Ramadan dan Ibadah-Ibadah Setengah Hati : Sebuah Refleksi


Aku menghaturkan jutaan permintaan kepada-Mu.
Mempertanyakan mengapa enggan Kau segera menjawab pertanyaanku.
Tiba saat Kau memintaku untuk mengingat-Mu di tiga puluh hari,
Ah… rupanya lidahku saja kelu menyebut nama lengkap-Mu,
Rupanya aku lupa membaca ratusan lembar surat cinta-Mu padaku

Di balik setiap doaku, tersimpan banyak ego yang semoga bisa termaafkan.

– Ramadan dan Ibadah-Ibadah Setengah Hati (2022)

Halo sobat santanku yang super, yang pastinya berhasil menurunkan 2 kg selama puasa dan bertambah 3-5 kg selama lebaran. Sungguh makanan bersantan itu gokil sih. Tapi tidak apa-apa lah, wong lebaran kan cuman 2 kali setahun: Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Idul Adha. Paham juga sih, kerena setelah si covid yang bikin banyak jiwa sepi dan terjebak gak bisa ketemu keluarga, akhirnya bisa mudik… merasakan ketupat dan sidangan santan buatan Mama. Apalagi kalau kalian seperti saya, Mama saya punya tangan ajaib yang bisa membuat makanan jadi enaaaaaak banget. Kadang kalau pulang, cuman makan sop sama sambal goreng aja udah hangat banget, berasa hangat sampai ke hati. Ini terbukti secara sah dan meyakinkan karena adik saya yang selalu tinggal sama Mama sekarang badannya gede banget karena sudah beralih fungsi menjadi sous-chef dan tim icip masakan. Apalagi lebaran, masakan bersantan itu memang gurih dan kalau jago masaknya, bisa bikin kita semua ketagihan. Jadi well… mari kita pasrahkan saja berat badan kita gara-gara aneka santan yang aduhai itu. Tidak apa—- tidak apaaaaa apaaaaaa…. (sambil nangis di atas timbangan).

Tapi ada hal yang membuat saya, yang sudah semakin tua ini, sedih dan miris. Puasa tahun ini berasa cepet banget, iya gak sih? Apa cuman saya aja….
Tahun ini, kalau beberapa orang di medsos bisa bangga menunjukkan achievement ibadah mereka, maka buat saya sih… duuuuh tengsin men! Tengsin!

Bagaimana tidak? Mari kita telisik satu per satu, yang jelek-jeleknya aja ya. Mulai dari baca Quran yang, tentu saja, tidak intense. Dan shalat tarawih pun, semua di rumah sendiri. Yaaa seperti hari biasa aja, sibuk dengan rutinitas duniawi.

Nah jangan kalian pikir manusia-manusia duniawi seperti saya ini gak sadar kalau intensitas iman kami tuh ‘meh’ banget. Saya yakin kok, dalam hati kecil tuh ada rasa “Gak boleh, harus ada yang gw perbaiki nih.” Dan percayalah podcast dan acara-acara religi yang tipis-tipis bahas atau diskusi terkait agama itu membantu banget buat manusia modelan begini. Hingga kemudian saya sampai ke sebuah konten di youtube, yang sebenarnya untuk kemasanan komedi, tapi cukup menarik. Judulnya “Pindah Arah”, sebuah acara yang disiarkan oleh Comedy Sunday dan menceritakan perjalanan spiritual orang-orang yang mengubah kepercayaannya. Nah! Yang menarik, ada yang pindah dari agama minoritas ke mayoritas, dan ada juga yang sebaliknya. Dan acara ini, secara mengejutkan, sangat menarik dan memotivasi. Loh?

Iya… karena rupanya hati itu begitu mudah aja dibolak-balik. Rupanya gak ada yang terlalu kecil atau terlalu besar ketika itu perkara keyakinan. Ada loh yang berpindah keyakinan, hanya karena pas parkir di depan gereja, eh loh kok gereja ini bikin tenang ya. Ada yang kemudian liat orang-orang tarawih, eh kok seneng ya ada masa ketika terus komunikasi sama Tuhan. Ada yang merasa shalat, rupanya adalah metode meditasi yang paling efektif, simple, dan menenangkan.

Sungguh, saya sebagai Muslim veteran tidak henti-hentinya mempertanyakan “Ah masa sih?!”

Lalu tibalah satu episode yang benar-benar inspiring! Mari kita lihat.

Masnya punya permasalahan bahwa, “Kok pas shalat belum merasakan secara penuh kehadiran Allah ya?”
Mas, jangan khawatir… SAYA JUGA BEGITU. Jangankan pendatan baru, ini Muslim veteran loh, masih merasakan hal yang sama. ASTAGFIRULLAH.

Saya kemudian memutuskan mencoba apa yang Mas-nya coba: Shalat secara lebih perlahan.
Sesuatu yang kalau di kamus kami para Muslim disebut tuma’ninah. Tapi tekad saya adalah, lebih dalam dalam proses shalat ini. Ya plis aja, gengsi dong kalah sama pendatangan baru, yakan. Iman boleh naik turun, tapi gengsi terus on.

TEBAK APA YANG SAYA TEMUKAN?

Saya bahkan sadar bahwa bacaan shalat saya selama ini banyak yang tidak becus. Coba deh kalian yang Muslim, nanti suatu waktu, shalat…. konsentrasi dan dengarkan baik-baik bacaan kalian sendiri. Untuk saya? Saya menyadari begitu banyak bagian yang tabrak lari, tidak peduli makhraj, dan saya kok khawatir jangan-jangan ada baris-baris yang terlewat selama ini? Belum lagi perkara surat-surat pendek yang pas di-review ulang “Loh kok loh kok, kok makin sedikit ya hafalannya” Itupun saya ragu dengan kebenaran bacaannya.

Itulah malam dimana saya memutuskan, saya akan kembali ke Quran. Itulah malam ketika, saya bilang ke diri sendiri, “Oke, lo banyak salah, tapi setidaknya lo harus shalat yang bener.”
Dan di malam itu juga, saya memutuskan untuk kembali mencoba sekuat tenaga untuk menghafal Quran, tekad saya sederhana, Juz 30 + Ar-Rahman. Saya sadar diri kok kemampuan otak dan persistensi saya tidak bisa disamakan dengan ayah saya yang dulunya anak pesantren. Tapi kayaknya keterlaluan banget kalau shalat gak cantik dan all out, karena itu aja ibadah yang bisa diperjuangkan untuk terus dilakukan dengan sebaik mungkin di tengah hiruk pikuk dunia dan kesibukan berburu harta benda. Karena saya suka sekali menulis, saya sampai bikin jurnal untuk mencatat progress hapalan saya. Tidak usah kagum saudara-saudara, jika kalian sudah kepala 3, kapasitas otak kalian mulai berkurang aja karena sibuk memikirkan aneka keruwetan di planet bumi. I am so damn serious, Man! I am so damn serious!

