ketika kesepian di tengah keramaian….


Mumpung hujan, mari ngegalau sedikit hehehe… sekaligus konferensi pers kenapa kalau ada kumpul-kumpul dengan teman lama saya jadi pendiam dan kudet banget *emmm… bukan rahasia sih, saya emang kuper :’D hahahaha hiks*

Berawal di suatu hari yang cerah, bos besar saya bercerita dengan tamunya yang dari Jepang… Beliau menceritakan sedikit tentang masa lalunya. Katanya, Beliau menikah ketika S3 itu pun sebenarnya ingin nanti-nanti aja hanya saja kemudian Beliau ngerasa semua teman-temannya sudah menikah dan taraaa setelah dipikir-pikir kok jadi sepi ya. Karena kesepian itulah akhirnya Beliau memutuskan menikah. Taraaaa the end dan happy ending.

Tapi saat dengar itu saya ketawa-ketawa, ya ampuuuuun masa sih segitunya. Masa sih sampe segalau itu dan masa sih sampe kesepian di tengah keramaian gitu. Wkwkwkwkw… oh come on, Pak.

Tapi semua berubah ketika negara api menyerang
Tapi semua berubah ketika kalian merasakan hal itu sendiri, perlahan-lahan, tapi mematikan *haish*

Ada masa ketika teman-teman lu ada di sekitar lu… ada! They totally exist and of course still become your friends, tapi lu sebagai seorang manusia yang mendadak gak nyambung dengan dunia mereka. Ah masa sih? Entahlah… mungkin saya aja sih. But let me tell you.

Saya merasa beruntung, di kantor… walau ada beberapa yang sudah berumah tangga… tapi mereka juga kebanyakan mahasiswa dan tentu kerjaan yang kami hadapi serupa. Jadi di kantor pembicaraan kami rasanya masih dalam ranah nyambung senyambung-nyambungnya. Pokoknya happy banget, suka duka semuanya bisa ditertawakan bersama.

Tapi dengan teman kuliah? Teman SMA? Dan sebelum itu…? mmmm
Ketika kalian sampai di usia seperti saya, ketika kalian dapat undangan nikahan lebih banyak dibandingkan undangan ulang tahun apalagi buka puasa bersama, kalian akan sampai pada sebuah deduksi bahwa semuanya sudah tidak sama lagi seperti dulu.

Mayoritas teman kuliah saya sudah menikah ataupun jika belum, mereka berfokus pada karir mereka yang menurut saya sudah bagus-bagus. Sungguh saya bangga pada mereka… tapi ketika harus berkumpul, saya mulai merasa saya tidak terlalu paham dengan apa yang mereka bicarakan.

Saya hanya bisa tersenyum simpul ketika para banker berkumpul, mebicarakan karir mereka, target mereka, sistem bekerja di kantor mereka masing-masing, masalah keinginan resign dan kantor lain yang akan menjadi tujuan mereka selanjutnya.

Saya hanya bisa mengerutkan dahi, ketika beberapa dari mereka sudah mulai membicarakan cicilan rumah, tabungan masa depan, pernikahan, dan lain sebagainya.

Saya hanya bisa turut bahagia ketika teman-teman saya yang sedang hamil atau yang sudah memiliki anak saling sapa dan bercengkrama di baik di dunia nyata maupun di dunia maya… ketika mereka membicarakan tentang pengalaman morning sick mereka, ngidam, test pack, kontraksi, atau perkembangan anak-anak mereka dari bulan ke bulan… dari hari ke hari.

Saya bahagia mendengar itu semua, namun sayangnya saya tidak bisa masuk dalam ruang lingkup pembicaraan mereka karena saya… saya… saya tidak paham apa-apa kecuali sebagian kecil.

Saya harus bicara apa ya? Climate change? Aduh emon -.- pasti saat saya mengajukan topik pembicaraan itu semuanya langsung gelar kasur terus tidur.

Aduuuh… paham gak sih perasaan gw? huhuhuhuu….. *peluk tembok, tembok meluk balik*

Percayalah… jokes dan pembicaraan antara orang yang sudah berkeluarga, sudah fokus pada karir, dan yang sedang sekolah itu bedaaaaaa banget… sehingga memang harus menjadi bunglon jika ingin berbaur dengan semuanya. Masalahnya saya buruk sekali masalah “membunglon” seperti itu. Ah poor you emon.

Bayangkan! Di saat orang heboh dengan ruang dan waktu mereka sendiri, saya masih heboh dengan gimana ngurus visa, gimana nanti hidup saya di negeri antah berantah, gimana memahami satu bundel tebel tentang Computer general equilibrium, variabel-variabel apa yang kelak akan masuk ke dalam penelitian saya, apa kabar kucing-kucing saya di rumah…. dsb dsb…

Bayangkan! Teman-teman saya sudah berpikir nanti nikah konsepnya mau apa…. dekor kamar anaknya mau gimana…. dan saya? Saya masih kayak bocah aja, mengurus kucing-kucing saya yang sedang naksir kucing angora tetangga, dan saat ini sedang membayangkan bagaimana anak hasil perkawinan kucing saya dengan kucing tetangga.

Luar biasa, emon….

Tapi itu bukan masalah besar, setidaknya saya berpikir demikian.
Tapi ketika sahabat-sahabat saya satu per satu mulai menapaki kehidupannya sendiri, kesepian itu semakin terasa.

Ketika salah satu sahabat saya saat SMA menikah, saya mulai berpikir ya ampuuuun dulu kan kami teman segeng yang sama-sama jomblo kekal semua, dan waaaw she finally get married. Saya terharu banget 😀

Ketika salah seorang teman baik saya memberika surat undangan “Mon, dateng ya… nikahan gw sehabis lebaran ini”, waaah banyak juga yang ngasih undangan sehabis lebaran…. lalu saya bertanya lagi kenapa kok cepet banget nikahnya dan gak bilang-bilang sejak awal “Gw juga nemu dia belum lama ini, Mon… sepertinya cocok, sudahlah gw nikah aja biar ada yang ngurus gw setiap kali pulang kerja” ah hopefully…. that’s good for you.

Bahkan ketika lu melihat salah satu sahabat terbaik lu sepertinya lebih bahagia dan lebih berbinar-binar ketika dia bergaul dengan teman-teman sebaya yang profesinya sejalan dengan dia.

Saat itu kalian akan sadar, akan tiba masa ketika teman-teman terdekat kalian saat ini akan fokus pada kehidupannya masing-masing. Mereka akan memiliki pekerjaan masing-masing, keluarga masing-masing, dsb…. dsb….mereka akan begitu sibukd engan lingkup kehidupan mereka sendiri.

