Berani tidak sempurna…


Saya punya tekad untuk menjadi emon yang produktif. Bukannya apa-apa, tapi karena sebagai manusia… sungguh sebuah hal lumrah kalau saya galau, sedih, stress, dan hal-hal manusiawi lainnya. Bagi saya, tidak ada hal yang paling baik untuk melupakan hal-hal yang pedih, selain dengan cara move on, being busy….

Kalian tidak tahu kan betapa penatnya jadi peneliti. Deg-deg-an nunggu keputusan reviewer jurnal, pusing analisis data, terus baca hal yang serupa berjuta-juta kali, belum lagi kehidupan sosial yang agak-agak terombang-ambing. Banyak banget suka dan dukanya. Yang semoga aja, terbayar tunai sama Yang Mahakuasa. Kalo gak, kayaknya bakalan saya tagih terus deh. I am doing everything more than what people can imagine.

Nah, di penghujung bulan Mei ini, saya yang nyambi jadi pengajar online sebuah univ harus mulai menyelesaikan tugas memeriksa PR mahasiswa. Saya tidak bisa membayangkan betapa luas jiwa dan hati para guru dan dosen di saat pandemi seperti ini. Pintar akademis saja gak cukup loh gengs! Harus pandai dengan komputer, aneka software, dan yang harus lebih lihai lagi “MEMBACA MAHASISWA” yang bagi saya sih “Wah…. drama sekaleeeee…”

Ada yang tidak mengumpulkan tugas yang deadlinennya sudah sebulan yang lalu terus tiba-tiba kontak “Bu, waktu itu internet saya mati.” Laaaah kan bisa di hari selanjutnya :’)
Ada lagi yang salah upload tugas, dan setelah dikontak berjuta-juta kali, gak ada balesan.
Belum lagi banyak jawaban yang kopas plak-plek-plak-plek-plak. Yang kayaknya pas dikopas, otaknya lagi pada diistirahatkan di kulkas. Wallahu’alam.
Sungguh begitu banyak hal ajaib, yang kalau saya tatap muka sama mereka sih, mungkin saya udah banting microphone.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya….
Ada sebuah tugas yang sebenarnya begitu sederhana sih. Mahasiswa diminta untuk menuliskan dampak negatif dan positif dari globalisasi.

Yang dampak positif sih yaaaa standar lah ya….
Nah yang dampak negatif ini MENARIK!

Lebih dari 50% jawaban mahasiswa, pasti menuliskan “Globalisasi akan membuat tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.” bahkan ada yang langsung to the point “… akan membuat tenaga kerja dari Cina semakin banyak.” Loh, kenapa emangnya sama tenaga kerja dari Cina. Moon maaph, kalo etnis Cina, toh yang WNI juga sudah banyaaaaaaaaak, dan mereka orang-orang yang baik. Mana masakannya enak-enak pula, ya Allah~~terima kasih, karena ada akulturasi Tionghoa, masakan Indonesia jadi makin beragam dan enak-enak ya Allah~~~~~~ m(T^T)m

Belum lagi jawaban, “Tenaga kerja Indonesia akan semakin sulit bersaing baik secara nasional maupun global.”

Ada lagi “Membawa kultur yang buruk”, versi religius “Bisa berdampak buruk pada kultur dan iman masyarakat Indonesia, karena tidak sama dengan budaya dan agama mayoritas.”

Saya tentu misuh-misuh, namun apa gunanya misuh-misuh di dunia onlen-onlen yang rasa-rasanya kurang greget, kurang dramatis, dan mungkin kurang mantap kalau kepala belum pada dikeramas dan diberi pijatan-pijatan microphone.

Terlepas itu karena kasus “kopas” yang…yang…. yang tadi itu, yang pas dipake kopas, otaknya lagi hibernate mode di dalam freezer.

Tapi saya kemudian jadi berpikir, kenapa setakut itu sih? KENAPA?

Mari kita mulai dari perkara budaya dan keyakinan. Se-insecure apa, selemah apa, dan sebodoh apa kita hingga kita harus khawatir akan langsung, secara serta merta, terpengaruh kebudayaan dan keyakinan orang lain.

Jadi belajar ngaji dari level iqra sampai ubanan ini, apa faedahnya, kalau kemudian luntur karena, misalnya globalisasi.
Masa iya ada bule, kiclik-kiclik-kiclik, datang sebagai turis misalnya… terus gaya hidup kita langsung jadi sok-sok bule gitu. Kayaknya temen-temen kita yang orang Bali tetep dengan harkat dan martabatnya sebagai orang Bali. Itulah kemudian Tuhan menganugerahkan tempat mereka jadi obyek wisata laris…. dan jangan lupa, dulu setiap UN, nilai UN tertinggi itu pasti punya anak Bali. Mama saya tuh dulu sampai bilang “Ini jangan-jangan Allah pun jadi sayang sama Bali, abis orang-orangnya gak ribet.”

Tapi well, baiklah….
Sebagai suku dan penganut agama mayoritas, saya emang ngerasa beberapa oknum dari kita mmmmm memang secemen itu sih. Lah, puasa aja manja sampe harus tutup-tutup warung. Kenapa? Liat orang haus terus jadi pengen buka gitu? Ish~ yaaaaa ampuuuuun anak TK nol kecil banget.

Tapi ya sudahlah ya… mau gimana lagi coba. Konon, kita cuman bakalan naek kolestrol darah kalau mikirin orang-orang yang ignorant. Karena lagi koronce gini kan kesehatan mahal yang bok, mending kalem-kalem aja.

Tapi saya lagi-lagi terganggu dengan jawaban takut pada tenaga kerja asing, warga negara asing, dan produk impor. Kenapa?

Tanpa menampik bahwa, memang…. dan seringkali, pemerintah kita kurang bijak dalam memperhitungkan kesiapan sumber daya manusia dan industri dalam negeri (ini emang greget sih)
Tapi… apa jangan jangan kita juga merasa bahwa kualitas kita memang masih “meh” aja. Atau akhlak kita yang memang masih harus ditadaburi dulu :’D

Bayangkan jika kalian di dalam suatu kelas, terus kedatangan murid baru, dari luar negeri. Atmosfer sekolah dan kelas yang baik tentunya akan penuh dengan antusiasme. Semua murid veteran akan mencoba membuat si murid baru nyaman, kemudian saling ngobrol, rumpi, kenalan, dan tanya-tanya.

Tapi bisa juga, si anak baru ini kemudian kena bully habis! Tidak ada yang berteman dengan si anak baru.
Setidaknya ada 3 alasan.
1. si anak baru ini memang nyebelin, gak mau kerja-sama. Yaaaaa…. kita-kita kan jadi males juga ya nemenin yang model gini.
2. anak-anak di kelas memang pada dasarnya badung-badung, dan gak suka aja sama orang yang “bukan golongan kami.”
3. si anak baru ini rupanya pintar, lalu menarik perhatian bapak ibu guru! Anak-anak lama mulai geram dan iri “Cih, anak baru…. bisanya cuman cari perhatian aja!”

Masalahnya, kita ada di kasus yang mana? Apa jangan-jangan… jangan-jangan…. kita cuman iri dengki aja dengan orang-orang yang kayaknya kemampuannya lebih aduhai daripada kita.

Jujur saja, saya pribadi sering loh merasa iri AHAHAHHAHAHAHA.
Karena sejak sekolah saya bukan anak yang pintar, dan “B” aja, terus sering kena terapi “Jambak rambut kribo” sama Mama saya, saya tuh suka meratapi kebodohan-kebodohan saya. Saya kerapkali membandingkan diri saya dengan orang lain.

Nah… sejak saya SMA, saya selalu kagum dengan sebuah sekolah katolik yang tetanggaan dengan SMA saya dulu. Kok ya anak-anak di sekolah itu menang olimpiade sains terus ya. Ini apa harus pindah agama biar bisa pintar berhitung. Mereka makan apa ya kok bisa pada pinter, kayak pula. Ya Allah…. saya ini loh, itu 9+ 7 aja kadang mesti pake kalkulator.

Sampai S3 kelar, saya masih terperanjat dan suka sedih sendiri, “Ini kok saya gak pinter-pinter ya.” Kalian suka denger dong, Asian are so good in Math! Ini kayaknya “Asian”nya para East-Asian ya, soalnya… yang model-model kayak saya kayaknya gak masuk sample. Nah, riset saya ini kebetulan erat kaitannya dengan ekonomi, matematika, dan statistik. Dan tentu saja…. rasanya dikuasai oleh rekan-rekan saya yang dari Cina, Singapura, Malaysian Chinese, Korea, dan Jepang. Tinggalah tante emon yang bagaikan Timon di sarang hyena…

But they are so smart! Dan secara fair, dan kalau saya bisa… kayaknya saya mau standing applause. They are really really really really really smart. Dan saya berani untuk memuji mereka terang-terangan loh.
Dan itu titik dimana saya percaya bahwa perjalanan saya untuk belajar masih panjang. Kalau saya kebanyakan galau, sedih, menyalahkan diri sendiri, saya tetep disini-sini aja. Malah mental health yang kena. Sedangkan mereka moving forward, getting greater and awesome.

Saya selalu bilang “Okay Emon, jangan kalah. Suatu waktu, harus mencapai kualitas yang lebih baik dari mereka-mereka yang lo bilang keren.”

Bisa gak ya? Ya gak tau… tapi toh, harus dicoba kan ya. Karena iri, misuh-misuh, gamang, dan aneka toxic positivity itu rupanya…. rupanya gak bawa kita kemana-mana.

Dulu, salah seorang teman saya bilang “Mon, suatu hari kamu akan ‘ngeh’ dan bilang ‘Ooooooooh gini toh’ sama hal-hal yang ditakdirkan Allah buat kamu.”

Dan itu benar! Cuman terkadang kita tidak cukup sabar. Terkadang, menyalahkan itu memang lebih gampang aja.