IMG_9904

Entah apa indikator keberhasilan dari hal ini ya, tapi setelah itu, hati lebih tenang… tanpa perlu keluar uang untuk sesi yoga dan meditasi. Oh ya, untuk saya pribadi, I stopped scrolling around my social medias. Lebih memilih untuk kerja, baca buku, gambar, atau masak. Jangan-jangan, ini jangan-jangan loh, kita ini terus terpaku pada media sosial karena kita punya banyak keresahan dan gak ada media untuk menuntaskan, atau setidaknya mengurangi, rasa resah itu. Jangan-jangan kita itu kurang produktif karena, kualitas ibadah kita, terlepas dari apapun kepercayaan kita, memang busuk aja. Kita gak ngerasa aja….

Kali ini saya tulis ini semua di blog, supaya saya ingat atas kelalaian saya ini, dan supaya saya punya tanggung jawab untuk terus mempertahankan tekad untuk jadi sedikit lebih baik dalam beribadah.
Saya itu masih punya banyak ambisi dan keinginan, tentunya akan ada banyak doa-doa yang akan saya utarakan. Nah ya kok masa’ yang meminta kemudian tidak berusaha untuk mengenal dan mendekati Sang Maha Pemberi, kan gak etis 🙂 iya toh?

Terima kasih Mas-Mas pendatang baru dan Comedy Sunday, perjalanan spiritual setiap orang memang beda-beda, saya… rupanya harus lewat jalur youtube dulu.

Selamat hari raya Idul Fitri, dan moga kita cerita lagi di Ramadan selanjutnya.

Untuk versi podcast dapat didengarkan di sini 🙂

Toxic Masculinity: Sudahkah kita memperlakukan pria dengan baik?


Maaf-maaf-maaf, terjadi banyak kekacauan dan kesibukan di dunia nyata yang membuat tante harus undur diri sejenak dari dunia maya 😀

Baiklah, mari kita bahas hal-hal yang menarik dan agak-agak nampol di kepala. Jadi beberapa waktu yang lalu saya baru selesai membaca, eh denger deh, sebuah buku yang judulnya “For the Love of Men” tulisan seorang wartawan bernama Liz Plank. Cukup menarik sih, karena membantu kita untuk melihat dari berbagai perspektif.

Nah jika kalian para wanita suka merasa “Duh kok ini cowok-cowok kok sulit banget dipahami.” Mungkin emang benar, dan itu semua karena lingkungan membuat stigma bahwa share the feeling, berbagi perasaan, curhat, adalah hal yang lebih feminim dibandingkan maskulin. Padahal, kebutuhan akan validasi perasaan dan pemikiran itu adalah kebutuhan manusia, tidak peduli gendernya apa.

Nah, stigma-stigma yang seperti inilah yang kemudian disebut: Toxic Masculinty.

Nah, sebelum kita tersesat lebih jauh, apa sih toxic masculinity? Dilansir dari healtline.com, …“toxic masculinity is an adherence to the limiting and potentially dangerous societal standards set for men and masculine-identifying people.” Intinya, standar-standar sosial yang mendefinisikan maskulinitas. Gak boleh nangis, gak boleh terlalu warm, gak boleh terlalu ramah, gak boleh curhat, gak boleh suka warna pink, gak usah masak ato belajar masak, dan sebagainya. Pokoknya, pria, diharuskan untuk selalu kuat secara mental dan fisik. Kalau kemudian capek dan nangis langsung dijudge “waaah lemah lo!” padahal kan sedih, dan aneka pergolakan emosi lainnya, bisa dirasakan oleh siapa aja.

Hal itulah yang membuat WHO sampai turun tangan dan bilang bahwa angka harapan hidup pria lebih rendah dibandingkan wanita. Saya kemudian membaca blog tulisan Dr. Robert H. Shmerling, MD, Senior Faculty Editor, Harvard Health Publishing, dan Beliau udah bilang ke istrinya kalau dia kayaknya bakal mangkat lebih duluan dari istrinya:

“I knew that, on average, women live longer than men. In fact, 57% of all those ages 65 and older are female. By age 85, 67% are women. The average lifespan is about 5 years longer for women than men in the U.S., and about 7 years longer worldwide.”

Pertanyaannya kenapa? Karena pria lebih mudah terserang stress, lalu akhirnya ada yang sakit, ada yang cari pelarian dari hal-hal ekstrim, dan ada juga yang bunuh diri. Sound stupid, apalagi bagi saya, karena saya sih tau banget hidup ini sulit dan gila ya. Tapi when life gives you lemon…. yaaaa udah nangis dulu sehari-dua hari, curhat ke random friends, atau main sama kucing, lalu kemudian maju jalan lagi! Apakah curhat dan nangis-nangis sampe ingusan itu menyelesaikan masalah? tidak! Tapi itu rupanya membuat mental kita lebih siap aja menghadapi realita. Dan ketika kita lebih siap, kita menjadi lebih kuat. That’s how strong women could be.

Nah ini yang seringkali tidak dinikmati oleh para pria yang boro-boro curhat, untuk nangis aja kadang gengsi. Nah seketikanya harus curhat, sukur-sukur ada yang mendengarkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Kebanyakan malah “Ah elo…. gitu doang aja. Cupu ah.”

Hal itu rupanya semakin merembet ke hal-hal yang lebih besar. Dalam buku “For the Love of Men”, si penulis bilang bahwa selama proses dia menulis buku, dia mewawancara beberap orang pria dan para pria ini banyak sekali yang menyembunyikan fakta ketika mereka merasa dilecehkan secara seksual. Mengapa? Karena ketika mereka kemudian curhat tentang ketidaknyamanan yang mereka rasakan, termasuk pelecehan seksual yang mereka alami, mayoritas respon yang mereka dapatkan adalah “Ah gitu aja, kamu kan cowok, lawan lah.”, “Masa’ gak bisa lawan?”

Padahal sih harusnya speak up, biar yang melakukan tuh sadar yang mereka lakukan itu busuk. Jadi inget kasus “rahim anget”, yang mohon maaf, menurut saya kok jijik ya. Kita sebagai wanita kan lebih bangga ketika dilihat secara pemikiran, secara kecerdasan emosional dan intelektual. Saya sih males banget kalau saya achieve sesuatu, terus penghargaan yang saya dapatkan menjurus ke hal-hal seksual. Naaaah…. dulu pernah nih ada pebulu tangkis yang kece sih emang, dan staminanya emang kuda. Namun alih-alih penghargaan pada kekuatan fisik dan kecerdasan strateginya, yang banyak muncul malah kaum-kaum “rahim anget.” Dan pada gak terima kalau kemudian ditegur.

Oh ya, kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah instansi baru-baru ini juga, sama….
Ketika melapor malah kembali dipertanyakan “Loh kenapa gak bilang dari dulu-dulu?” dan malah kemudian diancam untuk dirumahkan.

