau. Dan Mama percaya Allah pasti punya alasan kalian punya bakat dan hobi masing-masing. Terserah kalian lah, asal jangan lupa shalat.”

============
Kembali lagi pada sifat Mama yang menurut saya “terlalu baik” dan jujur saja… mulai menyebalkan. Untuk menghentikan sifat Mama itu, saya punya ide gila
“Ma, ke Jepang yuk, bareng Kakak.”

“….gak deh, Kak.”

Saya tentu marah, karena tidak sedikit yang berpikir bahwa saya anak durhaka. Mama saya ditinggal lama banget loh! Kalian jangan pikir saya tidak berbusa untuk ajak Mama ke sini ya. Sudah jutaan kali.

“Duh kenapa sih, Ma!???”
“Soalnya, ada banyak orang yang mau Mama temani di sini.” kata Mama suatu ketika

Lalu saya ingat, Mama seringkali me-“rekrut” orang-orang yang “bermasalah” di sekitar kami. Ada yang janda, ada yang anaknya dipenjara, ada petani, ada orang yang sudah sangat tua dan mulai pikun tapi kepala keluarga, dan masih banyak orang lainnya yang sengaja Mama izinkan untuk membantu pekerjaan kami di rumah. Mama juga selalu menyediakan air minum dan makanan kucing di depan rumah supaya kucing liar tidak kelaparan.

“Kalau tidak ada Mama, kamu yakin orang lain bisa memperlakukan mereka sebaik kita?” begitu kata Mama.

Saya lalu menyerah. Karena jangan-jangan, di muka bumi ini, mungkin tidak banyak yang setulus Beliau.

Adik saya pernah bilang, “Kalau kakak mau dapet cowok kayak ayah, mungkin kakak harus sebaik hati Mama sih. Dan itu… susah.”

====================

Sesederhana itu.

Mama tidak pernah berubah. Semenyebalkan apapun kami, Mama selalu sabar (walau sering over-panik juga dan bikin kami kesal).
Ketika kami gagal, lalu sedih, lalu ngerasa gak guna…. Mama pasti akan bilang “Pasti ada alasan kenapa Allah kali ini bikin kamu gagal. Pasti ada rencana Allah yang lebih baik dan kita belum tahu aja.”

Saat dunia runtuh, memiliki Mama yang selalu percaya bahwa kami “BISA” sangat membantu. SANGAT MEMBANTU.

====================
Dulu…. saya tidak merasa apa yang Mama lakukan itupenting. Tapi sekarang, saya berpikir kalau Mama tidak memperlakukan kami seperti itu, mungkin saya tidak akan “smooth” untuk lulus Ph.D hingga postdoc sekarang ini. Jika Mama tidak sebijak itu, mungkin saya sudah gila… mungkin saya sudah kerapkali terobsesi untuk membandingkan pencapaian saya dengan orang lain. Mungkin saya akan kerap ragu apakah keputusan saya yang terbaik.

Tanpa kebaikan hati Mama, mungkin Allah juga sungkan memberi saya begitu banyak kebahagiaan dan kemudahan.

Mungkin seluruh pencapaian yang saya dan adik saya dapat, adalah hadiah Tuhan agar Mama senang. Agar Mama, tidak perlu sakit dan masuk rumah sakit lagi.

Mungkin begitu ya…
Ya Allah, pastikan jalan hamba dan adik hamba adalah jalan yang terbaik bagi kami, untuk banyak orang, dan pastikan itu membawa kebahagiaan untuk Mama.

Aamiin.

Tentang orang-orang [luar] biasa…: Pengalaman Bertemu Anak-Anak berkebutuhan khusus


Dan perdebatan hari ini berkisar tentang  paslon mana yang paling oke…
Siapa yang paling hits dan berprestasi…
Siapa yang paling hebat? Siapa yang paling benar? Siapa yang paling segalanya?

Well…

Kadang saya merasa bahwa kita lupa, lupa hal terpenting dalam hidup kita…. secara fair dan rendah hati mengakui bahwa kita tidak sempurna. Akan selalu ada orang yang lebih baik dari kita dalam suatu hal, dan sebaliknya akan ada pula yang lebih kurang dari kita dalam suatu hal.
Intinya, tidak perlu terlalu menepuk dada… dan tidak perlu juga terlalu mengagung-agungkan orang lain. Setidaknya itu menurut saya.

Mungkin saya yang kolot, dan Mama saya selalu bilang “Nah kamu itu ya, Kak… kalau orang gak kenal pasti bilang kamu jutek. Yang deket sama kamu cuman binatang, anak kecil, orang tua, atau yaaa teman-teman yang entah terlalu sabar atau terlanjur basah teman sama kamu. Lainnya? Konflik! Konflik! Konflik!”

Saya mengira saya terlalu emosional dan temperamental, lalu berusaha mencari cara untuk jadi lebih baik dan penyabar sedikit saja. Sudahlah saya tempuh jalan musik, yang sayangnya dosisnya hanya bertahan beberapa jam.

Harus ada obat yang lebih canggih nih. Duh apa ya!?

Hingga akhirnya, secara tak sengaja salah satu teman baik saya bilang “Eh, gue mau nari…. lo bantu foto-foto ya! Nari di panti jompo nih gw.”

Karena saya sih senang-senang aja bantu foto-foto dan liat tempat baru, ya saya iyakan. Siapa tahu kan merontokan keangkuhan hati, menjernihkan pikiran yang butek.

Berbekal tripod dan kamera seadanya (karena teman saya bilang pakai kamera dia saja), saya melaju ke TKP. Di tengah perjalanan, teman saya baru bilang “Eh salah deng, gw nari di depan teman-teman berkebutuhan khusus dan keluarganya.”
Dalam hati “Kok ya jauh bangeeeeet bedanya.” Agak gusar, karena jangan-jangan salah tempat juga, mana saya tinggal jauh di planet lain, waduuuuh…. nyaris saya berpikir kalau koto yang 180 cm menimpa manusia bisa menyebabkan cedera seberapa parah ya. Tapi untungnya, tempat tetap sama. Wis… fotografer sih gak ada urusan siapapun audience-nya dong 😀

***

Tibalah saya di panti anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Pertama kali ke panti di Jepang, langsung berasa anak kampung “Ya Allah ini tempat gede banget!”
Sebagai anak yang introvert parah, setelah melangkah ke dalam, tentu dengan mengucapkan bismillah dan pakai kaki kanan…. saya masuk dan seperti pengunjung lainnya, nunggu di lobi.
Jangan lupa, di pojokan, dan jauh dari orang-orang.

Saya tahu bahwa teman saya dan para penari lainnya pasti sedang rempong dengan kostum dan alat make-upnya. Gosh! Sori geng, kalau main musik sih yang penting tuning alat musik dan gak salah ambil alat musik orang. Gak bisa goyang-goyang banyak, karena takut hapalan note tumpah dari otak.