Hah…. well, that escalated quickly.
Sedih? Gak terlalu sih… sedihnya dikit karena ngerasa baru sadar sekarang.
Perjalanan dan waktu toh akan mempertemukan kita dengan orang-orang baru, teman-teman baru, kerabat-kerabat baru… dan saya percaya itu.

Saya hanya merasa sedikit menyesal karena kuper, saya tidak banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman saya dulu 🙁 actually I love them, walau keliatannya saya galak dan jutek…. gendut pula…. jadi keliatan serem, but I do love them and happy for them for everything they achieve.

Ah rupanya begini kesepian di tengah keramaian :’D

Yang galak yang meracau: catatan wanita cerewet tentang kampanye di social media


Mungkin seharusnya saya ketik topik ini jauuuuuuuuh jauuuuuuuh hari. Tapi ah biarlah, saya khawatir pas saya nulis lagi agak ekstrim tiba-tiba rame, dan saya dilemparin puluhan botol air mineral. Aw…Aw…Aw… ogah ah.

Sungguh, jika kalian warga negara Indonesia atau orang Indonesia asli, mungkin kehidupan kalian akan jauh lebih baik tanpa keberadaan social media. Bagaimana tidak, menjelang pemilu presiden yang bertepatan dengan semifinal piala dunia ini everybody goin’ crazy! Kasihan otak saya dan juga rambut saya yang sudah mulai rontok dan kini mulai tumbuh uban walau paling cuman 1-2 lembar, liat TV susah cari yang netral, beralih ke sosial media wuaduuuuuhhh lebih rame lagi…..kalau dunia maya mendadak menjelma jadi dunia nyata, pasti isinya dua pihak yang lagi saling lempar. Ada yang lempar tomat busuk, piring, sandal, panci, semuanya ada! Alhasil kalau mau lewat, secara apes yang terencana, benjol tidak akan terlelakan menimpa kepala kita. Begitu pula dengan saya. Saya mungkin orang yang sebenarnya paling benci dengan kampanye membabi buta di media apapun. Kampanye itu dibutuhkan, JELAS! Tapi kalau sampai memecah negeri yang awalnya adem ayem gemah ripah lohjinawi ini menjadi dua kelompok yang saling tanduk menanduk, ahahaha… sorry deh bray.

Saya kecewa ketika ada dosen yang malah lebih berfokus memaparkan kelebihan-kelebihan salah satu capres daripada memerhatikan mahasiswa-mahasiswa mereka
Saya kecewa ketika ratusan pemuda yang konon berpotensi memiliki jutaan gagasan dan ide baru yang bisa digunakan untuk membangun bangsa, bukannya sibuk membuat inovasi-inovasi baru atau heboh berjuang dalam karir dan ilmu pengetahuan, malah sibuk perang badar di social media.
DSB
DSB
DSB

Saya terkekeh-kekeh ketika di social media, orang-orang yang sama jengkelnya dengan saya sampai menulis: Pekerjaan sia-sia: menasehati para pendukung dan simpatisan capres.
Setujuuuuu! Ada juga yang senantiasa komat-kamit meminta agar 9 Juli segera berlalu, walau mungkin banyak yang sedih juga karena itu berarti salah satu antara Jerman atau Brazil harus pulkam dari piala dunia #lohkok.

Tapi ini blog saya, rugi kalau saya gak marah-marah dan mengeluarkan semua kejengkelan saya di sini.
Hei kalian para simpatisan capres dan cawapres, jika kalian mau kampanye… setidaknya jadilah orang yang memiliki pemahaman dan tata krama yang baik terlebih dahulu. Saya tipe orang yang keras kepala, semakin saya ditentang… saya semakin galak -.- jadi permisi, sekarang giliran kalian dengar saya.

Jika kalian suka membaca hal-hal tentang sufi atau yang nyerempet-nyerempet dengan itu lah, kalian mungkin kenal atau pernah dengan nama Emha Ainun Najib, saya hapal sekali dengan Beliau karena ayah saya punya puluhan buku tulisan Beliau. Dalam salah satu sarasehan dengan orang-orang di pondok pesantren yang kebetulan pernah diliput TV, Emha pernah berkata yang kira-kira seingat saya “Apa pentingnya orang-orang kok tanya saya ini masuk partai mana, ikut mahzab mana,  lha…saya bingung jawabnya. Saya mencoba berkali-kali meminta wangsit pada Gusti Allah saya harus pilih yang mana, tapi setelah dipikir-pikir ya ndak ada gunanya…. memangnya pas masuk surga Malaikat dan Gusti Allah tanya saya ikut politik dan mahzab apa, terus pintu masuk surganya akan beda gitu? Ndak tha” yah kira-kira begitu lah…

WAINI! Yak… ini dia. Hei kalian simpatisan yang udah totally lose your mind. Memangnya dengan membabi buta memberikan dukungan kepada salah satu capres yang kalian idolakan kalian akan masuk pintu surga yang berbeda dengan simpatisan capres yang lain? Memangnya nanti di akhirat sana, malaikat iseng menanyakan pas pemilu 2014 kalian pilih 1 atau pilih 2? Memangnya dengan kampanye dengan semangat 45 di social media tanpa henti, catatan amal kalian mendadak langsung berat dan siap angkat koper ke surga. Oh come on~~~~ gak gitu keleeeeuuuuz. Justru mungkin Allah lagi jengkel sama Indonesia “Ih… ini apa-apain sih hamba-Ku bukannya ngaji dan berbuat baik pas bulan ramadhan, malah berantem dan sibuk kampanye gak jelas, awas kalian semua….” Untung Allah baik kan, kalau gak? atau kemudian Allah makin jengkel? Oh sorry saya sih gak mau ngebayangin deh. Tapi hei manusia… selama kalian masih jadi makhluk Tuhan, maka bisakah kalian sopan sedikit kepada Tuhan dengan cara berbuat baik dan sebaik mungkin dalam kehidupan?

Saya juga jengah, karena semua orang kemudian mendadak menjadi komentator, syukur Alhamdulillah kalau komentarnya sesuai dengan sisi keilmuan yang mereka miliki masing-masing, lha ini kadang asal ada yang kopipas artikel2 di internet, asal cablak, atau kalau udah gak ada ide mau kandidatnya bener atau salah… huwaaaaaaa tetap dipuja puji. Lagi-lagi, sia-sia menasehati para simpatisan capres dan cawapres.