Hal ini kemudian semakin rumit, karena, kalau kata buku ini, pria cenderung punya ekspektasi dan pengharapan yang tinggi pada dirinya. Nah, ketika kemudian dia gagal, maka orang yang pertama kali menyalahkan mereka adalah…. siapa lagi kalau bukan… diri mereka sendiri. Jika kemudian orang lain ikutan menyudutkan dan menyalahkan si Mas-Mas malang ini, maka itu akan jadi semacam validasi “Tuh kan gw salah.”

Hmmmm…. pendek kata, selain keras kepala… kayaknya para pria ini juga keras hati :’)

Hal ini yang mungkin menjelaskan kenapa sosok “ayah” di dalam keluarga selalu menjadi salah satu yang bikin kita suka naik darah. Berulang kali saya selalu dapat curhatan
“Bapak gue udah sakit-sakitan, Mon… udah gue suruh berhenti kerja aja. Diem deh diem di rumah. Apa susahnya sih?”
“Ya ampun Mon, ya masuk rumah sakit lah, wong maksain diri. Pake acara gak bilang-bilang kalo ada penyakit pula.”

Dan berulang kali juga saya bilang “Udah…. sabar, biarin aja Beliau mau nyobain apa. Tapi lebih dijagain aja.”
Dan berulang kali juga itu menjadi boomerang, dan mereka pasti akan bilang “Mon, gak gitu… lo gak ngerti…..”

Mungkin iya, tapi jangan lupa juga kalau pride seorang ayah adalah menjaga keluarganya sebaik mungkin.
Dan percayalah, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika dulu ayah saya sakit.

Saya sedih, laki-laki yang paling saya sayangi di muka bumi ini terkesan memaksakan diri. Padahal saat itu, di kepala saya “udah…udah…. hidup aja, selama mungkin.” Saya kesal juga karena saya merasa ayah saya tidak memahami rasa khawatir dan sedih saya. Yang saya belum pahami saat itu, mungkin orang yang paling sedih adalah Beliau, karena merasa tidak berdaya dan malah membuat orang-orang disekitarnya sedih dan khawatir.

Semua orang bersedih, dan tidak ada gunanya untuk saling keras kepala memperdebatkan siapa yang paling terluka.

Nah, jadi, untuk kalian yang masih punya ayah, biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Support them. Ingatkan untuk hati-hati dan jaga diri. Puji mereka ketika mereka bikin sesuatu, seremeh temeh apapun itu.

Dan buat kalian yang mau jadi atau udah jadi ayah, jangan biarkan keras hati dan kepala kalian menyakiti orang-orang yang sayang kalian. Di muka bumi yang kejam ini, ada manusia yang kemudian memilih kalian jadi kepala keluarga. Maka mereka, sudah pasti, orang-orang yang siap mendengar dan berjuang bersama ketika ada suatu permasalahan. Jangan dipendam sendiri.

Kembali lagi ke topik kita. Saya sungguh mendukung kesetaraan gender, namun kesetaraan gender itu apa? Feminisme itu apa? Mengagung-agungkan wanita namun kemudian mengesampingkan keadilan dan perasaan para pria? Kan lucu dan blunder jika mencap diri sebagai feminis, namun malah lupa tentang hak asasi manusia. Dulu pernah, di sebuah grup yang saya ikuti, ada perdebatan panjang maha tidak berguna tentang sebuah lowongan pekerjaan yang hanya meminta satu orang pria untuk posisi tersebut. Pengirim lowongan sudah menjelaskan, bahwa di divisinya, hampir semua anggotanya wanita, sedangkan ada beberapa pekerjaan yang mungkin lebih efisien jika dibantu pria. Yang namanya emak-emak kan sore mungkin harus pulang cepet untuk masak, jemput anak, dsb. Sesuatu yang saya rasa bisa dipahami.
Dan kemudian perkara itu diperdebatkan sampai mati antara feminis vs non-feminis.
Pertarungan silat lidah dan argumentasi itu hanya berputar-putar di perkara “Kok gak boleh perempuan.” yang bagi kami yang malas “Lah, kan sudah dijelaskan.”
Dibalas dengan jawaban jitu “Memangnya wanita tidak layik bekerja.”
Kalau mau adu bodoh-bodohan, maka bisa saja kita balik pertanyaan tersebut “Memangnya pria tidak layik bekerja?”

Bukankah beban sosiologis dan antropologis pria, setidaknya pada masyarakat kita, lebih berat karena dituntut untuk membiayai keluarga, punya pekerjaan tetap, dsb dsb dsb dsb dsb. Dan jika mau sedikit berbaik sangka, bagaimana jika pria yang diterima untuk posisi tersebut adalah anak baik, yang uang gajinya diberikan untuk ibunya di rumah…. atau untuk keluarga kecil barunya?

Mengapa, sungguh sulit, bagi manusia untuk berbaik hati dan berbaik sangka?

Tidak ada yang tahu akhir pertarungan tersebut, karena pada akhirnya mayoritas keluar grup atau ganti e-mail. Jadi mohon maaf, memang ceritanya berakhir di situ saja.

Akhirul kalam, Mama saya selalu bilang “Orang itu bisa jahat mungkin karena pernah diperlakukan tidak adil atau tidak menyenangkan. Hati mereka luka, terus mereka jadi tidak percaya pada orang lain dan tidak peduli ketika menyakiti orang lain. Jadi, ketika kita ketemu orang yang baru, senyum aja…. berbuat baik aja…. karena siapa tau itu bisa melembutkan hati mereka.”

Maka bukankah pria, sama halnya seperti wanita, adalah manusia? Maka bukankah kita perlu memperlakukan pria sebagaimana kita wanita ingin diperlakukan. Dilihat serta diperlakukan dengan penuh rasa hormat.

Saya Tante Emon, ketemu lagi di cerita lainnya.
terima kasih.

[Emonikova Investigasi] Tidak perlu marah-marah ke Bloomberg: Membaca hasil kalkulasi Bloomberg terkait penyelesaian kasus Covid di Indonesia


Saya sungguh tidak percaya bahwa harus secepat ini mengeluarkan artikel Emonikova Investigasi. Tadinya tuh mau ngobrol santai tentang buku atau film seru yang bisa dicoba menemani hari. Atau bahas tentang pelajaran Bahasa saya yang mentok-mentok itu. Eh… ada berita Bapak Moeldoko yang sepertinya tersinggung dengan hasil perhitungan Bloomberg yang memprediksikan Pandemi di Indonesia akan berakhir kurang lebih setelah 10 tahun.

Saya kemudian mencari-cari publikasi yang dimaksud, dan membacanya seteliti mungkin. Sebagai peneliti, saya rasa tidak perlu ada yang tersinggung, apalagi menyuruh Bloomberg untuk belajar ke negeri oki dan Nirmala.