Menyalahkan keadaan, sampai kemudian menyalahkan Tuhan, “kenapa harus gini sih? kenapa harus gitu sih?”

Kembali lagi ke topik kita semula.
Kenapa ya kita begitu phobia pada banyak hal.

In my personal case, mungkin karena memang banyak yang blurry aja kedepannya bakalan gimana sih? Duh ini aja udah seberliku-liku ini…. jangan-jangan kedepannya makin ribet.
Wajar kok, karena di muka bumi ini tidak ada yang pasti, selain ketidakpastian itu sendiri.

Eh… tapi…siapa tahu kita pun tidak seremeh yang selama ini kita duga. Siapa tahu, rupanya pemikiran kita, mental kita, fisik kita, lebih kuat dari yang siapapun tahu. Kata Mama, kalau masih sama-sama manusia, masih di planet yang sama, pasti sama-sama punya waktu 24 jam dan liat matahari yang sama.

Maka kita bisa melakukan apa yang orang lain bisa.
Maka kita bisa melakukan sesuatu di luar ekspektasi dan batas-batas yang kita buat sendiri.

Jangan meremehkan Tuhan dengan meremehkan kemampuan diri kita sendiri.

————-

Tsukuba, Akhir Mei 2021.

Catatan Akhir Ramadan


Ramadan tahun ini lagi-lagi masih kurang lengkap, karena lagi-lagi…. gara-gara pandemi… saya gagal kembali ke rumah. Untuk membuat saya terdistraksi, Allah menyibukan saya dengan komentar reviewer yang pedas, sepedas keripik Mak Icih level 100. Mungkin kalau kalian bukan peneliti, kalian tidak tahu betapa getirnya mendapat kritik reviewer. Dan kritik itu harus dibaca berkali-kali karena kalau kita mau karya kita publish, kita harus membuat komentar detil poin per poin. Membaca hal menyakitkan layiknya berzikir itu: Sakyiiiiiit!

Ramadan tahun ini, yang sulit bukan menahan lapar dan dahaga, tapi emosi yang naik dan turun.

Jangan tanya khatam Quran atau tidak, tarawih saja bolong-bolong.
Sahur saja tidak pernah, jadi modalnya Cuma minuman ion yang bisa mengganti ion tubuh dan kulit bening seperti adek-adek JKT48.
Jeleknya lagi, alih-alih ibadah yang khusyu’, kalau sudah capek saya malah marathon nonton drakor. Dari Vincenzo, Navillera, sampai Mouse. Gila! Yang kayak saya-saya gini nih yang bisa bikin drakor jadi “haram.” Bukan drakornya yang salah, saya yang dodol dan terlalu mudah luluh lantak dengan pesona Oppa Vin dan termakan penasaran gara-gara oppa Jung Ba-Reum. Tersesat oh tersesaaaaat~~~ astagfirullah!

Tapi dua minggu terakhir, saya bertekad “Gak bisa gini, Mon. Lo harus bisa merevisi sesuatu dari ibadah lo selain revisi paper lo.”
Dipikir-pikir, revisi paper, walau itu penting banget untuk karir dan tanggung jawab saya. Tapi pun ditolak (walau jangan dong please), masih bisa submit di jurnal lain. Tapi ibadah di bulan Ramadan, waduuuh… belum tentu umur sampai Ramadan tahun depan.

Tapi karena waktu sudah mepet, impian saya tidak muluk-muluk: Saya mau dengar bacaan shalat saya sendiri. Terutama saat shalat di rumah. Saya penasaran.

Ramadan hari ke-17, nuzulul Quran. Untuk kalian yang non-Muslim, jadi Ramadan hari ke-17 itu adalah saat Al-Quran diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Pokoknya sakral banget deh.
Nah, kebetulan! Sebagai orang yang belajar music, saya tentu punya voice recorder dan clip on. Saya rekam bacaan shalat tarawih saya.

Dan setelah saya dengar lagi…. rasanya mau nangis!
Bacaannya terkesan terburu-buru, dan ayat-ayat yang dipanjatkan mandek di Al-Ikhlas dan An-Naas. Untuk Allah itu baik loh, kalau tidak! Rasanya saya sudah dapat komentar lebih pedas daripada komentar reviewer untuk paper saya.

“Gila lo, Mon… masa buat Tuhan eh lo kayak gini.”

Maka malam-malam selanjutnya saya bertekad, pokoknya pakai ayat-ayat lain dalam Quran. Pokoknya tiap rakaat shalat harus beda bacaannya.

Kalian tahu apa yang terjadi? Saya baru ngeh kalau saya sudah banyak lupa dengan ayat-ayat pendek pada Quran.

Saya loh! Saya berani diadu perkara etos kerja dan etos belajar. Pagi saya paksa diri diri saya mengerjakan riset. Malam saya belajar Bahasa. Akhir pekan? Saya belajar musik, masak, menggambar, membantuk koreksi tugas mahasiswa secara online. Saya bahkan lari dan kejar medali event-event lari!
Eh, tapi saya lupa kalau perkara ibadah itu harus dikejar juga.
Duuuuh… ayah saya penghapal Al-Quran loh, saya juga hampir sempat hapal juz 30. Tapi kemudian menunda-nunda untuk menuntaskan hapalan, eh akhirnya sampai sekarang deh.
Terlena itu rupanya memang memabukan loh.

Arghhhh…. Malu banget.
karena saya tipe yang sangat keras pada diri sendiri, saya sempat down. Saya merasa kok saya tidak pintar dunia akhirat ya. Kenapa sih, kenapa Allah harus menciptakan seorang emon dengan begitu banyak kekurangan yang meh banget. Saya sampai dengar kursus bahasa Arab online hanya karena saya merasa tengsin dengan kualitas ibadah saya sendiri.

Kalian pernah gak sih, berkontemplasi…. Terus kalian tiba-tiba sampai pada suatu poin dimana kalian tuh malu dengan kompetensi kalian sendiri. Kayak “Hei, kemana aja gue selama ini.”

Proses kontemplasi belum kelar, eh dunia heboh dengan banyak hal.
Ada feminis julid lah, ada roket jatuh lah, ada bipang lah, ada tsunami pandemi lah, kebijakan mudik gak jelas, ada pemuka agama yang sudah bagus-bagus mengayom anak muda eh tiba-tiba dihujat karena dianggap penganut aliran Islam yang berbeda.
Yang lebih panas lagi!  konflik yang kemudian meledak lagi di Palestina. Sudahlah panas, eeeeh… di negeri Nirmala masih ada yang heboh saling menyalahkan ketika ada public figure yang belum atau tidak bersuara terkait kasus ini. Mereka itu siapaaaaa? Duta perdamaian PBB? Lempar lembing cap tarkam di media sosial tidak akan menyelesaikan dan membantu apa-apa. Ada loh fund raiser-fund raiser resmi yang mengumpulkan dana untuk proyek-proyek kemanusiaan. Sisihkan sedikit tabungan kita untuk itu. Semoga semua bisa tenang di hari Idul Fitri, semoga semua manusia di muka bumi ini bisa merasakan khidmatnya hari raya.

Jujur saja, saya pribadi kayak…. “Ini manusia pada ngapain sih?”
Apa sih yang ada di benak umat manusia yang ada di planet ini sampai kemudian sibuk menciptakan konflik  dan menghujat orang lain. Yang model-model begitu, kalau muslim, apa pernah denger bacaan shalatnya sendiri? Shalat yang hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, bukan sebagai media kontemplasi, meditasi, dan memperbaiki diri. Yang jangan-jangan, arti dan maknanya apa saja tidak paham. Yang jangan-jangan kalau ditanya “Tadi baca apa pas shalat?” terus blank “Hah apa ya?”

Manusia yang sibuk merusak hubungan dengan manusia lain dan makhluk lain itu sadar gak sih kalau jangan-jangan, yang perlu dihujat itu yaaaa diri kita sendiri.

Setidaknya bagi saya, saya merasa seperti tangkai cabe rawit di bungkus gorengan. Masih begitu remeh. Jangankan energi untuk meladeni orang lain. Untuk mengurusi kekurangan diri sendiri aja masih repot. Duh ini umat manusia tuh sedang apa? Mau apa?

Perkara Idul Fitri bertepatan dengan hari kenaikan Isa Al-Masih saja heboh.

Apa sih… apa yang ada di benak manusia-manusia ribet seperti itu?

Saya jarang berbicara hal-hal terkait agama karena itu bukan kompetensi saya. Ayah saya yang hapal Quran saja selalu bilang “Ayah hanya hapal, untuk memahami dan membuat tafsir, itu ilmunya lebih tinggi lagi.” Jikalau antum-antum yang bacaannya hanya Qulhu sama An-Naas, itupun makhraj-nya blunder, percayalah bahwa kompetensi Anda begitu minim sehingga tidak sepantasnya menjustifikasi perkara dunia dan akhirat orang lain. Jangankan yang berbeda akidah, pemahaman untuk kepercayaan sendiri saja masih bobrok.

Apa jangan-jangan mengoyok-oyok orang lain itu adalah manifestasi dari ketidakpiawaan dalam berilmu dan beragama.

Saya punya teori, kenapa ada orang yang sedikit-sedikit marah meminta dihargai Ketika berpuasa, marah-marah Ketika ada warung yang buka, mengamuk Ketika ada yang beda dengan mereka.

Karena jangan-jangan keteguhan jiwa dan iman mereka ya segitu saja, namun enggan mengakui dan enggan memperbaiki diri. Kalau jiwa dan pendirian seseorang teguh, secara logika, harusnya tidak mudah goncang diterpa ujian apapun. Mengapa orang lain harus repot dengan ke-cemen-an diri kita? Kenapa?

Tapi iya sih, lagi-lagi mengeksternalkan kesalahan memang nikmat rasanya. Menjadi tidak tahu diri, memang terasa begitu ringan dan menenangkan -.-

Saya kemudian punya pertanyaan yang baru. Apa sih yang salah dengan beragam perbedaan yang ada di hadapan kita?