Cepot yang membuat saya bersosialisasi

Seperti biasa, dimanapun saya berada, saya pasti di pojok ruangan.
Eh tapi dasar, karena saya mudah sekali terdistraksi… ada wayang golek “cepot” yang menarik perhatian.
Saya samperin lah, ada juga gamelan kecil disekitarnya… dan secara otomatis saya mainkan karena saya masih ingat lagu yang pernah saya mainkan kala SD dulu.

Gara-gara cepot dan miniatur gamelan, beberapa anak kemudian merubungi saya. Mereka senyum, tepuk tangan, dan mengajak bersalaman.
Ya ampun ramah banget….
Mereka mengajak saya bicara, sayangnya saya tidak bisa paham. Pengen nangis sih sebenarnya, karena rasanya dosa banget loh ada orang yang tulus ngajak kita ngobrol tapi kita gak ngerti. Saya yang biasanya bodo amat dengan skill bahasa jepang saya, saat itu memaki diri sendiri.

Seorang anak kemudian lari ke gurunya, dan gurunya kemudian menyapa saya….
“Oh ingin lihat tari Indonesia juga ya?”
“Iya, saya janjian sama teman saya.”
“Oh gitu, ya… ya… ya… tunggu saja ya, belum mulai.”

Beberapa anak kemudian menunjuk-nunjuk sebuah ruangan dan saya hanya mendengar itu sebagai ceracau yang tidak jelas. Duh apa maksudnya sih, Dek 🙁
Barulah beberapa menit setelah itu, teman saya keluar dari ruangan tersebut, mencari temannya ini…. dia pasti khawatir temannya ini salah belok kanan atau kiri seperti yang terjadi di Shinjuku.
Barulah kemudian saya paham! Anak tadi ingin menunjukan bahwa teman saya ada di ruangan itu!
Sediiiiiiiiihhhhh bangeeeeeeeeeet……. banget banget banget…. karena rasanya kok jahat banget gak paham apa yang anak tadi bilang. Maaf ya, Dek.

Mulailah gw bekerja sesuai SOP fotografer lainnya….
pasang tripod!
Dan ini adalah acara pasang tripod dan pasang kamera terusuh yang pernah saya alami….
Karena banyak anak yang kemudian datang, dan mereka minta dipeluk….
Dalam hati, “WHAT! DEK! BENERAN? Oh come in!” tapi saya loh, saya yang bagi sebagian orang bisa menatap dengan tatapan membunuh.
Beberapa kali tripod oleng, agak deg-deg-an, bukan karena tripod tapi karena kamera yang dipasang adalah kamera mirrorless kesayangan teman saya. Karena dia dokter hewan yang biasa mengembala sapi berton-ton, kalau dia marah kan, nyawa juga ya….
Namun apa daya, saya pun luluh lantak ketika bersama anak-anak yang saya bisa rasakan tulus luar biasa. Yang saya bisa rasa ingin bilang “Let’s be friend.” Tulus sekali, tanpa ada pikiran macam-macam.
Mereka mengajak bersalaman….
Berusaha keras memperkenalkan diri…
Segala hal yang membuat saya tertohok sendiri, kok saya tidak bisa sebaik mereka ya?

Bahkan kemudian, ada seorang nenek penderita alzheimer yang kemudian ingin di dekat saya. Mas-mas pendamping Beliau bilang “Neneknya mau di sini gak apa ya?”
Ya ampun Maaaaaas…. gak apa-apa dong! Pake ijin segala.
Sambil pegang tripod, saya melihat si nenek yang senantiasa senyum ketika melihat saya. Kaki dan tangannya berusaha sebisa mungkin mengitu irama musik. Terus jadi kangen Nenek…. :'(

Audience nih, tapi foto sengaja saya blemish gitu ya, untuk menghargai privasi mereka 🙂

Mereka benar-benar menghargai pertunjukan. Berbeda dengan saya yang memang suka “julid”, “Hwarakadah! Apa tuh? Aduuuh salah deh pasti itu gerakannya!” Padahal saya juga gak bisa nari. Mirip supporter bulu tangkis yang teriak-teriak tapi smash aja tak mampu (well… ini saya juga sebenarnya hahahahhaha).

Saya senang mereka antusias ketika dibilang akan diajari menari Indonesia sedikit.
Image and video hosting by TinyPic

Antusias banget! Kalau saya sih…. pasti beralasan “Ya ampun… cabe deh! Encok ah encok.”
Duh, Emon! Anda sungguh…. sungguh grumpy! ahahahahhah

Pulangnya…
Semua penari dikasih kenang-kenangan dong, biasalah japanese style. Karena saya pendatang gelap, saya gak ngarep lah.
Eh dapeeeeet jugaaaaaaaa! Kalian mau liat dong?
Tadaaaaaaaa!!!

Lucu kaaaan ! Mereka bikin sendiri loh

Jadi para penghuni panti ini rupanya diajari untuk membuat kerajian sendiri, salah satunya membuat gerabah pisin kecil-kecil ini. Mereka juga diajari membuat kue, melukis (dan mereka jago banget sih ngegambarnya. Paraaaaaah…. bagi saya yang lumayan paham lukisan aja mengakui kok bagus banget), dan hasilnya kemudian dijual dan uangnya untuk mereka. Tadaaa! Jadi mereka bisa memperoleh uang saku juga. Kalau kalian mau lihat karya-karyanya, bisa diintip loh, akun instagram mereka:  https://www.instagram.com/pomamori/
Dijamin berdecak kagums! (pake “s” karena ceritanya jamak ahahahahahha)

Kita kadang kasihan melihat para penyandang disabilitas….
Kasihan melihat orang-orang berkebutuhan khusus…..
Padahal, mereka tidak perlu dikasihani, mereka perlu diperlakukan secara adil dan setara dengan kita-kita yang mengaku “normal”.
Mereka butuh diakui bahwa mereka mampu melakukan sesuatu dan berkontribusi.

Malamnya saya “teror” semua orang yang saya tahu, pokoknya mereka harus denger deh pengalaman saya di hari itu. Walaupun saya yakin, yang di-teror pun gak paham-paham banget kenapa saya tumben bisa se-excited itu! Pokoknya harus heboh!!!!

=============
“Mas, tau gak… aku udah dapet harta berharga di Jepang.”
“Oya? Apa tuh?
“Ini…. ini dibikin sama adek-adek yang berkebutuhan khusus loh….”
“Wow… Mashaallah”

***
“Ma… liat dong saya dapet apa?”
“Apa itu? Dodol Cina menjelang Imlek?”
“Ih Mama, piring kecil gitu loh Ma…. cantik ya? Yang bikin orang-orang di panti untuk orang-orang berkebutuhan khusus,Ma. Hebat ya mereka.”
“Hah? Masa sih? Ya ampun…. mereka bakat nih. Bagus ya!”