Berbulan-bulan, negeri ini menjalani hari-hari yang useless hanya karena terlalu banyak orang yang lebih sibuk mengurusi masalah copras-copres ini. Kenapa gak ada yang mikir, bagaimana cara membuat spanduk dan baliho dengan bahan yang degradable setelah 30 hari, jadi kalau masa kampanye selesai kan si baliho2 itu bisa luruh sendiri, atau mungkin bagaimana menciptakan suatu sistem intensifikasi dan mekanisasi pertanian yang aduhai sehingga bisa mengatasi masalah keterbatasan lahan pertanian di Indonesia, kalau udah ada yang punya konsep bagus kayak gini kan siapapun yang jadi presidennya kalian bisa ngasih gagasan itu DAN HEIIIII… itu jauh lebih berguna dan membantu. Atau bisa juga kalian malah mikirin bisnis yang baru, yang lebih tahan inflasi karena pas kalian memperhatikan Indonesia rupanya fluktuasi inflasinya luar biasa, capres yang kepilih sih siapa aja tapi at least kalian jadi udah punya bisnis yang oke syukur-syukur bisa membuka lapangan pekerjaan, itu lebih memecahkan masalah kan?

Lalu… manusia-manusia di Indonesia malah banyak yang hanya asik berkampanye ria di socmed, dan taraaaaaaa…. Indonesia pun tetap gitu-gitu aja, karena effort untuk memajukan negeri ini cuman segitu-gitu aja. Wah Mon, lu su’udzon banget! Mungkin, tapi coba berikan saya bukti bahwa masyarakat Indonesia sekarang, saat ini, detik ini, sedang bersemangat membangun negeri ini dengan cara yang produktif. Kalau saya hanya diberikan screenshoot social media yang penuh kampanye baik white, black, atau grey campaign hahahaha itu sih saya mau memuji juga gak, apalagi terkesan?

Saya juga benci ketika yang berkampanye malah saling menjelek-jelekan, siapapun yang terpilih nanti dia akan memimpin kita semua, dan lu mau menjelek-jelekan orang yang akan memimpin bangsa ini? Gimana kelak ketika pemimpin itu maju dia mau peduli sama Anda-Anda… sama kita semua… kalau saat ini dia melihat calon-calon rakyatnya juga banyak yang ngejelek-jelekin dia. Ya mungkin pola pikir pemimpin sejati gak sedangkal itu sih, tapiiiii…. pemimpin juga manusia, kawan! Mereka juga bisa mengkel, bisa kesel, bisa BT, bisa sakit hati, bisa! Selama kalian masih menjadi manusia dan masih memiliki sisi manusiawi, maka saya mohon dengan sangat mari memperlakukan manusia selayaknya manusia. Kalaupun gak mikir kayak gitu, setidaknya eling-eling deh kita sebagai manusia ini Tuhan ciptakan baik-baik punya akal dan pikiran untuk menjaga bumi beserta isinya dengan baik, termasuk menjaga hubungan baik antara sesama manusia.

Saya tidak melarang kampanye,
tidak melarang kalian memiliki pandangan politik,
tapi mbok ya yang agak dewasa sedikit gitu loh cara berpikirnya.

bagi kalian yang masih khusyu’ berkampanye, ini wejangan terakhir saya. Kalian jangan egois dan jangan pernah menganggap semua orang bodoh dan begitu tolol sehingga harus kalian cekoki hal-hal yang itu-itu saja setiap saat. Semua orang sudah memiliki cukup informasi dan beri mereka ruang untuk berpikir secara jernih dan objektif. Pun jika masih ada yang swing voters, biarlah ini menjadi salah satu fase mereka untuk semakin dewasa dan bijaksana… biarkan mereka mencari jalan mereka sendiri untuk menentukan pilihan, mungkin dengan shalat istikharah… mungkin dengan cap cip cup…. mungkin dengan liat mana yang paling ganteng… mungkin liat mana yang bajunya paling oke… senyumnya paling lebar… loh biarkan saja, itu fase dimana semua orang, dimana rakyat Indonesia, sedang dididik untuk semakin dewasa dalam memecahkan masalah dan menentukan pilihan.

tapi, Mon… masa’ pemilu buat coba-coba.
Okelah! terserah! Tapi jangan coba-coba merusak mindset rakyat di negeri saya yang saya cintai ini dengan kampanye-kampanye tidak bermutu dari Anda.

Saya ngomel-ngomel terus ya, hahaha iya maklum lah jomblo #eh #malahcurhat

 

Habis Gelap Terbitlah Terang [dengan cahaya lilin]: Apakah wanita tidak boleh sekolah tinggi?


“Jika kau mencintai sesuatu, seharusnya engkau berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan dan mempertahankannya bukan?Seharusnya begitu pula jika kau mencintai seseorang”

Entah ada angin apa sambil nonton film India saya bisa nulis topik sebenarnya sih udah banyak yang membicarakan ini tapi rasa2nya tetap menggelitik untuk ditulis.
Pernah denger dong konon katanya wanita yang sekolah tinggi itu susah dapat jodoh, bla…bla,,,bla…dan jujur saja saya sebenarnya tidak percaya tentang itu semua. Tapi aish… memang tidak boleh yang naif-naif banget dalam memandang sesuatu.

Suatu hari di sebuah pojok muka bumi, seorang pria dengan mata menengadah ke langit bercakap-cakap dengan temannya, “Gw jujur ada minder deketin X, gw tahu dia baik, dia perhatian ke gw, tapi pendidikannya itu loh skrng dia S2 gw masih S1 aja, apalagi kalau dia lanjut lagi waaaah makin jauh aja gw. Gw nyerah aja, dia terlalu baik untuk gw”

Di sudut lain muka bumi, seorang gadis dengan mata berkaca-kaca sudah tidak bisa berkata apa-apa, pria yang dia percaya selama ini akhirnya mengatakan “Aku gak sanggup jika pisah terlalu lama dan terlalu jauh sama kamu, aku juga jujur aja minder kalau pendidikan kamu lebih tinggi dari aku. Kamu bisa cari pria lain yang lebih baik dari aku”

Tidak jauh dari situ ada muda-mudi yang bertengkar cukup hebat, “Buat apa sih kamu sekolah tinggi-tinggi? Sampai harus ke luar negeri segala… aku ini serius. Aku cuman mau kamu gak usah jauh-jauh, cukup di rumah urus anak-anak kita nanti”

Di pojokan lain planet bumi ini, seorang wanita mengetik di blognya…merasa hal-hal seperti itu sudah tidak masuk akal lagi, dan orang itu adalah saya sendiri.

Apakah salah jika wanita ingin melanjutkan sekolah hingga ke jenjang yang tertinggi sekalipun?

