Melawan Radikalisme Sekte Covidiotism


Halo saya tante emon, dan saya ingin mengajak kalian semua untuk berghibah tentang para covidiots di Indonesia

Sebelum membedah perkara covidiots ini, saya mau cerita sedikit dulu deh. Jadi buat yang kalian belum tahu, saya saat ini menjadi peneliti di sebuah research center di Jepang. Nah presiden di reseach center ini adalah mantan epidemiologist. Jadi Beliau tau banget lah dunia persilatan ini. Ketika Tokyo dan sekitarnya punya 500 kasus dan langsung status darurat, Beliau langsung kirim pesan di milist dan isinya kira-kira

“….Kita tahu bahwa dengan teknologi saat ini, kita bisa dengan cepat membuat obat atau vaksin apapun. Sayangnya yang paling sulit bukanlah mengalahkan virus apapun, namun mengalahkan ego manusia. Saya paham betapa berat situasi ini. Namun ingat pula bahwa kebijaksanaan manusia diukur dari seberapa kita bisa kita menahan keegoisan kita, seberapa bisa kita berpikir jernih Ketika terdapat suata masalah.
Tidak ada diantara kita ingin sakit, terpisah atau bahkan kehilangan keluarga atau teman, maka mari kita percaya dan mematuhi segala anjuran yang diberikan oleh para petugas Kesehatan dan pemerintah. Mari kita bekerjasama. Semoga setelah ini,  kita menjadi manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.

Gilaaaa! Rasanya kayak dibasuh pakai air Zamzam gak lo!
Mungkin kata-katanya lebih dalam dari itu ya, soalnya saya kan level Bahasa Jepangnya kore-kore, dan ini semua hasil olah kata google translate. Tapi itu menggambarkan segalanya sih. Seluruh chaos ini, bukan serta merta karena virusnya sendiri, tapi karena keegoisan manusia.

Oh ada yang kurang, ke-sotoy-an manusia.

Saya rasa masyarakat Jepang layak lah “naik level” secara kualitas. Kalian harus tau ya, tingkat vaksinasi di Jepang itu busuk banget, bahkan kalau dibandingkan sama Indonesia. Tapi tingkat penularan mereka terjaga banget. Kenapa? Karena taat prokes! Karena semua orang bersih, pakai masker, cuci tangan, makan makanan sehat dan bergizi.

Sementara negara berflower, mohon maaf, beberapa boro-boro naik harkatnya sebagai manusia, naik kelas ke SMA aja saya ragu loh AHAHHAHAHAHAHA… ini loh, ini lah mengapa kalian wahai manusia Indonesia yang hebat, Ketika kalian di bangku sekolah menengah, jangan cuman kejar nilai tapi serap semua ilmu yang ada.

Saya mohon izin ya untuk teman-teman yang nakes, kalian kan baik, jadi kalian gak usah bikin konten-konten nge-gas. Biar saya yang wakilkan.


Gini ya, kalau kalian buka buku teks biologi kelas X, kalo Angkatan lama SMA kelas 1.  Tidak ada obat untuk  bunuh virus. Seinget tante, antiviral drugs itu tidak membunuh virus, tapi mengurangi daya replikasi si virus. Itu pun kalau virusnya udah ketahuan.

Makanya, kalau lawannya virus, cara paling ideal yang tubuh kita bisa lakukan adalah memperkuat antibody tubuh kita. Jadi defense kita nih yang harus sip. Nah, supaya antibody kita bisa menang melawan si virus, maka antibody kita harus sudah punya kisi-kisi lawan mereka siapa? Jadi mereka tahu, alat tempurnya apa saja.
Masalahnyaaaa~~~ covid ini virus baru, jadi antibody umat manusia di muka bumi ini masih kaget “Waduh ini apaan nih?”.Antibodi ini jadi bingung cara lawannya gimana.
 Sebagai ikhtiar agar antibody kita bisa mengenal virus baru ini, maka diberikanlah vaksin. Vaksin ini virus yang sudah dilemahkan. Harapannya, tubuh kita jadi lebih siap untuk menghadapi si virus ini. Jadi kebal? Ya gak! Gak gitu cara berpikirnya.

Kalau kalian lemah di kalkulus, terus kalian dikasih bimbel khusus kalkulus, apakah Ketika tes kalkulus selanjutkan kalian langsung dapet nilai 100? Ya gak~~~~tapi setidaknya gak dapet nol-nol banget.