Kita punya impian-impian yang besar, bahkan perdamaian di muka bumi. Bahkan mimpi untuk melihat keadilan di bumi Palestina. Sebuah impian yang luar biasa mulia.
Saya pun ingin melihat suatu Ketika, kita bisa tenang berkunjung ke sana. Seluruh umat baik muslim dan non muslim bisa ibadah tenang tanpa khawatir perkara apapun.

Tapi kita bahkan belum selesai menyelesaikan konflik pada diri kita sendiri, pada metode berpikir kita. Kita bahkan belum selesai berdamai dengan konflik yang ada di sekitar kita sendiri.
Kita bahkan belum selesai berdamai dengan aneka perbedaan yang ada.

Bisakah kita memecahkan soal limit trigonometri, jikalau perkara tambah-kurang-kali-bagi saja masih sering salah. Mampukah kita menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks, ketikda permasalahan remeh temeh saja kita gelagapan?

Bisakah? Waduh saya tidak tahu dan tidak punya kapasitas untuk menjawab hal tersebut.

Sebelum saya menutup podcast kali ini, kalian tahu keputusan saya berhijab sesungguhnya karena dukungan dan perkataan teman saya yang Nasrani? Begini ceritanya.

Saya sempat kesal luar biasa dengan beberapa oknum saudara seiman saya yang bagi saya, begitu merepotkan, ribet, dan bisa membuat frustasi.

Sedikit-sedikit kristenisasi… sedikit-sedikit kafir…. Sedikit-sedikit haram… sedikit-sedikit sunni, syiah. Woi, maen jauhan dikit. Mahzab dalam Islam aja ada macem-macem. Ilmu antum kalau masih baru sampai ngetik di google sebaiknya kalem saja lah. Bayangkan! Kesal gak sih, ada sekelompok orang yang begitu percaya diri dengan pengetahuan mereka yang cetek. Itu luar biasa loh, tingkat kepercayaan diri yang patut diacungi jempol.

Puncaknya, saya begitu marah karena saya yang dulu belum berhijab, berulang kali disindir dan dibilang “Duh kalau belum berhijab kan kasihan nanti ayahnya dimasukan ke neraka.”

Saya saat itu geram! Bagi saya “Lo boleh mencaci gue, tapi jangan sekali-kali hina orang tua gue.” Saya saat itu merasa, kalau saya busuk, brengsek, apapun itu… saya berani mempertanggungjawabkan itu, bahkan jika harus dipanggang di neraka sekali pun. Oke! Jika saya yang salah, maka saya yang harus bertanggung jawab. Main yang fair lah. Kalau tidak bisa beradu argumentasi, jangan permainkan psikologis seseorang dong.

Kesal dengan itu semua, dan merasa tidak “aman” untuk curhat dengan teman sesama Muslim, saya pun akhirnya menceritakan keluh kesah saya pada teman saya yang seorang Kristen. Kenapa bukan ke sesama Muslim?  Karena saat itu saya sempat berpikir…. siapa tahu saya sial, terus malah digosipin penodaan agama. Waduuuuh, masuk koran deh.

Dengan kondisi selabil itu, teman saya bisa saja loh… bisa saja… bilang “Yok Mon, gabung klub domba tersesat.” Tapi tidak kawan… tidak. Dengan bijaknya teman saya itu bilang

“Bukan agama lo yang salah. Bukan Tuhan lo yang salah. Yang salah adalah pemahaman beberapa orang terhadap seluruh konsep agama lo yang mulia.”

Saya ingat betul, itu jawaban paling bijak yang pernah saya dengar dan ingin saya dengar. Saya ingat betul dia juga tanya

“Mon, gw bisa liat loh, lo begitu bangga pada Tuhan lo, pada agama lo. Lo cuman keliatan sewotan aja, tapi hati lo penuh kasih. Semoga lo bisa menjalani keimanan lo dengan lebih baik ya. Islam butuh orang-orang seperti lo. Dunia, butuh orang seperti lo. Semoga Tuhan menuntun jalan lo ya.”

Hal itu cemen dan sederhana banget, tapi itu hal yang saya tunggu datang dari mulut temen-temen Rohis saya. Orang-orang yang malah sibuk mengurus metode berpikir saya, yang sering dibilang, terlalu liberal.

Saya kemudian berhijab sejak 25 Desember 2012. Dan kalau kalian tanya kenapa seorang Emon begitu ambisius untuk jadi peneliti yang Go internasional dan gak kalah sama tante Agnez-Mo… Itu karena saya ingin membuktikan apa yang teman saya bilang, kalau dunia ini butuh juga manusia saya seperti saya. Saya ingin sempat memperkenalkan diri pada dunia, sebagai wanita, sebagai Indonesia, sebagai Muslimah.

Gak tau kapan… tapi itu jalan ninja yang sudah kupilih AHAHHAHAHAHAHA.

Jika saja… jika saja saya terjebak pada pola pikir sempit yang terlalu berfokus pada perbedaan. Mungkin saya tidak pernah bertemu dengan teman saya tersebut. Mungkin… saya bukanlah emon yang setangguh ini.

Semoga kalian, lebih beruntung dari saya. Menemukan hal-hal ajaib yang mengubah kita jadi lebih baik.

Saya tante emon, selama hari raya Idul Fitri. Semoga kita bertemu dengan aneka cerita di lain hari.

[Emonikova Investigasi] Tidak perlu marah-marah ke Bloomberg: Membaca hasil kalkulasi Bloomberg terkait penyelesaian kasus Covid di Indonesia


Saya sungguh tidak percaya bahwa harus secepat ini mengeluarkan artikel Emonikova Investigasi. Tadinya tuh mau ngobrol santai tentang buku atau film seru yang bisa dicoba menemani hari. Atau bahas tentang pelajaran Bahasa saya yang mentok-mentok itu. Eh… ada berita Bapak Moeldoko yang sepertinya tersinggung dengan hasil perhitungan Bloomberg yang memprediksikan Pandemi di Indonesia akan berakhir kurang lebih setelah 10 tahun.

Saya kemudian mencari-cari publikasi yang dimaksud, dan membacanya seteliti mungkin. Sebagai peneliti, saya rasa tidak perlu ada yang tersinggung, apalagi menyuruh Bloomberg untuk belajar ke negeri oki dan Nirmala.

Justru kita yang harus belajar cara membaca hasil suatu penelitian.

Saya percaya Pak Moeldoko begitu sibuk mengurus negara yang indah ini,  mana sempat membaca semua hasil riset di muka bumi ini. Saya juga jadi agak sebal dengan jurnalis, yang saya bayangkan pertanyaannya berkisar “Pak, kata Bloomberg, Indonesia baru beres pandemi 10 tahun, Pak. Bagaimana menurut Bapak?”
Ya Bapaknya langsung kaget lah, dan respon yang wajar sih menurut saya. saya juga kalau jadi Beliau bakalan misuh-misuh, apa maksudnya Bloomberg ngomong gitu. Apalagi Bapaknya dulu orang militer. Ya darah menggelegak lah.

Tapi rupanya Bloomberg tidak berbicara SEGITUNYA loh Sodara-Sodara!

Seperti biasa, saya tidak bisa membiarkan masyarakat Indonesia, emm setidaknya followers saya di media sosial, tidak teredukasi dengan baik, maka saya yang akan menerjemahkan hasil penelitian Bloomberg agar lebih mudah dimengerti oleh kita semua. Supaya kita gak gampang emosi, dan malah menurunkan imun tubuh.

Untuk kalian yang kepo, kalian bisa mengunjungi hasil perhitungan Bloomberg terkait pemberian vaksin ini di internet. Cukup ketikan kata kunci covid vaccine tracker global distribution Bloomberg di mesin pencarian kalian. Nah pasti ketemu tuh.

covid

Laman tersebut hanya memberikan hasil perhitungan Bloomberg terkait sebaran dan kecepatan pemberian vaksin di seluruh dunia. Dengan data tersebut, Bloomberg memproyeksikan seberapa lama sih vaksinasi ke 75% populasi seluruh negara bisa tercapai, dan seberapa lama suatu negara bisa meraih herd immunity.

Nah penjelasan pendukungnya, bisa dibaca di artikel lainnya yang terkait.
Saya membaca prognosis “When will life return to normal? In 7 years at today’s vaccine rates.”

covid2

Karena biasa membaca jurnal, membaca artikel ini sih respon saya hanya “Ooooooooh….” Karena Bloomberg toh membeberkan keterbatasan studi mereka

“Bloomberg’s calculator provides a snapshot in time, designed to put today’s vaccination rates into perspective. It uses the most recent rolling average of vaccinations, which means that as vaccination numbers pick up, the time needed to hit the 75% threshold will fall. “

Bloomberg Covid-19 Tracker

Mereka juga bilang

“The calculations will be volatile, especially in the early days of the rollout, and the numbers can be distorted by temporary disruptions.”

Tom Randall- When Will Life Return to Normal? In 7 Years at Today’s Vaccine Rates (Bloomberg)

Nih kalau gak paham Bahasa Inggris, kebiasaan orang Indonesia juga kan suka males kalau artikel tuh bukan Bahasa Indonesia. Artinya, rate ini dihitung linear saja, dengan menggunakan rate vaksinasi saat ini. Ya wajar lah hasilnya sampai bertahun-tahun, wong semua negara masih dalam tahap awal vaksinasi. Ya kan?

Karena data yang terbatas, ada beberapa negara yang rate vaksinasi hariannya mengalami trend stagnan bahkan penurunan. Makanya kemungkinan over-estimated-nya gede banget. Contoh untuk perhitungan Canada, mereka juga diprediksi jika masyarakatnya mencapai herd immunity itu sekitar 7 tahun. Nah gak jauh beda sama Indonesia toh? Kenapa? Karena pada saat periode perhitungan, Canada sempat mengalami kendala logistik.