=============

Saya itu tipe orang yang paling sulit impressed dengan seseorang, sulit banget. Well… banyak orang hebat di muka bumi ini, mau bikin saya seterperangah apa sih? Apa? Apa?
Rupanya pada hari itu, saya berhasil dibuat terperangah.

Saya kagum habis-habisan, dengan para guru dan perawat di panti tersebut yang sabar dan bisa mengajari mereka dengan sangat baik.
Saya ingin bertepuk tangan untuk keluarga mereka. Bukan hal yang mudah menerima kenyataan bahwa ada anggota keluarga mereka yang berkebutuhan khusus. Bukan hal yang mudah untuk terus maju dan tidak menyerah. Bukan hal yang mudah menumbuhkan “unconditional love” yang sehebat itu.
Saya ingin memeluk satu persatu penghuni panti tersebut, ingin bilang “terima kasih”. Terima kasih untuk tidak menyerah, untuk terus berjuang, untuk terus hidup. Untuk menjadi bagian dari planet yang makin menua ini.

Terima kasih….
banget!

Diam-diam saya mengucapkan terima kasih pada Allah, pada Tuhan yang baik sekali memberikan pengalaman seperti ini dalam hidup saya.
Saya ini keras kepala, kadang…. bahkan sehabis shalat, doa saya lebih pada menantang daripada memohon, terkadang mempertanyakan “policy” yang saya pikir tidak masuk di akal.

Pada malam itu, saya bisa tersenyum…. “Ya Allah, terima kasih karena telah menjadi yang Mahaadil. Dibalik kekurangan mereka, mereka punya hati yang begitu jernih. Aku mohon, jaga mereka seperti biasa… bahkan jika boleh, jaga mereka lebih dari biasanya.”

Hari itu, saya tidak memberikan bantuan apa-apa pada siapapun.
Hari itu, orang-orang luar biasa yang telah membantu saya untuk sadar bahwa kita tidak boleh menyerah, untuk terus bertahan dan melakukan hal terbaik yang kita bisa.

Terima kasih…
Lagi
lagi
dan lagi….

=========
P.S:
Saya juga sempat mengaku pada teman saya betapa merasa berdosanya saya ketika saya tidak paham apa yang dikatakan anak-anak tsb pada saya

“Ya ampuuuuun! Gw ngerasa dosa deh! Mereka baik bangeeeet. Tapi gw gak ngerti mereka ngomong apa!!!”
“Mon… semua pun gak ada yang ngerti! Lo pikir gw ngerti?”
“Loh, tapi lo bisa jawab pertanyaan mereka.”
“Ya karena ada ibu gurunya laaaah.”

Tetap sedih sih, tapi… oh ya sudah, tidak sendirian rupanya :p
========

 

 

Berterima kasih lalu menjadi lebih baik: Catatan sebelum 2019


Image and video hosting by TinyPic

Only if we understand, can we care.
Only if we care, will we help.
– Jane Goodall

Waduh udah 2019 aja, dan kayak masih banyak hal yang belum kekejar.
Hish, tapi ada hal yang seorang teman katakan pada saya “Kadang kita pun terlalu kejam pada diri kita sendiri, terfokus pada hal-hal jelek dan kegagalan yang kita lakukan. Lupa bahwa kita juga sudah achieve cukup banyak hal.”

Oh iyakah?
Iya juga…
Belajar musik,
Belajar lebih bijaksana,
Belajar untuk menjadi peneliti yang lebih teliti dan lebih baik.
Belajar menghargai banyak orang.

dalam buku ekonomi makro saya dahulu kala saat masih duduk di S1, ada sebuah komik strip tentang seseorang yang baru membuka toko baru, 99 orang mengatakan betapa baiknya toko yang dia miliki. Lalu ada satu orang yang bilang “jelek” dan itu merusak mood si pemilik toko…. membuat dia merasa bahwa seluruh yang dia lakukan gatot alias gagal total.

betapa sebuah persepsi negatif bisa merusak segalanya.
Kalau kata teman saya “Just take away toxic people from your life!”

Sayangnya, kadang kita punya masalah serius: Kita tidak paham diri kita sendiri. Tidak mengerti apa sih sebenarnya yang terpenting untuk kita. Kita bahkan belum selesai dengan diri kita sendiri.
Karena tidak mengerti, kita menjadi tidak peduli dengan diri kita sendiri, kita lalu gagal menolong diri kita sendiri.
Diri sendiri saja tidak selesai, maka jangan harap peduli dan menolong orang lain.

Tentu, kita perlu mengoreksi diri, menggenjot diri kita untuk jadi lebih baik. Untuk ambisius dalam track yang benar.
Tapi kita juga perlu menepuk bahu kita sendiri, senyum, lalu bilang “Good job, Me! Terima kasih sudah menjadi diri sendiri, terima kasih untuk belajar mana yang kita suka dan tidak, mana yang kita benci, ayo nanti bisa lebih baik lagi.”

Tahun 2019 ini mungkin satu lagi kesempatan kita, untuk sibuk merefleksikan diri kita. Menata dan merapikan impian, harapan, bucket list, dsb.
Satu lagi kesempatan yang diberikan Yang Kuasa untuk melist hal-hal baik apa saja yang sudah kita lakukan, hal apa yang perlu diperbaiki.

Sibuk bukan?
Namun, daripada kita sibuk menghujat orang lain atau mendengar hal buruk dari orang yang tidak menyukai kita…. saya rasa, diri kita sendiri layik mendapat hadiah dan penghargaan berupa jiwa yang ingin terus memperbaiki diri, yang kerap ingin menjadi lebih bijaksana. Hanya dengan cara itu, kita bisa membantu diri kita sendiri. Ya! karena kita memang butuh membantu diri kita! Karena bayangan bahkan meninggalkan kita saat gelap.

Jika kalian membaca ini…
Terima kasih, karena belum menyerah untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Terima kasih.

 

Saya dan Puisi: sebuah kilas balik


Image and video hosting by TinyPic
“Lain kali…
Kita main lagi,
Kala matahari lebih tinggi,
Kala hari tak lagi dingin.
Moga saat itu, pilek tidak iseng mendatangi kita lagi.

Jika tidak, mari menepi.
Menikmati secangkir teh atau kopi.
Toh kita sama-sama tidak suka dingin.

Biar nanti kuterka, cerita apa lagi yang nanti kita bagi.”
-Copenhagen, ’18

“Wah, emon kini bisa berpuisi…ini kode tersembunyi apa?”
Weits, Anda belum tahu seorang emon yang sebenarnya. Puisi dan sastra adalah seni pertama yang saya pelajari, lebih dulu dari apapun.
Kali ini tiba-tiba ini kembali gara-gara: 1.) Melihat Mbak Najwa yang narasinya selalu punya ritme. Karena ngefans, jadi tentu obsesi di dalam hati bergejolak. 2.) Melihat foto yang secara “ajaib” bagus dari sebuah suduh di Copenhagen. Butuh waktu mencuci film, dan kemudian menerka-nerka “Ini dimana ya? Ini sedang apa ya? “Eh iya, waktu itu kan….”