Jujur saja, jika Allah mengizinkan saya ingin melanjutkan studi saya hingga jenjang tertinggi sekalipun. Saya punya banyak alasan, 1.) Ini salah satu impian ayah saya yang belum kesampaian, 2.) I’m stupid -,- karena bodoh itu saya harus terus belajar. Jujur aja saya merasa otak saya semakin lama semakin menurun kemampuannya, jadi selagi masih mau dijejelin ilmu maka mengapa tidak, 3.) I want to be a bloody cool mother for my future son and/or daughter. Alasan ketika ini juga yang membuat saya berdoa semoga di masa depan nanti ada pria yang sangat baik dan sangat pintar mau menjadi suami saya. Hahaha…. pria yang beruntung bgt kan :p beruntung karena saya gak akan berpaling tapi sial karena saya gak jago masak dan benci nyetrika :p

Saya pernah berdebat dengan seorang cowok mengenai masalah ini, saya katakan “yang akan mengurus anak itu nanti perempuan lagi, maka perempuan harus pintar sehingga kalau anaknya nanya kenapa ada pelangi maka si ibu bisa jawab proses terjadinya pelangi secara fisika bukan cuman bilang ‘yaaaa emang Allah bikinnya gitu, Nak… bagus kan’ maka masuk akal jika perempuan bersekolah lebih tinggi dan gak masalah dong jika pendidikan wanita lebih tinggi” dan tebak jawaban teman saya itu… “Yaelah, Mon… pemikiran lu itu yang terlalu jauh”

Errr… -.-

Saya juga ingin suami yang gak lemot. Bayangkan jika kemudian si anak bermain bersama ayahnya, lalu kemudian melihat roda mobil yang ada ulirnya dan gak halus mulus gitu aja. Bayangkan dia kemudian bertanya “Yah, boleh gak rodanya aku ratain aja pake apa gitu, aku gak suka bentuknya kok gak rata gini ya”…. setidaknya si ayah harus bisa menjawab dengan teori dasar gaya gesek yang mudah dimengerti bukan kemudian malah sewot dan teriak “Ehhhh jangaaaaaaaan…. kamu apa sih Nak, iseng banget”

Fair kan?
begini ya wahai para pria di muka bumi terutama yang masih lajang, oh come on… buka mata lebar-lebar… luaskan perspektif.

When a woman choose a man…. itu bukan hal mudah loh. Bayangkan seorang putri yang disayang sama Mama dan Papanya udah dapet best services di rumah, bahagia dengan keluarganya. And taraaaa she is fall in love tapi di saat yang sama dia mau meraih cita-citanya untuk menapaki jenjang pendidikan dari satu level ke level lainnya. Di tahap seorang cewek udah jatuh cinta dan menerima seorang cowok aja menurut saya itu sudah hal yang luar biasa, betapa egoisnya ketika si cowok kemudian melarang si cewek meraih apa hal yang diidam-idamkannya. Mungkin impian itu sudah lebih lama hidup bersama si cewek dibandingkan jangka waktu si cowok mengenal si cewek. Helow, Boys… please deh ah.

Dan emmm hellow girls, jika cinta itu buta maka janganlah dibutakan cinta. Tuntun cinta ke arah yang benar.. serahkan hanya pada orang-orang yang bisa memelihara itu dengan baik *gile kan kapan lagi gw nulis kayak gini*

Jujur saya muak ketika ada cowok yang bilang “Aku gak mau sama X, karena X jauh lebih baik dari aku” APAAAAAAAA????? ada beberapa kesalahan besar di sini… 1. Si cowok bagi saya keliatan loser banget, kalau memang cinta perjuangkan dong masa nyerah gitu aja. Oh jujur saja di media-media sosial banyak yang menulis status “mari memantaskan diri bla…bla…bla”, apa wanita saja yang perlu memantaskan diri? bagaimana dengan pria? gak usah memantaskan diri? ahahaa… fair play, men! fair play. 2. Jelas sudah si cowok toh gak cinta-cinta banget sama si cewek dengan alasan lihat poin pertama. Mungkin menyedihkan dan terlihat kejam, tapi mari tinggalka pria jenis ini. Hidup ini melelahkan jangan lelah dengan hal-hal lain yang tidak terlalu krusial.

Ketika wanita punya pendidikan yang lebih tinggi, bukan berarti dia jadi mahajenius untuk segala hal. Saya merasa mau belajar sampai S30 sekalipun saya masih punya penyakit gak teliti dengan eksakta, saya kalau udah malas gak bisa bergerak kayak kukang, saya bodoh setengah mati dengan aneka hapalan, zzzzz… tetap manusia penuh kekurangan. Tapi sekali lagi, ini bukan masalah menjadi paling pintar atau paling jenius… ini masalah memperluas cakrawala. Setiap orang berbeda-beda dalam memperdalam khazanah pemikiran mereka dan memperluas cakrawala mereka, beberapa langsung terjun ke bidang teknis, beberapa memilih memperdalam pendidikan mereka, dsb. saya memilih jalan kedua… saya hidup di lingkungan akademis, maka wajar jika saya kelak ingin memilih jalan akademis. Apa kemudian saya pantas sombong lalu meruntuhkan dominasi pria? Ah come on…. saya toh gak mau memusingkan itu. Saya punya ayah, saya tahu betapa berat dan luar biasanya perjuangan seorang pria dari ayah saya… maka saya tidak pantas merendahkan setiap perjuangan pria karena saya paham bahwa setiap detil perjuangan dan kerja keras pria harus dihargai.

Ketika wanita punya pendidikan yang lebih tinggi, dia akan menjadi guru yang baik untuk anak-anaknya.

Ketika wanita punya pendidikan yang lebih tinggi, mereka akan punya bargaining posisition di keluarga maupun dalam lingkup kehidupan sosial. pentingkah? Penting, untuk mempertahankan prinsip dan harga diri tanpa perlu menjatuhkan jati diri dan meremehkan kemampuan orang lain.
Intinya, itu semua untuk kebaikan banyak orang.

Baik! mungkin ada wanita yang malah jadinya sombong atau gimanaaaa~ gitu. Ya memang ada, tapi kan tidak semua. Cari yang ada iman-imannya juga lah -,-
Saya pikir selama masih punya iman dan pola pikirnya terawat dengan baik, seorang wanita sehebat apapun dia akan tetap menjadi orang yang rendah hati tapi pendidikan bisa menjaganya dari sifat rendah diri. Ah catat itu! dengan tinta emas! 😀

Jika saya bisa menulis langit, maka dengan tinta hitam legam saya akan tuliskan sekali lagi, “Jika kau mencintai sesuatu, seharusnya engkau berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan dan mempertahankannya bukan?Seharusnya begitu pula jika kau mencintai seseorang”
Jika kalian wahai pria rupanya di tengah jalan sudah menyerah mengejar wanita yang kalian sukai, well… mungkin memang benar kalian terlalu cupu untuk wanita tersebut and please stop bilang “Saya berhenti karena dia jauh lebih baik dari saya bla bla bla” ZZZZzzzzz beneran deh itu basi banget.