Nih biar kebayang, misalnya sample yang diambil selama 1 minggu nih. Nah pas lagi periode observasi di Canada, di 3 hari pertama vaksinasi lancar jaya, eh 4 hari kemudian eeeh ada longsor, badai salju, dsb gak ada vaksinasi toh? Masa ada yang mau vaksin pas badai salju.

Jika kemudian jumlah vaksinasi Canada sebenarnya 100 dosis perhari, maka kalau 1 minggu idealnya mencapai 700 dosis toh (termasuk weekend, jadi 7 x 100). Naah gara-gara gangguan logistic, dalam seminggu itu Canada cuman berhasil kasih vaksin 300 dosis (karena efektif ngasih vaksin selama 3 hari). Namanya statistik, ya gak pake tendeng aling-aling, tetep aja yang diambil nilai rata-rata pemberian vaksin selama waktu observasi. Ya jadinya kecil banget ratenya. Yang harusnya 100 dosis/ hari eh jadi kehitung sebagai 42.9 dosis perhari. Jauh toh? Ya iya… memang! Dan itu sudah disebutkan oleh Bloomberg sebagai keterbatasan mereka.

Namun apakah Pak Justin Trudeau ngamuk ke Bloomberg dan bilang, “…Bloomberg, sini sampeyan belajar dulu ke Canada.” Kan gak… karena memang bukan hal yang perlu diperdebatkan. Jadikan bahan muhasabah aja, “Oh iya juga ya, kalau pace kita segini keteter sih emang sih.”, “Duh kalau ada gangguan logistik lagi, kelar sih kita.”

Kalau misalnya kemudian tiap negara bisa mempercepat pacenya, ya Alhamdulillah…. Itu yang diharapkan kita semua, termasuk Bloomberg.

Selain itu, mereka menyebutkan, tidak memperhitungkan populasi yang punya natural immunity karena sempat terserang covid, anak-anak, dan lansia. Jadi dipukul total rata aja total populasi.
Walhasil rate vaksinasi berbanding lurus dengan jumlah populasi, iya toh?

Nah ini gimana nih Indonesia. Kok ya bisa 10 tahun? Dari data Bloomberg. Sejauh ini, baru 0,3% populasi yang dapat vaksin dosis pertama, dan 0.1% yang dapet dosis kedua. Populasi Indonesia ada 270 juta orang. Coba ya kita hitung kasar, kalau ratenya vaksinnya 0.1% per hari aja. Yang kelar vaksinasi butuh 1000 hari, itu udah hampir 3 tahunan gak sih? Nah….itu belum nunggu sampe ngebentuk immunitynya. Emangnya setelah divaksin langsung jadi iron man gitu? Kalau mau kayak gitu makan odading mang Oleh aja.

Ini juga salah kaprah tentang vaksin, vaksin tidak membuat kita jadi manusia kebal virus. Gak, gak gitu ceritanya… masih bisa kena, hanya saja, mungkin tidak se-fatal jika tanpa diberikan vaksin. Saya gak berani ngomong banyak, that’s not my field. Tapi konsep utamanya seperti itu.

Jadi nanti kalau kalian di vaksin, eh terus beres itu jorok lagi, yaaaaa masih bisa terserang virus. Bahkan mungkin virus strain baru. Jadi protocol Kesehatan wajib terus diresapi hingga kapanpun.

Balik lagi ke drama kumbara “Bloomberg” ini. Selain itu, rasanya kita sudah berkali-kali mengolok-olok “warning” dari para peneliti ya. Dulu pas ada ilmuwan yang bilang berdasarkan hasil perhitungannya covid harusnya udah menclok di Indonesia, eeeeh… malah diketawain, malah diejek-ejek. Padahal kalau kemudian dulu didengar, dan dipikir “Oh iya ya, wah harus waspada nih.” Mungkin kita udah bisa happy-happy seperti teman-teman kita di Vietnam.

Maksud penelitian itu baik loh, ingin memberikan warning. Itu saja.

Sudah saatnya, pemerintah dan masyarakat untuk belajar. Belajar mendengarkan. Jadi peneliti itu sulit loh. Belajarnya lama, dapat karir yang pas dengan expertisenya juga sulit, nulis hasil riset juga kena reject berkali-kali. Eh, pas niat baik mau mengedukasi masyarakat malah dijulidin.

Jadi kalau kalian tidak menghargai mereka…yang kalian lakukan itu jahat….
Menghargai itu bukan selalu harus selalu setuju loh. Disagree juga gak apa, tapi jangan diolok. Kalau dalam dunia kami, aturan silatnya adalah, kalau mau tidak setuju, maka lawan dengan bikin paper lagi. Nah itu! Elegan… tidak saling menyakiti. Perangnya pakai bukti ilmiah.

Dan untuk media, tolong lah lain kali kalau mau wawancara policymaker juga baca dulu bahannya dengan teliti, agar punya pertanyaan yang lebih jitu dan cerdas.  Saya rasa akan lain sekali ceritanya ya jika pertanyaannya adalah “Pak, menurut proyeksi Bloomberg, penanganan covid-19 akan lebih menantang untuk negara-negara yang memiliki kendala logistik. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, apalagi dengan jumlah populasi yang besar, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkan pemerintah untuk mempercepat distribusi vaksin?”

Kan enak…. Cerdas… keliatan udah baca. Pak Moeldoko itu ya sibuk, gak bisa baca semua paper, jurnal, berita… maka pertanyaan yang baik harus setidaknya memberikan rangkuman “Ini loh Pak tantangannya ini.  Bagaimana tanggapan Bapak?”

Maka adem, tenang, gemah ripah lohjinawi. Semuanya dapat informasi. Masyarakat dapat literasi dan tambahan ketenangan “Oh pemerintah gw siap nih. kereeeen.”

Begitu, gak semua harus diterjemahkan dengan urat :’D

Saya tante emon, dan semoga gak sering-sering ada case yang saya harus jelaskan ya :’D cappppeeeeek~~~

[Emonikova Investigasi] Yang saru tentang Pasar Muamalah dinar-dirham: Kenapa salah? Kenapa kita perlu marah?


Minggu terakhir ini dunia persilatan sempat ramai dengan keberadaan Warung Muamalah di Depok. Gimana gak, transaksinya ceritanya pakai dinar-dirham. Konon biar lebih memudahkan dan syar’i gitu. Walaupun belakangan pihak pedagang warung ini, tentu, mengeluarkan jurus-jurus silatnya : Silat lidah !
“Gak kok ini pakai rupiah…Ini pake emas dan perak dan barter, biar lebih  flexible aja“

Tapi pokoknya, empunya pemilik ide warung ini kemudian diboyong untuk silaturahim ke kantor polisi.

Saya kira perkara selesai, dan masyarakat +62 tuh sudah cukup cerdas untuk memahami penjelasan Bank Indonesia, pihak kepolisian, dan sebagainya. Rupanya GAK! Malah rame banget. Banyak yang malah sok tahu, dan bilang pemerintah bodoh lah, tidak paham ekonomi Syariah lah, dan yang lebih parah ada yang bilang negeri ini semakin antipati pada agama tertentu. Ini bodoh, kejam, sekaligus mengerikan karena orang-orang yang beropini seperti itu lebih nyaring dibandingkan para ahli yang benar-benar ahli. Mana galak-galak lagi. Tidak memiliki kemawasan diri untuk menerima ketika dinasehati dan diperbaiki.
Itu adalah momen ketika saya sadar kalau tong kosong nyaring bunyinya itu benar, dan bunyinya senyaring speaker dangdut pantura!

Saya pikir komen-komen seperti itu hanya akan muncul pada netizen yang mungkin tidak menempuh Pendidikan tinggi. RUPANYA TIDAK SODARA-SODARA!

Namun yang mengejutkan, rupanya ada aja, ada…oknum orang-orang yang berpendidikan tinggi bahkan oknum pendidik (jadi bukan semua ya, yang beneran pinter juga banyak) yang mengeluarkan opini menyudutkan pihak pemerintah. Boleh sih mengkritik pemerintah kalau memang berisi, padahal kalau kita amati kualitas opininya, saya rasa yaaah paling baru belajar ekonomi dari kulit arinya aja. Yang mengagumkan adalah yang model begitu bisa begitu PD dan sok tahu menjudge pemerintah, khususnya Bank Indonesia, tidak paham ekonomi Syariah. Untuk yang model begitu, ANTUM BAIKNYA YANG BERMUHASABAH!  Sebaiknya antum-antum, publish dulu di jurnal Q1-Q2 INTERNASIONAL, baru deh setelah itu layak beropini. Kalau belum, diam lebih baik daripada mengatakan hal blunder. Gila ya, rupanya memang Dunning-Kruger effect itu nyata. Kalian tau Dunning-Kruger gak? Sebuah hipotesis yang menyatakan “…people with low ability at a task overestimate their ability”

Sebelum kita kupas masalah warung dinar-dirham, saya meluruskan dulu ya…. ekonomi Syariah itu tidak mudah. Memang asal baca dari google, terus langsung expert gitu? NO! Sebagai ekonom dan peneliti, saya merasa ekonomi Syariah itu, SEHARUSNYA, lebih rumit karena kita harus paham terlebih dahulu ekonomi konvensional, baru setelah itu belajar ekonomi Syariah. Dan konsep ekonomi konvensional saja sudah sangat rumit. Lha ini dobel belajarnya. Antum pikir belajar eksyar cuman bismillah, zakat, infak, shadaqah, alhamdulillah? gitu? Gak lah… gak begitu. Kalau pemahaman kalian cuman mentok di situ, maka ada baiknya coba kuliah lagi deh ya. Supaya jadi lebih humble “Oh iya… gw masih banyak belum tau ya..”