Kamera film membuat kita terhanyut pada nostalgia, mendekati kita dengan sisi humanis tersendiri. Dan rupanya membuat kita satu level lebih puitis.

Kita akan kembali ke puisi di atas, tapi sebelumnya mari bicara tentang puisi dan saya sejenak!

Mengapa saya berhenti berpuisi?

Saya ingat betul saya berhenti menulis puisi gara-gara “patah hati”! Bukan sembarang patah hati, ini patah hati dengan Pak Arswendo Atmowiloto.

Bagaimana tidak! Saat masih SD, berulang kali saya menulis puisi untuk Majalah Bobo dan tidak kunjung dimuat! Saya ingat sekali, “komentator” puisi yang dimuat saat itu adalah Pak Arswendo.
Hati ini mangkel juga, mulai ragu dengan kepiawaian Pak Arswendo untuk menilai karya sastra yang mumpuni. Dengan keangkuhan khas anak-anak, hati saya bergumam “Saya ini loh,Pak…. juara lomba baca puisi se-Leuwiliang!”

Hish, jika Leuwiliang bukanlah level yang cukup meyakinkan maka beberapa tahun setelahnya saya naik level! saya jadi juara lomba baca puisi se-Kabupaten Bogor. Saya makin besar kepala, namun puisi tak juga dimuat…. “Sungguh Pak Arswendo ini tidak kompeten dalam menilai sebuah karya sastra!”
Pak Arswendo sungguh tidak tahu menahu bahwa kekecewaan itu lahir karena saya sesungguhnya fans Beliau. Saya yang masih bocah sudah senang membaca novel Beliau karena kakek dan ayah saya sama-sama pecinta karya sastra. “Aduh, Pak… ini fans loh, fans saja tidak dipilih! Apa gerangan?”
Saya baca betul alasan-alasan Beliau memilih puisi yang dimuat, seringkali alasannya sepele “Puisi ini beritme, sulit membuat puisi dengan ritme.”
Loh, Bung! Ini sastra… bukan kontes pantun, apa spesialnya puisi 5 baris dengan ritme seluruh kata terakhir berakhiran huruf “a”.
Sepertinya saya masih ingat puisi yang terpilih itu kira-kira.

“Kucingku sayang
Kuberi pita merah
Diberikan oleh Bunda
Akan selalu aku jaga
Agar kita bisa bermain bersama”
-XXXX–TK-A xxxxxx

hah? Begitu saja?
Aish, hati mana yang tidak kesal ketika kalah berkompetisi dengan si pemilik kucing berpita merah (untuk Mas/Mbak pemiliki kucing berpita merah yang pernah menulis puisi untuk majalah Bobo saat bocah, peace loh :’D tak ada dendam lagi antara kita). Kucing saya bahkan lebih banyak dibanding bocah ini!

Dari diksi saja, saya pikir ini jangan-jangan Bunda-nya yang memilihkan! Anak TK berpikir seperti itu, wah… itu terlalu piawai agaknya. Itulah saudara-saudara, contoh isi hati yang dipenuhi iri dengki :’D

Lalu setelah itu, saya ingat… saya berhenti berpuisi. Patah hati! Sejak dini! Mungkin enggan kembali!

Ya! Pak Arswendo, Anda memang perlu sedikit bertanggung jawab untuk masalah ini :’D

Setelah kisah patah hati di usia dini pada puisi,
Tiba-tiba Indonesia diguncang oleh romansa “Ada Apa Dengan Cinta.” Cinta yang tergila-gila pada Rangga gara-gara puisi. Ah, jangan lupa si buku catatan Rangga yang ditinggalkannya untuk Cinta, yang isinya membuat remaja kala itu “baper.”

(PS: Nah! Asal kalian tahu saja, di usia saya yang sekarang… meninggalkan surat dan catatan sebelum lepas landas itu TIDAK SEROMANTIS ITU. Yang kemudian membaca notes itu kemudian dengan piawai merusak sisi romantis-dramatis dan akhirnya membuka telepon genggam, “Eh… ini masa’ sih? Gak, aku gak setuju sama bagian ini.” Dan ending ala-ala AADC itu sungguh fiksi belaka di era modern seperti sekarang. Jadi ayo… ayo… remaja dan pemuda Indonesia, bangkit, bangkit dari kebaperan! BANGKIIIIT!!!! ALLAHUAKBAR! Inilah jihad kita!)

Saya menjadi korban, dan membeli lalu membaca “Aku” karangan Sjuman Djaya. Bahagia rasanya ketika bacaan remaja saat itu “naik kasta.” Tidak mudah membaca karya sastra… butuh jiwa dan pemikiran yang tenang.

Saya pun jadi pembaca majalah “Horison”, biarlah Bobo menolak karya saya mentah-mentah, namun majalah sastra pasti lebih paham makna seni. Ini saat yang tepat! Biar dunia tahu bahwa remaja puitis bukan hanya Rangga dan Cinta, ada juga Marissa! Iya Marissa… saya ini!

Nah! Rupanya level majalah Horison terlalu tinggi! Saya tahu diri, manut jadi pembaca setia saja.

Tak kalah akal, “Oh mungkin kompas lah ya…. “ Saya ini pembaca setia kompas saat itu. Terutama setiap akhir pekan, ada cerpen untuk anak-anak (ya, saya suka membaca cerpen dan dongeng untuk anak-anak), dan ada juga kolom khusus untuk puisi. Ini! Ini! Ini kesempatan emas! Siapa tahu tulisan saya memang lebih cocok untuk kompas yang, pastinya, mengedepankan kualitas dan akal sehat.

Namun hati saya bukan hanya patah, saat itu remuk redam!
Penulis yang mengisi kolom puisi itu ya orang-orang sekelas Pak KH Mustafa Bisri, Pak Arswendo, dan tokoh-tokoh kawakan yang rasanya levelnya beda sekali dibandingkan rakyat jelata.

Untuk level Kompas, jangankan menulis puisi, atau prosa….menyelesaikan TTS-nya saja tidak mampu! TTS loh! Teka-teki silang!

Saya berakhir menjadi pembaca setia sastra, namun menulis? Ah mungkin bukan lapak saya.
—-

Sisi manis humanis manusia pun perlahan memudar, seiring dengan waktu.
Saya pun begitu
Saya lupa dengan puisi. Bukan hanya puisi, tapi juga musik dan aneka seni murni lainnya.
Rangga tidak lagi terlihat romantis! Tidak masuk logika Cinta perlu menunggu Rangga hingga 7 kali purnama. Apalagi hanya karena ditinggal secarik puisi. Apa hebatnya?
Cinta layik jatuh cinta pada Rangga jika dia berhasil tembus jurnal internasional terindex scopus dengan impact factor 10+!
Nah, monggo mbak Cinta, yang seperti itu boleh lah ditunggu 1 komet halley sekalipun.