Mari kita tidur kalau begitu. Semoga muka bumi ini esok sudah lebih banyak dipenuhi manusia-manusia penuh semangat dan percaya diri, ah.. semoga

IPB: Institut Paling Baik! Baik sih, tapi…


Masuk IPB itu pilihan terakhir kalau tidak diterima di PTN lain! Susah keterima kerja, kalau gak susah lanjut sekolah lagi apalagi keluar negeri.

Salah satu guru SMP saya berpendapat demikian (ish… awal aja kalau anaknya nanti masuk IPB mwahahaha *siap sendok garpu*). Bahkan teman sekamar asrama saya pernah ada yang sampai menangis karena khawatir tidak akan mendapat pekerjaan setelah lulus dari IPB. Ada juga yang bilang IPB mah bubarin aja toh udah gak jelas kontribusinya pada sektor pertanian termasuk salah satunya yang nulis ini
Mungkin secara kasat mata memang benar bahwa anak IPB itu setelah lulus lebih banyak yang memilih langsung kerja bahkan kadang hantam aja di sektor-sektor yang tidak terkait dengan pertanian, beberapa langsung menikah muda. Kayaknya kok IPB itu kurang heboh ya gaung-gaungnya dalam dunia Indonesia Raya ini. Hmmm kadang mikir “iya juga sih ya”… eitsss tapi apa benar? mari kita telaah lebih lanjut.

Gini loh ya…yang perlu dipahami mungkin adalah, IPB mayoritas diisi oleh anak daerah (setidaknya ketika saya masih kuliah di situ), makanya saya bilang IPB: Institut Paling Baik… karena memang menjaring anak-anak dari daerah. Kadang saya ketemu teman dari pulau jawa aja… pas dia sebut nama daerah tempat dia tinggal saya langsung cek google maps dan taraaaa tidak ada di google maps! Asiiiing pokoknya! Apalagi kalau udah di luar jawa, owalah… luas tenan yo Indonesia iki. Bahkan dari Papua pun ada, saya sampai takjub…. saya ingat mereka pernah bilang “Ikan di jawa ini tak enak… di bumi papua ikan melimpah dan segar-segar” wuaduh….

Eh btw…btw…
Menilik pengalaman hidup saya yang pernah tinggal di desa, bisakah nalar kita semua membayangkan bahwa jangan-jangan sebenarnya kehidupan anak-anak daerah di IPB lebih berat dibandingkan kehidupan saya (kisah lebih lanjut akan saya ceritakan kemudian).

Maksud lo apa, Mon?

Begini… begini….
Kalian tahu, dalam sebuah penelitian… harga rumah kos dan jajanan kampus di IPB merupakan salah satu yang termurah di Indonesia jika dibandingkan dengan kampus lainnya. Coba kerahkan sel abu-abu kalian untuk berpikir, mengapa demikian? Karena mayoritas dari mereka berasal dari keluarga yang pas-pasan.

Siapa bilang anak IPB tidak ada yang bekerja di bidang pertanian? Oh banyak sekali, beberapa dari mereka kembali ke kampung halaman… mengembangkan pertanian di desa masing-masing. Beberapa ada yang di instansi, dan beberapa ada yang di perusahaan swasta yang bergerak di bidang pertanian. Masalahnya satu, pemahaman banyak orang tentang pertanian itu hanya sebatas cangkul…cangkul…cangkul yang dalam… padahal kalau di keilmuannya sendiri ruang lingkup pertanian itu luas sekali dan mencakup hulu hingga hilir.

Kok gak keliatan? Lha wong dosen IPB yang menemukan metode bius udang saja ndak terkenal dan copyrightnya kemudian diambil begitu saja oleh suatu perusahaan. Mahasiswa agronomi ada yang hasil tani kentangnya dibeli sama Mc Donald karena kualitasnya bagus. Pada tahu gak? Gak kan? Atau tahu tapi samar-samar kan? Di sini jelas sebuah kritik untuk IPB, hampir seluruh civitas academica-nya terlalu humble, menjurus ke malas gambar-gembor. Berulang kali saya berpikir, kenapa ya kok gitu banget makhluk-makhluk di kampus ini.Narsis dikit aja kok ya susah tenan yo. Beberapa penjelasan yang masih bisa saya pikir logis adalah, karena mayoritas dari mereka adalah anak daerah yang sudah ter-set “tidak perlu muncul” untuk beberapa hal. Kurang PD gitu… Mungkin kedepannya perlu juga nih IPB lebih gahol dan ada pelatihan semacam public speaking, table manner, dsb… biar lebih gahaaaaaar di muka bumi. Ini juga bisa jadi alasan kenapa masih ada saja kasus mahasiswa yang gak bilang ke siapa-siapa kalau mereka gak sanggup bayar uang kuliah. Budaya dan lingkungan beberapa dari mereka terkontaminasi budaya malu-malu,minder, dan pasrah begitu saja… ini yang harus jadi PR besar untuk IPB.

Iya sih gak perlu sombong, tapi gak perlu terlalu pendiam juga kali ya. Ih kadang gemes, IPB itu seperti penyanyi dengan suara emas, tapi masih malu-malu untuk naik panggung. Lha kalau gak manggung gimana orang liat kan?

Terus kenapa sih sekarang banyak anak IPB yang masuk perbankan atau publisistik, gak nyambung tau! Pertaniannya mana? IPB sekarang jadi Institut Perbankan Bogor dan Institut Publisistik Bogor, Bah!

Loh itu sih apa urusan kita? Rezeki orang bukan kita yang ngatur kan? Tapi jika menyambung analisis sebelumnya, maka bisa jadi ini ada kaitannya dengan kondisi sosial dan ekonomi dari beberapa anak daerah yang sekolah di IPB. Ingat! Budaya nyinyir di negeri ini kadang lebih tajam dari gergaji lebih ganas dari piranha. Beberapa dari mereka pasti banyak yang mendapat tekanan dari keluarga maupun masyarakat untuk segera mendapat pekerjaan dan segera mapan. Makanya sesekali jalan ke desa atau at least ke sub urban area :p kalo gak sempet baca deh sosiologi pedesaan. Di beberapa daerah dan bagi beberapa kelompok masyarakat, menjadi sarjana itu udah yang paling TOP, kece, dan aduhai… maka ketika mereka sudah lulus, tuntutannya cuman 1: cepat mendapat pekerjaan. Selesai! bukan kisah aneh kan? Ada pemikiran di beberapa bagian masyarakat, “Sekolah udah mahal-mahal kok ndak kerja-kerja? Ndak usah kuliah kalau begitu”

Kondisi ini akan “didukung” dengan background kondisi ekonomi dari keluarga orang yang bersangkutan. Nah, kalau doi dari keluarga yang pas-pasan… dia harus gimana setelah lulus? Kerja kan? Keluarganya kan bukan kuda lumping yang makan beling! Bukan juga pemain debus yang bisa telan bara api.