Justru kita yang harus belajar cara membaca hasil suatu penelitian.

Saya percaya Pak Moeldoko begitu sibuk mengurus negara yang indah ini,  mana sempat membaca semua hasil riset di muka bumi ini. Saya juga jadi agak sebal dengan jurnalis, yang saya bayangkan pertanyaannya berkisar “Pak, kata Bloomberg, Indonesia baru beres pandemi 10 tahun, Pak. Bagaimana menurut Bapak?”
Ya Bapaknya langsung kaget lah, dan respon yang wajar sih menurut saya. saya juga kalau jadi Beliau bakalan misuh-misuh, apa maksudnya Bloomberg ngomong gitu. Apalagi Bapaknya dulu orang militer. Ya darah menggelegak lah.

Tapi rupanya Bloomberg tidak berbicara SEGITUNYA loh Sodara-Sodara!

Seperti biasa, saya tidak bisa membiarkan masyarakat Indonesia, emm setidaknya followers saya di media sosial, tidak teredukasi dengan baik, maka saya yang akan menerjemahkan hasil penelitian Bloomberg agar lebih mudah dimengerti oleh kita semua. Supaya kita gak gampang emosi, dan malah menurunkan imun tubuh.

Untuk kalian yang kepo, kalian bisa mengunjungi hasil perhitungan Bloomberg terkait pemberian vaksin ini di internet. Cukup ketikan kata kunci covid vaccine tracker global distribution Bloomberg di mesin pencarian kalian. Nah pasti ketemu tuh.

covid

Laman tersebut hanya memberikan hasil perhitungan Bloomberg terkait sebaran dan kecepatan pemberian vaksin di seluruh dunia. Dengan data tersebut, Bloomberg memproyeksikan seberapa lama sih vaksinasi ke 75% populasi seluruh negara bisa tercapai, dan seberapa lama suatu negara bisa meraih herd immunity.

Nah penjelasan pendukungnya, bisa dibaca di artikel lainnya yang terkait.
Saya membaca prognosis “When will life return to normal? In 7 years at today’s vaccine rates.”

covid2

Karena biasa membaca jurnal, membaca artikel ini sih respon saya hanya “Ooooooooh….” Karena Bloomberg toh membeberkan keterbatasan studi mereka

“Bloomberg’s calculator provides a snapshot in time, designed to put today’s vaccination rates into perspective. It uses the most recent rolling average of vaccinations, which means that as vaccination numbers pick up, the time needed to hit the 75% threshold will fall. “

Bloomberg Covid-19 Tracker

Mereka juga bilang

“The calculations will be volatile, especially in the early days of the rollout, and the numbers can be distorted by temporary disruptions.”

Tom Randall- When Will Life Return to Normal? In 7 Years at Today’s Vaccine Rates (Bloomberg)

Nih kalau gak paham Bahasa Inggris, kebiasaan orang Indonesia juga kan suka males kalau artikel tuh bukan Bahasa Indonesia. Artinya, rate ini dihitung linear saja, dengan menggunakan rate vaksinasi saat ini. Ya wajar lah hasilnya sampai bertahun-tahun, wong semua negara masih dalam tahap awal vaksinasi. Ya kan?

Karena data yang terbatas, ada beberapa negara yang rate vaksinasi hariannya mengalami trend stagnan bahkan penurunan. Makanya kemungkinan over-estimated-nya gede banget. Contoh untuk perhitungan Canada, mereka juga diprediksi jika masyarakatnya mencapai herd immunity itu sekitar 7 tahun. Nah gak jauh beda sama Indonesia toh? Kenapa? Karena pada saat periode perhitungan, Canada sempat mengalami kendala logistik.

Nih biar kebayang, misalnya sample yang diambil selama 1 minggu nih. Nah pas lagi periode observasi di Canada, di 3 hari pertama vaksinasi lancar jaya, eh 4 hari kemudian eeeh ada longsor, badai salju, dsb gak ada vaksinasi toh? Masa ada yang mau vaksin pas badai salju.

Jika kemudian jumlah vaksinasi Canada sebenarnya 100 dosis perhari, maka kalau 1 minggu idealnya mencapai 700 dosis toh (termasuk weekend, jadi 7 x 100). Naah gara-gara gangguan logistic, dalam seminggu itu Canada cuman berhasil kasih vaksin 300 dosis (karena efektif ngasih vaksin selama 3 hari). Namanya statistik, ya gak pake tendeng aling-aling, tetep aja yang diambil nilai rata-rata pemberian vaksin selama waktu observasi. Ya jadinya kecil banget ratenya. Yang harusnya 100 dosis/ hari eh jadi kehitung sebagai 42.9 dosis perhari. Jauh toh? Ya iya… memang! Dan itu sudah disebutkan oleh Bloomberg sebagai keterbatasan mereka.

Namun apakah Pak Justin Trudeau ngamuk ke Bloomberg dan bilang, “…Bloomberg, sini sampeyan belajar dulu ke Canada.” Kan gak… karena memang bukan hal yang perlu diperdebatkan. Jadikan bahan muhasabah aja, “Oh iya juga ya, kalau pace kita segini keteter sih emang sih.”, “Duh kalau ada gangguan logistik lagi, kelar sih kita.”

Kalau misalnya kemudian tiap negara bisa mempercepat pacenya, ya Alhamdulillah…. Itu yang diharapkan kita semua, termasuk Bloomberg.

Selain itu, mereka menyebutkan, tidak memperhitungkan populasi yang punya natural immunity karena sempat terserang covid, anak-anak, dan lansia. Jadi dipukul total rata aja total populasi.
Walhasil rate vaksinasi berbanding lurus dengan jumlah populasi, iya toh?

Nah ini gimana nih Indonesia. Kok ya bisa 10 tahun? Dari data Bloomberg. Sejauh ini, baru 0,3% populasi yang dapat vaksin dosis pertama, dan 0.1% yang dapet dosis kedua. Populasi Indonesia ada 270 juta orang. Coba ya kita hitung kasar, kalau ratenya vaksinnya 0.1% per hari aja. Yang kelar vaksinasi butuh 1000 hari, itu udah hampir 3 tahunan gak sih? Nah….itu belum nunggu sampe ngebentuk immunitynya. Emangnya setelah divaksin langsung jadi iron man gitu? Kalau mau kayak gitu makan odading mang Oleh aja.

Ini juga salah kaprah tentang vaksin, vaksin tidak membuat kita jadi manusia kebal virus. Gak, gak gitu ceritanya… masih bisa kena, hanya saja, mungkin tidak se-fatal jika tanpa diberikan vaksin. Saya gak berani ngomong banyak, that’s not my field. Tapi konsep utamanya seperti itu.

Jadi nanti kalau kalian di vaksin, eh terus beres itu jorok lagi, yaaaaa masih bisa terserang virus. Bahkan mungkin virus strain baru. Jadi protocol Kesehatan wajib terus diresapi hingga kapanpun.