Waktu rupanya membuat saya mendewakan seluruh faktor logika, lupa bahwa beberapa faktor yang bersifat humanis kadang membuat kita mengambil jeda sejenak, menghangatkan hati, mendinginkan pikiran.

Saya merasa menjadi orang yang terlalu “dingin”, lalu berpikir…. mungkin harus kembali mengingat yang dulu-dulu sempat dilupakan: Puisi, sastra, musik…

—-
Mengapa kembali?

Ada 2 alasan: 1.) Karena manusia mulai tidak menghargai esensi seni dan sastra. 2.) Karena beberapa memori dan nostalgia rupanya terlalu sayang untuk digambarkan secara “biasa”, butuh bumbu tambahan, butuh aksesori, dan saya yakin perlu ada sentuhan seni disana.

Untuk alasan pertama…. ketika saya ingin kembali menekuni seni, musik, prosa, dan puisi….rupanya dunia sudah kadung berubah!
Puisi dan Musik jadi bahan memaki, jadi ajang mencaci, jadi sarana menghakimi.
Saya tentu marah! “Ini loh! Ini! Ini yang membuat seni jadi haram!”
Kakek saya mengatakan “Sastra ada untuk memperindah bahasa.” saya percaya musik pun demikian. Loh, ini… mengapa ada banyak sekali yang mendiskriditkan seni dengan cara yang tidak elegan! Ini manusia-manusia apakah lupa menamatkan 12 pupuh yang isinya semua mengenai nasihat yang mengajak manusia berpikir secara bijak.
Apa tidak pernah piknik menonton pentas puisi? Atau yaaah wayang kulit atau wayang golek? Atau sendratari? Yang mayoritas filosofinya penuh makna.
Ini sejak kapan terjadi? Apa yang terjadi?
Saya hingga tidak menyadari itu semua.

Oh, ini tidak bisa dibiarkan! Jika ada yang perlu menyelamatkan keluhuran bahasa dan sastra, maka saya harus masuk ke dalam poros itu.
Setidaknya, jika kelak saya menjadi orang tua… rasa-rasanya saya masih ingin membiarkan anak-anak saya untuk menikmati mahakarya, Setidaknya sastra dan puisi.
Tunjukan pada saya, hari ini, anak Indonesia mana yang bisa se-level dengan si pemilik kucing berpita merah yang sudah berani menulis puisi di majalah?

NOL!

Saya memang masih dendam dan jengkel sekali dengan si pemilik kucing berpita merah, namun memori tentang “persaingan kasat mata” kami ini lucu, manis, dan menyenangkan. Diam-diam saya berdoa, semoga generasi setelah saya merasakan pengalaman serupa. Menemukan “pemiliki kucing berpita merah” mereka masing-masing.

Untuk alasan kedua….
Ah, ini tentu lebih personal, begitu personal hingga akhirnya saya bisa menulis puisi di buku harian saya sebelum kembali ke Jepan.

Saya, saya memang tidak terlalu suka bepergian. Packing! Melihat tempat baru! Bertemu orang baru! Makanan baru! Duh, terlintas saja sudah membuat encok. Jika saja saya tidak suka fotografi, mungkin tidak ada tempat yang membuat saya berdecak. Tidak ada tempat senyaman kasur saya yang sudah ditata sedemikian rupa dengan selimut berlapir dan boneka-boneka empuk serta tumpukan buku!

Namun konon, kita bukan merindukan tempat, kita merindukan pengalaman.
Merindukan ingatan yang mungkin tidak akan kembali.

Saya menemui seseorang.
Saya tahu betul orang ini merasa saya lakukan seluruh hal ajaib di muka bumi.
Tapi bagi saya, dia orang yang paling ajaib di semesta raya.
Dimana lagi ada orang yang perlu memarkir mobil tepat 180 derajat? Ia akan kembali ke mobilnya ketika dia menyadari roda mobil membentuk sudut 179 derajat! “Ah! Kurang 1 derajat!”

Seseorang yang bagi saya kikuk setengah mati.
“Loh jadi selama ini orang ini…. se-ajaib ini?” setidaknya itu yang ada di benak saya saat itu.
Kami bicara beberapa hal aneh yang tidak penting-penting amat.
Kami yang memang jarang bicara satu sama lain selama ini, rupanya bisa juga menertawakan hal-hal konyol yang kami lakukan sendiri.

Saya yang benci hiruk pikuk dan bising kota, yang merasa makan malam perlu disudahi dengan cepat tanpa perlu basa-basi, yang sudah manjadi begitu “kaku” karena terbiasa membaca dan mengerjakan aneka karya tulis ilmiah bahkan saat senggang, tiba-tiba seperti kembali bertemu “teman main.”

Hal termenyedihkan ketika pesawat lepas landas dari Copenhagen bukanlah rindu pada kota itu, tapi lebih pada setiap topik pembicaraan yang terpilih secara acak saat makan malam… “Oh, rupanya punya teman ngobrol saat makan malam itu seru ya!”

Andai… andai saja… saya bertemu dia lebih awal, di usia ketika saya masih membaca majalah Bobo… Mungkin daripada saya kerap meragukan keobjektifan para editor dan komentator kolom puisi pada majalah itu, saya akan keluar rumah… menjulurkan tangan pada orang ini lalu bilang “Ayo, kita pergi main.”

Sederhana sekali, tapi kok rasanya menyenangkan ya.
Lagi-lagi, kakek saya berkata “Sastra ada untuk mempercantik bahasa.”
Saya meyakini beberapa kenangan tidak cukup dituliskan secara biasa.
Saya merasa hal ini kemudian pantas ditulis dalam bahasa puisi. Yang sederhana saja, toh yang penting memorinya yang mengena.Dan biarkan sastra mengingatkan saya bahwa hal-hal seperti ini justru istimewa.

Ya, begitu saja…

Dan (semoga) dunia pun berpuisi lagi….

Cerita dari sebuah masjid kecil di pojok Tokyo: Catatan tentang toleransi dan saling menghargai


Entah kenapa Allah memang suka memberikan saya kisah-kisah baru yang mungkin jarang orang lain alami. Padahal kalau dipikir-pikir, saya kan kurang suka dengan keramaian ya. Mungkin karena saya punya blog yang masih hidup, dan saya percaya Allah mempercayai saya untuk menuliskan pengalaman menarik yang saya alami.

Kali ini ada berton-ton kisah dari sebuah masjid kecil yang sering saya kunjungi di Tokyo. Namanya As-Salam mosque. Ada beberapa alasan mengapa saya lebih sering ke masjid ini.