Sebagai pemerhati ulung, pekerjaan yang paling banyak menyerap fresh graduate dan mengambil almost all majors adalah bidang perbankan dan publisitik. Ya mereka masuk situ lah…. Salah? Loh kenapa salah…? Ini kan bukan urusan saya, bukan juga urusan Anda, ini urusan rezeki dari Allah…. ini juga masalah kehidupan dan penghidupan. Lagipula kalau kompetensi Anda baik, kenapa harus pusing dengan mahasiswa IPB yang masuk ke bidang2 tersebut. Susah amat ya damai damai aja gitu -.-

Kenapa gak bisnis di bidang pertanian aja?

Allahuakbar… kan udah dibilang secara ekonomi beberapa dari mereka mungkin mereka dari keluarga pas-pasan. Mau tani? Keluarga mereka juga jangan-jangan petani gurem, apa yang bisa diharapkan dari penghasilan petani gurem? gap harga level petani sampai pasar aja bedanya jauuuuuuh banget. Pinjam dari bank? Bisnis yang disetujui dapat kredit kan yang sudah mapan, belum lagi syarat macem-macemnya. Helow… memangnya bisnis itu cuman modal bismillah jadi. errrr… Bisnis itu butuh skill loh…

Hal di atas juga bisa menjadi sedikit jawaban kenapa kok secara kasat mata anak IPB yang lanjut ke luar negeri gak sebanyak dari univ lain ya? (secara kasat mata loh, saya tidak punya angka pasti untuk membuktikan pernyataan ini) ada 2 kemungkinan. 1. Anak IPB malas gembar-gembor (dan jujur saja ikatan alumni IPB juga makin kesini makin kurang erat, jadi publikasi prestasi alumninya juga gak [akan] terlalu heboh] , 2. Karena tuntutan kehidupan (motif sosial dan ekonomi).

Hah capek nulisnya….

Oke deh. lalu kenapa IPB kok sekarang kesannya politis banget ya dan kayak Univ,nya salah satu parpol tertentu.
Hiiih, itu sih cuman beberapa…saya gak tuh.
Saya sendiri ingin menjitak beberapa orang yang terlalu adore dengan partai-partai tertentu. Saya mah sok-sok aja, hak asasi lagi… tapi jangan di kampus. Saya mencintai dunia akademis, saya tidak rela jika dunia ini dinodai oleh kampanye terselubung parpol-parpol. Nah ini loh, saya netral kan? masih banyaaaaaak lainnya yang netral.

Nah sekarang masalah, IPB lebih layak jadi pesantren karena over religius.
Hmmmmm…. memang sih banyak yang ikhwannya ikhwan bangeeeet, begitu pula yang akhwat akhwaaaat bangeeet. Tapi jangan salah yang nyeleneh juga ada. Nih saya ini. Yang kejawen aja ada kok…. tapi yaaaa buat apa pusing-pusing mikirin masalah SARA.
Saya hanya mau bilang, sekolah di IPB itu muaaaampuuussss susahnya! Mana kalau ngulang mata kuliah transkripnya dikasih tanda bintang pula jadi ketahuan kalo nilai kita hasil ngulang. Dapet nilai juga susah….Asem lah pokoknya….Kalau gak religius di sini mah atuh bisa bunuh diri atau gila kali. Sudah ada kasus orang yang loncat dari tower, gantung diri, atau jadi gila… oooh banyak…

siapa yang bisa nenangin hati dan pikiran kalau bukan Tuhan? Siapaaaaa???? terus kasus yang terlalu ikhwan dan terlalu akhwat itu gimana. gak apa-apa… mereka ganggu Anda? gak ganggu saya juga tuh… jadi ya udah jangan saling ganggu. Masalah ruang kelas ada yang sampai dipisah ikhwan-akhwat, ya biarin aja hahahaha….bagus juga kadang, jadi yang pacaran bisa rada lebih fokus pas dipisahin. Lagian gak semua kok. Saya malah kalau bisa ikhwan-akhwat dipisah ruang sekalian, bukan apa-apa… ruang kelas di IPB banyak yang panas hahahhaha 😀

Saya tidak peduli! Pokoknya IPB lebih baik BUBAAAAAAARRRRRR!!!!!
hah? Hah? Waduuuh… kenapa? Kenapa?
Hmmm gimana ya kalo dibubarin, bakal seru kali yaaa…. saya kemudian iseng menanyakan ke adik saya yang masih kelas 1 SMA,
“Jadi ki, gimana kalau IPB bubar aja? Katanya udah gak ada kontribusi buat pertanian, bro”
“Loh fakultas pertanian kan gak cuman di IPB aja, Kak….kenapa yang harus bubar IPB. Kasian banget”
“Yeee, kan namanya aja Institut Pertanian Bogor, tolok ukur kemajuan pertanian yang dari si IPB ini lah”
“Lah.. kalau IPB tolok ukur pertanian dibubarin, gimana nasib fakultas pertanian di univ lain kan? Dan gimana nasib pertanian secara menyeluruh. Mungkin sekarang gak bagus-bagus banget, tapi kalau bubar yaaaaa makin hancur lah”

Bravooooo……! Waaah standing applause ah… Itu jawaban adik saya loh! Kelas berapa? Kelas 1 SMA! Masa iya kematangan pola pikir kita dan mempertimbangkan sesuatu kalah sama adik saya? Apalagi kalau udah menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi dari 1 SMA, gengsi aaaah 😀

Jujur saja saya tidak membela IPB sepenuhnya.
bagi saya sendiri IPB masih perlu buaaaaaanyaaaaak berbenah di bidang birokrasi…. memperbaiki mental dan kepercayaan diri beberapa mahasiswanya…. memperkuat hubungan alumni…. meningkatkan prestasi dan semakin aktif mempublikasikannya…. lebih aktif dan agak lebih agresif lagi mendorong kemajuan sektor pertanian. Wiiiiiiiihhhhhh buanyaaaaaak…. heran deh ada yang mau jadi rektor IPB, kalau saya gak mau ah, pusing hahahha.