Balik lagi ke drama kumbara “Bloomberg” ini. Selain itu, rasanya kita sudah berkali-kali mengolok-olok “warning” dari para peneliti ya. Dulu pas ada ilmuwan yang bilang berdasarkan hasil perhitungannya covid harusnya udah menclok di Indonesia, eeeeh… malah diketawain, malah diejek-ejek. Padahal kalau kemudian dulu didengar, dan dipikir “Oh iya ya, wah harus waspada nih.” Mungkin kita udah bisa happy-happy seperti teman-teman kita di Vietnam.

Maksud penelitian itu baik loh, ingin memberikan warning. Itu saja.

Sudah saatnya, pemerintah dan masyarakat untuk belajar. Belajar mendengarkan. Jadi peneliti itu sulit loh. Belajarnya lama, dapat karir yang pas dengan expertisenya juga sulit, nulis hasil riset juga kena reject berkali-kali. Eh, pas niat baik mau mengedukasi masyarakat malah dijulidin.

Jadi kalau kalian tidak menghargai mereka…yang kalian lakukan itu jahat….
Menghargai itu bukan selalu harus selalu setuju loh. Disagree juga gak apa, tapi jangan diolok. Kalau dalam dunia kami, aturan silatnya adalah, kalau mau tidak setuju, maka lawan dengan bikin paper lagi. Nah itu! Elegan… tidak saling menyakiti. Perangnya pakai bukti ilmiah.

Dan untuk media, tolong lah lain kali kalau mau wawancara policymaker juga baca dulu bahannya dengan teliti, agar punya pertanyaan yang lebih jitu dan cerdas.  Saya rasa akan lain sekali ceritanya ya jika pertanyaannya adalah “Pak, menurut proyeksi Bloomberg, penanganan covid-19 akan lebih menantang untuk negara-negara yang memiliki kendala logistik. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, apalagi dengan jumlah populasi yang besar, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkan pemerintah untuk mempercepat distribusi vaksin?”

Kan enak…. Cerdas… keliatan udah baca. Pak Moeldoko itu ya sibuk, gak bisa baca semua paper, jurnal, berita… maka pertanyaan yang baik harus setidaknya memberikan rangkuman “Ini loh Pak tantangannya ini.  Bagaimana tanggapan Bapak?”

Maka adem, tenang, gemah ripah lohjinawi. Semuanya dapat informasi. Masyarakat dapat literasi dan tambahan ketenangan “Oh pemerintah gw siap nih. kereeeen.”

Begitu, gak semua harus diterjemahkan dengan urat :’D

Saya tante emon, dan semoga gak sering-sering ada case yang saya harus jelaskan ya :’D cappppeeeeek~~~

Yang lebih berbahaya daripada Covid19: Kehilangan nurani kala krisis


 “Iya, tapi kan gak semua peduli. Gak semua berpikir bawa hati nurani. Kadang-kadang harus ikutan jahat gitu gak sih biar survive?”

Emon memang orang yang keliahatan super ceria dan gampang ketawa…
yang orang gak tau, seorang Emon juga gampang panik. Gampang banget.. terutama ketika kepikiran tentang Mama dan adik. Mereka adalah dua orang yang paling berharga bagi gw saat ini. Kalau tiba-tiba gw khawatir, gw bisa langsung moody dan panik. Dan saat ini, media sosial berhasil membangunkan kembali kepanikan gw yang udah hibernasi sejak gw belajar musik, dan itu semua gara-gara the most viral topic of the year: COVID-19.

Gw sesungguhnya tidak terlalu panik awalnya, karena di Jepang… walau kasusnya besar dan gw sudah mengira akan besaaaaaar banget karena ketika wabah mendera Cina, banyak turis Cina berlibur sesaat ke Jepang. Itupun karena Jepang dianggap lebih bersih, aman, stabil, dan steril (well… dan juga deket kan). Lalu BOOM! wabah merebak di negeri Sakura. Jangan kira di negara maju dan se-well prepared kayak Jepang gak ada panic buying! Ada dongs!

Masker hilang dari pasaran, tissue toilet entah mengapa makin menipis stoknya, wowowowowowo~ cukup kaget juga. Pertemuan publik di-cancel, sekolah diliburkan, banyak plan hancur berantakan. Bahkan airport pun sepi. Pesawat menuju Jepang kayak kapalnya kapten Flying Dutchman di Spongebob. Hati gw pun ambyar!

photo6296462270171032090

Narita Airport sunyi….

 

Namun setidaknya, teman-teman dan supervisor gw baik. Kami saling mengecek satu sama lain. Dan mungkin karena gw tinggal di kota yang mayoritas penduduknya peneliti, tidak ada kepanikan berarti…. “Hmmm, ini kan virus ya, pasti sudah nyebar kemana-mana ya, wong kecil gitu kok. Sekarang kita yang harus tanggung jawab menjaga diri dan orang-orang terdekat kita. Ja! Ganbarimashou!”

Sungguh, awalnya gw tidak panik. Gw memang jadi lebih waspada, tapi hidup berjalan menyenangkan… seperti biasanya.

Sampai kemudian, wabah menyebar di Indonesia. Lengkap dengan pemerintah yang terlihat sekali gelagapan mengambil keputusan dengan cepat. Jangan lupa! Semakin gurih dengan “topping” beberapa paket netijen bawel di media sosial, beberapa media yang masih hobi bikin judul clickbait,  dan beberapa paket masyarakat yang emmmm…gimana bilangnya ya… norak? alay? sungguh harus ada padanan kata yang lebih dari itu semua.

Yak! Sebuah kombinasi yang luar biasa…
luar biasa membuat panik!

Gimana gak?

Panic buying dimana-mana, harga semakin merangkak naik, belum lagi jumlah penderita yang masih saja simpang siur.
Eh masih sempat pula ada kisah “FTV” dimana seorang pasien positif yang terjangkit virus masih sempat “kabur” dari ruang isolasi.
Butuh waktu untuk mencerna informasi-informasi yang berseliweran dan bisa membuat siapapun yang baca jadi GILA!

Lalu, gw inget Mama dan adik di rumah. Oh bagaimana kabar mereka kala gw kembali ke Jepang.
Gw cek harga barang-barang macam masker, hand sanitizer, dsb. Gak lupa gw pun cek harga-harga bahan sembako.
It doesn’t make sense… harganya mulai sama bahkan lebih mahal dibandingkan di Jepang. “No, my family will be not okay under this situation.”
Padahal, kalau gw boleh jujur, Jepang pun tengah resesi. Gw juga merasa uang gw lebih cepat habis akhir-akhir ini. Tapi… kalau kemudian harga di Indonesia bisa hampir sama bahkan lebih tinggi dari di Jepang? Geng… sori buat bilang hal ini….ini jelas-jelas:  Harga barang di Indonesia melonjak jadi MAHAL BANGET!