Sama, sama, vaksin pun begitu. Apalagi, vaksin covid ini dibuat awal banget ya karena status darurat. Idealnya tidak begitu, karena virus itu akan terus bermutasi. Proses pembuatan vaksin biasanya cukup lama karena menunggu mutasi si virusnya stabil. Jadi bagian farmasi jelas nih, dia berubahnya sampe delta kah? Sampe gamma kah? Atau gimana? Nah, vaksin yang ada sekarang belum sepenuhnya diujikan untuk varian-varian yang mutasi. Jadi pun kalian sudah vaksin, tapi kemudian pongah tidak taat prokes lagi, lalu apes kena virus varian baru, terus kalian lagi gak fit. Ya kena juga.

Alhamdulillah kalau setelah itu kalian cuman mengetuk pintu rumah sakit, kalau kalian mengetuk pintu akhirat?Hayo? gimana?  Apakah amal perbuatan kalian cukup untuk menyelamatkan diri  dari azab menjadi BBQ di neraka Jahannam? Belum tentu.

Jadi kalian masih harus tuh pake masker dan cuci tangan pake sabun atau at least pake hand sanitizer. Apa sih susahnya pake masker? Kalian mati gitu setelah pake masker? Apa sih? Sesak? Kalau kalian jalan 3 langkah pakai masker lalu sesak nafas, itu bukan salah maskernya, itu mungkin kalian ada masalah jantung atau paru-paru. Mohon maaf, kalian harus ke spesialis penyakit dalam.

Yang lebih “blokgoblokgoblok” adalah yang bilang vaksin dipasang chip.

Itu bagaimanaaaaaaa ya Allah~~~~~~ ini benda cair ya, mau ditempelin chip gimana? Yang kayak gitu tuh tau bedanya zat cair, padat, dan gas gak sih?

Apalagi? Ah virus doang, masa’ gak percaya sama Allah. Permisi, ini kalau di kisah di agama saya, khalifah Umar bin Khattab, khalifah paling sangar sepanjang sejarah Islam, pas ada wabah Tha’un sekitar tahun 18 Hijriah, doi juga cabut bro! Ini khalifar Umar yang sehat, kuat, dan tidak terpapar fast food dan micin.
Maka Andaaaaaaa~~~ ya ahli kubuuuuuuur~ yang sudah dihajar tahu bulat, cimol, cireng, boba, dan aneka fastfood, dan bahkan untuk beli makanan aja pake order ojek. masa’ Anda PD banget sih. Gaya hidup kita itu sesungguhnya telah membuat kita lebih lemah dan lembek dari. Jadi ya sadar diri aja. Jangan gila deh.  Udah Lemot Lemah otot kan harus dijaga jangan sampai Lemot Lemah otak juga ya AHAHAHHAHAHAHAHAHAHA.

Atau kalian bersikukuh, virus ini gak ada, ya udah telan dan nikmati itu semua sendiri. Gak usah ngajak orang.

———

Duh kalau inget jadi emosi banget. Emosi gak sih kalian?
Saya sih emosi tingkat dewa dewi ya. Karena rasanya kita udah begitu patuh, patuh hingga banyak hal yang dikorbankan. Eh terus, stuck aja gitu karena banyak orang blokgolblokgoblok dan membuat situasi kayak reset seperti awal lagi. Gak ada proses belajar sama sekali. Gak ada! Sedih gak?

Oh kalian pikir saya tidak merasa kesal karena saya di Jepang. Wah kalian salah banget, saya korban psikologis dari covid di Indonesia. Satu, saya gak bisa pulang-pulang nih karena kalau saya pulang, Jepang enggan mempersilakan saya masuk lagi karena Indonesia dianggap berbahaya. Bukan hanya saya ya, banyak loh pelajar, peneliti, dan pekerja magang yang stuck di tanah air
 Dua, Mama saya yang diabetes sempat harus terhenti untuk check up karena RS penuh sama pasien covid dan covidiots yang gak ngaku klo mereka covid. Jadi ke RS bilang meriang biasa, eh padahal covid. Ya nular kemana-mana.
Tiga, ini personal sih, saya mau memperkenalkan seseorang ke Mama dan adik saya. Dan itu semua ambyaaaaaaar karena covid. OMG OMG I am getting old, I cannot make any kind of plan delayed anymore.

Jadi kalau saya mau kasar, hey covidiots, Anda BIADAAAAB!

Tapi sudahlah ya

Semua cerita dan complain ini saya ceritakan kepada seorang teman saya, dan dia malah ketawa “You know what, Marissa. You cannot fight ignorance. We can’t. Don’t waste your energy.”