Saya juga mau mengkritik Bank Indonesia, komunikasi publiknya terlalu belibet. Terlalu Bahasa teknis. Dengan komunikasi publik yang dilakukan BI saat ini, ini mohon maaf loh… jadi ketangkepnya “Wah pemerintah gak bisa jelasin nih.“ Padahal tidak! Ini miskom aja. Memang kitanya aja belum sepintar ahli-ahli di BI. Sesederhana itu. Orang seperti saya mungkin bisa paham, wong saya sudah belajar ekonomi sampai 10 tahun lebih, and still counting ! Tapi kan tidak semua orang belajar ekonomi toh. Jika saya boleh memberi saran, bukan hanya BI tapi juga pemerintah secara umum, kedepannya mungkin bisa menerjemahkan dengan bahasa yang lebih familiar. Masyarakat tuh cuman butuh penjelasan sederhana, “Kenapa transaksi non-rupiah dilarang untuk aktivitas jual-beli sehari-hari kita?” Sesederhana itu

Karena saya juga sudah mulai jengah dan gerah melihat “kesoktahuan” beberapa oknum, dan saya tidak ikhlas orang macam itu membodohi masyarakat Indonesia. Maka saya, tante emon, akan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Mari kita jawab dulu pertanyaan inti kita ? “Mengapa transaksi non-rupiah dilarang untuk aktivitas jual-beli?”
Ada banyak jawaban, tapi  yang paling sederhana dan paling relevan untuk kasus warung muamalah ini adalah : Untuk melindungi konsumen.

HAH ? APA ? BAGAIMANA ?

Begini

Jual beli, yang baik dan benar sebenarnya berdasarkan prinsip sederhana: kelengkapan informasi antara penjual dan pembeli. Salah satu bentuk informasi yang penting adalah harga dan kualitas produk. Sebagai konsumen kita berhak untuk liat produknya dan menilai “Oh harga yang wajar untuk kualitas segini kira-kira segini.”  Nah cara kita menilai, secara default akan menggunakan tools alat tukar yang paling sering kita pakai, tentu saja dalam konteks ini:rupiah.

Mari kita ambil contoh dari kehidupan kita sehari-hari deh, ini pasti relate banget sama Ibuk-Ibuk dan anak kost.

Karena kita sudah terbiasa dengan transaksi menggunakan rupiah, kita bisa secara cepat menakar harga “Oh iya….harga telur ayam 1 kg kira-kira 25 ribuan lah….”, “Oh harga minyak satu liter biasanya 15 ribuan.”

Nah, jika suatu ketika kita lihat label harga di suatu pedagang dan merasa “Wah ini kemahalan banget nih. Gak wajar harganya”, “Loh ini ini murah banget? KW ya? Abal ya?” maka konsumen berhak untuk tidak jadi membeli atau mencari barang subsitusi. Dan itu adalah sebuah keputusan yang rasional.

Intinya! Semakin banyak informasi yang kita miliki terkait pasar, semakin rasional tindakan yang kita ambil.

Sekarang coba bayangkan kini label harganya BUKAN dalam rupiah. Tapi dengan embel-embel dinar dirham. Dinar dirhamnya tidak jelas lagi, apakah dinar-dirham yang dipakai sebagai mata uang di Timur Tengah? Atau dinar-dirham yang dikeluarkan oleh PT Aneka Tambang (ANTAM).

Belakangan diketahui bahwa dinar-dirhamnya adalah versi Antam. Okey! Let’s follow the game!

Yang perlu diingat adalah, dinar-dirham Antam BUKANLAH alat tukar, tapi dibuat Antam sebagai alat diversifikasi investasi. Jadi kalau kita nih mau nabung, tapi kalau uang kan sering menggoda untuk dihambur-hamburkan karena sangat liquid, naaaah… disediakan nih sama pemerintah beberapa instrument investasi. salah satu instrumentnya dalam bentuk logam mulia. Ada yang bentuknya koin yang kemudian disebut dinar-dirham. BUKAN mata uang. Ingat…sekali lagi BUKAN mata uang.

Balik lagi ke label harga.
Pikiran kita kini “dikelabui” karena melihat label harga dengan nominal yang seakan-akan jauh lebih rendah “Wah murah nih…” Lalu ditambah embel-embel syariah “Wah berkah nih…” Padahal? Belum tentu! Kan pakai standar harga logam mulia. Ingat, harga logam mulia itu fluktuatif juga loh. Celakanya, kita kan selalu ngecek pergerakan harga logam mulia setiap detik. Iya toh? Nah, jadi….. bisa saja sebenarnya harga yang ditetapkan itu LEBIH  MAHAL dibandingkan harga pasar.  Dan karena banyak dari masyarakat kita yang begitu mudah sekali percaya sesuatu ketika diembel-embeli label “Syar’i”, yaaa rasionalitasnya mulai bergoyang.

Butuh bukti? Oke!

Karena saya tahu banyak yang malas membacaaaaaaaaa…… apalagi menghitung, maka saya hitung konversi rupiah dari beberapa produk yang dijual di warung ini. Saya akan buktikan betapa “trik psikologis” ini mengecoh kita semua.

Saya mengumpulkan beberapa list harga barang yang terekam di media masa. Kalau kalian mendengarkan versi audio, bisa langsung liat skrinsutnya di blog emonikova ya. Produk pertama yang saya cek adalah
Roti 6 pcs seharga 1 dirham. Kebetulan kameranya sempat shoot kalau rotinya adalah roti michelle. Masalahnya saya kurang tahu ini roti yang rasa mana. Tapi setelah  melakukan proses browsing panjang, ada michelle molen pisang isi 6 harganya Rp 40.000. Emang mau roti kayak gimana lagi sih yang ngelebihin harga ini. Tapi yo wis, kita bulatkan kasar ke atas saja ya jadi Rp 50.000 lah.

1

Lalu bagaimana dengan si warung muamalah? Pertama-tama kita harus cek harga dirhamnya dulu dong.

Saya kemudian mengecek harga koin antam 1 dirham di web LM (yang merupakan anak perusahaan PT Antam) per tanggal 6 Februari jam 8 malam WIB. Nilainya 1 dirham adalah sekitar 94.973 belum termasuk pajak. Buletin ke 95.000 aja lah ya.  Ini sudah saya kasih murah banget loh! Belum dihitung PPn dinar dirham yang 10%. Kalau kalian cek di e-commerce, satu koin bisa sekitar 120-150 ribuan ya.

Jika kita menuruti logika bisnisnya warung ini, ingat selain rate dinar dirham, dia masih tambah keuntungan 2.5%.

Maka harga roti tersebut yang satu dirham adalah:
Rp 95.000+ (2.5% x Rp 95.000)=  Rp 95.000 + Rp 2.375 = Rp 97.375

dirham

Yaaaaa 100 ribu lah ya….

Beli roti molen di bakerynya langsung bisa dapet 12 loh ! Kenyang. Saya sampa cek instagram Michele bakery  loh dan di April 2020 mereka bilang kalau dengan pembelian minimum 150 ribu, kita dapet hadiah canvas bag lucu. Dengan 150 ribu bisa beli molen sampe begah dan bagi-bagi ke tetangga, plus gratis canvas bag. Roti 20 udah bisa buat bagi-bagi ke tetangga, dapet hadiah lagi. Ya mending beli ke bakery-nya langsung lah.  

2

Rasional dong ? Ya toh… tapi karena si trik psikologis ini, ya menjebak !

Ayo lanjut lagi ! Kalian pikir saya selemah itu dalam browsing. Produk kedua yang saya cek adalah VCO, alias Virgin Coconut Oil. 2 Dirham coy !
Dengan metode yang sama maka kita bisa hitung
 VCO (2 dirham) = 2 x  97.375 = 194.750

3

Yah kurang lebih 195 ribuan ya, bok.
Okay… terkesan masuk akal ya, karena saya kan gak paham harga VCO ya. Maka saya kemudian cek harga di tokped. (Gila promosi tanpa henti nih… tolong lain kali e-commerce sponsorin saya lah).

Dan tadaaaaa berdasarkan hasil penelusuran saya~~~Paling mahal itu agaknya 100 ribuan/liter ya.

Atau gak tau deh, mungkin kalau yang 2 dirham minyaknya punya fungsi khusus atau gimana.

4

Duh capek, coba ya nanti hitung sendiri yang lainnya. Intinya, bisnis ini sebenarnya rentan sekali mengecoh konsumen. Kenapa ? Karena kita… sebagai konsumen, secara default punya pengetahuan tentang harga pasar yang lebih sedikit dibandingkan pihak produsen dan distributor. Ketika kemudian digoyang dengan “konversi” mata uang yang gak lazim. Ya makin pusing.

Kok ada sih, adaaaaa yang mau dipermainkan seperti ini.

Dan kalian tau gak sih, pajak pertambahan nilai (PPn) dinar dirham ANTAM itu lebih tinggi dibandingkan pajak logam mulia murni yang batangan. Jadi secara sederhana, sebenarnya harga beli dinar-dirham ANTAM lebih tinggi dibandingkan emas batangan biasa. PPn emas batangan itu 0.45% untuk investor dengan NPWP, kalau gak punya NPWP PPn-nya 0.9%. Sedangkan pajak dinar-dirham itu 10%.

Jadi hasil perhitungan saya sebenarnya masih under value karena saya belum menambahkan PPN 10%.

Itulah mengapa kemudian “pelakunya” dibawa ke kantor polisi. Karena kemungkinan besar mereka udah menipu konsumen yang naif dan polos-polos. Gak ngerasa kena tifu tifu.

Yang membuat semuanya semakin ambyar adalah, berdasarkan salah satu pengakuan pedagang warung tersebut,  seluruh transaksinya tidak berizin. Ini membuat konsumen sebenarnya dalam posisi yang lebih tersudut lagi.