Gw bertekad, apapun yang terjadi… semahal apapun barang yang harus dibeli… kalau memang itu buat Mama, gw jabanin deh.

Gw pun kemudian tanya baik-baik ke Mama.

Me:   Ma, liat deh… orang-orang kan pada panic buying tuh, nanti harga makin mahal loh. Yakin gak mau beli sembako, sama masker, dsb? Beneran nih?

Mom: Mmmm… gak usah kak. Mama kan gak kemana-mana. Eh paling check up ke RS, tapi kayaknya sekarang lagi gak kondusif ya. Serem ah.

Me: Iya, jangan ke RS dulu sementara. Tapi jaga makan baik-baik ya.

Mom: Iya… obat rajin diminum, sama mama puasa tiap minggu. Makannya juga sekarang udah pinter abis ditongkrongin terus sama Kiki

Me: Ma, beneran nih, gak butuh printilan-printilan yang pada lagi dibeli orang-orang? Klo perlu, beli nih walau mahal juga.

Mom: Gak usah kak, kita punya cukup kok stok buat kita aja. Jangan beli lebih dari yang kita butuhin, ikut-ikut panik, nanti harganya makin naik.

Me: Ya makanya… sebelum makin naik lagi.

Mom: Eh kok gitu. Kalau buat kita aja harga segini udah berat banget, yang ekonominya lebih sulit dari kita pasti nangis-nangis. Duh kasian, udah kita jangan ikut-ikutan dzhalim. Gak tega ah!

Me: Ya udah, masker deh… butuh gak?

Mom: Kan Kiki udah beli sabun cuci tangan, yang penting rajin cuci tangan kan? Toh kita juga wudhu sebelum shalat. Insha Allah aman. Kita juga jarang keluar rumah kalau gak penting-penting banget. Udah jangan nambah-nambahin deh, kasian nanti yang butuh masker beneran. Nanti yang sakitnya parah banget gimana? Terus yang mobilitasnya padet gimana? Mereka-mereka itu tuh yang lebih butuh dari kita. Jangan suka ambil hal yang bukan hak kita ah. Mama sama Kiki anteng di rumah main sama kucing kok, gak kemana-mana.

Dan dari semua hal brengsek yang terjadi sepanjang 2020 serta komen-komen netijen yang terkadang terlalu ajaib, perkataan Mama seperti siraman air zamzam di komplek perumahan di tengah klaster neraka jahannam! Adem banget!

Tapi… itu membuat gw sedih karena pada akhirnya gw bilang, “Iya, tapi kan gak semua peduli. Gak semua berpikir bawa hati nurani. Yeeee… emang semuanya kayak Mama? Sori la yaw”

Lalu adik gw yang memang mulutnya berbisa itu pun angkat bicara, “Loh iya, memang Kak… memang! Kalau ada apa-apa, misal Mama nih yang kena si virus, pertama-tama… orang akan jauhin kita, rumah kita akan dipasang police line. Kakak akan dihujat, kok ya anak perempuan egois, sekolah lama-lama di LN, bawa virus. Kiki juga, anak cowok gak guna… gak bisa jaga Mamanya. Kita tamat kok kalau ada apa-apa. It’s predictable”

YES! THAT’S THE POINT! Jadi gak salah dong kita berpikir strategis sebelum kita dijahatin orang. Sedih banget kalau nanti kita sakit eh masih di bully dan dikucilin. God! Sudah jatuh dilindes traktor.

Tapi Kak, kalau orang lain kehilangan akal sehat bukan berarti kita ikut-ikutan kan? Gak gitu cara mainnya. Kita harus kuat, harus sehat, harus bertahan, agar kita bisa buktikan bahwa jadi orang baik pun masih bisa loh bertahan hidup di planet ini. Action speaks more than words, Man!

Gw jadi tau sih kenapa gw agak cemen dan cengeng kalau baca dan liat hal-hal yang penuh kebencian di dunia nyata dan dunia mayaa. Karena di dalam rumah, keluarga gw gak punya hal-hal jahat sedikit pun di benak mereka. Terlalu naif, tapi… bersama mereka gw merasa sangat nyaman.
Dan emang… mereka adalah oksigen gw. Oksigen saat “polutan-polutan” menyerbu benak gw.

Saat gw menulis ini, gw baru baca berita…
Ada masa suatu aksi berdoa agar India diserang virus Korona…
Ada berita tentang ibu-ibu sosialita yang pamer belanjaannya (yang jelas2 membeli banyak sekali sembako dari supermarket).
Ada status seorang netizen yang bilang “Inilah tanda mengapa wanita harus menggunakan cadar/burqa.”
Ada tablig akbar “Syiah lebih berbahaya dari virus Korona.”
Ada aneka persepsi”Oh pemerintah lambat luar biasa.”
Ada yang antipati “Cih, pasti kebijakan ini cuma untuk cari muka.”
Ada caci maki “Hish, Cina memang cuman menolong negara-negara Syiah dan Kristen… komunis!”
Masih ada berita “Banyak yang memakai sanitizer di tempat publik untuk isi ulang.”

In short:
Bahkan di saat yang genting, rupanya ada… rupanya banyak… yang masih sempat membenci.

Padahal ini wabah karena virus loh, makhluk super kweciiiiil yang bisa menyerang siapa saja.
Apapun agama kita…
Apapun suku kita…
dan karena tidak mudah dideteksi, maka siapapun bisa terserang. Bisa saja keluarga kita.
Bisa saja diri kita sendiri.
Dan jika kita yang dapat “jackpot” tersebut, tentu kita ingin mendapat banyak dukungan. Ingin mendapat banyak pertolongan. DARI SIAPAPUN.
Secara logika, bukankah seharusnya kita peduli untuk melakukan hal serupa pada sesama? Saling dukung… saling tenggang rasa… tepa salira kalau kata buku PPKN jaman SD dulu.

Gw pernah membaca, saat ketika manusia paling jujur adalah ketika mereka ada di titik kritis, ketika mereka menduga bahwa hari akhirnya semakin dekat.
Jika wabah ini adalah titik kritis, dan jika gw merujuk kutipan tersebut…. maka apakah watak kita sebenarnya memang egois? Memang mau menang sendiri?

Ah, ya… gw pernah bilang, secara default manusia emang egois, oleh karena itu kalau di angkot yang hampir penuh,  kita yang baru naik pasti disuruh duduk di paling pojok yang paling panas.
Kita egois. Oke! Mari kita telan kenyataan ini.
Tapi yang tidak disangka-sangka, kita kurang bisa me-manage sifat egois itu. Jadi yaaaa begitu saja~
Jangan-jangan sejak era Pithecanthropus Erectus ?

Kalau saja, kalau…. semua orang bisa seperti Mama, bisa dengan ringan berkata, “… jangan ambil hal yang bukan hak kita.”
Mungkin dunia akan sedikit lebih tenteram.