Dan iya juga sih. Mungkin saya sudah harus mulai memaafkan para biadab-biadab ini.
Susah sih.
Tapi

Mengapa kita harus menuntut orang-orang yang sudah terlanjut covidiots ini untuk berubah?
Saya kemudian sampai pada suatu pemikiran bahwa, jangan-jangan para covidiot ini sudah mengimani loh. Mereka sudah bersyahadat, sudah membaptiskan diri, dengan seluruh kerangka pemikiran covidiotism dan secara sadar sudah membentuk sekte covidiotism. Kita kan gak bisa memaksa untuk mengubah “iman” seseorang. Mau gimana coba? Mereka pasti tidak rela untuk serta merta, dalam tanda kutip, murtad dari keimanan mereka sekarang. Di mata mereka,  kita nih yang mengimani keberadaan covid ini yang menjadikan prokes adalah bagian dari rukun iman kita, adalah orang-orang kafir.

Mereka kemudian mau mengajak kita semua untuk untuk menganut covidiotism. Mayoritas tidak mampu untuk bertarung secara logika dan pemikiran ilmiah, maka mereka menggencarkan terror! Ya! Mereka adalah teroris modern, yang secara sadar melakukan bom bunuh diri dengan cara menyebarkan virus, hoax, dan teori konspirasi terkait covid ini kepada kita semua. Mereka sebuah organisasi baru! ICIS: Ingin Covid Infeksi Semua.

Apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang seperti itu, apa? Kalian tunjukin video apa yang terjadi di India, di RS-RS yang penuh, apakah mempan? Tidaaaaak? karena penderitaan karena covid itu sepertinya mmmmm…. Tidak masuk ya ke aqidah mereka. Covidiotism adalah bentuk radikalisme baru, sehingga apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang yang radikal ini. Sekarang, perkara kita, apakah iman kita cukup kuat untuk menjaga diri dari sekte covidiotism ini?
Semoga kita kuat ya, semoga yang masih punya keluarga yang terjebak di sekte covidiotism, bisa diberi kesabaran dan kekuatan untuk membawa mereka hijrah. Kalau tidak, setidaknya semoga kita yang kuat dan bertahan. Dan inget, Ketika kondisi darurat, pasangkan masker oksigen ke diri sendiri dulu sebelum ke orang lain. Sehat-sehat ya semuanya.  Saling mendoakan.

Berani tidak sempurna…


Saya punya tekad untuk menjadi emon yang produktif. Bukannya apa-apa, tapi karena sebagai manusia… sungguh sebuah hal lumrah kalau saya galau, sedih, stress, dan hal-hal manusiawi lainnya. Bagi saya, tidak ada hal yang paling baik untuk melupakan hal-hal yang pedih, selain dengan cara move on, being busy….

Kalian tidak tahu kan betapa penatnya jadi peneliti. Deg-deg-an nunggu keputusan reviewer jurnal, pusing analisis data, terus baca hal yang serupa berjuta-juta kali, belum lagi kehidupan sosial yang agak-agak terombang-ambing. Banyak banget suka dan dukanya. Yang semoga aja, terbayar tunai sama Yang Mahakuasa. Kalo gak, kayaknya bakalan saya tagih terus deh. I am doing everything more than what people can imagine.

Nah, di penghujung bulan Mei ini, saya yang nyambi jadi pengajar online sebuah univ harus mulai menyelesaikan tugas memeriksa PR mahasiswa. Saya tidak bisa membayangkan betapa luas jiwa dan hati para guru dan dosen di saat pandemi seperti ini. Pintar akademis saja gak cukup loh gengs! Harus pandai dengan komputer, aneka software, dan yang harus lebih lihai lagi “MEMBACA MAHASISWA” yang bagi saya sih “Wah…. drama sekaleeeee…”

Ada yang tidak mengumpulkan tugas yang deadlinennya sudah sebulan yang lalu terus tiba-tiba kontak “Bu, waktu itu internet saya mati.” Laaaah kan bisa di hari selanjutnya :’)
Ada lagi yang salah upload tugas, dan setelah dikontak berjuta-juta kali, gak ada balesan.
Belum lagi banyak jawaban yang kopas plak-plek-plak-plek-plak. Yang kayaknya pas dikopas, otaknya lagi pada diistirahatkan di kulkas. Wallahu’alam.
Sungguh begitu banyak hal ajaib, yang kalau saya tatap muka sama mereka sih, mungkin saya udah banting microphone.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya….
Ada sebuah tugas yang sebenarnya begitu sederhana sih. Mahasiswa diminta untuk menuliskan dampak negatif dan positif dari globalisasi.