1.) Line kereta, karena letaknya yang dekat stasiun shin-okachimachi dan alhamdulillah terlintas tsukuba ekspress, jadi ketika saya beres latihan musik (yes, I am a music player too 🙂 gini-gini saya pemain koto loh) saya lebih memilih ke tempat ini. Kenapa tidak ke Tsukuba mosque, karena jatuhnya sama saja! Bagi saya yang tidak punya kendaraan pribadi, posisi masjid Tsukuba keterlaluan makan waktu. Apalagi untuk shalat Ied, hampir pasti saya tidak akan sempat mengejar waktu kesana.

2) tempatnya cukup strategis. Ada tempat yakiniku halal tepat di belakang masjid, lalu di sekitarnya ada toko makanan halal yang cukup murah meriah, belum lagi klo bosen makanan halal ada resto vegan juga 😀 I love foods!

3) Lebih sepi, bagi saya masjid itu untuk ibadah. Wong orang lagi galau kok, kan mau pembicaraan dua arah ya sama Tuhan. Jadi memilih tempat yang rada sepi lah.

Selain itu, khusus untuk shalat Ied, saya lebih suka tempat ini karena saya ingin menghindar dari sebuah fenomena kericuhan mahadahsyat yang seringkali terjadi ketika banyak jamaah dari Indonesia “FENOMENA SAJADAH”. Yang belum tau skandal sajadah, maka izinkan saya jelaskan terlebih dahulu.

Fenomena Sajadah : Sebuah fenomena dimana jamaah akhwat akan menyuruh seluruh jamaah lain untuk maju dan merapatkan shaf di baris paling depan, namun yang menyuruh biasanya tidak inisiatif untuk maju juga, disebabkan sudah telanjur gelar sajadah atau kadang hanya perkara penempatan kipas angin yang tidak ramah untuk penderita masuk angin.

Gak maen deh mamen kayak gitu-gituan…. Kadang lagi asik-asik mau doa loh, langsung lupa karena disuruh maju atau mundur atau apapun lah itu.
Image and video hosting by TinyPic

Tapi lebih dari itu, ada hal lain yang membuat saya jatuh cinta pada tempat ini.

Bertemu Saudara-Saudara Muslim dari negeri yang berkonflik

Nah! terdengar seru kan. Kalau kata Sudjiwo Tedjo, Tuhan itu Mahabercanda… kayaknya ini saya rasakan. Entah kenapa saya yang malas ngobrol ini ketemu aja orang-orang yang suka mengajak saya ngobrol ngalor ngidul, lha… saya kan jadi keasikan juga ngobrol.

Pernah ketika saya disini, pas sedang membaca Quran karena ceritanya lagi galau, tiba-tiba ada mbak-mbak yang nyapa dan bertanya asal saya dari mana. Entah apa dasarnya banyak yang salah mengira saya berasal dari negara-negara Asia Tengah, lalu kemudian kaget ketika tahu kalau saya tulen orang Indonesia mix Aceh dan Madura.

“So, you come from Indonesia? Oh sister…. I am from Myanmar. You know Rohingya, I am Rohingya”

Waduh! Biasanya kan cuman denger di berita ya, ini ketemu langsung loh.
Dengan bahasa Inggris yang terbata, dia bercerita tentang kondisi keluarga dan juga etnisnya.

“Masha Allah Sister, I really want to live in your country, I want to learn your language, I want to spend a whole life in your country. It such a beautiful place, and food…food are good very good. Allah bless your country very much.”

Terus baper, dan rasanya mau nangis kalau inget kondisi di tanah air sekarang ini. Mau nangis karena bagi saya sih, kita harus mulai mengakui bahwa kita tidak se-“heterogen” yang kita banggakan. Wong beda partai aja bisa saling ngafir-ngafirin. Wong di media sosial aja bisa perang cuman perkara mau ganti presiden atau gak. Sorry, saya pribadi sih malu dengan sikap childish beberapa orang yang seperti itu. Asal kalian tahu aja ya, keluarga Mama saya itu lebih “Muhammadiyyah” sedangkan ayah saya karena asli orang Jatim yaaaaaaa…. NU banget. Walau sama-sama Muslim ya ada beberapa hal yang berbeda ya, tapi apa kemudian perang? Gak tuh! Hingga ayah saya meninggal dunia tidak pernah ada piring terbang melayang dsb dalam keluarga kami.
Sekarang? Pret! Seakan semuanya percaya diri akan masuk surga, helooowwww… siapa tau bareng-bareng di BBQ di neraka.

Back to the topic,
Mbak ini kemudian bercerita bagaimana diskriminasi yang terjadi di Rohingya. “Sister, I can’t use hijab there, can’t… can’t…” Dia cerita bahwa ketika dia mengunjungi Ibunya, tetangganya terus nyinyir karena dia berani untuk pakai hijab. Dan bahkan ada yang ekstrim dan meludahi dia, aduuuuh kasian ya 🙁 terus mereka akan bilang “Go…go… not your home land”

Khawatir gak kalian semua denger kisah mbak ini? Serem kan!
Makanya saya tanya kok Ibunya tetep tinggal di sana? Bumi Allah kan luas ya, Cuy… kalau gak aman di satu titik, ya hijrah lah kemana.Rupanya ibunya udah rada sepuh gitu, dan yaaaah biasa lah, nostalgia kan susah di lawan ya. Suaminya meninggal di sana, dan itu rumah sudah didiami turun menurun. Rumah yang punya banyak cerita memang sulit untuk ditinggalkan. Sedangkan saudara-saudara yang lainnya sudah mengungsi ke Thailand. Eh tapi Thailand emang makanannya enak sih dan orangnya baik-baik (Mon, fokus…fokus…fokus….).

Nah! Kalian juga pasti nyinyir parah dong sama Oma aung san suu kyi? Mumpung ada orang dari sananya langsung kan mending sekalian ditanya kan. Nah, kalo kata mbak ini sih Oma Aung susah untuk melawan orang-orang yang diskriminatif di sana. Karena sejak awal, orang-orang yang diskriminatif ini nih yang mengusung dan mengangkat nama Beliau. Nah udah gitu, mereka suka-suka deh. Yaaaa…. kalo oma Aung niat sih, harusnya doi berani ya untuk kehilangan jabatannya. Tapi tahta kan rada susah ya dilepas. Walaupun begitu, mbak ini gak terlalu menyalahkan oma Aung loh. Dia bilang “But, then she decided to be more open to the world. Before, you… Asia… never know Myanmar, never sister… never”
Dari situ saya jadi tahu kalau konflik ini sebetulnya sudah lamaaaaaaaaaaaaaa banget terjadi, cuman dulu Myanmar lebih tertutup aja. Ini menohok sih, karena sebelum ke Jepang saya pernah kerja dan bergelut di bidang yang mengurusi ASEAN, dan memang Myanmar itu semacam….semacam…. semacam  dicuekin.