Justru karena ada transaksi logam mulia, dan ini barang investasi, barang asset, BUKAN ALAT TUKAR. Sekali lagi, BUKAN ALAT TUKAR. Sekali lagi! BUKAN ALAT TUKAR! sekecil apapun usahanya, harus ada izin. Setidaknya lapor atau tanya-tanya dulu deh. Kemana? Coba kalian tanya dulu ke Lembaga yang Namanya Bappepti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Supaya dapet wejangan. Bappepti ini ada di bawah Kementerian Perdagangan, kantornya ada di Senen. Gak akan ditimpuk sendal kok kalau mau nanya dan niat baik. Toh Namanya mau belajar kan.

Loh kenapa? Ini kan usaha kecil-kecilan. Ribet amat.
Karena harus ada yang mengecek keaslian dan kualitas logam mulia, serta melindungi konsumen. Ini logam mulia loh, bukan daun kelor! Harus ada yang mengawasi. Kalian gak sayang sama uang kalian?

Hitunglah kita apes-pes-pes beli dinar-dirham di warung ini, dan setelah dibawa ke pegadaian misalnya, ketahuan bahwa barangnya palsu. Atau kualitasnya gak sesuai standar. Kalian mau complain? Atas dasar apa? Punya sertifikat keaslian dinar-dirhamnya? Gak? Mau balik ke warungnya, yeeee… mana mau dia balikin, kan Anda tidak punya bukti transaksi.
Sontoloyo kan? Terus marah… terus apa? Ke pegadaian? Ke Antam? Ke BI? Lah mereka kan gak paham, bingung juga mau nolonginnya gimana. Yok… perlakukan diri kita lebih baik, dengan lebih berhati-hati dalam bertransaksi.  

Maka itulah, itulah, itulah, itulah, dibuat peraturan UU No.7/2011 “Udah deh kalau mau transaksi jual beli ya pake rupiah aja. Yang pasti-pasti aja coy!”  Ada UU-nya loh. Lumayan, kalo langgar maksimal 1 tahun penjara coy.

5

Dan perkara logam mulia, udah lah beli di tempat-tempat yang pasti-pasti aja. Di pegadaian misalnya, toko perhiasan resmi, toko logam mulia, atau di e-commerce yang sudah mendapat izin jual beli logam mulia. Kemudian simpan yang rapi di kotak perhiasan, di safety box. Ini ada catatan penting lagi, pastikan kalian tuh dapet si sertifikat keaslian logam mulia dan jelas tempat dan waktu membelinya, sehingga kalau kelak mau dijual lagi kalian bisa tenang karena keaslian produk sudah dipastikan. Kalau misal mau complain dsb, bargaining position kalian pun kuat, karena ada bukti transaksinya kok.

Jadi sekali lagi, ini bukan perkara pemerintah gak pro dengan ekonomi syariah, atau anti agama tertentu.  Ini tentang kita loh… KITA… ini pemerintah lagi mau melindungi kita semua sebaik mungkin. Maksudnya tuh baik.


Silat lidah lainnya yang cukup menggelitik adalah salah satu pedagang di warung tersebut bilang, dirham yang dipakai untuk transaksi adalah dirham zakat ke para mustahik (objek zakat), naaah mereka kan perlu belanja, makanya nanti belanjanya di warung ini nih, pake si dirham zakat tadi. YA ALLAH PELIT BANGET GAK SIH ! GAK MAU RUGI ABIS !

Kalau saya sih, dapet dirham… waaah, saya cek ke pegadaian terus saya tuker disitu :p ngapain harus ke warung kecil random, repot lagi gak buka tiap hari.

Kok ya banyak dari kita yang kemudian pasrah aja diakal-akalin hanya dengan cover agama.
Jangan begitu… Allah itu menciptakan kita pake paket lengkap loh, punya hati dan pikiran. Maka hargai pemberian itu dengan cara dirawat dan dioptimalkan sebaik-baiknya…dipakai saudara-saudara.

Banyak loh ayat-ayat di dalam Al-Quran diakhiri dengan “… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir.” Berpikir… hal yang diciptakan Sang Mahakuasa saja harus diresapi melalui proses berpikir sampai kita bisa memahami tanda-tanda kebesaran-Nya. Apalagi hal-hal yang dibuat manusia? Termasuk perkara warung-warungan ini. Masa’ gak ada upaya berpikir kritis sama sekali sih?

—-

Saya rasa tidak perlu diperpanjang lagi ya.
Saya masih berbaik sangka loh, mungkin maksud tersangka ini baik.
Semoga mempan aja sih di edukasi pemerintah dan aparat.

Saya lebih khawatir netijen julid sotoy, yang makin hari makin galaaaaaaaak :’D
Ngeri…
Oh ya, dateng ke blog saya ya, masih ada tambahan Q&A netijuliden.

Terima kasih, saya tante emon,
Kita ketemu di emonikova investigasi di lain hari.

Sebagai bonus untuk kalian yang baca blog saya! Saya mencoba membuat Q & A dari celotehan-celotehan para netijen yang aduhai :’)

Nama dan foto saya sembunyikan ya, tapi kita perlu jawab pertanyaan-pertanyaan wadidaw yang ada :

Q : Loh kalau bitcoin gimana ?

yutub

A : Loh ya sama saja. Bitcoin ini kan aset digital ya, kategori crypto Currency.  Nah, ini info juga, transaksi investasinya legal JIKA DAN HANYA JIKA perusahaannya crupto currency ini masuk list yang dilegalkan oleh Bappepti. Dan itu ada macem-macem aturannya, mumet lah pokoknya. Bisa dibaca di Peraturan Bappepti no. 5/ Tahun 2019. Kalau gak salah, perusahaan penyedia jasa cryptocurrency  yang “legal” itu harus masuk list bursa Aset Kripto terbesar di dunia, harus register ke Bappepti, dan harus bayar pajak.

Jadi inget, gak bisa yang abal-abal ya. Kenapa? karena ini kan aset digital ya, barangnya tuh harus dipantau terus. Jangan sampai kayak berasa udah punya aset gedeeeeee banget, eh pas mau ditarik zonk! Itu hal yang suka disebut “bubble” dalam ekonomi.

Jadi hati-hati loh ya, cek dulu legalitasnya di Bappepti. Dan lagi-lagi! Udahlah mending rupiah aja.

Q: Loh di Bali turis boleh bayar pake dollar. Kenapa ini si dinar dirham gak boleh.
A: Eits, Anda yang kurang jeli.
Dollar ini mata uang loh, alat tukar. Jadi dia memang bisa dipakai untuk bertransaksi.
Di kawasan pariwisata, turis bayar pakai dollar itu sesungguhnya melibatkan dua transaksi. 1. Transaksi jual beli barang, dan 2. Transaksi menukar uang, Bahasa pasarnya money exchange.

Idealnya, Kawasan pariwisata itu sudah pajang rate nilai tukar mereka pada hari itu berapa. Ketika ada turis bayar nasi goreng pakai dollar, sebenarnya turis ini pertama-tama menukarkan mata uang mereka ke rupiah, lalu membayarkan nasi goreng yang mereka beli dengan rupiah. Tapi antrian kan panjang ya bok, kalo harus saklek begitu prosesnya, bisa-bisa kasirnya kena lempar piring nasgor.  Maka boleh deh mister bayar pake mata uang mister, nanti kembaliannya pakai rupiah/ rate rupiah.

Dan transaksi ini, sesungguhnya baik untuk ekonomi, karena semakin banyak turis yang belanja-belanji dan makan-makan, maka berarti semakin banyak yang membutuhkan rupiah. Permintaan terhadap rupiah akan naik. Ingat, permintaan itu berbanding lurus dengan harga, maka harga rupiah akan naik… sesuatu yang kalau di berita kita denger “Rupiah menguat.”

Itulah yang sering kita denger di berita “Sektor pariwisata dianggap mampu menggenjot nilai rupiah.” Gituuuuuuu!

Q: Padahal kan lebih baik transaksi pakai dinar dirham / emas ya. Kalau rupiah kan bisa turun.

chathahha

A: Duh ini dosa sih berghibah. Eh tapi semua identitas kan saya samarkan. Melihat ke-PD-annya sih mungkin gak akan sadar ya dighibahin. Ini untuk belajar aja ya. Oke… oke… oke…Saya prihatin komentar seperti ini justru tercetus dari orang berpendidikan dan pendidik loh. Belajar ekonomi lagi.
Loh, siapa bilang harga emas selalu konstan (maaf ya, konstan… bukan konstanta).

Untuk sekadar informasi aja, konstanta itu adalah kata benda ya, artinya nilai yang tetap, fixed. Kita benerin secara EYD, jadi “konstant” yang merupakan verb, alias kata kerja. Maknanya kalau dalam matematika itu adalah tidak bervariasi.

Lha emas tidak bervariasi di belah mananya coba?
Mari kita lihat harga logam mulia itu tiap jam berubah loh.

emas-1

Per-minggu juga.

emas-2

Jadi sebenarnya kalau mau investasi logam mulia dalam jangka pendek, ya tetep fluktuatif.
Kecuali… kalau ingin investasi jangka panjang, dan itu baru make sense.

2 tahun

emas-3

5 tahun

emas-4

Tapi seperti yang bisa kalian lihat, nilainya tetap fluktuatif. Risiko rugi ya tetap ada.
Mengapa demikian, karena harga emas juga juga punya acuan. Harga dollar dan bursa commodity exchange (COMEX). Ya… logikanya jadi sama saja, harga selalu berubah bergantung pada supply dan demand.


Selain itu,  ada logika yang keliru di sini. Nilai tukar rupiah kan memang bergantung pada jumlah permintaan dan penawaran rupiah. Namanya juga mata uang, namanya juga open economics. Kita kan terlibat perdagangan internasional.  Ya mau gak mau nilai mata uang kita akan berfluktuasi. Dan jangan khawatir, karena sementara ini rezim yang paling sesuai untuk kita sejauh ini.  Kan kita pakai rezim nilai tukar managed floating. Bank Indonesia membiarkan nilai rupiah berubah-ubah bergantung pada tingkat permintaan dan penawaran mata uang selama tidak melewati “batas aman” yang ditetapkan.  Ini otoritas moneter mantengin terus.