Yang dampak positif sih yaaaa standar lah ya….
Nah yang dampak negatif ini MENARIK!

Lebih dari 50% jawaban mahasiswa, pasti menuliskan “Globalisasi akan membuat tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.” bahkan ada yang langsung to the point “… akan membuat tenaga kerja dari Cina semakin banyak.” Loh, kenapa emangnya sama tenaga kerja dari Cina. Moon maaph, kalo etnis Cina, toh yang WNI juga sudah banyaaaaaaaaak, dan mereka orang-orang yang baik. Mana masakannya enak-enak pula, ya Allah~~terima kasih, karena ada akulturasi Tionghoa, masakan Indonesia jadi makin beragam dan enak-enak ya Allah~~~~~~ m(T^T)m

Belum lagi jawaban, “Tenaga kerja Indonesia akan semakin sulit bersaing baik secara nasional maupun global.”

Ada lagi “Membawa kultur yang buruk”, versi religius “Bisa berdampak buruk pada kultur dan iman masyarakat Indonesia, karena tidak sama dengan budaya dan agama mayoritas.”

Saya tentu misuh-misuh, namun apa gunanya misuh-misuh di dunia onlen-onlen yang rasa-rasanya kurang greget, kurang dramatis, dan mungkin kurang mantap kalau kepala belum pada dikeramas dan diberi pijatan-pijatan microphone.

Terlepas itu karena kasus “kopas” yang…yang…. yang tadi itu, yang pas dipake kopas, otaknya lagi hibernate mode di dalam freezer.

Tapi saya kemudian jadi berpikir, kenapa setakut itu sih? KENAPA?

Mari kita mulai dari perkara budaya dan keyakinan. Se-insecure apa, selemah apa, dan sebodoh apa kita hingga kita harus khawatir akan langsung, secara serta merta, terpengaruh kebudayaan dan keyakinan orang lain.

Jadi belajar ngaji dari level iqra sampai ubanan ini, apa faedahnya, kalau kemudian luntur karena, misalnya globalisasi.
Masa iya ada bule, kiclik-kiclik-kiclik, datang sebagai turis misalnya… terus gaya hidup kita langsung jadi sok-sok bule gitu. Kayaknya temen-temen kita yang orang Bali tetep dengan harkat dan martabatnya sebagai orang Bali. Itulah kemudian Tuhan menganugerahkan tempat mereka jadi obyek wisata laris…. dan jangan lupa, dulu setiap UN, nilai UN tertinggi itu pasti punya anak Bali. Mama saya tuh dulu sampai bilang “Ini jangan-jangan Allah pun jadi sayang sama Bali, abis orang-orangnya gak ribet.”

Tapi well, baiklah….
Sebagai suku dan penganut agama mayoritas, saya emang ngerasa beberapa oknum dari kita mmmmm memang secemen itu sih. Lah, puasa aja manja sampe harus tutup-tutup warung. Kenapa? Liat orang haus terus jadi pengen buka gitu? Ish~ yaaaaa ampuuuuun anak TK nol kecil banget.

Tapi ya sudahlah ya… mau gimana lagi coba. Konon, kita cuman bakalan naek kolestrol darah kalau mikirin orang-orang yang ignorant. Karena lagi koronce gini kan kesehatan mahal yang bok, mending kalem-kalem aja.

Tapi saya lagi-lagi terganggu dengan jawaban takut pada tenaga kerja asing, warga negara asing, dan produk impor. Kenapa?

Tanpa menampik bahwa, memang…. dan seringkali, pemerintah kita kurang bijak dalam memperhitungkan kesiapan sumber daya manusia dan industri dalam negeri (ini emang greget sih)
Tapi… apa jangan jangan kita juga merasa bahwa kualitas kita memang masih “meh” aja. Atau akhlak kita yang memang masih harus ditadaburi dulu :’D

Bayangkan jika kalian di dalam suatu kelas, terus kedatangan murid baru, dari luar negeri. Atmosfer sekolah dan kelas yang baik tentunya akan penuh dengan antusiasme. Semua murid veteran akan mencoba membuat si murid baru nyaman, kemudian saling ngobrol, rumpi, kenalan, dan tanya-tanya.