Sudahlah jiwa saya berkobar setelah mendengar kisah Mbak dari Rohingya ini, kemudian saya pernah bertemu dengan mbak lain di tempat yang sama, namun kini dengan mbak-mbak cantik dari Palestina. Ya ampun, kalau nanti saya dapat suami keturunan Timur Tengah, kayaknya hal pertama yang perlu saya tanyakan ke dia sih kesehatan mata, orang daerah sana kok ya kebangetan ya cantik-cantik gitu.

Aduh ini pun penuh air mata sih.
Jadi perkara kirim paket ke Palestina ini juga gak gampang, kawan! Setiap paket secara semena-mena harus melewati Israel terlebih dahulu dan mereka “berhak” ngebongkar isi paket itu. Jadi kata dia, kadang sedih karena pengen ngirim baju baru buat adik-adiknya aja pas nyampe bisa jadi udah kucel karena butuh waktu lama dan udah diubek-ubek sama penjaga di Israel. Ingin kuberkata kasar…..
Dia bilang, dia pun ada trauma kalau denger suara yang kenceng sedikit aja dia bisa teriak-teriak.

“Sister, we know Indonesia. I keep pray Allah bless your country”

Oke, mari kita langsung pada kesimpulan. Kalian-kalian yang kebanyakan nyari ribut karena perbedaan dikit-dikit aja kayaknya emang kurang ngopi. Itupun kalau masih sempet karena sebelum ngopi rasanya saya mau nimpuk mereka dengan bakiak 17 agustusan. Karena orang yang kayak gitu sih Juanc*k tenan!

Mendengar orang lain dari negara lain berdoa untuk Indonesia itu “nyesssss” banget di hati. Rasanya hangat….
Rasanya ingin berterima kasih.

Pulang ke rumah biasanya kalau udah baper, saya nelpon Mama “Ma, makasih ya”
“Loh kenapa kak? Kakak sakit?”
“Makasih, Ma… karena Mama ngajarin kita gak macem-macem. Ngajarin untuk jadi baik aja udah lumayan. Gak usah sok baik, sok bijak, sok wow, gak usah beda-bedain SARA”
“Ih apa sih?”
“Mama sehat-sehat aja ya di sana”
“Ih sereeeemmm…. kamu lapar kali? Makan deh sana.”

Dan biasanya begitu terus :p tanpa Mama tahu apa yang anaknya alami di hari itu.

Ketemu Muslim yang beraneka ragam

Sebagai blogger pengamat Ibu-Ibu di mushala, saya sering kena tegur emak-emak di Mushala karena banyak hal. Bukan hanya perkara sajadah…. tapi juga perkara apakah rukuk saya 90 derajat, atau jempol kaki dilipet atau tidak saat tahiyat. Walau kadang Mama saya suka komentar juga “Loh, kalau Ibunya sempat komentarin, mata doi kemana pas shalat? Ahahahahaha…. ini kocak sih, Kak.”

Kalian pernah ketemu yang nyinyir-nyinyir gitu gak?

Yang pasti kenyinyiran kayak gitu gak akan kepake kalau kalian shalat di masjid yang isinya bukan cuman orang Indonesia dan sekitarnya :’D

Shalat Ied tahun ini karena saya telat kejar kereta, saya terpaksa ikut gelombang 2. Tentu gelombang dua itu lebih ramai daripada gelombang 1 ya. Inilah saat saya gagal fokus lihat “Kostum” para jamaah. Walau jamaahnya memang jaauuuuuuuh lebih sedikit dari masjid-masjid besar, saya kemudian menyadari bahwa “standar” aurat itu bisa jadi beda-beda bagi semua bangsa.

Ada yang tidak memakai kaus kaki.
Ada yang semua tertutup tapi hanya memakai turban, jadi leher masih kelihatan.
Ada juga membiarkan poni masih terlihat
Ada yang baru masuk islam, dan mungkin belum terlalu paham dengan aurat ya, jadi bajunya masih transparan di bagian lengan.
Pokoknya macam-macam.
Fashion juga beda-beda ya gengs, ada yang polos dan suka warna-warna pastel sampai ada yang bajunya loreng-loren macan! Itupun pakai warna orange stabilo.
Allah ya Rabb :’D

Memang jadi macam-macam yang kedengaran di kuping.
Dan jadi lihat macam-macam di mata.

Namun, kalian tahu gak? Selalu ada cara untuk mendeteksi keberadaan emak-emak Indonesia di tengah keramaian apapun!

Carilah yang heboh foto-foto, bahkan bawa tongsis! Naaaaaahhhhhh! Itu hampir pasti deh bisa diajak ngobrol bahasa Indonesia 😀 silakan coba tips ampuh ini.

Eh, tapi terlepas dari apapun, selalu ada yang menarik dari setiap shalat Ied.
Ada mbak Jepang yang bilang baru masuk Islam beberapa bulan lalu, beres doa setelah Eid, dia nangis sesenggukan dong!!! Emak-emak Indonesia asik fofotoan, emak-emak India ngerumpi, emak-emak timur tengah biasanya ngomelin anaknya “la….la….la!” (cuman itu kosakata yang saya tahu 🙂 ), lha ini mbak Jepang satu nangis kan kita panik ya. Saya samperin dan sok-sok-an salaman, terus dia bilang “Saya malu, saya malu pada Allah karena saya dulu banyak salah”
Waduh, Mbak…. saya kan juga berlumuran dosa (dan lemak) ya, tapi gak segitunya sih.
Lagi-lagi saya tengsin sih kalau nemu yang gini-gini. Udah ya, Mbak…. puk-puk-puk.

Bertemu orang-orang yang tertarik dengan Islam

Ini juga sebenarnya rada-rada, aduuuuh…. kalau boleh request ke Allah, saya rasanya gak mau ketemu yang kayak gini, kawan. Tanggung jawabnya berat. Secara saya kan aduuuuuuhhhh…. shalat subuh aja kadang di waktu shalat dhuha loh, itupun masih ngelaba dan bilang “Ya Allah… maaf ya bangun kesiangan.”

Kalau sudah seperti ini biasanya saya suka “random” memilih orang yang saya pikir lebih baik daripada saya.