Namun IPB tidak salah sepenuhnya. IPB berjuang untuk menjaring anak-anak daerah bahkan dari daerah yang kadang kita gak kenal judulnya apa. Berjuang juga menyediakan pendidikan berkualitas yang gak mahal-mahal banget. Kalau gak ada IPB, orang seperti ayah saya dulu dan beberapa teman saya, mungkin tidak akan melanjutkan sekolah. IPB juga sudah banyak mencetak ilmuwan-ilmuwan serta praktisi-praktisi ahli di bidang pertanian dan bidang lainnya, walau mungkin ada banyaaaaaak yang belum terlalu dikenal.

Saya hanya berharap IPB bisa memberi perhatian yang lebih baik lagi untuk mahasiswanya juga untuk negeri ini. Mahasiswa juga kalau ada kesulitan mbok yang komunikasikan baik-baik. Yaaaa semuanya, bagaimana kalau menjalankan perannya masing-masing dengan baik-baik dan sebaik-baiknya.

Jelas kan… tidak ada yang salah dalam hal ini, masalahnya tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kan kita sadar tidak sempurna, makanya terus ada perbaikan. Saya sedang memperbaiki diri, saya rasa IPB juga. Hfffttt…. long journey ya? Yup! Long journey dan akan terus berlanjut!

Salam damai untuk semuanya!

What I learn this month….


Halooooowwww pengunjung blog emonikova yang luar biasa setia walau blog saya kadang isinya gak penting hehehehe 😀

Kemanakah gerangan saya menghilang selama ini sampai gak nulis blog, dan membiarkannya berdebu? Hmmmm… saya mengurus masalah sekolah saya. Jika kalian cukup setia membaca blog saya, maka kalian pasti tahu kalau saya sudah mendapat conditional LoA dari Kyoto University, akan tetapi karena masalah birokrasi dan ehmmm finansial -.- (dimana saya harus ke Kyoto langsung untuk ujian dsb… dsb… dsb…) plus masalah otak dimana kalau saya ke kyodai saya akan masuk fakultas teknik, Ya Allah… di ekonomi aja masih suka jedot-jedotin kepala kan ini mau ke teknik?  ahahahahaha….

Sensei saya di kyodai kemudian menyerahkan saya pada sensei lain di Tokyo Institute of Technology (Titech), seorang sensei yang buaaaaaaiiiiiiiknyyyyyaaaaaa luar biasa. Sensei saya yang baru adalah head of Integrated Assessment Modeling Section di National Institute of Environmental Studies (NIES). Jika sensei saya di Kyodai adalah seorang penerima nobel, sensei saya yang sekarang adalah muridnya si sensei penerima nobel. Tapi bukan itu yang bikin saya terharu berat, saya terharunya adalah karena sensei saya yang baru baaaaaaiiiiiiik banget, dan itu membuat saya belajar dari seorang Japanese people.

Singkat cerita minggu lalu saya menjalani wawancara untuk masuk Social Engineering Department di Titech. Beberapa hari sebelum wawancara, sensei saya sangat luar biasa heboh.

“Marissa-san, have you prepare for your interview?”
“Marissa-san, if you need any data or help just ask me…”
“Marissa-san, please prepare everything. Just for a tips… don’t forget to focus to your research novelty..”
dsb
dsb
dsb

“Marissa-san, is okay if the interview is conducted in xx-xx-xxxx? If you don’t have any agenda just let me know”

Hah? saya bengong lah… kenapa Sensei yang pusing nanya? harusnya saya dong yang bilang begitu?

“It’s okay sensei. Whenever the interview will be conducted I’ll be ready. The interview itself is a pleasure for me”

Lalu dasar Japanese yang super sopan, “Aaaa… ok! I just want to listen your opinion indeed. Good luck, and see you”

Siapalah saya yang baru kenal dengan Beliau baru beberapa bulan ini, tapi rupanya kehebohan dan kepedulian Beliau udah hampir seperti dosen pembimbing skripsi saya. Beliau bahkan sampai curcol ke dosen saya kalau dia khawatir saya grogi… saya gak siap… saya blank… dsb karena yang menilai saya akan diterima atau tidak bukanlah Beliau sendiri tapi examiner yang lain. Jadilah selama berhari-hari sebelum interview saya kena gojlok dosen saya.

Saya akan ceritakan semuanya dari awal proses sampai akhir ketika nanti saya diterima di Titech dan menyelesaikan segala kehebohan di dalam negeri *including birokrasi pemberi beasiswa saya jika saya gak switch ke beasiswa monbukagakusho*

Langsung saja ke hari-H pas wawancara!
Wawancara harusnya berlangsung via skype, menghubungkan Indonesia-Tsukuba (tempat sensei saya)- dan tokyo (tempat si titech berada). Saya yang menyadari kekurangan saya tentu prepare well segala hal yang saya pikir perlu dipersiapkan. Saya belajar cukup gila-gilaan, saya udah sampai ganti slide power point 5x karena diedit dan dikritik habis-habisan sama dosen saya! Saya ini gak pintar, makanya harus berjuang agak lebih keras dibandingkan siapapun.

Saya bahkan sudah sedia white board kalau-kalau power point saya kurang lengkap (dan kalau-kalau penyakit nervous hinggap dan saya lupa vocab)
Image and video hosting by TinyPic

Jahatnya lagi saya malah pakai mahzab-mahzab Stiglizt, Mankiw, Nicholson, dsb buat menopang si whiteboard *bukan menopang ilmu gw yang masih mepet hahahahahah*
Image and video hosting by TinyPic

karena saya bener-bener gak mau telat, I want my interview become a great day… saya pun pake baju yang kece. Mentang-mentang judul tesis tentang Green House Gases Emission, saya pun tanpa sadar pakai baju serba ijo.
Image and video hosting by TinyPic

I like my jilbab color hahahaha

Jika kalian perhatikan baik-baik kalian pasti nyeletuk, WHAT THE HELL emoooon…. kenapa pake modem? Pake wifi IPB kenapa?
Okay… saya sudah cek koneksi 3 hari sebelum wawancara, dan koneksi internet IPB SUPEEEERRRR BUSUUUUUK, selidik punya selidik memang sedang ada perbaikan (lagi?) saya akhirnya pakai modem. Jangan tanya deh berbagai operator saya pake. Tapi mungkin kalian sudah mengira akan akan masalah koneksi, dan itu benar-benar terjadi…

Ketika wawancara berlangsung, sewaktu saya koneksi antara saya dengan sensei saya di Tsukuba, semua malah lancar. Tapi waktu dikonek juga ke Titech…. jebreeeeet! Skype mati… saya gak bisa konek sama sekali. Saya mulai panik. Sensei saya bilang ke dosen saya (yang kebetulan sedang training di Tsukuba) bahwa saya tidak online skype lagi, dosen saya langsung message saya di facebook, dan saya panik… kok bisa? saya online sejak pagi! SEJAK PAGI… air mata saya mulai menetes… tapi kalah deras dengan keringat dingin. Lebih parahnya lagi, saya kemudian tidak bisa mengangkat telepon dari sensei saya. Akhirnya sensei saya menulis e-mail “I hope you’re okay… I’ll conduct the interview by phone not by skype, don’t worry about it. Just wait my phone call”

Akhirnya… setelah capek dan heboh ngurus ini itu…akhirnya interview bakalan pake telepon. Saya mencoba menenangkan diri, “Mon… lu sudah berjuang hingga sejauh ini… jangan menyerah. Air mata bikin muka lu keliatan makin bulet” Oh okay… saya pun mengangkat telepon dari sensei saya sambil tersenyum.