Terus mau pakai apa? Fixed exchange rate? Kan dulu belajar, ketika orde lama kita mengadopsi fixed exchange rate, tapi devisa kita tidak kuat untuk membayar seluruh permintaan mata uang asing (yang paling banyak dollar). Situ yang mau bayarin? Apa pakai dinar dirham? Yakin cadangan mineral kita cukup? Atau oke lah cukup, siap kena longsor? Jepang misalnya, menghentikan mayoritas tambang mineral mereka karena mereka lebih khawatir ekosistem mereka rusak. Udah kena Minamata, kena bom atom, radiasi nuklir, masa harus ngerusak alam lagi? Untung pada baik dan pinter-pinter. Jadi invest di teknologi untuk system daur ulang yang ciamik.

Kalu semua orang mikirnya kayak oknum mereka-mereka sih, wassalam… justru makin runyam ekonomi Indonesia.

Dan itu harusnya kalau anak ekonomi S1 sih belajarnya pas semester 1 tingkat 1 🙂 karena meh banget. Semoga ya, kalian semua dijauhkan dari pendidik yang ngajar asal ceplos :’) aamiin.

Ini juga bentuk kemarahan saya. Literasi masyarakat Indonesia itu masih rendah loh, jangan kemudian di-edukasi dengan ceplas-ceplos tidak berdasar. Apalagi, apalagi, kalau kita sudah menempuh bangku Pendidikan  di universitas. Kan sudah belajar toh untuk maju sidang harus kumpulin data dulu, harus dianalisis dulu, harus diuji dulu, harus berpikir dulu… baru bisa berargumentasi!

Masa’ hal sefilosofis itu gak diimplementasikan dalam kehidupan sih? Masa’gak sayang sih menempuh Pendidikan lalu tidak mencapai kualitas critical thinking yang tajam dan kritis?

Kalian mau mengemukakan pendapat apapun, saya sih terserah. Saya kan cuek-cuek aja selama ini.
Tapi tolong…tolong… terutama untuk para civitas akademika.
pikirkan apakah argumentasi kita benar, cukup bukti atau tidak.  Jangan sampai, tanpa sadar,  kita berpartisipasi membodohi masyarakat Indonesia dengan ucapan yang bahkan tidak melalui proses kontemplasi yang panjang, serius, dan mendalam.

Gitu aja sih. Itu kan hal yang konseptual banget ya.

Sekian dari tante, semoga membantu kalian memahami apa yang sebenarnya terjadi.

[Emonikova Investigasi] Tebang Pohon, Gusur sawah gara-gara UU (?): Menelisik celah pada Pasal 122 UU Cipta Kerja


==============================================================

UPDATE! UPDATE! UPDATE! (12102020)

hari ini muncul di media terkait “final draft UU Cipta Kerja”. Agak bikin emosi sih karena masyarakat jadi mikir “Lah… kemaren yang diketok apa? draft yang belum jadi apa gimana?” tapi ya sudahlaaaaaah yaaaaaaa. Tenang….
Tapi mari mulai dari good news dulu. Setidaknya, dari pengamatan Tante, masyarakat berhasil menekan pemerintah untuk lebih berhati-hati dan gak usah maen-maen sama barisan rakyat (tentu dengan netijen di garis depan AHAHAHAHAHA). Yang pasti sih, jumlah halamannya jadi 1000++ sekarang ahahhahaha. makin tebel.
So, mari kita lihat pasal tentang lahan ya 😀

Oh ya! Naskah yang tante jadika rujukan didapatkan dari web CNBC Indonesia yang bisa kalian klik di sini. Jadi kalo ada salah-salah, marahin CNBC ya ahahahahahhaha.

Well, secara umum pasal 124 gak jauh beda ya….

IMG_4090

Tapi sepertinya untuk menenangkan para aktivis lingkungan hidup dan pengamat lingkungan, pemerintah kemudian memaparkan “lahan untuk fasilitas umum itu apa sih?” dua diantaranya adalah kawasan suaka alam/ suaka budaya dan kawan untuk lahan pangan. Jadi kayaknya kalo mau gontok-gontokan (amit-amit ya) kita yang punya kawasan lahan pertanian pangan atau masyarakat di kawasan hutan adat, bisa keukeuh bilang “Hei… lahan kami juga untuk kepentingan umum”. Yah mayan… walau tetap ada masalah karena kita masih punya PR dalam menetukan batas-batas hutan, suaka alam, dan suaka budaya. Jadi semoga pemerintah bisa selesaikan ini dulu ya. Sebenarnya bisa cepet beres sih kalau kebijakan satu peta kelar. Sayangnya, hingga tulisan ini di tulis, webnya masih sering ngelag juga :’D

IMG_4093
IMG_4092

Masih ada celah? Masih….
Salah satu yang mungkin “rentan” adalah memanfaatkan “kemudahan” perizinan untuk lahan <5 ha. Karena perizinan untuk lahan <5ha akan sangat longgar sekali ya sepertinya.

IMG_4091

Kalau yang berwenang mau “jahat” sih mungkin bisa ya beli lahan <5 ha sedikit-sedikit lalu lama-lama jadi bukit. Ahahahahaha… ah gak mau komen ah 😀 nanti dibilang ngasih ide jahat. Tapi mmmmm….. sekali lagi dari sudut pandang pengamat lingkungan hidup dan pecinta alam ya, amdal itu perlu loh, sekecil apapun lahannya. Kalau petani kecil sih ditawarin harga yang kayanya tinggi pasti langsung jual. Pemerintah gak belajar dari kawasan puncak yang akhirnya penuh sama vila? terus pas banjir di jakarta marah-marah ke kawasan puncak. Mmmm… gak lupa dong 🙂 Tante tidak anti pembangunan, I support that. Tapi manusia gak bisa fotosintesis, maka sebagai khalifah di muka bumi ini mbok ya sayang-sayang juga sama alam dan segala isinya gitu loh.

But anyway…. tante emon gak bisa selalu nulis dan nemenin kalian beropini. Tapi yang pasti, rupanya kita bisa juga ya mendesak pemerintah ketika kita punya keresahan bersama. Dan tante percaya kalau kita bisa bertindak kalau kompak. Gak perlu saling caci, cukup paparkan pemahaman kita dengan cara yang elegan dan sopan.

Sopan bukan berarti loyo! Jangan lengah! Lanjutkan dan kawal pengesahan UU ini. Tante percaya masih banyak celah yang lebih besar dari yang tante bisa temukan. Mungkin kalian yang lebih paham 😀 jadi yok… kompak kita kawal pemerintah dan omelin kalau perlu. KITA HARUS PUNYA PEMIKIRAN KRITIS! KARENA KITA GAK MAMPU BAYAR PENGACARA SEKELAS OM HOTMAN KALO KALO KESANDUNG MASALAH HUKUM! Oke!

Anyway! Crewmate! Tante bangga sama kalian!

IMG_4087

==============================================================

UPDATE! UPDATE! UPDATE! (09102020)

Pak Presiden akhirnya angkat bicara hari ini terkait UU cipta kerja.
Kita dengarkan paparannya ya gengs!

Tante emon percaya, selalu percaya, pemerintah itu sebenarnya ada itikad baik untuk kebaikan masyarakat. Di seluruh buku teori ekonomi, pemerintah selalu disebut memiliki peran untuk “Pemerataan kesejahteraan.” Mungkin… ini mungkin…. pemerintah ada baiknya memberi saluran untuk kita semua yang memiliki pertanyaan dan unek-unek terkait naskah UU yang beredar. Berikan waktu untuk kita semua memahami dan bertanya. Izinkan para ahli dan akademisi menganalisa.

Masih ada asa terhadap pemerintah, walau masih belum bisa sepenuhnya menghapus tanda tanya dan kegelisahan. Semoga kita semua berhasil dan mampu menemukan jalan tengah.

=========================================================

Kata Gus Mus, “Bicaralah hal yang merupakan bidangmu.” Maka tante emon gak berani untuk membahas seluruh rangkaian UU cipta kerja yang sedang heboh itu.

Akan tetapi sebagai peneliti yang sedang meneliti dampak kebijakan perubahan iklim dan pertanian di Indonesia, ada beberapa hal yang rasanya bisa saya telisik. Tidak berani bilang “salah” atau “benar” ya, maklum… salah-salah nanti malah tante di sidak UU ITE. Hanya rasa-rasanya kok… ruwet bin mumet gituuuu.

Selain itu kondisi tante yang mudah encok, dan mata yang udah mulai burem kalau lihat dokumen berhalaman 900++, tidak memungkinkan baca satu per satu dokumen “Dewa” tersebut. Maka mari kita bahas satu pasal saja. Pasal 122 (Bab VII. Pengadaan Tanah).  Oh iya dokumen ini diperoleh dari Tirto.id ya. Jadi kalo ada salah-salah, marahin Tirto aja (hayooo loh, To!).

Pasal 122 ini intinya sih, secara satu kalimat, atas nama “Penciptaan Kerja” konversi lahan diperbolehkan. Termasuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (tante singkat menjadi: LPPB).

1

Karena ada masalah pangan (dan kita mencintai pangan) maka kita loncat dulu ke poin b terkait si LPPB ini. Maka ayo kita loncat ke Pasal 124! Cerita berawal dari UU No.41/2009 yang diubah sehingga LPPB dapat dikonversi jika terkait dengan kepentingan umum maupun proyek strategis nasional (poin 2). Agak pusing sih, soalnya di poin 1 DILARANG eh di poin 2 DIPERBOLEHKAN. Ini maunya apaaaaaaaaaa? Apaaaaaaa? Apaaaa? Yah yo wis lah, lanzut!