Eits… Mom, wait! You are wrong, in this cruel world… people think in another direction “Grab any kind of opportunity! No matter what!”

Oh iya lupa! Konon katanya, sebelum hari akhir…. yang tertinggal memang orang-orang yang jahat 🙂 Aha! kini kita punya penjelasannya!

Mungkin memang banyak orang yang lebih memilih untuk survive hingga akhir apapun taruhannya. COVID19 memang mengguncang dunia, merubah banyak hal, kecuali satu: sifat serakah manusia.

Sedih…
Sayangnya, kenyataannya begitu.
Is it time to farewell with solidarity and humanity? Gak tau, gw sih masih punya harapan (dan doa) untuk itu. Kalau kamu?

 

Tentang tipu-tipu online (dan tips supaya kalian bisa terhindar): Sebuah pengalaman pribadi


Seberapa panik kalian kalau tiba-tiba ada orang yang memesan kamar hotel di sebuah hotel bintang 5, di Batam dan singapura,dengan pemandangan laut! Dengan akun kalian?
satu kamar 5 juta rupiah/ orang.

Bukan hanya 1 hari tapi 3 hari. Itupun minta kasur tambahan :’D Pokoknya udah gw itung kira-kira ada lah 25 juta ++
InkedIMG_9898_LIInkedIMG_9892_LIIMG_9896

Mahasiswa misqueen pasti khawatir dan gila aja, dari mana uang 25 juta?

Ini terjadi ketika minggu lalu akun ex****a gw dipakai seseorang.
(Gw samarkan ya, karena mereka sudah melakukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan gw. Gw khawatir kalau gak gw samarkan nanti gw dikira pencemaran nama baik :’D nanti gak bisa maen blog lagi. Tulisan ini untuk membuat kalian lebih berhati-hati aja, karena kasus pencurian identitas itu ADA… banget)

Tapi uniknya, semua kartu kredit dan debit ADA di tangan gw dan udah jarang banget pakai karena selama di Jepang gw merasa lebih aman menggunakan e-money.
Tapi tetep dong, 25 juta siapa tak gusar. Bisa umroh, Kawan!
Untuk keamanan,gw putuskan blokir semua kartu di Indonesia. Iya dong, namanya jaga2!
Itupun setelah sungkem ke Mama dan adik. Akun gw di Indonesia biasanya gw pakai kalau ingin kirim sesuatu untuk Mama atau adik, jadi agak sedih juga hal ini terjadi.
Maaf ya, Ma.

Dan untuk case jepang, jauh lebih mudah karena semua transaksi tercatat lebih “real-time”, terutama untuk kartu kredit.
Uniknya lagi: tidak ada transaksi yang mencurigakan.

Ada yang gak beres. Tapi satu yang pasti, orang ini pakai akun Ex****a  gw, but whose identity? whose cards?.

Lemes banget, karena tidak ada gambaran apa sih yang sebenarnya terjadi.
Dan gilanya, saat kejadian itu terjadi… gw tuh lagi final presentation! Dan seminggu kemudian ada final exam. Pucet merona gak tuh kalo kalian jadi gw?

Gw kontak Ex****a  yang YA ALLAH SUSAH BANGET CARI KONTAKNYA, terutama untuk Ex****a .co.id! Akhirnya ketemu dan cuman kontak ke US -.-
Untung ada Skype! Saya pun bergerilya sejak 1 Agustus siang dan kalian mau tau gak jawaban CS-nya?
“Oh you just need to change the password!”

AING GE NYAHO! hadeuh… putus asa, saya telepon si hotel bintang 5 yang dituju si pelaku.
Mereka pun stuck, karena metode pembayaran, no telepon, dsb cuman tercantum “Ex****a ”
Saya pun bertanya, bisa gak saya reach out si pelaku yang mungkin lagi asik ngadem melihat indahnya pantai?
Saya tahu pasti akan gagal karena kebijakan privacy hotel, jadi bisa legowo pas dibilang “maaf.”

Tapi 3 tahun menempuh PhD menempa gw menjadi orang yang gak gampang nyerah.

Gw pajang aja complain gw di twitter, dan mention Ex****a .
Rupanya ini jauh LEBIH AMPUH.
Gw jelaskan lagi masalah gw, tapi pada suatu titik, seorang CS bilang (secara halus) kalo gw udah kebanyakan complainnya -,-
Ya gimana, ente pernah gambling membayangkan bakal ilang uang 25 juta? atau paling gak, gw yang dituduh maling CC orang. Iya toh?

Pagi tanggal 2 Agustus, gw akhirnya ditelepon oleh CS Ex****a , dan kali ini mbaknya baiiiiiik banget.
Jadi gw bisa lebih tenang dan gak misuh-misuh.
Dan setelah 1 hari berjuang, akhirnya gw berhasil dapat data digit terakhir kartu kredit yang si penipu gunakan.
the news is: Ada 11 kartu kredit berbeda yang digunakan, dan GAK ADA KARTU GW SAMA SEKALI.
InkedIMG_9893_LI

Ini menjawab semua pertanyaan kenapa gak ada tagihan aneh di akun gw. Tapi kan namanya debt collector kalau nagih kan gak mikir-mikir ya.
Jadi gw tetep khawatir, karena Mama gw kan post-stroke… pasti takut banget kalo tiba-tiba ada debt collector yang seringkali kasar dan gak mau tau dateng “Anak Ibu harus membayar sekian rupiah!”

Misi gw yang awalnya mau ngecek keamaan akun dan tentu KEUANGAN gw (ini penting dong, 25 juta and still counting guys!)
berubah jadi: Mari bantu Ex****a  nangkep nih maling. Mumpung di Singapura masih subuh, mereka pasti masih boboks.

Gw minta agar masalah gw ini di kasih ke bagian fraud dan juga dikomunikasikan dengan pihak berwajib di Singapura.
Klo perlu ditangkep, tangkep aja deh… soalnya ini udah masuk ranah pidana. Iya dong! Kalian juga pasti setuju lah sama gw.
Mereka setuju dan mengiyakan. Gw pun bilang, gw ini orangnya keras kepala, klo gw gak liat ada upaya untuk nangkep si pelaku, gw bisa nekad dan bisa urus semuanya sampe dapet. Wallahu’alam gw akan kemana, tapi udah sering baca komen reviewer dan revisi thesis, udah gak takut apa2 lagi.
Gw gak minta orangnya minta maaf, cuman silakan enjoy ocean view dari jeruji besi 🙂
11 kartu kredit gaes! Entah punya siapa…
Mereka pasti orang yang gak tau apa-apa.
Dan kasian ex****a juga toh, siapapun yang kartu kreditnya dicatut pasti akan complain dan gak mau bayar.
25 juta ++ cuman dari gw doang, mungkin ada emon emon lainnya. Yah ruginya ex****a bisa ratusan juta lah.
Kurang baik apa gw sampe ngingetin mereka. Makanya gw sebenarnya greget banget sama CS pada tanggal 1 Agustus yang dodols banget.
Untung akhirnya pas tanggal 2, Mbaknya baik dan helpful banget.