Alhamdulillah… saya bisa menjawab sebagian besar pertanyaan yang ada. Hahahaha agak aneh wawancara via telepon. Apalagi rupanya Sensei-sensei yang jadi examiner saya gak bisa bahasa Inggris, alhasil saya mendengar Sensei saya jadi penerjemah. Saya pikir terjemahan sensei saya lebih bermutu dari jawaban saya hahahahhaa… kita kan gak tau ya.

Lalu interview pun berakhir…. “We’ll announce the result, Marissa-san… there will be a professor meeting in Titech on January, if you accepted we’ll send you the LoA from Titech. Thank you”

Saya pun menutup telepon… ambil Al-Quran, dan aduuuuh…. ngerasa bersalah banget ke Allah, udah terjepit aja baru inget Allah. Huwaaaaaa…. Allah, maaf ya…

Beberapa menit kemudian Sensei saya menelpon lagi.

“Marissa-san, are you okay? Sorry for technical problem today” Aduuuuh kebiasaan deh, ini kan jelas kesalahan saya. Koneksi internet yang naik turun… arggghhhh “No, Sensei… it’s my fault. I’m not prepare the best internet connection”

“Actually Marissa-san, would you mind to continue your study untill PhD degree… I think you are eiger to continue your study. I mean… we can find the way if you want to study here from master untill PhD degree”

“Of course, Sensei… If I have a chance… why not? I have a dream to be a great humble researcher, if you think that will be good for me” jawab saya

“yes… I think you can. Your research actually need deeper understanding. It will be better if you learn more in PhD degree”

“But there are no integrated doctoral program in Social engineering”

“But you can try, Marissa-san. You’re right… there are no integrated doctoral program in our department. But if you good enough… we can  recommend you for doctoral program. Marissa-san, you have work hard for all of this, you should get what you want. I know that some people also hope much from you, so make them proud with do your best. I know that you will learn the subjects when you come here and study for master course. But I hope you can learn the subjects from now. It will be very tiring Marissa-san, but when you reach your dream, everthing are paid”

Saya pun terharu…

Coba
Coba
Coba
Orang yang punya hati pasti terharu kan kalau orang asing, yang belum kenal kita, yang belum ngeh siapa kita, kemudian bertindak sebaik hati itu. Beliau benar-benar menjadi guru saya. Belum kenal dekat, tapi rasanya seperti sudah menjadi guru saya selama bertahun-tahun. Saya beruntung karena saya kemudian bisa bertemu Beliau yang begitu menghargai setiap impian saya. Gak sekali dua kali kita bisa ketemu orang seperti itu.

Dosen saya yang di dalam negeri aja *di luar dosen pembimbing dan promotor saya tentunya* belum tentu akan ngomong kayak gitu. BELUM TENTU.

Sedikit lebay ya, tapi saya sampai terharu total hahahahaha.

“Marissa-san, are you still there?”
Waduuuh… telepon masih nyambung.
“Actually Marissa-san, like I said that the official announcement will be on March or maybe sooner. I don’t know, it depends on admission office. But let me tell you, the professor said ‘it’s okay’. Just pray hard now… I hope everything will be okay and I can see you soon”

Huwaaaaaa….. baik banget kan.
Kalau ada cowok sebaik itu… pintar, baik hati, gak neko-neko, udah saya pacarin kali *salah fokus*

Namun ada banyak hal yang saya pelajari, bukan hanya masalah jadi orang pintar itu harus humble, tapi juga bahwa setiap manusia senang ketika seluruh jerih payahnya dihargai…. bahwa setiap manusia senang ketika setiap impiannya didukung.

Perjalanan saya masih panjang, benar kata sensei saya “Now, just pray hard and study hard” apa lagi kan ya?
Namun apapun yang terjadi, saya benar-benar senang bertemu dengan sensei saya. Dulu salah satu pengunjung blog ini sekaligus teman saya dari SMP, Uswah, pernah bilang “Tenang, Mon… nanti juga akan ketahuan dan bilang ‘Oh pantes ya kenapa Allah bikin harus begini… harus begitu…’ Percaya deh” and YES! saya percaya itu. Thanks Uswah… your baby will be as kind as you, hopefully 🙂

Saya juga ingat ketika Tiko ngomong, “Mon, yang penting dalam hidup ini lu jadi orang baik, karena dengan itu Allah akan mengutus orang-orang baik buat membantu lu kelak atau setidaknya lu akan dikelilingi manusia-manusia baik yang akan nyemangatin lu” and Yes! saya membuktikan itu. Entahlah apa jadinya saya tanda adanya orang-orang baik di sekitar saya, dan apapun yang terjadi…. bertemu Sensei saya saja saya sudah senaaaaaaaaangggg sekali. Ya ampun, kayaknya dunia punya harapan gitu loh, orang baik rupanya masih jadi spesies di muka bumi ini.

Saya ingat ketika Mama saya bilang, “Kak… Allah itu Mahakaya dan gak pernah ngutang. Mama percaya, perjuangan kakak akan dibayar kelak oleh Allah. Percaya deh”

Saya ingat ketika adik saya bilang, “Kakak… jangan cupu. Takut buat ngehadapin masa depan itu cuman buat orang cupu. Kakak cupu gak? Kalau gak…. majuuuuuuu!”

Saya ingat ketika ayah saya bilang, “Kelak… buatlah dunia yang bangga dengan apa yang kamu perbuat. Berbuat baik pada apa yang ada di langit dan di bumi, maka semesta ini akan berbuat baik kepada kamu”

Saya ingat kalian semua… dan itu membuat saya bertahan untuk menghadapi segala hal.
Dengan ini saya ucapkan: Terima kasih.

Just wish me luck 🙂