2

“Wah! Aku ingin mengubah sawahku menjadi area komersil yang penuh remah-remah kekayaan duniawi! Apakah syarakatnya?” Syaratnya ada di point 3, yaitu:

3

Selintas terasa baik-baik saja kan? Akur?
Yes! Namun celah kebijakannya cukup besar.

Jadi semua lahan boleh jadi lahan pengganti untuk lahan yang dikonversi? Lalu bagaimana dengan lahan hutan? Lahan gambut?
Apakah alih fungsi lahan harus ada wilayah territorial yang sama? Bisa beda propinsi? Apakah tingkat kesuburannya sama?

Untuk pembacaku yang baik yang belum pernah digojlok pengantar ilmu pertanian selama satu semester dalam hidupnya. Kalau ini LAHAN PERTANIAN PANGAN… maka produktivitas lahannya harus cukup untuk kultivasi tanaman pangan dong. Iya dong? Nah kalau kemudian lahan penggantinya di area yang tidak produktif, ya petani rugi. Anda pikir mengembalikan tingkat kesuburan tanah itu mudah? Hey hey hey… anak Ilmu Tanah IPB sampe belajar redoks dan kimia tanah hanya untuk mencari cara mengembalikan produktivitas tanah. Jika lahan “pindahan” ini tidak terlalu produktif, petani harus keluar budget lagi untuk pupuk, irigasi, pembersihan lahan, dsb.

Lebih gila lagi kalau rupanya malah dikasih lahan basah dan rawa. Keluar budget lagi untuk liming (pengapuran)… nyari varietas yang sesuai, dan aneka keruwetan lainnya.

Ya masa iya mau dipindahin ke atas Gedung DPR?

Terus gimana? Nebang pohon?
Wallahu’alam… hanya yang bikin UU yang tahu. Allah juga tahu, tapi kayaknya udah ngelus-ngelus dada.

Pertanyaan yang sama berlaku untuk lahan pertanian yang dikonversi. Jadi gimana? Kalau misalkan lahan tersebut adalah area agroforestry yang sudah establish? Atau lahan pertanian itu rupanya beririsan dengan kawasan hutan yang sudah memberikan kekayaan biodiversitas dan udara yang bersih untuk Indonesia? Atau bagaimana jika kawasan tersebut ada di wilayah kaum adat?

Mau ditebang gitu? Terus lahan penggantinya dimana? Ditumplekin di atas lahan istana presiden sama Gedung DPR juga gak akan cukup.

Yang lebih rumit adalah kaum adat. Batas-batas hutan adat di Indonesia itu belum jelas, namun kawasan ini dijaga serta dimanfaatkan oleh indigenous people yang setiap merawat kawasan tersebut. Mereka memang buka sedikit-sedikit lahan pertanian, tapi duuuh segimana sih bukanya? Keciiiiil bgt. Mereka orang-orang yang menjaga lingkungan GRATIS tanpa meminta bayaran dari pemerintah. Tulus dan jiwanya murni sekali. Tante aja masih gila harta. Mereka gak… mereka ikhlas menjaga kelestarian alam dari dalam hati.

Nah… kalau misalkan proyek pemerintah lewat daerah hutan adat, mau diapain? Mau diganti apa? Diganti dengan pahala seluruh anggota DPR dan staf pemerintahan juga belum tentu cukup. Mereka menjaga kelestarian alam loh. Emang kalian mau disimpen di hutan tanpa sinyal dan harus cari makan sendiri di belantara? Tante sih tidak siap ya.
Makanya kita harus berterima kasih kepada masyarakat-masyarakat adat seperti itu. Eh eh eh… dengan adanya UU ini malah berpotensi mau digusur ☹

Tapi tante kan optimis ya “Ah masa iya… masa iya gw yang newbietol ini aja bisa aware dengan celah ini. Masa yang nulis kejem-kejem banget sih? Masa gak nyampe mikirin kawasan hutan dsb”

Maka tante pun skrol balik ke pasal di atasnya. Pasal 123 (Bagian kedua: Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum).

4

Pasal ini menambahkan beberapa poin untuk UU No. 2/ 2012. Dan… seluruh ke husnudzan ini ambyar setelah membaca pasal tambahan 19C.

5

Sampe ngucek-ngucek mata pas baca “TIDAK DIPERLUKAN LAGI”!

Well, gak mau menyimpulkan sih. Tapi kayaknya mau itu lahan gambut, hutan, mangrove, sawah, neraka Jahannam, semua bisa dialih fungsi dengan dalih untuk “penciptaan kerja dan kepentingan umum”

Ini permisi ya… apakah yang bikin UU sudah lihat statistik yang sudah disusun BPS hingga pada begadang? Pertanian (dalam definisi luas) kita masih menyerap banyak tenaga kerja, terutama di pedesaan. Jadi ini mau menciptakan atau mau menghilangkan pekerjaan? Bingung aku tuh. Arghhhh…..

Sungguh, batin ini ingin berteriak… UU ini amatlah laknatullah, karena kita diajak berputar-putar, skrol atas-bawah untuk menelisik setiap poin per pasal. Ini jangan-jangan, jangan-jangan, jangan-jangan, jangan-jangan,  masih banyak poin yang “bercelah” tapi luput karena stamina kita yang terbiasa sebagai kaum rebahan selama PSBB memang tidak kuat scroll dokumen ini terlalu lama. Ndak kuwaaaaaat, Baaaang!

Dengan segala kerendahan hati dan maaf yang sebesar-besar, namun bagi saya pasal ini sungguh memutar balik logika. Karena kemudian kontradiktif dengan banyak kebijakan lain (yang wallahu’alam mau diseriusi atau gak ya).

Kita ini loh ya, mau menurunkan emisi setidaknya 29% dari Business as Usual level di tahun 2030. Emisi kita mayoritas dari perubahan serta kebakaran lahan dan gambut. Lah… ini mau nambah-nambah kerjaan untuk konversi lahan.
Kita ini loh ya….
Padi kita, produktivitasnya sudah hampir mentok, mungkin akan mulai diminish beberapa tahun kedepan. Lah ini lahan pangan mau dikonversi? Biar bisa impor lebih banyak?
Katanya mau mengurangi impor pangan?
Belum lagi tingkat stunting kita masih sangat tinggi! Ditambah tingginya food waste and loss! Penyerapan pangan kita belum optimal, lah… lahan pangannya mau ditekan dengan adanya UU ini.
Jadi masyarakat Indonesia mau dikasih makan apa? Disuruh fotosintesis?

Jadi maunya apa?????

Apa biar tahun depan ada kerjaan jadi bisa bikin UU lagi?
Nyari aktivitas gak gitu-gitu amat kali ya ☹ Ada banyak hobi positif yang bisa dicoba loh? Belajar musik, ikut marathon, cuci tangan pakai sabun. Bukan cuci tangan kalau ada masalah (aw..aw..aw..).

Perlu gw bicara sebagai ekonom? Fine! UU ini gak untung2 banget secara ekonomis, apalagi untuk masyarakat berpenghasilan menengah kebawah. Gak usah ke sisi makroekonomi lah. Kalau segi lingkungan tidak ditelisik secara lebih teliti, maka siap-siap saja bencana alam makin sering mampir ke tanah air. Klo kena bencana alam memangnya gak rugi secara ekonomi? Itu menghilangkan kapital ya.
Oh well…paling paling kita akan literally jadi tanah air, tinggal nyisa tanah dan air :’) Ulalala…

Lemas rasanya menelaah satu pasal ini saja.
Tapi tante tuh masih berharap loh, pemerintah punya sedikit sisi welas asih di hatinya.
Pikirkan seluruh pendapat-pendapat para akademisi dan ahli.
gak perlu dengerin tante yang newbitol ini, banyak sekali cendekiawan Indonesia yang pintar luar biasa tersebar di seluruh penjuru dunia. Mereka siap kok kalau ditanya pendapatnya.

Secara pribadi, tante juga miris dengan kelakuan para angkota dewan yang kekanak-kanakan (sorry). Yang bahkan tidak memiliki kedewasaan emosional untuk mendengarkan saran, masukan, dan kritik masyarakat. Hal ini yang sangat melukai hati masyarakat.
Wahai Bapak/Ibu dewan yang terhormat, jangan lukai hati kami… karena benang-benang fibrin tak mampu menambal hati yang luka.

Atau jangan-jangan ini azab dari Allah ya? Duuuuh…
Maafkan kami ya Allah. Kami memang suka julid di internet, kami juga kadang suka iri hati dikit-dikit melihat orang lain pamer kebahagiaan. Tapi kami tidak kuat jika azabmu adalah dikaruniai pemerintahan yang ******** (micnya dimuted, tapi Tuhan dengar bahkan untuk suara semut sekalipun).

Namun sungguh pepesan kosong kalau tidak ada alternatif solusi.
Dari tante pribadi ya….

  1. AMDAL itu perlu. Terlepas dari Amdal kita yang memang masih banyak kekurangan sana-sini. Tapi itu jauh lebih baik daripada gak ada. Setidaknya ada pihak independen yang aware dengan lingkungan. Bukannya gak percaya sama pemerintah ya, tapi pihak independen juga penting untuk ikut serta untuk menjaga kepercayaan publik dan meningkatkan validitas data lingkungan.
  2. Tolonglah semua jangan dilihat dari accounting cost… lalu mengeluarkan banyak sekali social cost dari sisi lingkungan, sosial, waaah banyak.
  3. Mungkin sebelum membuat UU, pahami dulu UU yang lain sebelumnya. Jangan sampai malah overlap lalu gontok2an sendiri. Ya seperti pasal tentang lahan pangan ini.

Demikian dari tante emon.
Mohon dilanjut bagi kalian yang punya expertise yang lain. Maaf kawan, tante cuman kuat baca satu ini aja :’) lanjutken perjuangan!