Akhirnya, pada hari yang sama gw dapet info kalau reservasi yang tersisa di cancel oleh pihak ex****a.
Dan rupanya memang sudah disampaikan ke pihak Transaction processing yang sepengalaman gw sih juga bagian yang ngecek masalah fraud.
Ini alasan pembatalan order.

Dear Ex****a.co.id Customer,

Your Ex****a.co.id purchase 7459566392925 has been cancelled due to one or more of the following reasons:
• We were unable to authenticate the credit card.
• We were unable to authenticate the card holder.
• The purchase was declined by the credit card company.
• Account history.
 Please reply to this e-mail if you think there may be a mistake. We are happy to work with you to rectify any discrepancy. Since we have been unable to contact you via the telephone numbers listed in your account, please reply to this e-mail with the telephone number where we can reach you and the best time to call. An Ex****a Transaction Processing Representative will contact you.
 Sincerely,

Hadeuuuuh… naha teu ti kamari.

Anyway, terima kasih banyak untuk CS Ex****a yang akhirnya serius menanggapi komplain konsumen. Maaf ya karena gw kontak terus menerus -.- Mungkin lain kali, penanganan kasus segaswat ini harus lebih cepat dan gak bertele-tele ya. Selain mereka tahan sih dengerin konsumen cerewet kayak gw.

Sejauh ini gak ada hal mencurigakan lagi :’)

Oh iya! Sebelum aku ex****a gw ke-hack, gw menyadari kalau email gw di serbu spam yang ada kali 100/jam.
Nah, kayaknya sih supaya si maling bisa “mengelabui” gw supaya gak ngeh ada email reservasi.
Selain itu, akun internet banking gw juga gak bisa login karena selalu ada tulisan “Ada upaya untuk masuk ke akun Anda.”
sampe akhirnya gw 3x salah password.

Asem!

Jadi sebenernya udah ada gejala2 yang ada muncul cuman kita gak ngeh
dan gw kan seminar yang gengs! jadi gak sempet lah curiga-curigaan gitu.

  • Cek e-mail dan seluruh akun kalian. Curiga itu penting kalau memang kalian ngerasa ada hal yang mencurigakan.
    Kalau ada akun yang udah kalian gak mau pake lagi, tutup dan hapus aja untuk menghindari dipake sama orang yang tidak berwenang.
  • Jangan menyerah!; kontak CS itu bisa susah banget soalnya mungkin mereka mikir “Yang penting uang masuk, punya siapa… bodo amat!” memang sangat mengecewakan. Tapi demi uang dan integritas sih, sampe ujung dunia juga gw kejar. Hei! Ini hak konsumen! Jadi bener deh jangan nyerah!
  • Langsung cek ke pihak bank, dan kalau mau aman ya mau gak mau blokir aja semua kartu2 kita.
    Repot? Yes! Tapi daripada ilang 25 jeti plus plus, mending repot -.-
  • Kontak CS google, sampaikan kalau kalian emang ngerasa ada hal yang aneh di akun gmail kalian.
    Tentunya kalian juga harus sigap untuk ganti password dan nambah sekuriti akun dengan 2-step- verification.
    Repot tapi aman!
    Google emang tim paling yahud di muka dunia deh, mereka respon loh complain receh gw. Dan mereka bilang mereka akan cek knp tiba2 ada hal kayak gitu. Entah gimana caranya, tapi mereka mendeteksi kalau akun gw mendaftar banyaaaaak banget milist di beberapa hari terakhir.
    Dan bener loh, dalam waktu kurang dari 24 jam, aktivitas di e-mail gw kembali seperti semula.
  • Kadang biar lebih “cepet” kita diminta beberapa web untuk save account dan info CC kita.
    Mulai dari sekarang DON’T DO THAT! Gak apa lah lama dan ribet transaksi daripada akun kita diretas.
  • Sementara, jangan banyak2 transaksi dengan menggunakan kartu selama di Indonesia.Kalau ada cash, cash aja lah.
    Gw mungkin gak akan bilang kayak gini di Jepang, tapi gw rasa kejahatan siber di tanah air lagi on peak, jadi gw sarankan sementara minimalkan transaksi yang bikin kita ngeluarin kartu2 kita.
    Oh iya! Untuk kasus ini pun, yang ke “hack” kayaknya ex****a Indonesia. padahal gw cuman pake ex****a jp atau ex****a.com. Dengan apa yang terjadi sama gw, gw yakin ada sesuatu yang terjadi di Indonesia.
  • Gw juga saran untuk cek profile kredit kita di OJK. Tadinya gw mau cuek beybeh aja, cuman setelah ada kasus ini… semua orang bisa aja jadi korban.
    Kalian mungkin ngerasa gak transaksi apapun, tapi bisa aja tiba-tiba harus bayar tagihan jutaan dan klo mangkir malah digebug debt-collector Indonesia yang jujur aja kebanyakan tidak punya tata krama -.-
    Kalo jauh, mungkin bisa bawa rekening koran dan lapor ke bank.
  • * ganti password secara rutin 🙂

EMOOOOOON~~~~~~ ribeeeeeeet banget!
Iya, tapi lo mau uang, berlian, dan barang tambang yang sudah susah payah kalian gali siang malam aman kan?
Mungkin ribet dikit gpp.

Dan jangan ragu untuk bicarakan semunya pada pihak yang bersangkutan. Alhamdulillah, untuk kasus ini akhirnya dapat CS Ex****a yang helpful banget, pihak hotel juga support banget dan ngasih saran-saran yang membangun. Dan Bank… maafkan tante emon yang selalu ngomel di awal :’D soalnya tante ada jauh di rantau dan duh bank  di Indonesia itu comelnya gak tahan deh. Gw gak tau ya kebijakan perbankan di Indonesia gimana. Tapi di Jepang, klo mau blokir sih telepon aja pihak CS, sebut alamat e-mail dan nomer hp lalu selesai -.- less than 5 minutes semua kelar.

Well, mungkin karena nomer hp di sini prabayar semua ya. Tapi gak ada tuh ditanya nama ibu kandung, alamat rumah, nomer kartu, dsb yang jujur aja klo bagi gw sih ampe itu pertanyaan kelar, yang gasak atm udah beres makan penyet ayam sama es kelapa :’D
But thank you juga untuk bank karena banyak membantu juga walau kenal omel2 dikit :’) maaf ya.

Yo wis, gitu aja….
Buat kalian, mulai sekarang jaga-jaga dan lebih hati-hati ya. Jangan sembarangan nyimpen data pribadi kalian di dunia maya!

Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah!!!!!!