Walau ya, gak selalu orang-orang itu pada menjadi Muslim loh ya. Tapi yaaa mereka senang aja gitu diajak ngobrol-ngobrol. Dulu pernah ada teman di lab, mbak ini suka cari waktu ketika gak ada orang lain di lab… terus tiba-tiba ngajak ngobrol gitu. Pertanyaannya suka filosofis-filosofis gitu “Marissa-san, why you always smiling?” sampai “What Islam is?”
Waduh, kan gak nyali ya jawab-jawabin kayak gitu. Udah lah pusing, saya bawa aja dia ke masjid.
Dan itu saat pertama dia bilang “I love your praying place, it is very quiet and peaceful. It is like I can stay there for hour and close my eyes and feel comfortable with that”

Ada juga kisah kocak, saya pernah didatangin mbak-mbak misionaris dan saya gak paham juga kan… Dia kemudian memberi saya Bible, saya sih senang tapi kan tengsin kalau gak ngasih balik ya? Ya saya kasih juga dia Quran dan dia happy banget gitu. Masih sering komunikasi sih, tapi suami mbak ini pindah kerja gitu, dan dia bilang di tempat yang baru dia juga sering ke masjid dan dia bilang dia suka mendengar “Song for God”, aduh itu apa pulaaaaaaa? Setelah di cermati lagi, rupanya adzan dong, pemirsa! Hahahahhaha….
Buat saya sih, saya happy ketika orang bisa menikmati agama saya bahkan jika orang tersebut bukan Muslim sekalipun.
Saya juga happy ketika ke Paris dan masuk ke katedral-katedral yang cantik banget, lalu rasanya gak tega bikin berisik. Karena ketika manusia mencoba dekat dengan pencipta-Nya kan itu sakral banget ya. Bikin merinding gitu.

Dan jangan lupa, saya ini berhijab karena diingetin sama teman saya yang Nasrani loh “Mon, kalau lo bangga sama Tuhan lo, tunjukan itu! Kalau lo marah sama orang-orang yang menurut lo stupid, itu salah mereka dan bukan salah Tuhan lo! Ini childish kalau lo gak melaksanakan perintah Tuhan lo karena kesalahan manusia. Itu bukan teman gw yang kayak gitu! Dan itu bukan lo yang mikir sedangkal itu” PLAK! Akhirnya saya berhijab loh pas Natal 2012. Sampai kapanpun, saya sih gak akan lepas hijab ini… karena selain ini masalah komitmen saya, ini juga mengingatkan saya pada teman saya tsb dan bagaimana menjadi toleran. Merinding gak lo!

Namun tetap saja, kalau ada yang bertanya masalah Islam pada saya, saya hanya akan bawa orang-orang ini melihat “kulit-kulit”nya saja. Kalau lainnya, aduuuh gak nyali, Cin. Kan tau sendiri saya rebel. Aduh udah deh, sama teman yang jauh lebih jago aja masalah ginian.

Mungkin Allah merasa saya “tidak lulus” masalah ini.
Di masjid yang sama, beberapa waktu yang lalu, ada mbak yang tiba-tiba menarik tangan saya “Mau ke masjid itu ya?”
“Loh iya”
“Kalau bukan Muslim boleh masuk?”
“Ya boleh lah”
Karena saya mah bodo amat kan ya, jadi saya ajakin aja. Lagian apa salahnya kan?

Sudah itu sih saya cuekin…. (maaf loh, Mbak)
Terus mbaknya entah kenapa iseng banget, dan nanya lagi “Sering ke sini?”
“Mmm… gak sih, cuman kalau lagi beres latihan koto aja. “
“Ya ampun, koto?!!!! itu kan susah banget. Saya juga main musik. Kamu tinggal dimana?”
“Di Tsukuba”
“Pacar saya juga dulu tinggal di Tsukuba loh!”
“Oh”
“Saya boleh ketemu kamu lagi?”
WUUUUUT! Aduh ini siapa sih?
dan dasar orang Indonesia “Boleh, kenapa?’
“Saya mau belajar Islam lebih banyak, saya boleh kan berteman sama kamu?”
WUUUT? Wah, off-side sih nih Mbak. Masa iya orang ngajak temenan gak boleh. Ini pertanyaan paling menjebak di belahan dunia manapun.
“Boleh sih, Mbak why not?”
“Ini pertama kali ada orang yang ngajak saya masuk masjid. Terima kasih ya, saya senang sekali”
“Iya sama-sama.”

Saya pikir ini Mbak basa-basi busuk. Rupanya dia beneran loh kadang ke Tsukuba dan ngajak ngobrol. Terus dia bilang, dia tuh udah nyobain segala macem keyakinan. Tapi pas mau tahu Islam, suka ngerasa ragu karena gak ada temen untuk diajak ngobrol. Owalaaaaaaaah, Mbak…..

Pertanyaan Mbak ini saya pikir  bakal super filosofis, rupanya kadang cuman nanya “Makanan halal itu yang kayak gimana? Jadi kamu boleh makan daging?” Ya keles, hati boleh lah yaaaa gak tegaan sama binatang, namun apa daya…. tabula rasa masih sadis untuk melumat daging yang memang enak itu :’)

Entah random people mana lagi yang harus saya hubungi untuk Mbak yang satu ini. Lalu kemudian saya kontak Mamas Smiley yang random nun jauh di sana “Mas, ini gimana nih? Ada Mbak-mbak lagi coba yang kasusnya gini loh”
Kali ini jawaban dia sederhana “Marissa, this time she wants you to be her friend, she wants to talk with you not with the other people. I think this time you just need to tell her what you know.”
Luluh karena perkataan Mamas, mungkin sementara ini saya biarkan Mbak ini curhat sama saya. Saya lupa kalau Mamas ini terlalu positif dan dia tidak tau bahwa saya pernah “jahiliyah” juga di masa lampau. Arghhhhh terjepit!!!!!!

Eh, tapi kalau sama saya sih… saya gak akan gile nyuruh seseorang masuk Islam sih. Bagi saya, keyakinan itu hal privat semua orang. Saya fine apapun keyakinan yang kelak Mbak ini pilih. Ngarep sih, siapa yang gak seneng sih nambah saudara se-iman yang baru, iya gak sih? Tapi ini hidup Mbaknya, saya ingin dia memilih sesuatu yang benar-benar nyaman di hati dia. Sampai dia belajar semua agama kan berarti ada sesuatu yang benar-benar serius dia cari. Saya pikir, saya tidak berhak untuk mengetahui apa itu…. tugas saya hanya sebatas menjadi Muslim yang (semoga) baik.

Oleh karena itu, untuk Mamas Smiley dan seluruh umat manusia yang ada di muka bumi, jangan salahkan karena pada akhirnya obrolan kami hanya berkisar tentang…… TADAAAAAA
Image and video hosting by TinyPic

Mbaknya ketawa-ketawa aja, mungkin dari sekian banyak orang yang dia tanya-tanya masalah filosofis, cuman saya yang malah ngajakin liat kucing tetangga. Ini bukan cuman ngegodain kucing tetangga loh, ini pelajaran mensyukuri karunia Allah bernama kucing yang gendut dan lucu. Subhanallah…..

(kalau Mama baca ini pasti Beliau akan langsung WA, “Mungkin benar… anak Mama terlambat dewasa :’) ” Mama… masih ngakuin kakak sebagain anak kan? )