Tapi bisa juga, si anak baru ini kemudian kena bully habis! Tidak ada yang berteman dengan si anak baru.
Setidaknya ada 3 alasan.
1. si anak baru ini memang nyebelin, gak mau kerja-sama. Yaaaaa…. kita-kita kan jadi males juga ya nemenin yang model gini.
2. anak-anak di kelas memang pada dasarnya badung-badung, dan gak suka aja sama orang yang “bukan golongan kami.”
3. si anak baru ini rupanya pintar, lalu menarik perhatian bapak ibu guru! Anak-anak lama mulai geram dan iri “Cih, anak baru…. bisanya cuman cari perhatian aja!”

Masalahnya, kita ada di kasus yang mana? Apa jangan-jangan… jangan-jangan…. kita cuman iri dengki aja dengan orang-orang yang kayaknya kemampuannya lebih aduhai daripada kita.

Jujur saja, saya pribadi sering loh merasa iri AHAHAHHAHAHAHA.
Karena sejak sekolah saya bukan anak yang pintar, dan “B” aja, terus sering kena terapi “Jambak rambut kribo” sama Mama saya, saya tuh suka meratapi kebodohan-kebodohan saya. Saya kerapkali membandingkan diri saya dengan orang lain.

Nah… sejak saya SMA, saya selalu kagum dengan sebuah sekolah katolik yang tetanggaan dengan SMA saya dulu. Kok ya anak-anak di sekolah itu menang olimpiade sains terus ya. Ini apa harus pindah agama biar bisa pintar berhitung. Mereka makan apa ya kok bisa pada pinter, kayak pula. Ya Allah…. saya ini loh, itu 9+ 7 aja kadang mesti pake kalkulator.

Sampai S3 kelar, saya masih terperanjat dan suka sedih sendiri, “Ini kok saya gak pinter-pinter ya.” Kalian suka denger dong, Asian are so good in Math! Ini kayaknya “Asian”nya para East-Asian ya, soalnya… yang model-model kayak saya kayaknya gak masuk sample. Nah, riset saya ini kebetulan erat kaitannya dengan ekonomi, matematika, dan statistik. Dan tentu saja…. rasanya dikuasai oleh rekan-rekan saya yang dari Cina, Singapura, Malaysian Chinese, Korea, dan Jepang. Tinggalah tante emon yang bagaikan Timon di sarang hyena…

But they are so smart! Dan secara fair, dan kalau saya bisa… kayaknya saya mau standing applause. They are really really really really really smart. Dan saya berani untuk memuji mereka terang-terangan loh.
Dan itu titik dimana saya percaya bahwa perjalanan saya untuk belajar masih panjang. Kalau saya kebanyakan galau, sedih, menyalahkan diri sendiri, saya tetep disini-sini aja. Malah mental health yang kena. Sedangkan mereka moving forward, getting greater and awesome.

Saya selalu bilang “Okay Emon, jangan kalah. Suatu waktu, harus mencapai kualitas yang lebih baik dari mereka-mereka yang lo bilang keren.”

Bisa gak ya? Ya gak tau… tapi toh, harus dicoba kan ya. Karena iri, misuh-misuh, gamang, dan aneka toxic positivity itu rupanya…. rupanya gak bawa kita kemana-mana.

Dulu, salah seorang teman saya bilang “Mon, suatu hari kamu akan ‘ngeh’ dan bilang ‘Ooooooooh gini toh’ sama hal-hal yang ditakdirkan Allah buat kamu.”

Dan itu benar! Cuman terkadang kita tidak cukup sabar. Terkadang, menyalahkan itu memang lebih gampang aja.

Menyalahkan keadaan, sampai kemudian menyalahkan Tuhan, “kenapa harus gini sih? kenapa harus gitu sih?”

Kembali lagi ke topik kita semula.
Kenapa ya kita begitu phobia pada banyak hal.

In my personal case, mungkin karena memang banyak yang blurry aja kedepannya bakalan gimana sih? Duh ini aja udah seberliku-liku ini…. jangan-jangan kedepannya makin ribet.
Wajar kok, karena di muka bumi ini tidak ada yang pasti, selain ketidakpastian itu sendiri.

Eh… tapi…siapa tahu kita pun tidak seremeh yang selama ini kita duga. Siapa tahu, rupanya pemikiran kita, mental kita, fisik kita, lebih kuat dari yang siapapun tahu. Kata Mama, kalau masih sama-sama manusia, masih di planet yang sama, pasti sama-sama punya waktu 24 jam dan liat matahari yang sama.

Maka kita bisa melakukan apa yang orang lain bisa.
Maka kita bisa melakukan sesuatu di luar ekspektasi dan batas-batas yang kita buat sendiri.

Jangan meremehkan Tuhan dengan meremehkan kemampuan diri kita sendiri.

————-

Tsukuba, Akhir Mei 2021.